Jumat, 26 Oktober 2018.
Hari yang tidak biasa untuk seluruh masyarakat Antropologi Budaya UGM. Hari itu kawasan FIB UGM seakan berubah menjadi Sumba. Seruan-seruan yang lantang dan melengking berkumandang di mana-mana. Tabuhan gong tradisional Sumba mengisi semua ruang suara. Perhatian setiap orang tertuju di halaman Gedung Soegondo. Memperhatikan hal yang tidak biasa. Memperhatikan hal yang unik. Memperhatikan hal yang asing. Memperhatikan prosesi Upacara Kedde.
Peristiwa yang jauh dari biasa ini merupakan salah satu rangkaian Pagelaran Seni Festival Sumba 2018, sebuah event yang diselenggarakan oleh Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA). LAURA sendiri merupakan sebuah lembaga riset dan studi yang dimiliki oleh Departemen Antropologi Budaya FIB UGM. Beruntung, kami mendapatkan kesempatan untuk menjadi anggota kepanitaan Festival Sumba 2018, sehingga dengan demikian kami harap dapat mengkisahkan betapa mengesankannya Pagelaran Seni yang diadakan pada hari Kamis-Jumat, 25-26 Oktober 2018, mulai dari proses persiapan hingga setelah kegiatan tersebut berakhir. Sebagai awalan, cerita Bram sebagai chauffeur akan mengisi tulisan ini, dan cerita Rista sebagai LO sekaligus orang mondar-mandir bandara-FIB-homestay akan melengkapi tulisan mengenai Pagelaran seni ini.
Chauffeur: Bram Si Penjelajah Jalan Solo (Bram’s Story)
Saya tergabung ke dalam tim Transportasi yang berarti, siap sedia untuk mengantar jemput semua orang atau barang yang dibutuhkan di dalam Festival Sumba 2018. Sederhananya, saya menjadi supir. Namun, saya begitu senang dan gembira menjalani hari-hari saya sebagai seorang supir, karena sedari awal saya telah menanamkan ke dalam benak saya bahwa inilah kesempatan saya untuk belajar dari kegiatan ini, terlepas dari peran saya sebagai seorang supir.
Sepanjang saya bekerja, saya mendapatkan limpahan informasi terkait Pagelaran Seni. Saya bisa tahu tentang plotting tempat, jadwal penampilan, daftar penampil, panggung yang disiapkan ternyata dipinjam dari KAGAMA secara gratis, tenda yang ada dipinjam dari Resimen Mahasiswa secara cuma-cuma, bahkan saya sampai tahu mengenai karakter penampilan bintang tamu Bottlesmoker yang suka meloncat-loncat di atas panggung.
Seluk beluk persiapan kembali saya dapatkan saat bertugas sebagai supir, waktu saya selama beberapa hari dihabiskan dengan menjelajahi Jalan Solo. Bagaimana tidak, saya harus menjemput panelis-panelis dari Bandara, atau mengantar mereka ke bandara. Tugas yang cukup spesial adalah saat menjadi supir bintang tamu dari Bandung, yaitu Bottlesmoker.
Saya mengetahui kisah mereka dari mendengarkan obrolan-obrolan antara Botllesmoker dengan LO, diskusi yang diisi oleh kedua personil Bottlesmoker, bahkan sampai saya sempat merokok bareng mereka! Dari situ, saya mengetahui bahwa Bottlesmoker merupakan digital music artist yang berfokus pada remix lagu-lagu tradisional dari berbagai daerah. Level mereka sudah sampai internasional. Saya sampai merasa minder ketika mengingat saya tidak mengetahui apapun perihal Bottlesmoker sebelumnya.
Rista’s Story: Sumba di Tepian
Kalau Bram bercerita mengenai pejelajahannya di Jalan Solo karena harus mondar-mandir Bandara-FIB, saya kurang lebih sama. Bukan suatu kebetulan namun hal yang sangat saya syukuri, yaitu berkesempatan menjadi LO penampil dan juga panelis, dan secara ganda merangkap menjadi antar-jemput panelis. Awalnya, saya tidak mengira tugas ini akan sespaneng dan menyenangkan sekali. Spaneng karena tidak ada waktu yang teratur dan tertata dengan baik, tapi menyenangkan karena saya bertemu dan mengenal banyak orang baru. Hal yang paling saya sukai saat melaksanakan tugas adalah; berkenalan dengan mahasiswa Sumba dan mondar-mandir tidak karuan dari bandara-kampus-penginapan. Jujur saja, hari-hari itu Jogjakarta macet sekali—mungkin juga karena hari-hari pulang orang-orang. Dua hal itu menjadi yang favorit karena saya belajar banyak sekali dari mahasiswa Sumba maupun panelis-panelis yang saya jemput dan layani. Mereka semua bercerita dan berbagi, membuat saya bersemangat dan tertawa walau sempat merasa lelah.
