top of page
Writer's pictureDanielle Anastasia D

Kepingan Sumba di Yogyakarta

Festival Sumba: Pergelaran Seni dan Upacara Kedde, 25-26 Oktober 2018

Dokumen Pribadi

Oleh: Danielle Anastasia D dan Wihandono Putro P

Sumba sebagai Suku

Terletak sejauh 400km di sebelah timur Pulau Bali, Sumba memiliki daya tarik tersendiri bagi beberapa turis mancanegara maupun lokal—dengan tingkat perekonomian tinggi—meski terkesan jauh dan ‘terisolasi’. Suasana tenang yang ditawarkan sebagai akibat dari ‘terisolasi’-nya Sumba dari kehidupan perkotaan, menambah daya tarik bagi wisatawan yang hendak menghabiskan waktu luang dengan mencari suasana baru sebagai pelarian sejenak. Selain itu, masyarakat yang masih tradisional dengan adat yang masih dijaga dengan baik semakin menambah nilai jual Sumba dalam sektor pariwisata. Salah satu tradisi yang masih dipertahankan di sumba adalah kepercayaan adat Marapu. Disebutkan oleh Purwadi Soerjadiredja dalam artikelnya yang berjudul “Marapu: Agama dan Identitas Orang Umalulu” bahwa Marapu merupakan salah satu hal utama yang menjadi dasar identitas budaya masyarakat yang menjadi pedoman, nilai-nilai, atau aturan-aturan dalam hidup bermasyarakat. Disebutkan kemudian oleh Soerjadiredja bahwa meskipun agama-agama lain kemudian masuk ke Sumba, identitas ke-Marapu-an masih dipegang teguh oleh masyarakat Sumba sebagai sebuah penanda identitas yang dianggap penting. Identitas yang kuat ini, masih dibawa kemanapun masyarakat Sumba pergi. Ketika banyak mahasiswa yang merantau untuk menuntut ilmu di Yogyakarta, contohnya, identitas sosial mereka sebagai masyarakat Sumba masih dibawa kuat. Hal ini didukung dengan adanya ‘Aliansi Mahasiswa Sumba Yogyakarta’ yang menjadi wadah berkumpul dan bersosialisasi masyarakat Sumba, mahasiswa Sumba khususnya, yang merantau ke Yogyakarta. Solidaritas komunitas masyarakat Sumba di Yogyakarta terbilang masih kuat didukung dengan adanya ‘markas’ tempat berkumpul para pemuda Sumba di Yogyakarta.


Mengapa Festival Sumba?

Ketika pertama kali mendapat informasi bahwa akan ada kerbau di rangkaian Festival Sumba ini, sedikit banyak asumsi kami terhadap Festival Sumba berubah. Awalnya, kami menganggap Festival Sumba hanya seakan-akan festival kecil-kecilan yang diadakan oleh LAURA dan Departemen Antropologi FIB UGM. Bahwa akan diadakan upacara adat sebagai salah satu tradisi Sumba meyakinkan kami akan besarnya dan pentingnya acara ini. Ketika publikasi terhadap kegiatan-kegiatan yang digelar mulai beredar, maka semakin yakinlah kami bahwa Festival Sumba ini merupakan acara yang dimaksudkan untuk benar-benar merepresentasikan Sumba di Yogyakarta.


Dalam beberapa ‘obrolan warung’ dengan rekan kuliah kami, raut wajah heran langsung tertampak ketika kami menceritakan akan adanya Upacara Kedde di Festival Sumba—yang menyertakan hadirnya dua ekor kerbau dan teman-teman Sumba berpakaian adat dari Sumba. Tentu kami tidak menyalahkan respon tersebut, wajar sebenarnya. Untuk apa sebenarnya Festival Sumba diadakan? Sepenting apakah itu sehingga Upacara Kedde pun digelar sedemikian rupa? Lalu siapa yang akan mengambil bagian dan benar-benar menggelar upacara tersebut? Tentu pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian ‘menyerang’ kami sebagai pembawa berita. Namun, kami kemudian menjadikan pertanyaan tersebut sebagai acuan kami dalam memahami dan menilik lebih dalam lagi mengenai Upacara Kedde itu sendiri. Dalam berusaha mencari jawaban, kami pun berusaha untuk mengikuti hampir sebagian besar rangkaian acara—meskipun tidak semuanya.


