top of page

Meninjau Kembali Pemahaman “Religi”

Oleh: Akhmad Khanif dan Iga Rasyid Mulya


Melukiskan tipografi di atas tumpukkan warna, dengan penonjo1. Melukiskan tipografi di atas tumpukkan warna, dengan penonjolan teks yang mudah dicerna, “Art theory vs religion theory”, karya Dedy Sufriadi.
http://harian.analisadaily.com/seni/news/melukiskan-tipografi/396174/2017/08/13

Hampir setiap peradaban menganggap suatu sistem religi sebagai hal yang paling penting dalam keberlangsungan peradaban tersebut. Keberadaan religi tidak dapat dipisahkan dari peradaban, karena religi menyumbang budaya-budaya penting dalam peradaban seperti ritual. Ritual, merupakan kegiatan religi yang dianggap sebagai legitimasi atas pemenuhan kebutuhan baik rohani maupun jasmani. Bahkan perkembangan peradaban terdahulu menganggap religi sebagai sumber dari ilmu pengetahuan, yang kebenarannya absolut sehingga tidak boleh dibantahkan. Hingga lambat laun pemahaman mengenai religi yang universal dibutuhkan oleh para ilmuan untuk memecahkan permasalahan mengenai perbedaan religi yang sangat beragam di seluruh dunia, yang mereka temui.

Konsep religi atau agama telah menjadi istilah familiar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tidak hanya satu disiplin ilmu yang membahas tentang konsep religi. Setidaknya terdapat perkembangan kajian yang awalnya merupakan kajian praktis merambah ke dalam kajian teoritis yang semakin kompleks. Dalam ilmu antropologi, konsep religi telah menjadi bagian yang kuat dalam salah satu unsur kebudayaan itu sendiri.

Religi berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali." Menurut KBBI, religi memiliki arti kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme); agama. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah Agama, yang berasal dari bahasa Sanskerta, āgama (आगम) memiliki arti "tradisi." Meskipun dalam beberapa konteks kedua istilah ini terutama di Indonesia, sering tidak dapat disepadankan begitu saja. Religi merupakan suatu sistem keyakinan atau kepercayaan, sedangkan agama merupakan sistem kepercayaan yang sudah dilembagakan.


Pemahaman Konsep: Agama Sebagai Kajian Antropologi

Perkara pemahaman atau penjelasan terkait konsep agama sudah sangat tekun dilakukan. Dari ilmu antropologi, telah memiliki banyak definisi dari beberapa para ahli untuk menjelaskan konsep agama. Salah satu tokoh antropologi terkemuka, Clifford Geertz (1973) menyatakan agama adalah (1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis. Di sini, Geertz secara jelas memberikan poin-poin tentang konsep agama melalui definisi secara umum tanpa memasukkan sisi satu kelompok tertentu. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan suasana hati.

Adapun terdapat tokoh lain yang memiliki pandangan terkait agama. Koentjaraningrat (1987), sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia, mengatakan bahwa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan; dalam banyak hal yang membahas tentang konsep ketuhanan Koentjaraningrat lebih menghindari istilah ‘agama’ , dan menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu ‘religi’. Religi memuat hal-hal tentang keyakinan, upacara dan peralatannya, sikap dan perilaku, alam pikiran dan perasaan disamping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri.

Banyak istilah yang kemudian muncul berkenaan dengan adanya sistem religi. Istilah yang kerap muncul di dalam religi adalah Tuhan, dewa, dewi, malaikat, roh, jin, iblis, setan, hantu, peri, raksasa, momok, roh, nyawa, orang mati, syamanisme, monoteisme, politeisme, ateisme, kesurupan, kerasukan, wahyu, pendeta, guru, nabi, pengkhotbah, dukun, ahli sihir, intuisi, pertanda, ramalan, animisme, totemisme, meditasi, puasa, mana, tabu, sakral, najis, kudus, duniawi, dan seterusnya. Jika dicermati, istilah-istilah tersebut memiliki hal yang agung, gaib, suci, menakutkan, dan tak kasat mata.

