top of page

Transformasi Ruang dan Sosial di Jalan Kaliurang

Updated: Jun 16, 2019

Anugerah Rinaldi dan Rayhan Wildan Ramadhani

Kepadatan Arus Lalu Lintas di Jalan Kaliurang. (Dokumentasi pribadi, pada tanggal 28 Mei 2019).

Senja di Jalan Kaliurang

Angin sejuk berhembus sore itu. Bersamaan dengan cahaya matahari yang semakin meredup, kami melaju melintasi Jalan Kaliurang. Dengan menggunakan motor matik kesayangan, kami meliuk-liuk menghindari antrean kendaraan. Kemacetan seolah menjadi hal lumrah yang terjadi di jalan ini. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh INRIX Research pada tahun 2017, Yogyakarta menduduki posisi 60 sebagai kota termacet di dunia dan 4 besar di Indonesia setelah Jakarta, Bandung, dan Malang. Belum lagi durasi lampu hijau yang sangat timpang dengan lampu merah di perempatan Kentungan turut menguji kesabaran kami. Setidaknya hal tersebut membantu meringankan dosa karena membuat kami beristighfar selama kurang lebih tiga menit. Kami menengok ke sekeliling. Beberapa pengendara terlihat sibuk mengecek gadgetnya. Beberapa yang lain terlihat menaik-turunkan kepala untuk melihat hitungan mundur lampu merah yang tak kunjung usai. Di seberang, para pekerja proyek underpass sedang bercengkerama sembari duduk di atas motornya. Terlihat raut lelah di wajah mereka setelah bekerja seharian penuh.


Lampu lalu lintas akhirnya menunjukkan warna hijau. Pengendara di depan kami langsung bergegas memacu kendaraannya. Di kanan dan kiri jalan terlihat banyak penjual takjil sedang sibuk melayani pembeli. Parkiran tempat makan juga sudah dipenuhi oleh kendaraan para pengunjung yang hendak berbuka bersama kerabat. Di kejauhan, terlihat pemandangan Gunung Merapi menyembul di sela-sela bangunan tinggi. Papan reklame yang terpampang dengan arogan turut mengisi langit Yogyakarta. Kami kemudian menyalakan sein untuk memberi tanda akan berbelok. Beberapa detik kami habiskan untuk menunggu hingga akhirnya jalanan cukup kosong untuk kami seberangi.


Awal Transformasi Ruang dan Sosial Jalan Kaliurang

Kami menemui Pak Hadi, yang sedari kecil sudah tinggal dan hidup di Yogyakarta. Pada tahun 2003 yang lalu, ia dan keluarganya pindah dari daerah Terban menuju ke Jl. Pandega Mandala--salah satu cabang jalan ke timur dari Jalan Kaliurang. Ia menuturkan bahwa pada era 70-an sampai 80-an, kawasan Selokan Mataram ke utara (Mbarek) suasananya dingin, udaranya bersih, kendaraan tradisional (becak, gerobak sapi, dan andong) masih banyak ditemukan, daerahnya sepi penduduk serta belum ada listrik di rumah-rumah penduduk. Orang yang tinggal di kawasan ini pun kebanyakan juga merupakan penduduk asli.


Pak Hadi menuturkan bahwa keramaian orang dan perkembangan rupa di Jalan Kaliurang ini disebabkan karena semakin banyaknya mahasiswa yang masuk ke berbagai universitas yang ada di Yogyakarta. Sebagai contohnya, UGM mulai melakukan pembangunan dan perluasan bangunan fisik kampus. Hal serupa juga dilakukan oleh kampus-kampus di sekitar kampus UGM, seperti Universitas Sanata Dharma, Universitas Atma Jaya, dan Universitas Negeri Yogyakarta. Kemudian ada Universitas Islam Indonesia (UII) di kawasan Jalan Kaliurang wilayah atas yang turut meramaikan pembangunan di sepanjang Jalan Kaliurang.