Jawaban atas pertanyaan pertama kemudian bisa kami asumsikan di hari terakhir, bahwa acara ini diadakan untuk membawa Sumba ke mata publik, secara keseluruhan. Tidak hanya sebatas foto-foto indah di sosial media, namun juga dengan konflik-konflik yang ada di sana, tradisi dan adat yang masih menjadi tolak ukur kehidupan di Sumba, hingga tentang pandangan anak muda asli Sumba yang merantau jauh dari Sumba. Festival Sumba menjadi penting, menurut kami sendiri, ketika ada kontribusi dan keterlibatan dari masyarakat asli Sumba yang ada di Jogja. Mungkin bagi orang-orang awam yang non-Sumba, acara ini hanyalah pagelaran seni biasa. Namun, bagi orang-orang Sumba, acara ini menjadi salah satu cara untuk ‘pulang’ ke rumah. Dibangunnya Rumah Sumba disambut dengan decak kagum dan tatap mata penuh haru dari teman-teman Sumba. Acara ini menjadi penting ketika diskusi-lokakarya yang diadakan sedikit banyak menampar pesertanya terhadap kenyataan di Sumba. Diskusi dan lokakarya yang diadakan mengambil topik dan fokus utama terhadap isu-isu yang ada di Sumba—meskipun tidak semuanya. Tidak hanya tentang Sumba sebagai tujuan pariwisata, tetapi Sumba sebagai tempat tinggal, Sumba sebagai tanah kelahiran, dan sebagai rumah yang terus didamba untuk dipulangi.


Kedde sebagai Pertunjukan

“Woro-woro” tentang akan adanya dua ekor kerbau di FIB sudah tersebar cukup jauh rupanya, sehingga pukul tiga sore di hari Jumat (26/10), petak di depan gedung Soegondo sudah ramai dengan tatap-tatap penasaran. Beberapa panitia terlihat sibuk berlari ke sana kemari, memastikan semua komponen sudah siap untuk mengikuti prosesi Upacara Kedde. Dari arah lahan parkir Kolam Kodok, tiba-tiba terdengar teriakan khas Sumba yang mengejutkan semua orang. Lalu masuklah beberapa teman-teman Sumba dengan pakaian adat mereka yang, tentu saja, segera menjadi pusat perhatian. Kain-kain tenun yang dililit di badan, menutupi dan menjadi bagian dari diri mereka seketika membuat kami cukup terpana sebenarnya. Ketika kain-kain tenun yang selama ini dilihat hanya dari sisi estetikanya, kali itu ditunjukkan fungsinya dalam adat Sumba secara langsung. Dari raut wajah mereka pun terpampang senyum bahagia yang bisa kami asumsikan bahwa representasi dari rasa pulang ke rumah memang disuguhkan di Festival Sumba ini.


Ketika hari semakin petang, semakin banyak orang juga yang berkumpul mengelilingi Rumah Sumba, tempat teman-teman dari Sumba sedang mempersiapkan diri sambil juga membantu Prof Laksono untuk mengenakan pakaian adat Sumba pula. Tidak lama kemudian, dari belakang gedung Margono arak-arakan sudah terlihat siap untuk masuk. Dua ekor kerbau diarak oleh teman-teman dari Sumba yang didahului oleh sepasang suami-istri—asumsi kami—yang disambut oleh Prof Laksono di Rumah Sumba. Prosesi terus berjalan, dengan adanya tari-tarian dari teman-teman Sumba sambil pura-pura menebas leher dua ekor kerbau tersebut. Lagu nyanyian Sumba pun terdengar, diisi dengan kelakar-kelakar dan teriakan oleh teman-teman Sumba sendiri. Dengan tombak dan parangnya, mereka cukup membuat penonton menjaga jarak, entah karena tajamnya tombak dan parang atau karena gerakan-gerakan dari teman-teman Sumba yang cukup menyeramkan dengan benda tajam di tangan. Dua ekor kerbau tetap menjadi pusat perhatian, terutama ketika digiring ke depan Rumah Sumba dan ditunjukkan sebagai bentuk persembahan dan pemberian. Ketika prosesi selesai, terdengar dari pengeras suara penjelasan singkat mengenai Prosesi Kedde tersebut. Sedikit yang bisa kami tangkap karena suara teredam dengan ramainya penonton, bahwa prosesi Kedde ini diadakan ketika sedang ada acara atau pesta kematian. Kedde sendiri berarti membawa, dan yang dimaksud dibawa di sini adalah persembahan tadi. Biasanya, persembahan dan pemberian adalah berupa kerbau, kuda, atau pun babi—karena tiga binatang itulah yang dinilai mahal harganya di Sumba.


