Anak dalam Sudut Pandang Antropologi dan Psikologi
- Athif Tsabit Prasojo
- Dec 28, 2018
- 12 min read

Tugas akhir mata kuliah Komposisi dan Menulis Kreatif ini adalah membuat artikel mengenai suatu konsep yang dibicarakan dalam Antropologi dan kemudian mendiskusikannya dengan mahasiswa dari fakultas atau jurusan lain di Universitas Gadjah Mada yang selaras dengan konsep yang dipilih tersebut. Kami tertarik untuk memilih konsep anak dan mendiskusikannya dengan mahasiswa dari Fakultas Psikologi. Teman yang kami ajak berdiskusi pada hari Senin, 10 Desember 2018 di dekat Bonbin ini bernama Muhammad Fadhil Rasyid dengan NIM 17/412968/PS/07423 dan Dimas Bayu Nugroho dengan NIM 17/412943/PS/07398, keduanya merupakan mahasiswa semester tiga di Fakultas Psikologi UGM.
1. Anak dalam Sudut Pandang Psikologi
Anak dalam sudut pandang Psikologi adalah manusia yang dilahirkan oleh seorang ibu. Pada dasarnya ikatan yang terjadi antara anak dan ibu itu tidak sebatas pada saat dia dilahirkan, tapi juga pada saat anak tersebut berada dalam kandungan. Mulai sejak dikandung itu terbentuk sifat kelekatan antara ibu dan anak tersebut. Fadhil memberi contoh singkat pengaruh itu adalah kebanyakan anak jika ditanya lebih dekat pada ayah atau ibu sebagian besar menjawab mereka lebih dekat pada ibu. Pada dasarnya karena walaupun ayah juga ada, namun dalam Psikologi jika peran ayah tersebut tidak menonjolkan sesuatu yang lebih dari Ibu dalam mengasuh anak, pasti anak akan merasa lebih dekat pada ibu. Dimana ibu merupakan sosok yang memenuhi fungsi biologis saat pertumbuhan kita baik itu saat dalam kandungan dan masa awal kelahiran, yang selanjutnya akan ada afeksi dan skin to skin contact pertama yang sangat berpengaruh, dan hampir seluruh bayi mendapat itu secara lebih intensif dari sosok Ibu. Bahkan menurut Bayu dan Fadhil, dalam kuliahnya mereka juga mendengar fakta bahwa anak secara tidak sadar tau mana ibu mana orang lain, meski mereka terpisah untuk waktu yang lama sejak bayi sekalipun dan tidak pernah mengetahui wajahnya.
Fadhil juga memberi fakta menarik bahwa di Psikologi, bau dari anak juga menimbulkan hormon yang memicu atau menjadi stimulus ibu untuk mengeluarkan salah satu hormon yang Ia lupa namanya. Namun hormon tersebut memiliki efek positif dan negatif. Negatifnya adalah suatu kondisi yang kerap disebut sebagai sindrom setelah melahirkan, dimana ibu itu akan depresi. Sedangkan positifnya adalah ibu akan merasa kangen atau rindu, ingin merawat anaknya, afeksi yang mendalam, dan sebagainya. Selain itu Fadhil juga menekankan pada bersihnya seorang anak yang baru lahir karena anak tersebut tidak membawa nilai moral, baik Teori Psikoanalisa maupun Teori Belajar yang ada dalam Psikologi keduanya sepakat untuk tidak mengemukakan aspek moral sebagai sesuatu yang dibawa sejak lahir. Perkembangan moral oleh ahli Psikonanalisa sendiri dipandang sebagai proses internalisasi norma dan adanya kematangan dari sudut organik-biologis. Emosi dan sosial anak juga muncul akibat terbentuk oleh lingkungan saat anak berada pada masa bayi hingga masa sekolah.
A. Perkembangan Anak
Perkembangan anak dalam Psikologi dihitung dari awal mulai ada atau sejak masih janin dalam kandungan. Perkembangan anak disini lebih mengarah pada perkembangan manusia, tapi dengan konteks anak saat ini artinya tidak menyentuh ranah perkembangan remaja, karena dalam Psikologi remaja sudah memasuki tahap yang berbeda.