Kepadatan yang ada di Jalan Kaliurang saat ini juga disebabkan oleh pembangunan aspek selain bidang akademik. Rumah Sakit Sardjito yang letaknya tidak jauh dari Jalan Kaliurang dibangun sejak tahun 1974 untuk menunjang kebutuhan kesehatan bagi para warga Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, muncul pula kawasan perumahan baru di sebelah utara UGM, seperti Perumahan Banteng dan Perumahan Minomartani. Masuknya banyak mahasiswa dan berbagai sarana penunjangnya menyebabkan kawasan Jalan Kaliurang kemudian menjadi kawasan yang potensial untuk membuka bisnis. Lambat laun hal tersebut semakin kentara, seperti yang dapat kita lihat pada saat ini.


Rupa Ruang dan Sosial Jalan Kaliurang Masa Kini

Kami juga bertemu dengan Ibu Rin, istri dari pak Hadi. Dengan hitungan waktu, keluarga ini sudah tinggal di kawasan sekitar Jalan Kaliurang ini selama kurang lebih lima belas tahun terakhir. Ibu Rin sendiri tinggal di Yogyakarta sejak tahun 1982 karena ia melanjutkan studinya di Universitas Gadjah Mada. Ia menuturkan bahwa kawasan Jalan Kaliurang saat ini jauh lebih ramai ketimbang ketika ia pertama kali datang ke Yogyakarta pada tahun 1982 itu. Gedung dan bangunan, baik itu rumah-rumah di sekitar Jalan Kaliurang maupun bangunan-bangunan bisnis pertokoan dan restoran, kini jumlahnya bertambah banyak. Di pinggir Jalan Kaliurang pun kini sudah tidak ada rumah tinggal seperti dahulu, karena rumah-rumah tersebut sudah dijual dan digantikan oleh berbagai bangunan yang dimanfaatkan sebagai pusat bisnis kuliner, pertokoan, hotel, dan apartemen. Kemacetan pun menjadi sebuah hal yang biasa ditemui saat ini ketika kita melintas di Jalan Kaliurang.


Berkembangnya wilayah Jalan Kaliurang sebagai pusat bisnis juga berimbas pada berbagai cabang jalan ke timur maupun ke barat dari Jalan Kaliurang tersebut. Banyaknya lahan kosong yang ada di beberapa perkampungan di bagian barat dan timur Jalan Kaliurang sudah tergantikan dengan bangunan-bangunan yang didirikan sebagian besar bukan oleh sang pemilik tanah itu sendiri, tetapi oleh para pembeli tanah yang baru. Penduduk asli atau pemilik tanah tergusur dan pindah ke wilayah pedesaan karena lahan mereka diminati oleh para pemburu lahan atau investor dari luar kota Yogyakarta. Sebagian besar membangun tempat kost, atau apartemen, atau rumah-rumah klaster, mengingat letak Jalan Kaliurang ini dekat dengan kampus UGM dan UNY. Ibu Rin menambahkan bahwa saat ini harga tanah di kawasan ini pun akhirnya turut meningkat seiring dengan pesona kawasan ini bagi pendatang. Di Jalan Pandega Mandala sendiri, pada tahun 2003 harga tanah per-meternya berada pada kisaran Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000, namun pada saat ini harga jual tanah di kawasan jalan ini naik menjadi enam kali lipatnya, yakni sekitar Rp 12.000.000/meter persegi.


Bagi ibu Rin sendiri, Jalan Kaliurang merupakan wilayah yang sangat strategis. Jalan Kaliurang dekat dengan Ring Road Utara, salah satu urat nadi mobilitas di Yogyakarta. Di sisi lain, arah pembangunan saat ini juga semakin mengarah ke wilayah utara kotamadya. Orang pun juga semakin berburu kepemilikan tanah di sana. “Ini (Jalan Kaliurang) menjadi pemukiman yang ideal bagi mahasiswa, investor, warga pemukim, dan siapapun, baik untuk tempat tinggal maupun untuk berbisnis,” tambah Ibu Rin. Hal tersebut kemudian dapat kita lihat dari menjamurnya berbagai rumah makan, tempat nongkrong atau cafe, apartemen atau hotel, tempat kost eksklusif, toko pakaian, penyedia jasa fotokopi, apotek, dsb. Apa pun ada di sepanjang Jalan Kaliurang. Jalan ini telah menjelma menjadi sebuah jalan yang menyediakan kebutuhan warga di kawasan ini maupun dari kawasan lain di kota Yogyakarta.