Upacara Kedde di Festival Sumba ini sifat dan fungsinya sebatas pertunjukan, untuk menunjukkan pada penonton setidaknya secuil dari tradisi di Sumba sana yang mungkin jarang atau bahkan tidak pernah mereka temui sebelumnya. Tidak ada kematian yang sedang dipestakan atau syukuran yang sedang disyukuri secara khusus. Hanya ada Festival Sumba yang, sekali lagi, ingin memberikan rasa Sumba yang sebenarnya meski hanya sepersekian bagian. Namun kemudian dalam benak kami muncul pertanyaan seberapa penting upacara Kedde hingga bisa merepresentasikan Sumba di Yogyakarta? Seberapa sakral kah upacara Kedde bagi masyarakat Sumba? Akankah Kedde kehilangan kesakralannya jika dibawa ke Yogyakarta?


Memaknai Sumba Tanpa di Sumba

Sumba dan sukunya merupakan kekayaan bagi Indonesia yang bisa dijual kepada wisatawan dengan jutaan daya tariknya. Masuknya pariwisata dengan berbagai pembangunan di dalamnya memunculkan sebuah permasalahan baru yang menarik untuk dikaji dan dibicarakan. Atas dasar itu, LAURA (Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi) UGM mencoba untuk menghadirkan kepingan Sumba ke Yogyakarta melalui Festival Sumba dengan tujuan untuk melihat Sumba dari berbagai macam sudut pandang. Kemunculan Sumba kecil di Yogyakarta ini juga turut didukung oleh komunitas Sumba di Yogyakarta dengan berbagai partisipasinya untuk menyemarakkan Festival Sumba. Beberapa hal yang cukup menarik perhatian adalah kehadiran ‘rumah Sumba’ yang didirikan di depan gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya dan upacara Kedde yang diselenggarakan sebagai salah satu rangkaian festival.


Upacara Kedde yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Festival Sumba dikemas dengan cukup meriah atas kolaborasi dari panitia penyelenggara dengan komunitas Sumba di Yogyakarta selaku peraga prosesi Kedde. Kehadiran prosesi Kedde cukup menarik perhatian khalayak karena jarang terlihat prosesi upacara adat suku dari luar Jawa digelar di lingkungan kampus. Prosesi Kedde semakin menarik perhatian dengan keberadaan dua ekor kerbau, yang dihias sedemikian rupa oleh teman-teman panitia bekerja sama dengan teman-teman komunitas Sumba, yang menjadi bagian dari upacara Kedde tersebut. Teriakan-teriakan khas Sumba semakin meriuhkan suasana selama upacara Kedde dan semakin menarik massa untuk menyaksikan prosesi tersebut. Adanya upacara ini selain menjadi sebuah hiburan bagi kami, juga menimbulkan berbagai pertanyaan. Seberapa penting upacara Kedde hingga bisa merepresentasikan Sumba di Yogyakarta? Seberapa sakral kah upacara Kedde bagi masyarakat Sumba? Akankah Kedde kehilangan kesakralannya jika dibawa ke Yogyakarta? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul begitu saja seiring dengan berlangsungnya prosesi Kedde tanpa sempat mendapat jawaban yang pasti, atas pertanyaan tersebut, dari berbagai pihak. Kami kemudian merefleksikan pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan berbagai hal yang sudah kami dapat di kelas selama proses perkuliahan bahwa sebuah upacara atau ritual mungkin bisa dihilangkan sesaat kesakralannya jika dijadikan sebagai sebuah hiburan atau pertunjukan—yang tentu saja sudah mengalami berbagai modifikasi. Kami bisa menyimpulkan seperti itu menilik apa yang sudah dilakukan masyarakat Bali atas berbagai tradisi disana. Namun yang kembali menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat Sumba, yang masih menjalankan prosesi Kedde di Sumba, bisa menerima terselenggaranya prosesi Kedde di Yogyakarta yang ditujukan untuk hiburan? Apakah masyarakat Sumba bisa memberi toleransi terhadap tradisi mereka ketika ditujukan sebagai sebuah tontonan?


Daftar Pustaka

Narayan, K. 2012. Alive in the Writing: Crafting Ethnography in the Company of Chekhov. Chicago: The University of Chicago Press.

Soerjadiredja, P. 2002. Marapu: Agama dan Identitas Budaya Orang Umalulu. Denpasar: Labant-FS Unud.

Vel, J. A. C. 2008. Uma Politics: An Ethnography of Democratization in West Sumba, Indonesia, 1986-2006. Leiden: KITLV Press.

42 views0 comments

Comments


bottom of page