Ada pengklasifikasian anak dalam rentang perkembangan manusia di Psikologi. Pengklasifikasian Psikologi yang paling utama mengenai anak lebih pada rentang usia anak tersebut yang kemudian agar lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas menggunakan istilah masa pre-natal, masa bayi, masa pra-sekolah, dan masa sekolah saja. Dari perbedaan usia itu juga, dalam dunia Psikologi nanti di dalamnya juga akan ada perbedaan lainnya yang sangat banyak cabangnya sehingga akan terlalu panjang jika dijelaskan semua. Contoh yang Fadhil beri adalah anak usia dua dan empat tahun, meski sama-sama berada dalam rentang masa pra-sekolah pasti tidak sama persis perkembangannya. Dalam rentang usia ini ada yang sudah bisa berbicara, berjalan, dan lain sebagainya yang membutuhkan proses belajar dan waktu berbeda, tergantung kemampuan anak. Selain sebatas usia, juga ada perkembangan kognitif dan intelejensi, bahasa, emosi, dan masih banyak lagi.
Perkembangan anak dalam klasifikasi umur di Psikologi:
1. Masa pre-natal, perkembangannya baru sebatas pada perkembangan-perkembangan kearah pembentukan fisiologi bayi tersebut seperti perkembangan janin, penyerapan gizi, dan sebagainya saat berada dalam kandungan.
2. Masa bayi, berada di rentang usia 0 sampai 2 tahun. Dalam masa bayi ini anak mulai mengenal dan tahu dunia di luar janin itu seperti apa, oleh karenanya dalam masa ini terjadi banyak perkembangan fisik, motorik, dan kognitif.
3. Masa pra-sekolah, ada di rentang 2 sampai 6 tahun. Masa ini anak sudah mulai mengetahui kompleksnya dunia pada hal-hal abstrak seperti bahasa, cara berfikir, dan sosial. Anak sudah mengetahui orang sedih seperti apa, ibu sedang marah seperti apa, dan sebagainya.
4. Masa sekolah yang ada di rentang 6 sampai 12 tahun ini anak dapat merasakan dan mulai memahami dunia yang lebih luas lagi, missal adalah cara berpikir yang memecahkan masalah atau problem solving, berkomunikasi dengan baik, guilty feeling atau rasa bersalah yang menjadikan anak itu berbuat baik, religius, dll. Intinya anak sudah matang pada masa ini.
Dalam diskusi kami, Bayu juga menjelaskan mengenai perkembangan emosi. Perkembangan emosi dalam Psikologi disebut self-conscious emotions steps. Berikut adalah penjelasan singkat dari penuturannya berdasarkan masa perkembangannya:
1. Perkembangan emosi pada bayi. Muncul dalam bentuk empati, sedih, cemburu, takut, malu, dan sebagainya yang masih sederhana. Ekspresi dan emosi sosial Interaksi emosi antara bayi dan pengasuhnya bersifat resiprokal. Menangis sendiri adalah cara penting dalam komunikasi bayi (Basic cry, Anger cry, dan Pain cry), kemudian tersenyum yang juga mempunyai peran besar dalam perkembangan sosial awal (Reflexive smile dan Social smile). Rasa takut kemudian muncul pada usia 6 bulan dan puncaknya pada usia 18 bulan. Stranger anxiety atau ketakutan pada orang lain intens antara 9 dan 12 bulan Kemunculannya dipengaruhi oleh konteks sosial dan karakter dari orang lain tersebut, kemudian ada separation protest atau menangis saat ditinggal orang yang mengasuhnya. Pada tahun pertama, bayi secara bertambah mengembangkan kemampuan mengurangi intensitas dan durasi reaksi emosi. Pada tahun kedua, bahasa digunakan untuk . emosi.
2. Perkembangan emosi pada kanak-kanak awal. Muncul emosi yang lebih kompleks dari tahap sebelumnya, seperti rasa bangga, malu, bosan, dll. Kemampuan merefleksikan emosi sejalan dengan meningkatnya usia. Usia 2 sampai 4 tahun anak mengalami peningkatan kemampuan mendeskripsikan emosi. Usia 4 sampai 5 tahun anak mengalami peningkatan kemampuan refleksi emosi, dan pada usia 5 tahun anak mampu mengekspresikan emosi pada situasi tertentu secara tepat.
3. Perkembangan emosi pada kanak-kanak tenga dan akhir. Merupakan masa dimana pemahaman tentang emosi semakin meningkat. Ditandai peningkatan dalam kemampuan untuk menekan atau menyembunyikan reaksi emosi negatif. Menggunakan strategi yang self-initiated untuk mengarahkan perasaannya. Bahkan hasil penelitian kecil yang dilakukan Fadhil bersama teman-temannya juga mengungkapkan mulai pada usia 10 tahun anak mulai menggunakan strategi kognitif untuk mengatasi stres. Selain itu, anak juga mengalami peningkatan kemampuan menilai peristiwa lebih lengkap yang menyebabkan reaksi emosional, mampu menilai dan mengendalikan situasi yang tidak menyenangkan, dan meningkatkan kapasitas empati.