Namun, ternyata ada masalah lain yang timbul dari pesatnya pembangunan ini. Menurut Ibu Rin, berbagai perubahan yang terjadi di wilayah Jalan Kaliurang dan sekitarnya membuat penduduk asli semakin terdesak. Banyak penduduk asli yang justru kalah bersaing dalam bursa lowongan kerja yang tersedia di wilayah ini. Jika ada, mereka hanya bekerja sebagai tukang parkir ataupun penjaja barang dan jasa berskala kecil. Hal ini disebabkan karena para penduduk asli tidak dapat memenuhi kualifikasi standar kerja yang ditetapkan oleh para pemodal yang membuka lapangan pekerjaan tersebut.


Selain itu, muncul juga semacam kecemburuan sosial dari para warga asli terhadap para pendatang. Para pendatang yang bermukim atau berbisnis di kawasan Jalan Kaliurang ini sebagian besar datang dari kelas menengah atas. Menurut ibu Rin, hal tersebut tidak nampak di permukaan, namun terasa dalam kehidupan atau pergaulan sosial sehari-hari. Berbagai penolakan warga di sekitar Jalan Kaliurang terhadap pendirian hotel apartemen yang mulai marak ini juga tidak berarti apa-apa, karena mereka kalah dengan kekuatan uang dari para pemilik modal tersebut. Warga pinggiran atau penduduk asli di wilayah Jalan Kaliurang ini mendapatkan uang atau materi lainnya sebagai ganti pembangunan hotel atau apartemen, dan itu sudah cukup untuk membuat mereka mundur, tak berdaya, dan kalah dalam bernegosiasi agar wilayahnya tidak dipenuhi oleh maraknya pembangunan hotel-hotel.


Bangunan Apartemen "Uttara" yang Terletak di Jalan Kaliurang. (Dokumentasi pribadi, pada tanggal 28 Mei 2019).

Setelah mengamati, melalui, dan juga terlibat dalam berbagai perubahan ataupun transformasi ruang dan sosial yang terjadi di Jalan Kaliurang ini, Ibu Rin berharap bahwa pada masa yang akan datang, berbagai cabang jalan ke timur dan barat dari Jalan Kaliurang ini tidak mengalami perubahan yang masif. Jalan Kaliurang dengan segala keriuhan, kemacetan, dan kepadatannya di satu sisi memang menyebabkan suasana yang tidak nyaman. Namun karena penduduk tinggal di cabang-cabang timur dan barat dari Jalan Kaliurang, maka dampak dari kepadatan Jalan Kaliurang tersebut tidak terlalu dirasakan, sehingga tinggal atau bermukim di cabang-cabang Jalan Kaliurang ini sungguh strategis, masih menyenangkan dan nyaman. Berbagai fasilitas atau kebutuhan tersedia di Jalan Kaliurang dengan jarak yang sangat dekat dari rumah tinggal, misalnya tinggal di kawasan Pogung (sisi barat Jalan Kaliurang) dan kawasan Pandega (sisi timur Jalan Kaliurang) masih menjadi hal yang nyaman dan menyenangkan. Namun menurut Ibu Rin, yang menjadi persoalan di kemudian hari ialah apabila ijin dan arah pembangunan dan investasi modal besar yang terjadi di Jalan Kaliurang seperti hotel dan apartemen mulai menyasar dan memasuki kawasan permukiman di berbagai wilayah percabangan Jalan Kaliurang ini, baik di sisi timur maupun baratnya. Ketersediaan air tanah menjadi salah satu kekuatiran penduduk apabila pembangunan yang merambah pemukiman ini benar-benar terjadi di kemudian hari.