Secara singkat, sudah dipastikan saya lebih banyak berdiri, berjalan, dan berlari daripada duduk. Tetapi di sepanjang langkah dan perjalanan saya, menjadi hal baru karena kehadiran orang-orang hebat yang sudi berbagi cerita mereka. Terutama, tentang Sumba. Saya jadi banyak belajar mengenai sisi-sisi lain Sumba, tidak melulu tentang keindahan. Sumba sudah sangat di tepi, mereka butuh direngkuh lagi sampai begitu dekat dengan kita semua. Sumba sudah terlalu lama di tepian, begitu Mahasiswa Sumba mengatakannya.
Pagelaran Seni: Kala itu Sumba Dekat, Kala itu Kami di Sumba
Kami harusnya sudah mulai membahas Pagelaran Seni daripada kebanyakan curhat ke-sok-sibukan kami. Kamis, 25 Oktober 2018, hari pertama Pagelaran Seni mulai dibuka oleh MC meskipun depan panggung masih kosong. Wajar saja, kebanyakan orang memilih untuk berada di pinggir-pinggir agar tidak langsung tersorot lampu panggung. Namun, tidak terlalu lama, para penonton mulai duduk di rerumputan depan panggung. Kami turut duduk sambil menikmati malam yang agak sendu namun cukup terang terkena lampu panggung. Setelah dipikir-pikir, itulah alasan mengapa semua mata dapat terpaku ke panggung, sekeliling kami hanya ada lampu remang di depan mushola dan gedung Margono. Tapi, panggung sangat terang. Menjadi sorotan.
Pagelaran seni kemudian dimeriahkan dengan penampilan pertama yang dibawakan oleh mahasiswa Sumba. Mereka merupakan komunitas mahasiswa Sumba yang berada di Yogyakarta. Tarian yang mereka bawakan adalah tarian tentang perang. Kali ini yang menari adalah para lelaki. Mereka memakai pakaian adat yang seragam, memegang tameng di tangan kiri dan menggenggam sebilah parang di tangan kanan. Tarian yang dibawakan sangat ekspresif. Mereka tak segan untuk meloncat dan menghentakkan kaki di atas panggung. Saking semangatnya, panggung dan peralatan di atas panggung turut bergoyang-goyang seirama dengan hentakan kaki. Tarian mereka cukup menghentakkan bahu kami untuk naik turun berusaha mengikuti irama, sambil sedikit malu karena pergerakan kami yang kaku. Tarian selanjutnya dibawakan oleh para perempuan Sumba yang manis senyumnya dan tidak segarang para lelaki.
Selama pertunjukkan, kami juga cukup kaget ketika para mahasiswa Sumba, baik yang menari ataupun tidak, meneriakkan seruan-seruan yang sangat lantang dan melengking, Saat satu orang selesai meneriakkan suatu seruan, semuanya langsung menyahut dengan kompak namun spontan. Sungguh luar biasa! Atmosfir FIB yang biasanya kalem mendadak berubah menjadi seru dan hingar bingar.
Tidak hanya tari-tarian, ada juga musikalisasi puisi yang dibawakan mahasiswa Sumba. Mereka adalah Sandlewood, sebuah komunitas mahasiswa Sumba di UKDW Jogjakarta. Ada dua orang yang tampil, satunya memetik senar gitar untuk menambah emosi puisi yang dibawakan, satunya lagi membaca puisi buatannya yang entah darimana sangat menggetarkan. Ia membawakan sebuah puisi tentang kampung halamannya, Sumba. Ia menjeritkan emosi jiwanya tentang ketidakadilan yang ada di Sumba. Tentang pendidikan, tentang kesejahteraan, tentang kemanusiaan. Semua hal yang baginya menyakitkan namun tidak pernah hilang dari kampungnya. Begitu ekspresif, begitu menghentakkan hati. Kami sepakat, Ia ingin menyampaikan bahwa Sumba bukan melulu berisi keindahan dan budaya tradisional seperti yang dicitrakan agen pariwisata, namun Sumba memiliki segudang masalah yang menunggu untuk diselesaikan.