B. Pengasuhan dan Kaitan Lingkungan Eksternal Anak
Menurut Fadhil, pengasuhan itu bagaimana cara sang orang tua atau pengasuh dalam mendidik anak. Ia memberi kami kalimat dari seorang tokoh dalam Psikologi bernama Bowlby yang menekankan pentingnya kelekatan pada tahun pertama dan responsifitas pengasuh. Gaya pengasuhan dan kelekatan, akan sangat mempengaruhi bagaimana kelekatan anak kedepannya pada orang tua atau pengasuhnya.
Secara umum di Psikologi pengasuhan anak ada berbagai tipe, namun disini Fadhil dan Bayu menjelaskan tipe-tipe yang umum saja. Ada orang tua yang mengasuh anaknya dengan cara diktator, dimana murni dari keinginan orang tua agar anaknya menjadi apa tanpa ada memikirkan apa yang sebenarnya diinginkan anak. Ada yang semi diktator, dimana anak digiring oleh orang tua tapi juga ditanyakan pada anak tersebut memiliki keinginan apa. Kemudian ada anak-sentris, dimana keinginan anak itu yang sangat diutamakan (selama itu positif) dan orang tua bertindak sebagai fasilitatornya. Terakhir, ada tipe pengasuhan abandon, Fadhil mengatakan, “kowe meh dadi gembel sak karepmu, meh dadi wong sing genah yo sak karepmu”, artinya disini orang tua atau pengasuh tidak campur tangan sama sekali dalam pengasuhan dan tidak menjalankan fungsinya.
Dari pola asuh di atas ini akan membentuk berbagai kepribadian anak itu sendiri. “Memang nanti akan ada fungsi dari Sigmund Freud, apa yang terjadi di masa lalu akan membentuk kepribadian kita, cuma kalo diliat lagi sekarang, nature (alam) dan nurture (lingkungan) juga membentuk kepribadian kan”, kata Fadhil. Untuk mengetahui suatu fenomena, misal bullying yang marak dijumpai di anak-anak, menurut Fadhil dapat dikaji ulang dengan teori ekologinya Bronfen Brenner. Pertama ada individual yang mencakup perilaku dari diri sendiri, misal jenis kelamin, usia, kesehatan, dll. Lalu ada mikro sistem, seperti keluarga, teman bermain, dll. Kemudian ada meso sistem, seperti media massa, komunitas, dan sebagainya. Terakhir ada makro yang paling besar yakni seperti budaya, kebangsaan, ekonomi, masyarakat, dll.
Jadi untuk mengetahui kenapa si anak dapat melakukan fenomena bullying tidak usah jauh-jauh pakai suatu sudut pandang, cukup kembali teorinya Bronfen. Misal bullying tadi, di di teori ekologi Bronfen Brenner tersebut di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran, yang nanti di dalamnya ada lingkaran-lingkaran kecil lainnya, untuk memudahkan pemahaman kita, kami, Bayu, dan Fadhil membuat perumpamaan berikut dalam diskusi kami berempat:
1. Untuk kasus bullying, pertama dari ekologi individual anak ini merupakan seorang laki-laki.
2. Kemudian di mikro yang sangat berpengaruh bagi anak. Aspek yang menjadi lingkaran paling dekat sama anak misal keluarga, bagaimana anak itu diasuh oleh keluarganya, apakah dari keluarga yang kurang harmonis dan anak meilihat kekerasan disitu. Dari hal seperti ini timbul sifat agresif dari anak, misal saat ada laki-laki menampar perempuan itu tak apa. Kemudian berpindah ke lingkaran yang lain lagi dalam ekologi mikro ini, seperti ke sosio-cultural peer (teman sebaya), saat Ia hidup dari lingkungan pertemenan yang tidak baik dan jauh dari berbagai norma, sifat agresif sebelumnya dapat semakin terpenuhi.
3. Selanjutnya pada ekologi meso, anak yang agresif tadi menonton film atau bermain game yang menampilkan kekerasan, yang sangat cocok dengan perilakunya dia di ekologi mikro sebelumnya.