Jalan Kaliurang dan Perkembangannya

Dapat dikatakan bahwa pembangunan pesat yang terjadi di Jalan Kaliurang menjadi indikator dari semakin terbukanya Yogyakarta terhadap invasi modal besar yang masuk ke dalamnya. Pembangunan pesat tersebut disebabkan oleh besarnya angka migrasi masuk ke Yogyakarta, yang sebagian besar di antaranya adalah pelajar dan mahasiswa. Berbagai fasilitas penunjang dibangun untuk memenuhi kebutuhan para pendatang dan warga lokal. Kenampakan wilayah pun kemudian turut berubah menjadi modern. Adanya ekspansi yang berlangsung cepat di wilayah perkotaan Yogyakarta dan pengembangan kawasan pinggiran kota yang besar pada akhirnya memberikan tekanan besar pada infrastruktur regional dan menimbulkan tantangan bagi keberlanjutan wilayah pinggiran kota dan daerah pedalaman pedesaan sekitarnya. Fenomena ini dikenal juga sebagai urban sprawl, yakni proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (Giyarsih, 2001). Dalam kasus di Yogyakarta, fenomena urban sprawl didorong oleh pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan di mana kebutuhan infrastruktur regional pun menjadi hal yang patut diperhatikan (Hudalah et al., 2013).


Jalan Kaliurang dan Berbagai Pusat Bisnis yang Menyertainya. (Dokumentasi pribadi, pada tanggal 28 Mei 2019).

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, proyek-proyek pembangunan yang dilakukan di Jalan Kaliurang tidak berlangsung dengan mulus-mulus saja. Beberapa kali warga sekitar melakukan protes terhadap pengembang. Resistensi yang mereka lakukan bukannya tanpa penyebab. Alasan utama adalah masalah keamanan dan kenyamanan. Dalam artikel berjudul “Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen” dalam laman Tirto.id disebutkan bahwa pengerjaan proyek yang dilakukan pada malam hari sangat mengganggu waktu istirahat warga sekitar. Kemudian faktor keamanan juga kerap kali tidak diperhatikan oleh pekerja konstruksi, bahkan pernah ada kasus di mana material pembangunan menimpa atap rumah warga. Selain itu, masalah ketersediaan air tanah juga cukup krusial. Putra dan Baier (2007) menyebutkan bahwa proses urbanisasi dapat mengurangi infiltrasi air ke dalam tanah karena impermeabilitas daera tangkapan yang terhalang oleh area, bangunan, dan jalan beraspal. Belum lagi jika kita menengok sistem drainase di Yogyakarta yang belum rapih.


Pada akhirnya, selalu ada dua sisi dari setiap fenomena. Pesatnya pembangunan di Yogyakarta merupakan sebuah keniscayaan akibat posisi Yogyakarta yang strategis dalam konteks geografis, pendidikan, sosial dan ekonomi. Kota kemudian menjadi arena pertarungan antar kelas dalam memperebutkan ruang hidup. Mereka yang memiliki modal besar akan dengan mudah menguasai ruang yang tersedia. Sementara bagi mereka yang lemah, protes merupakan satu-satunya hal yang dapat mereka lakukan untuk bertahan dari upaya penyingkiran secara tidak langsung tersebut.



Referensi

1. Giyarsih, S. 2001. Gejala Urban Sprawl sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area). Jurnal PWK Vol.12., No. 1.

2. Hudalah et al.. 2013. Regional Governance in Decentralizing Indonesia: Learning from the Success of Urban-Rural Cooperation in Metropolitan Yogyakarta dalam T. Bunnell et al. (eds.), Cleavage, Connection and Conflict in Rural, Urban and Contemporary Asia, ARI - Springer Asia Series 3.

3. Putra,D., dan Baier, K. 2013. Impact of Urbanization on Groundwater Recharge – The Example of the Indonesian Million City Yogyakarta.

4. Putsanra, D. 2017. Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen. 10 Juli. Diakses 30 Mei 2019. https://tirto.id/warga-yogya-menolak-pembangunan-hotel-dan-apartemen-csjG

5. Saroh, M. 2016. Anak Muda Yogya Terancam Tunawisma. 4 Agustus. Diakses 30 Mei 2019. https://tirto.id/anak-muda-yogya-terancam-tunawisma-bw5N

6. Widiyanto, D. 2018. Yogya Masuk 10 Kota Termacet di Indonesia. 26 Februari. Diakses 30 Mei 2019. 7. https://krjogja.com/web/news/read/58925/Yogya_Masuk_10_Kota_Termacet_di_Indonesia

87 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page