Dari ketekunan yang dilakukan oleh para ahli antropologi, membuat disiplin ilmu ini kian memfokuskan diri mengkaji lebih dalam terkait agama. Hingga dibentuk sendiri sub disiplin ke dalam antropologi agama. Cabang ilmu ini telah banyak mendapatkan perhatian dari para pakar ilmu sosial. Cabang ilmu antropologi agama ini diyakini oleh banyak pakar sebagai salah satu alat studi yang akurat dalam melihat reaksi antara agama, budaya, dan lingkungan sekitar sebuah masyarakat. Antropologi agama menunjuk kepada suatu penghubung yang unik atas moralitas, hasrat, dan kekuatan dengan dikendalikan dan kemerdekaan, dengan duniawi dan asketisme, dengan idealis dan kekerasan, dengan imajinasi dan penjelmaan, dengan imanensi dan transendensi yang merupakan sisi dunia manusia yang berbeda dengan makhluk lain. Tradisi ilmu antropologi memahami dunia-dunia agama tidak sepenuhnya sebagai fenomena objektif dan juga tidak sepenuhnya sebagai fenomena subjektif, namun sebagai sesuatu yang berimbang dalam memediasikan ruangan sosial atau budaya dan sebagai yang terlibat dalam suatu dealiktika yang memberikan objektivitas sekaligus juga subjektivitas. Perhatian ahli antropologi dalam meneliti agama ditunjukan untuk melihat keterkaitan faktor lingkungan alam, struktur sosial, struktur kekerabatan, dan lain sebagainya, terhadap timbulnya jenis agama, kepercayaan, upacara, organisasi keagamaan tertentu.

Pendekatan yang digunakan oleh para ahli antropolog dalam meneliti wacana keagamaan adalah adalah pendekatan kebudayaan, yaitu melihat agama sebagai inti kebudayaan. Kajian antropolog yang bernama Geertz (1963) mengenai agama abangan, santri, dan priyai adalah kajian mengenai variasi-variasi keyakinan agama dalam kehidupan (kebudayaan) masyarakat Jawa sesuai dengan konteks lingkungan hidup dan kebudayaan masing-masing, bukannya kajian mengenai teologi agama. Berbeda dengan pendekatan antropolog, sebagai ilmu sosial pendekatan yang dipakai antropologi agama untuk menjawab masalah yang menjadi perhatiannya adalah pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah yang dikembangkan dari pendekatan ilmu alam bertolak dari kenyataan yang mengandung masalah. Masalah itu diantaranya apa sebab suatu kenyataan jadi demikian, apa faktor-faktor yang menjadikannya demikian. Sadar bahwa manusia adalah mahluk budaya, punya kehendak, keinginan, imajinasi, perasaan, gagasan, kajian yang dikembangkan antropologi tidak seperti pendekatan ilmu alam. Pendekatan yang digunkan lebih humanitik, berusaha memahami gejala dari prilaku tersebut yang nota bene punya gagasan, inisiatif, keyakinan, bisa terpengaruh oleh lingkungan dan mempengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, pendekatan antropologi tidak menjawab bagaimana beragama menurut kitab suci, tetapi bagaimana seharusnya beragama menurut penganutnya (Rosidah, 2011).

Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian dari suatu pranata budaya tertentu atau justru budayalah yang ditentukan oleh agama. Religi adalah bagian dari kebudayaan, disebabkan karena menurut Emile Durkheim dalam bukunya Les Formes Elementaires de la Vie Religiuse (1912) bahwa religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu: (1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus. (2) Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (super natural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan. (3) Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuham dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib. (4) Umat atau kesatuan sosial yang menyangkut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2 dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut dalam sub 3.

Keempat komponen tersebut sudah tentu terjalin erat satu dengan yang lain menjadi suatu sistem yang terintegrasi secara bulat. Sistem keyakinan dalam suatu religi dijiwai oleh emosi keagamaan, tetapi sebaliknya emosi keagamaan juga bisa dikobarkan oleh sistem kepercayaan.



Agama: Sebuah Pandangan dari Filsafat dan Psikologi

Pandangan Filsafat

Dalam membahas konsep agama, kami juga melihat dari sudut pandang disiplin ilmu lain selain antropologi, yang relevan dengan studi agama. Banyak definisi dari ilmu filsafat mengenai agama, beberapa akan dipaparkan oleh Teguh, mahasiswa Filsafat UGM semester 3, yang kami lakukan pada tanggal 12 Desember 2018. Dalam mendefinisikan agama, ia berkaca dari beberapa tokoh filsafat, salah satunya Durkheim (1912) bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu, terdiri atas keyakinan dan praktik yang berhubungan dengan hal-hal yang suci dan menyatukan semua penganutnya dalam komunitas moral dan komunitas moral ini dinamakan umat. Ia juga menyetujui konsep agama dari Daradjat (2005) bahwa agama adalah proses hubungan manusia yang dirasakan terhadap sesuatu yang diyakininya, bahwa sesuatu lebih tinggi daripada manusia. Namun yang dianggap Teguh paling lengkap dari definisi agama, bahwa agama adalah sistem simbol, sistem nilai, sistem keyakinan dan sistem perilaku yang terlembaga yang kesemuanya terpusat pada persoalan-persoalan yang dihayati sebagai sesuatu yang paling maknawi. Lebih umum lagi Teguh mendefinisikan agama sebagai sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata cara peribadatan kepada Tuhan dan hubungan antara manusia