4. Kemudian naik lagi ke ekologi makro, saat anak sudah mulai dewasa dan menemukan konsep spiritualitas, agama, politik, ideologi, ini juga akan menimbulkan fenomena-fenomena lain yang mendukung agresifitasnya. Di ekologi makro hal tersebut tadi turut berperan, meski seringkali tidak disadari. Terlepas dari bullying, contohnya adalah saat ada anak lahir di Amerika dan dari keluarga yang sangat bebas, maka akan sangat berbeda dengan anak yang lahir di Indonesia dan dari keluarga yang religius.
Sehingga, untuk mengkaji fenomena perilaku anak itu atau berbagai fenomena lain yang terjadi pada manusia, Fadhil dan Bayu berkata dalam Psikologi teori Bronfen Brenner tersebut sering digunakan. Menurutnya, pengasuhan dan lingkungan eksternal sangat membentuk kepribadian anak. Indikator-indikator perilaku akan membawa bagaimana kepribadian anak tersebut.
C. Kesehatan
Kesehatan anak dalam dunia Psikologi lebih ditekankan pada kesehatan mental, tidak hanya anak melainkan juga remaja, orang dewasa, bahkan lansia. Dalam kesehatan mental, yang punya peran tidak hanya dari diri sendiri tapi juga ada faktor dari luar, seperti keluarga yang mempunyai peran penting untuk saling memberi dukungan. Kini kesehatan mental sangat dianggap remeh, contohnya ketika ada anak sedang sedih atau tidak dihargai kemudian malah mendapat perkataan seperti “Halah cuma gitu aja kok sedih”, “Cowok kok nangis”, dan sebagainya. Psikologi menurut Fadhil, sangat menjunjung pemahaman bahwa kemampuan setiap orang itu berbeda-beda, tidak bisa di sama ratakan.
Fadhil kemudian memasukkan teori dari Maslow tentang hierarchy of needs, yang di dalamnya Maslow mengatakan ada berbagai kebutuhan dari yang mulai mendasar hingga kebutuhan untuk mewujudkan kehidupan yang sepenuhnya atau yang Maslow sebut sebagai self-actualization atau aktualisasi diri. Diantara dari yang mendasar hingga aktualisasi diri ini ada berbagai langkah yang harus dipenuhi, seperti fisiologis, rasa aman, dicintai, dan sebagainya. Dalam teori itu disebutkan kalau kita memang membutuhkan orang lain. Manusia membutuhkan penghargaan untuk mencapai efikasi diri atau kkeyakinan diri akan kemampuannya untuk melakukan suatu hal.
Kembali lagi pada masalah kesehatan mental ini, jika kita menganggap remeh kesehatan mental ini maka kebutuhan ini tidak bisa terpenuhi dan sang anak tidak bisa mencapai tahap aktualisasi dirinya. Karena tidak tercapai aktualisasi diri itu si anak akan membutuhkan pelampiasan akan hal tersebut. Contoh yang Bayu berikan adalah bentuk-bentuk seperti sang anak yang nanti akan suka menyendiri, atau bisa juga anak tersebut akan merasa tidak butuh orang lain yang kemudian dikenal sebagai apatis, bahkan depresi yang kemudian muncul keinginan untuk bunuh diri. Bullying sangat banyak terjadi karena ada anak yang dianggap remeh dan dianggap berbeda atau khusus. Misal saat ada anak yang tidak bisa sepakbola, kemudian ia menjadi tidak memiliki teman di sekolah karena tidak ikut bermain bola bersama mereka, dan berbagai hal semacamnya. Berbagai pengalaman tidak enak di masa anak-anak ini sangat mempengaruhi perkembangan anak kedepannya, seperti turunnya self-esteem, tidak baik dalam beradaptasi, dan susah bersosialisasi.
Selain itu, menurut Fadhil yang perlu diperhatikan dari anak adalah persoalan apresiasi. Saat ini dengan berbagai tekonologi dan kemudahan yang ada, anak saat ini banyak yang tidak mau melakukan usaha. Ia menyebutnya “Angel-angelan, ra gelem obah, padahal gampangane bocah jaman mbiyen dikon mlaku neng warung wae wis kulino, ra sambat blas”. Maka ketika anak melakukan suatu usaha, sangat dibutuhkan mendapat apresiasi agar Ia sadar dan tahu bahwa itu hal yang baik dan memotivasinya untuk berbuat baik pula. Fadhil berkata jika berbagai masalah ini merupakan pekerjaan yang menjadi tanggungan utama Psikologi untuk menumbuhkan kesadaran pada masyarakat di Indonesia untuk tidak meremehkan segala sesuatu, bahkan sudah menjadi tema utama berbagai kampanye di fakultasnya.

