top of page
Writer's pictureReza Setiawan

Pameran Foto Sumba: Apresiasi Ragam Kebudayaan

Oleh: Reza Setiawan dan Majesti Amina


Rangkaian acara Festival Sumba “Menyapa Indonesia, Merengkuh Tepi Bangsa: Resiliensi Wajah Sumba dalam Pusaran Zaman” akhirnya selesai digelar. Kami berkesempatan hadir dan mengikuti beberapa rangkaian Festival Sumba yang dilaksanakan sejak 23 hingga 30 Oktober 2018. Seperti festival-festival pada umumnya, terdapat beberapa pameran foto yang ditegakkan di beberapa tempat, yakni di Bentara Budaya dan di Lantai 7 gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya UGM. Kedua tempat yang berbeda menyebabkan kami harus membagi waktu untuk dapat mengunjungi masing-masing pameran foto tersebut. Pameran foto yang ada di Bentara Budaya buka hingga malam hari dan kebetulan saat itu kami memiliki waktu luang, bergegaslah kami.


"Tampak depan gedung Bentara Budaya"

Perjalanan Menyusuri Pameran Foto

Malam itu memang sejuk, kenapa tidak? Jelas angin berisik terus terdegar di telinga. Kondisi yang mendukung mengantarkan kami ke pameran foto itu. 23 Oktober 2018 tepat pada pukul 18:00 kami bergegas untuk melihat masyarakat Sumba dalam jejeran foto. Tempatnya tidak begitu jauh dari lingkungan sekitar kami membuat keinginan tersebut terus bergebu-gebu. Ekspektasi kami memang cukup tinggi terhadap pameran foto itu, wajar saja keinginannya bergebu-gebu. Pameran foto dilaksanakan di Bentara Budaya yang merupakan salah satu ruang di keramaian Yogyakarta. Letaknya berdampingan langsung dengan Kompas, salah satu penerbit koran yang cukup eksis masa kini. Berdiri di atas salah satu bidang tanah yang tingkat keramaiannya cukup tinggi di Yogyakarta ternyata berbanding lurus dengan ramainya jejeran foto yang kami temui.


"Gambaran corak tenun Sumba berdamping puisi 'Beri Daku Sumba'"

Bentangan kain tenun sebagai sorotan utama mata kami ketika masuk di ruangan. Tetapi semua itu tiba-tiba teralihkan saja ketika petugas sebelah kiri menyodorkan absensi pengunjung. Petugasnnya merupakan mahasiswa antropologi juga, sama seperti kami. Namun perbedaan angkatan menyebabkan kami tidak begitu dekat walaupun hanya sering berpapasan. Kami sudah terlanjur mengikuti jalur kiri sehingga kami teruskan saja perjalanan saat itu. Motif kain Sumba yang dicetak di atas kertas besar menjadi teman awal perjalanan kami. Corak hitam putih seakan tidak menggambarkan warna aslinya, tetapi mungkin motifnya yang ingin ditonjolkan dalam gambar tersebut. Berdampingan dengan gambar itu, puisi milik Taufik Ismail terlihat menggambarkan lingkungan Sumba. Jelas dari penggalan kata “Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka” kita dapat merefleksikan bahwa lingkungan Sumba yakni padang-padang terbuka seperti foto setelahnya.


Tepat di sudut ruang itu jelas terlihat video mengenai lingkungan dan kebudayaan masyarakat Sumba yang berdiri tegak di masing-masing penyangga TV. Bagian ini cukup menyita waktu untuk perjalanan selanjutnya. Nyayian musik Sumba seakan membawa suasana di Sumba saat itu. Bentangan alam yang luas dan kebudayaan-kebudayaan yang masih dipertahankan membuat kami tersenyum bahagia melihat video itu. Selama kurang lebih enam menit baru kami pahami bukan hanya bentangan alam yang indah saja yang ada di Sumba, budayanya pun cukup menarik dipahami lebih lanjut. Pemutaran video tersebut menjadi hal yang menarik bagi kami karena alunan musiknya bersatu dengan sejuknya ruang seakan menghidupkan suasana.