Jumat, 26 Oktober 2018. Hari pelaksanaan Pagelaran Seni kedua. Pagelaran ini diawali dengan simulasi Prosesi Kedde. Kebetulan kami baru saja selesai bertugas bersama untuk menjemput panelis, dan langsung menuju FIB melihat Prosesi Kedde. Ketika kami sampai, Suasana tampak ramai, lebih ramai dari kemarin. Orang-orang berkumpul mengitari pelataran Gedung Soegondo FIB, UGM. Tepatnya, mereka berada di sekitar Rumah Sumba. Semua orang sudah mulai merekam dengan beragam gadgetnya, setiap media sosial sepertinya juga sudah disiapkan.
Sepertinya bukan hanya kami, Semua orang tampak bertanya-tanya tentang apa yang akan dilakukan dalam prosesi yang hanya simulasi itu. Tak lama, sekitar 5 orang lelaki berpakaian adat Sumba, tak lupa sambil menggenggam sebilah parang, menari-nari di rumput pelataran, di depan Rumah Sumba. Alunan gong dan tabuhan kendang mulai berseru. Teriakan dan seruan yang membangkitkan semangat mulai dilantangkan. Sembari tidak mengerti, namun ingin tahu, kami memperhatikan dengan seksama. Menanti apa yang akan terjadi.
Selang beberapa menit, sekitar 15-an orang—sebagian besar lelaki—berpakaian adat dan berbaris. Ada yang memegang semacam panji yang terbuat dari kain tenun Sumba. Namun yang menarik adalah hadirnya dua ekor kerbau. Satu berkulit coklat dan satu berkulit putih kemerahan. Kami tahu, itu bukan sekedar kerbau di sawah seperti biasanya. Kedua ekor kerbau tersebut sangat bersih dan elok. Alunan musik semakin keras, seruan semakin lantang, tarian semakin menggila.
Prosesi Upacara Kedde pun dimulai. Rombongan yang membawa kerbau mendatangi sekelompok lelaki yang menari di depan Rumah Sumba. Ternyata rombongan yang datang itu memiliki sekelompok penari lagi. Jadilah kedua kelompok tersebut beradu tarian. Kemudian tarian berhenti. Seorang ibu didampingi beberapa orang dari kelompok pendatang maju menghampiri Profesor Laksono dari kelompok tuan rumah. Tiba-tiba suasana menjadi khidmat. Tarian berhenti. Alunan musik diam. Beberapa kalimat ritual kemudian diucapkan, lalu si ibu tampak mengenakan kain yang dibawanya kepada Prof. Laksono. Di sinilah pentingnya dan kebanggaan orang Sumba, karena ada pertukaran yang mereka lakukan. Pertukaran ini meskipun terkesan tidak imbang, namun akan terus dilakukan sebaliknya oleh generasi-generasi selanjuytnya. Tidak berhenti, terus berbalik.
Bagi Kami...
Pagelaran Seni yang kami hadiri ini membuat Sumba menjadi sedekat mungkin dengan kami. Rasanya, tidak perlu dulu membeli tiket pesawat—yang bagi kami cukup mahal—untuk ke Sumba. Pagelaran ini, lebih dari cukup—bagi kami—untuk merasakan Sumba. Bukan hanya itu, pagelaran ini membuat kami kagum pada orang-orang Sumba yang mengesankan dan berbakat. Cara mereka membawakan Sumba melalui tarian, nyanyian, dan puisi begitu dalam dan menggetarkan hati kami. Kami merasa terpanggil, untuk lebih dari sekedar tahu bahwa Sumba tidak baik-baik saja. Sumba sudah lama di tepian, dan terlalu lama tertepikan. Sebagian orang datang ke Sumba hanya untuk mencicip keindahannya, sebagiannya lagi sepeti kami—tidak tahu apa-apa—lalu mau sampai kapan?
Bagi kami, Sumba sudah terlalu dekat untuk diabaikan dan tidak dilihat lagi. Saat ini, kami hanya bisa menulis cerita dan pesan ini—sebagai refleksi kami—kalau itu baru Sumba. Yang lain, masih ada, dan mungkin sudah hampir hilang dari tepian. Kami, hanya bisa menulis cerita dan pesan ini—sebagai penyampaian—untuk orang-orang lain yang tidak sengaja maupun sengaja membacanya. Sumba tidak melulu tentang keindahan, mereka juga ingin dan perlu dirangkul lagi. Bukan hanya dicicipi dan ditengok.
Yulius Brahmantya Priambada
Charistya Herandy
Comments