2. Anak dalam Sudut Pandang Antropologi
Dalam antropologi, ada mata kuliah yang membahas tentang anak dari prespektif antropologi, yaitu Kajian Anak. Mata kuliah tersebut belum sempat kami ikuti sebelumnya karena mata kuliah ini sudah tidak ditawarkan. Jadi, kami memutuskan untuk berdiskusi dengan salah satu kakak tingkat kami, Mbak Nana, angkatan 2015. Kebetulan, ia sangat menyukai kajian anak dan ia berencana mengambil topik skripsi tentang kajian anak. Namun, niat itu mengurungkan niatnya karena suatu hal.
Anak dalam sudut pandang antropologi adalah salah satu individu dan bagian dari kebudayaan yang diasuh, dibesarkan dan dirawat sebaik mungkin oleh dua individ (ayah-ibu) yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Seorang anak yang diasuh dengan dua individu tersebut akan memiliki kebudayaan yang berbeda. Itulah yang disebut asimilasi. Anak disimbolkan sebagai contoh asimilasi karena anak merupakan percampuran dua budaya dari orangtuanya.
Dalam antropologi sendiri, Mbak Nana menjelaskan fokusnya anak dalam kajian anak. Anak dalam prespektif antropologi disebut sebagai investasi dalam keluarga. Mengapa disebut investasi dalam keluarga? Tidak dipungkiri lagi, sebelum lahir bahkan ketika anak sudah dewasa pun anak dituntut dan berikan tugas serta beban yang berat. Kemudian, orangtua menganggap dengan mempunyai anak, hidup mereka dimasa tua akan nyaman dan aman, terhindar dari resiko perceraian, dan beranggapan bahwa anak membuat rumah tangga harmonis. Tetapi, kembali lagi, jika memakai prespektif antropologi, kita bertanya lagi, bagaimana jika keluarga tidak harmonis? Apakah itu juga salah anak? Mengapa anak dianggap bisa mengharmoniskan keluarga? Ada anggapan bahwa jika orangtua yang memiliki anak disabilitas, cenderung banyak yang bercerai (e.g.,Joesch & Smith, 1997;Mauldon, 1992). Jika seperti kasus diatas, anak lagikah yang bersalah?
A. Perkembangan Anak
Dalam antropologi, menurut dosen pengampu Antro-psikologi, Bu Atik, mengatakan bahwa perkembangan anak tergantung oleh didikan seorang ibu. Jadi, ada anggapan bahwa seorang anak yang ditinggal oleh ibunya (cerai, meninggal) lebih buruk perkembangannya dengan yang diasuh oleh ibunya. Namun, Mbak Nana kurang menyetujui statement ini. Selain Bu Atik, dosen pengampu kajian anak, Mba Suzie, mengatakan perkembangan anak justru dilakukan oleh seluruh dunia. Mengapa demikian? Seorang anak yang lahir, akan memiliki budaya yang diterapkan oleh kedua orangtuanya. Kemudian, sang anak berkembang melalui lingkungan, kebiasaan, budaya. Dimana kebiasaan anak tersebut dapat melalui internet, media sosial yang sudah dapat mengakses ke seluruh dunia dan dapat diikuti oleh anak itu. Jadi benar menurut kami, apabila perkembangan seorang anak dipengaruhi oleh dunia. Dalam kajian anak di Eropa, ada anggapan bahwa tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh biologi anak-ras. Dalam kajian anak di Amerika, salah satu tokoh, Franz Boas mengatakan tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, dan yang terakhir anggapan dari seorang wanita, yang sudah terkenal dalam kajian anak, Margareth Mead, mengatakan bahwa tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh pola asuh dan sosialisasi.
Perkembangan anak dalam antropologi tidak dilihat seperti psikologi. Dalam antropologi, Mbak Nana mengatakan justru perkembangan anak yang dipelajari justru melalui pertanyaan seperti bagaimana anak bisa mandiri, bagaimana ia bisa berani untuk keluar tanpa pengawasan orang tua, kenapa respon anak jika dimarahi seperti itu, kenapa anak suka marah jika tidak dituruti permintaannya, dan lain sebagainya. Jadi, dalam antropologi perkembangan anak dilihat dari sisi eksternalnya, sisi sifat dan budaya sang anak seperti apa, mencari tahu mengapa sikap 'a' muncul, sikap 'b' muncul.
