Nabila Yudiawati Hanun
Mega Putri
Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto2, Kotabaru, Gondokusuman, Yogyakarta, menjadi saksi terselenggaranya rangkaian acara festival Sumba 2018. Festival sumba 2018 merupakan event departemen antropologi budaya yang terselenggara atas inisiatif Laboratorium untuk antropologi (LAURA). Festival ini diselenggarakan selama seminggu sejak tanggal 23-31 Oktober 2018. Di dalam acara tersebut diselenggarakan screening film, workshop, talkshow, pentas seni, semiinar, dan pameran foto dan kain.
Bentara Budaya berada di samping kantor penerbitan media Kompas, memiliki dua akses keluar masuk yaitu dari arah jalan Suroto maupun dari arah jalan alternatif menuju jalan Trimo. Pameran foto dan kain sendiri dimulai dari jam sembilan pagi hingga sembilan malam dari tanggal 23-30 Oktober 2018.
Suasana di dalam Bentara Budaya Yogya pada malam hari tentu berbeda dengan suasana pada siang hari. Ruangan yang berukuran delapan kali tujuh setengah meter hanya ruang kosong tanpa sekat dan hanya memiliki satu buah pendingin serta satu buah jam dinding berbentuk lingkaran sebagai ornamen. Ketika berkunjung saat malam kamis, 25 Oktober 2018 pukul 18.27, keadaan sepi pameran sepi, hanya satu pengunjung terlihat. Hal tersebut memberikan kesan beku namun syahdu berkat lagu yang diputar dan di tampilkan di TV LED.
Tiga buah TV LED dengan letak berjauhan ditempatkan pada ‘kaki tiga’, masing-masing menampilkan panorama Sumba dari berbagai aspek. Pengunjung akan melihat padang rumput yang luas, penampakan raut wajah suka cita dalam tarian adat, penampakan kuda yang berlari bebas, gadis-gadis menari dengan kain khas sumba khas di senja hari, hamparan rumah adat marapu, deburan ombak pantai sumba, dan tangan yang berlengkak lengkok mengikuti tarian angin, semua tergambar pada TV LED pertama dengan backsound lagu Humba. Lagu Humba pada TV LED tersebut menghadirkan suasana yang jauh berbeda dengan suasana di Yogyakarta, atau pada umumya suasana perkotaan. Lagu Humba pada TV LED didominasi dengan petikan akustik, gesekan biola pada beberapa menit, serta tempo yang relatif lambat dipadukan dengan gambar-gambar yang ditampilkan, mampu menghadirkan rasa kedamaian pada pengunjung. Pengunjung akan di suguhkan pada salah satu foto pemandangan padang rumput, di tempat itu pula alunan lagu Huma dan desiran angin AC (Air condisioner) membawa kita seolah-olah berada dalam foto padang rumput tersebut.
Pameran foto festival Sumba, menyajikan setidaknya lima puluh empat foto. Sesuai dengan pengamatan pengunjung, foto-foto yang telat tertata di dinding memiliki pembagian ruang. Pembagian ruang tersebut terbagi kedalam empat kluster, yaitu klaster kehidupan ekologi, sosial dan adat, ritus dan religi, serta ekonomi.
Sumba dan Panorama
Pada kluster pertama, beberapa foto menyajikan foto pemandangan di Sumba yang Indah. Seperti padang savana, gembala, babi yang sedang diberi makan, kerbau yang mandi, dan sebagainya. Beberapa gambar terasa familiar dan tidak asing. Setelah diingat ingat lagi, rupanya gambar tersebut ditampilkan juga pada music video humba yang di stel. Rasanya spot spot ini memang spot spot khusus untuk pariwisata dan panorama di Sumba.
Foto pertama menampilkan padang savana yang rasanya mirip dengan padang teletubis yang sering muncul di televisi, namun versi lebih baik. saya mengamati agak lama gambar tersebut, memposisikan saya berada di tempat tersebut saat fajar dan embun embun yang masih menempel di dedaunan.
Gambar-gambar selanjutnya lebih banyak menampilkan objek binatang. Dari semua gambar kluster pertama yang bernafaskan binatang, yang paling menarik adalah gambar seorang ibu tua yang duduk di atas batu dan dikelilingi anjing anjing. Saya katakan paling menarik karena saya rasa hal tersebut mengintrepetasikan kesendirian namun juga keramaian, kebersamaan namun tanpa ada kata. Mungkin itu juga yang menjadi gambaran orang orang tua di seluruh dunia, menunggu ajal sambil kesepian ditengah keramaian. Penuh stigma dari yang muda dan sulit mengajak orang lain bicara.