Ilmu filsafat dalam mengkaji konsep agama lebih kepada hakikatnya, jadi tidak mempelajari spesifik agama tertentu, tetapi dari sekian banyak agama dicari benang merahnya, sehingga ditemukan ada sesuatu yang sama dari semua agama, dan itulah yang dinamakan hakikat agama. Membicarakan hal ini juga, Teguh melanjutkan, kita harus mengembalikan suatu ilmu pengetahuan pada objek material dan objek formalnya. Pada dasarnya objek material dari ilmu filsafat sama dengan ilmu antropologi, psikologi dan ilmu lainnya, yaitu manusia, tetapi objek formal ilmu filsafat adalah hakikat sehingga membedakan ilmu filsafat dengan ilmu lain.

Dalam mempelajari hubungan agama dan ilmu sebagai bentuk nyata pengkajian hakikat agama, maka filsafat mengkaji empat hubungan ilmu dan agama sepanjang sejarah manusia. Pertama hubungan konflik, bahwa ilmu dan agama berkonflik yang terjadi ketika abad pertengahan, ahli agama berpendapat pusat tata surya adalah bumi, kemudian ada ilmuan datang (Copernicus) menentang hal ini bahwa pusat tata surya adalah matahari. Pada saat itu Copernicus dibunuh karena agama yang mendominasi, sehingga agama dan ilmu adalah bertentangan karena memiliki hubungan konflik. Kedua Agama dan ilmu dapat berdialog, misalnya ada teori evolusionisme (ilmu) dan kreasionisme (agama), dari dua hal ini dapat didialogkan bahwa Tuhan menciptakan sesuatu secara langsung (kreasionisme) tetapi sesuatu itu secara bertahap mengalami perubahan (evolusionisme), hal ini yang disebut ilmu dan agama dapat didialogkan. Hubungan ketiga adalah independensi, bahwa masing-masing dari ilmu pengetahuan dan agama sangat berbeda, karena memiliki tolak ukur yang berbeda, ilmu pengetahuan pada akal, sedangkan agama pada iman, sehingga dua hal ini terpisah dan tidak ada hubungan sama sekali. Hubungan terakhir bentuk integrasi mencoba menyatukan agama dan ilmu, bahwa agama selalu rasional hanya saja butuh penjelasan-penjelasan yang lain misalkan ada alasan rasional (ilmiah) di balik penjelasan agama, dalam hal ini ilmu mendukung pemahaman kita tentang agama.

Pandangan Psikologi

Selain ilmu Filsafat, kami juga mencoba mengkaji dari sisi psikologi, yaitu Rahmah mahasiswa Psikologi UGM 2016 yang kami wawancarai pada tanggal 12 Desember 2018, bahwa ilmu psikologi lebih mempelajari bagaimana peran agama memberikan dampak pada aspek spiritualitas manusia itu sendiri. Bagaimana aspek agama berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan sehari-hari, seperti kebersyukuran, kemudian direlevansikan dengan teori psikologi dari nilai-nilai agama yang universal dari semua agama, ternyata mendukung bagaimana aspek kesehatan psikologi seseorang. Kajian agama dalam psikologi lebih kepada menyamakan antara nilai-nilai agama ketika dikaji dengan pendekatan psikologi ternyata memiliki kesamaan, seperti penerimaan diri dalam semua agama diajarkan dan ternyata psikologi pun mempelajarinya sebagai sesuatu yang berdampak pada psikis individu.

Rahmah mendefinisikan agama lebih kepada bagaimana kita memiliki satu pegangan zat yang diyakini. Ia setuju dengan dosennya ketika berdiskusi mengenai agama, bahwa sejatinya manusia itu memiliki aspek loneliness, yaitu semacam perasaan sepi, dan hal itu hanya dapat dipatahkan atau dibantahkan pada sesuatu yang sifatnya abadi, abadi dalam artian ini adalah ketuhanan. Jadi manusia selalu memiliki sifat kesepian, kekhawatiran bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi sehingga satu-satunya penepis adalah sesuatu yang abadi itu sendiri yaitu ketuhanan. Pada dasarnya psikologi lebih mencari alasan terhadap fenomena penyembahan manusia terhadap Tuhan. Kajiannya pada batas mencari faktor-faktor pendorong mengapa manusia melakukan penyembahan atau melakukan suatu ritual keagamaan atau suatu mistis tertentu, bukan pada menanyakan kembali suatu yang benar dan salah mengenai penyembahan terhadap Tuhan. Salah satunya adalah faktor budaya yang menginternalisasikan aspek-aspek atau nilai-nilai mistis. Spiritualitas tidak melulu tentang agama, ada nilai-nilai spiritualitas.