"Bentang alam Sumba"

Masyarakat Sumba dalam Jejeran Foto

Jejeran foto di dinding kiri itu terlihat jelas menggambarkan bentangan luas alam Sumba. Mulai dari foto Padang savana hingga rumah adat uma humba, rumah khas Sumba. Foto milik Lena Borlinghaus dengan judul “Padang savana setelah hujan turun. Pemandangan dari Bukit Wairinding, Sumba Timur” mengawali seluruh jejeran foto di Bentara Budaya. Pemandangan itu berbeda sekali ketika melihat keramaian kota-kota lainnya yang dipenuhi bangunan-bangunan. Bentangan luas Padang savana seakan menjadi ciri khasnya Sumba. Selain bentangan alamnya, terdapat pula foto uma humba yang menjadi ciri khas Sumba juga. Kerjasama dalam membangun uma humba mengajarkan kami pentingnya tolong menolong. Berbaur menjadi satu menyusun atap uma humba seakan jelas terlihat dalam foto tersebut. Aktivitas-aktivitas rumah tangga juga dilakukan di dalam uma humba itu. Melalui foto tersebut terlihat jelas bagaimana uma humba dimanfaatkan sebenarnya dengan aktivitas-aktivitas yang ingin dilakukan. Berbeda sekali ketika kami menemukan beberapa rumah adat yang ada di luar daerah hanya dijadikan sebagai bentuk kebudayaan yang dipertontonkan. Rumah adat tersebut ditempatkan untuk menampilkan pertunjukan kesenian-kesenian daerah yang jarang sekali satu pun anggota keluarga tinggal di dalamnya. Oleh sebab itu kami melihat bagaimana sebenarnya masyarakat Sumba yang benar-benar memanfaatkan rumah adat mereka sebagai tempat tinggal dan beraktivitas sebebasnya. Dalam kasus tersebut dapat kita lihat bagaimana perbedaan pemaknaan dalam rumah adat yang dijadikan sebagai simbol. Di masyarakat Sumba rumah adat dimaknai sebagai tempat yang dapat ditinggali. Sedangkan pemaknaan rumah adat yang satunya sebagai tempat pertunjukan kesenian.


Rumah adat atau rumah tradisional dipahami sebagai bentuk kebhinekaan yang dimiliki Indonesia. Ketika melihat adanya penghidupan suatu bentuk kebudayaan itu seperti rumah adat patutlah berbangga hati. Menurut kami pada saat ini kita sudah dilanda ancaman kebhinekaan yang menyebabkan satu per satu unsur kebudayan akan mengalami perubahan kuantitatif kebudayaan. Misalkan saja, bahasa daerah yang sejak ini sudah kurang mendapatkan dukungan untuk dilestarikan. Permainan tradisional yang digeser oleh munculnya permainan baru akibat dari difusi kebudayaan. Hal-hal seperti itu bukankah menjadi ancaman kebhinekaan?. Tetapi ketika suatu rumah adat kembali lagi di kokohkan kelestariannya patut sekali untuk dibanggakan dan menjadikannya contoh demi mempertahankan kebhinekaan itu.


"Lika-liku kehidupan masyarakat Sumba"

Setelah mengetahui keadaan lingkungan juga tempat tinggal masyarakat Sumba, kami akan dibawa kepada foto mengenai mata pencaharian. Perkiraan kami mengenai kehidupan Sumba yang penuh dengan kegersangan ternyata tidak begitu tepat. Mata pencaharian berkebun masih saja dapat ditemui di beberapa petak tanah masyarakat Sumba. Kegiatan membajak sawah dengan menggunakan kerbau mewarnai mata pencaharian mereka sebagai petani. Dapat dilihat pada foto milik Gunawan dengan judul “Renca. Mempersiapkan lahan untuk ditanami padi dengan cara menggiring kerbau berputar-putar di Sawah hingga tanah menjadi gembur dan siap untuk ditanami padi”. Adanya pembagian kerja juga terlihat disini antara laki-laki yang melakukan pekerjaan lebih berat dibanding perempuan. Di masyarakat Sumba misalnya, kegiatan mengangkut benih menjadi pekerjaan laki-laki sedangkan perempuan menanam benih tersebut. Masih sama seperti di foto sebelumnya dapat dilihat bahwa kerjasama memang ideologi yang mungkin masih dipegang teguh masyarakat Sumba.