Kehidupan Sosial dan Adat Sumba
Membaca buku buku bertemakan sumba, membuat saya sedikit memiliki pengetahuan mengenai kehidupan di tempat tersebut. Dalam kluster ini ditampilkan kehidupan sekilas seperti orang mencari air, perempuan yang sedang melakukan pewarnaan kain, anak anak yang sedang bermain, dan sebagainya.
Menurut saya, apa yang ditampilkan di dalam gambar cukup mencerminkan kehidupan Sumba yang selama ini saya baca di dalam buku yaitu antara kesenangan diantara kesengsaraan. Misalnya dalam foto bapak bapak yang sedang mengambil air dari ember dan menuangkannya kedalam jeriggen, air yang dituangkan coklat dan kelihatan kotor, saya kurang tahu air tersebut dibuat untuk mandi atau makan, atau buang air, namun saya rasa Sumba masih memiliki kesulitan mendapatkan air bersih.
Ada pula foto tiga orang lelaki yang tengah meletakkan daun kering keatas rumah sebagai atap. Foto tersebut mencerminkan budaya gotong royong yang lekat pada masyarakat Indonesia. Beberapa foto yang menampilkan aktivitas sosial yaitu menanak nasi dengan kayu dengan suasana desa karena uap kayu bakar yang mengepul keatas. Peralatan masak pun sangat sederhana bahkan sedikit, hanya beberapa peralatan penting seperti ketel, piring dan wajan. Kluster ini juga didukung dengan foto yang menampakkan pekerjaan masyarakat sumba, yaitu pertanian dan peternakan, khususnya peternakan babi hitam. Foto yang diambil oleh Gunawan menunjukkan bahwa besar kecilnya babi diukur dari jumlah orang yang memikul. Semakin banyak orang yang memikul maka semakin berat babi yang dibawa. Babi dengan ukuran kecil hanya dibawa dengan dipikul dua orang. Babi besar dibawa dengan tandu yang dipikul empat orang atau lebih.
Kemudian adapula gambar mengenai pewarnaan alami di Sumba yang menggunakan warna indigo. Saya sangat tertarik pada hal ini karena penenunan dan pewarnaan kain Sumba dilakukan sepenuhnya oleh perempuan karena proses ini dianggap sakral. Penjelasan atau deskripsi dari tulisan ini kurang jelas karena saya kurang mengerti apa yang dimaksud dengan sakral atau bagian mana dari penenunan dan peremuan menjadi sakral. Tapi saya kemudian teringat sebuah pertanyaan dari perkuliahan kelas studi gender yang diampu oleh mbak suzie, kira kira seperti ini,
“ Apakah sebenarnya hal hal yang diwanitakan sebenarnya adalah cara untuk memprivatisasi perempuan?”
Ada dua foto yang menarik perhatian kami, keduanya saling bertentangan suasana yaitu foto yang diambil oleh Transpiosa Riomandha, yang menggambarkan seorang ibu dan anak yang menjadi generasi terakhir yang tinggal di Wunga, kampung asal Marapu. Dalam foto tersebut sang ibu tengah menggendong anaknya (batita) dan memandang hening jauh kedepan di dalam ruang gelap rumah Sumba. Kedua kluster tersebut seolah menampilkan secara nyata apa yang ada di Sumba karena ditunjang dengan alunan musik Sumba.
Foto kedua yang menarik adalah gambar anak anak Sumba. Dua anak laki laki yang sedang bermain pura pura sedang berpasola (lomba berkuda) dan tiga anak perempuan yang sedang menatap kamera malu-malu. Mengapa saya katakan menarik, karena gambar tersebut memberikan kesan menyenangkan. Rasanya seperti sedang menatap masa depan yang cerah diantara seribu masalah tentang hidup. Hangat seperti matahari dikala hujan.
Kepercayaan Sumba
Marapu sering digambarkan oleh apa yang di percayai masyarakat Sumba, misal dalam foto-foto upacara seperti anak-anak bermain dengan api saaat upacara Marapu di Wunga, Sumba Timur. Gambar tersebut memberikan kami suatu pengetahuan baru mengenai keberadaan dan status api di tengah masyarakat Sumba. Upacara lain yang ada ditengah masyarakat adalah upacara panen. Dalam foto tersebut, tergambar para perempuan penampah beras pada upacara panen di Kambata Wundut, Kecamatan Lewa, Sumba Timur tengah beramai-ramai membersihkan beras dari kotoran.