B. Pengasuhan dan Kaitan Lingkungan Eksternal Anak
Pola pengasuhan anak dalam antropologi relatif hampir sama dengan pandangan psikologi. Namun, di antropologi, pola pengasuhan lebih dilihat ke kebiasaan-kebiasaan atau budaya orangtua dan lingkungannya. Seperti yang sudah kami katakan diatas, bahwa anak merupakan asimilasi dari orangtuanya. Anak adalah gabungan dua kebudayaan yang menyatu. Anak itu nantinya akan mengikuti budaya yang dominan pada kesehariannya. Dalam kajian anak, pola pengasuhan diajarkan dengan cara komparatif. Pola pengasuhan di antropologi dilihat dengan cara membandingkan pola pengasuhan dari beberapa negara. Sebagai contoh, Mongol, dan Amerika. Tiga negara itu mengasuh anak-anaknya sesuai dengan kebudayaan di negara itu atau kebudayaan orangtuanya. Di Mongol, anak-anak dekat dengan peternakan, di Amerika, anak-anak lebih dimanjakan dengan permainan dan material.
Kami diskusi dengan salah satu teman. Ia mengatakan bahwa di antropologi pendidikan dibahas mengenai pola pengasuhan dalam bidang pendidikan. Orangtua di Indonesia umumnya sering memberi prasangka-prasangka mengenai etnis dan agama kepada anaknya sejak kecil. Sebagai contoh, orangtua keturunan Tiongkok menyuruh anaknya untuk menjaga jarak dengan anak-anak pribumi. Begitu juga orangtua pribumi. Hal ini sebenarnya tidak baik jika diterapkan terus menerus kepada anak. Nantinya, ketika anak sudah dewasa, bagaimanapun respon sang anak, mereka akan tetap ingat oleh omongan itu. Dari contoh kasus ini, kami dapat melihat bahwa pola pengasuhan anak dalam prespektif antropologi cenderung melihat kepada budayanya. Budaya yang membentuk perilaku anak, budaya yang membentuk tumbuh kembang anak, budaya yang membentuk kepribadian anak. Budaya itu sendiri yang berasal dari orangtua.
C. Kesehatan
Kesehatan anak di antropologi juga dilihat dari bagaimana budaya memandang kesehatan anak. Salah satu teman kami, Fikra, menanggap bahwa budaya membentuk mental seseorang. Mungkin sedikit dekat dengan psikologi, bahwa kesehatan anak yang diperhatikan lebih condong ke mental. Namun, dalam antrpologi juga dibahas tentang budayanya. Budaya yang dimaksud disini adalah kebiasaan bagaimana orangtua di daerah bahkan negara yang berbeda dalam menghadapi sang anak ketika sakit.
Kemudian, di antropologi dalam bidang kesehatan juga mempelajari terkait mitos-mitos, kepercayaan yang ada di suatu daerah. Sebagai contoh ada anggapan di suatu daerah yang mengatakan bahwa jika bayi kejang-kejang itu artinya kemasukan roh halus. Padahal kejang-kejang tersebut bisa disebabkan karena demam tinggi atau penyakit lainnya. Selain itu, dalam tulisan Philip N. Cohen dan Miruna Petresceu-Prahova, dituliskan bahwa anak yang disabilitas lebih baik hidup bersama orangtua yang bercerai, terutama ibunya, daripada ada anak lain.
Pada intinya, antropologi melihat semua aspek bidang dengan pengamatan dan menggunakan prespektif. Dalam hal anak, antropologi tidak melihat anak sebagai individu, melainkan anak adalah suatu unsur budaya yang akan meneruskan budaya tersebut. Tidak hanya melihat dengan prespektif antropologi, dalam antropologi juga dibahas studi kasus. Dalam mempelajari tentang anak, antropologi kerap membandingkan cara-cara pengasuhan, sisi orangtua dan anak itu sendiri, kebiasaan, budaya dari berbagai macam daerah dan negara.
Referensi
Cohen, Philip.N and Miruna Petrescu-Prahova. “Gendered Living Arrangements among Children with Disabilities”. Journal of Marriage and Family, Vol. 68, No. 3 (Aug., 2006), pp. 630-638, National Council on Family Relations.
Hirschfeld, L. (2002). Why Don't Anthropologists Like Children? American Anthropologist, 104(2), 611-627. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/684009
Lancy, D. F. (2014). The Anthropology of Childhood: Cherubs, Chattel, Changelings. Cambridge Uniersity Press.
Comments