"Berbagai tradisi tetap dipertahankan"

Upacara-upacara adat juga menjadikan hal yang menarik dalam beberapa foto di pameran tersebut. Tidak hanya upacara, terlihat juga bagaimana nilai budaya yang ada terus dilestarikan. Contohnya saja foto mengenai seorang ibu yang mengunyah sirih pinang milik Transpiosa Riomandha, foto milik Gunawan yakni upacara kematian yang dalam rangkaiannya menebas leher kerbau atau yang disebut tebung karebau masih saja ada dalam masyarakat Sumba. Selain itu foto milik Gunawan yakni menangkap cacing nyale yang diyakini sebagai obat menjadikan budaya leluhur itu memang tidak dihilangkan. Melalui hal tersebut dapat diamati bahwa kebudayaan-kebudayaan leluhur mereka masih dipertahankan agar tetap eksis keberadaanya hingga saat ini. Alih-alih sampai saat ini kondisi masih saja seperti awal kami tiba, hanya terdengar alunan musik dari video tadi.


"Tradisi pasola, sebagai bentuk pelestarian"

Setelah foto sebelumnya yang bercerita tentang upacara adat, berikutnya berkaitan dengan tradisi masyarakat Sumba. Dapat kita lihat pada foto milik Ferganata Indra Riatmoko yang berkaitan dengan tradisi pasola yakni penunggang kuda mengikuti perang lempar lembing untuk memohon restu dari para dewa dan arwah nenek moyang agar hasil panen pada tahun tersebut melimpah. Sama seperti sebelumnya, tradisi nilai-nilai budaya disini masih ditanamkan. Namun yang mengalihkan perhatiaan kami bentuk tampilan dari foto itu cukup berbeda dari sebelumnya. Satu rangkaian foto tradisi pasola dijadikan satu kesatuan walaupun terdapat perbedaan bentuk foto. Perbedaan ini cukup menarik walaupun hanya terdapat pada peletakan foto yang menurut kami memang perlu diperhatikan dalam peletakan pameran foto. Hingga pada penghujung jejeran foto yang dapat dilihat yaitu lirik dari alunan musik dari video yang terlihat di sudut ruangan putih itu.


Secara keseluruhan aspek tersembunyi yang dapat kami perhatikan dalam pameran foto tersebut ialah bagaimana kain tenun sebagai identitas masyarakat Sumba dijadikan sorotan yang berada di posisi tengah-tengah jajaran foto. Hal ini karena posisi dari kain tenun yang benar-benar utama terlihat ketika pengunjung datang. Begitu pula ketika melihat secara keseluruhan ruangan pameran foto, yang paling jelas dilihat ialah bentangan kain tenunnya. Namun jika melihat lebih khusus akan fokus kepada masing-masing foto.

Untaian kata-kata masih terdengar di mulut pengunjung lainnya. Seperti yang dikatakan salah satu pengunjung yang juga terlibat dalam acara besar Festival Sumba 2018 itu. Menurutnya acara tersebut sangat membanggakan walaupun ia bukan masyarakat Sumba ia tetap merasakan kebanggaan tersendiri.

"Identitas kebanggan yang tersorot"

Harapannya sangat besar kepada mahasiswa Sumba untuk mengapresiasi acara tersebut. Selain memang terlibat langsung, mereka juga dapat bernostalgia dengan lingkungan asalnya. Menurut hasil pengamatan kami mengenai penyusunan foto sebaiknya ditempatkan sesuai dengan tema-tema dibalik foto tersebut, agar tema setiap foto tidak terkesan berlompat-lompatan. Selain itu, sebaiknya petugas juga mengarahkan pengunjung untuk memulai menyelusuri foto pada alur kanan atau kiri. Petugas juga akan lebih baik mengarahkan ke masing-masing foto dan memberikan penjelasan yang singkat mengenai foto-foto tersebut.


Kami sangat mengapresiasi seluruh panitia yang bekerjakeras dalam penyusunan pameran foto di acara Festival Sumba itu. Semoga acara tersebut bermanfaat dan dapat memperkenalkan kebudayaan-kebudayaan Indonesia yang beragam lainnya. Semoga kegiatan seperti ini terus berlajut dengan daerah-daerah yang berbeda, sebagai bentuk upaya memperkenalkan kekayaan bangsa Indonesia.

20 views0 comments

Comments


bottom of page