Namun ternyata setelah melihat foto-foto di gambar tersebut, ada foto lain yang menyatakan terdapat percampuran antara marapu dengan agama kristen-katolik di Sumba.
Selama ini, saya merasa bahwa agama kristen dan katolik berkembang pesat di Sumba, ternyata hal tersebut tidak juga, melihat dari foto sebuah gereja yang terlihat lusuh dan tidak terpakai. Namun, yang membuat saya bingung adalah terdapat gambar bagian dalam gereja yang bagus dengan lilin lilin dan salib dan tembok dinding, sedangkan foto sebelumnya, gereja lusuh tersebut menggunakan kayu. Mungkin kami salah melihat. Hal yang menurut kami paling menarik adalah terdapat foto patung yesus dengan kearifan lokal yaitu digunakannya kain khas sumba untuk menutupi badan yesus. Saya rasa akulturasi seperti ini sama rasanya seperti di jawa mengenai kebudayaan kejawen dan islam.
Perdangangan Sumba
Kami merasa harusnya bagian ekonomi harusnya diletakkan disebelah sosial dan adat, karena rasanya kedua hal tersebut tidak terpisahkan.
Ekonomi sumba banyak di bingkai dari gambar-gambar pasar dan perdagangan yang terjadi, mulai dari perdangangan daging dan bumbu dapur. Saya rasa yang paling menarik adalah betapa sedikitnya yang diperdagangkan di pasar terutama bumbu dapur. Membandingkan dengan pasar pasar di Yogyakarta, pembeli bisa membeli bawang merah dan putih sesuai berat yang diinginkan, namun dalam gambar, bawang merah dan putih serta bumbu bumbu lainnya di paketkan.
Sumba: Merangkul Saudara Lewat Mata
Pada pameran foto di festival Sumba yang dilankasanakan di Bentara Budaya Yogyakarta, menghadirkan serangkaian foto yang menceritakan tentang kehidupan Sumba. kehadiran kurator yang sangat dibutuhkan tidak hadir dalam pameran tersebut. Kurator dapat memberikan penjelasan secara verbal maupun tulisan baik dalam alasan pemilihan foto maupun konteks foto dengan masyarakat. Sehingga pengunjung akan memunculkan interpretas-interpretasi masing-masing atas foto-foto tersebut.
Pengunjung festival tersebut sangat eksklusif. Hal ini saya simpulkan setelah saya bertanya latar belakang pengunjung yang datang dalam malam pameran foto tersebut. Rata-rata pengunjung memiliki tujuan yang spesifik atas kunjungan mereka dalam pameran tersebut. Seperti salah satu pengunjung dimana latar belakangnya adalah seniman lukis, ia sengaja mengunjungi pameran foto sumba untuk mendapatkan inspirasi dalam melukis. Adapun pengunjung lainnya memiliki latar belakang fotografer yang menggeluti dunia foto dan konteks sosial foto. Ia mengungkapkan bahwa sebuah pemandangan dalam foto akan menarik dan unik apabila ditampilkan pada masyarakat yang masih awam dengan pemandangan dalam foto tersebut. Ia mengungkapkan rasa penasarannya terhadap respon masyarakat sumba terhadap pameran foto ini, dan membandingkannya dengan respon pengunjung dari daerah diluar sumba. Rata-rata pengunjung pameran foto sumba memiliki motif tertentu yang dapat menunjang karir mereka.
Festival Sumba merupakan serangkaian acara yang bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai dan budaya masyarakat Sumba. Melalui pameran foto Sumba ini, visi festival sumba telah tercapai pada beberapa kalangan yang bersifat ekslusif. Informasi pameran foto sumba kurang terjamah oleh masyarakat umum. Tidak adanya kurator maupun penjelasan foto dalam konteks sosial menjadikan pameran tersebut hampa makna. Namun alur dan suasana yang terbangun dari pameran tersebut telah menutup kekurangan pameran foto, sehingga pengunjung secara emosiaonal telah terikat untuk mendalami sumba melalui rasa (intrinsik) bukan sekedar penjelasan (ekstrinsik).
Comments