Agama dan Kepercayaan (Studi Kasus di Indonesia)

Sejak pendidikan dasar hingga menengah, kita dibawa pada suatu kenyataan pembelajaran bahwa agama atau religi yang harus kita akui di Indonesia berjumlah lima. Mungkin hingga sekarang kita masih mendefinisikan ketika ditanya mengenai agama maka pikiran kita akan langsung terpusat pada yang lima ini. Padahal seperti yang telah kita tahu di Indonesia dengan keberagaman budaya dan tentunya membawa implikasi terhadap keberagaman kepercayaan yang dianut oleh setiap masyarakatnya. Hal ini penting untuk didiskusikan kembali sebenarnya apa yang membedakan agama dan kpercayaan? Serta bagaimana di Indonesia terjadi suatu perbedaan pendapat mengenai agama dan kepercayaan. Menilik kembali apa yang didefinisikan oleh Bapak Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat (2009) bahwa agama dan kepercayaan hampir tidak meiliki perbedaan, yaitu pada hakikatnya percaya pada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripada manusia, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi.

Sejalan dengan definisi dari Koentjaraningrat, Linda Woodhead (2009) menyatakan, tidak ada batas tegas dan tepat antara 'agama' dan keyakinan/kepercayaan. Keduanya mengacu pada komitmen orientasi yang membantu memberikan makna dan arah hidup (way of life). Keduanya memiliki aspek sosial, tetapi dapat mengambil bentuk yang lebih individual. Secara sederhana, istilah agama dalam kajian sosioantropologi adalah terjemahan dari kata religion dalam bahasa Inggris, yaitu semua yang disebut religion dalam bahasa Inggris, termasuk apa yang disebut agama wahyu, agama natural, dan agama lokal . Namun, hal ini tidak sama dengan istilah agama dalam bahasa politik-administratif pemerintah Republik Indonesia, istilah agama di sini dibatasi oleh pemerintah. “Agama” dalam pengertian politik-administratif pemerintah Republik Indonesia adalah agama resmi yang diakui oleh pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, dan pada masa akhir-akhirnya ini juga dimasukan agama Kongkucu (Saifudin dalam Marzil, 2016).

Di Indonesia definisi agama (religion) dan kepercayaan (belief) menjadi kacau, setelah negara turut campur mendefinisikan agama dan kepercayaan dalam peraturan perundang-undangan. Departemen Agama (Kementerian Agama) pada 1961 merumuskan kriteria yang bisa disebut sebagai agama. Unsur-unsur agama menurut Departemen Agama, adalah unsur Kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya (Munawar, 2010). Undang Undang Negara (UU No. 1/PNPS/1965) selanjutnya menganggap kepercayaan dan penganut kepercayaan adalah sistem keyakinan yang dianut masyarakat Indonesia sejak sebelum ada agama-agama yang datang dari luar negeri. Dalam perkembanganya, kepercayaan diartikan keyakinan diluar agama resmi yang ditetapkan negara. Definisi ini setelah adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang agama yang diakui dan tidak diakui. Sehingga seolah-olah mengkonstrukis pemikiran masyarakat Indonesia mengenai agama yang harus diakui hanya ada lima tadi, dan kepercayaan lain bukan merupakan agama.

Memandang perihal ini, kami kembali lagi pada perbincangan dengan Teguh, bahwa agama dan kepercayaan memiliki hakikat yang sama, yaitu berupa keyakinan terhadap adanya suatu zat yang lebih tinggi daripada manusia. Hal ini berarti bahwa agama dan kepercayaan secara hakikat merupakan suatu hal yang sama. Namun ketika berurusan dengan politik-administratif, yang dalam hal ini adalah agama ketika masuk menjadi urusan negara kita juga harus memikirkan tentang birokrasi. Bahwa jika seluruh agama di Indonesia akan dicatat semua dalam birokrasi -yang tentunya sangat banyak bahkan mungkin masih banyak yang belum diketahui- maka akan mempersulit sistemnya, sehingga negara membatasi definisi dari agama itu sendiri pada unsur Kepercayaan yang memiliki Tuhan Yang Maha Esa, nabi, kitab suci, umat dan suatu sistem hukum bagi penganutnya.

Dalam dunia filsafat perdebatan ini telah lama diperbincangkan, tetapi jika menilik pada konteks waktu sekarang sebenarnya negara telah memfasilitasi kepada agama yang selain lima. Bentuk nyatanya saat Pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) di Indonesia, maka telah diberikan pilihan/opsi lainnya dalam kolom agama (dimulai sejak tahun 2017), yang dapat diisi sesuai dengan agama maupun kepercayaan masing-masing. Hal ini tentunya menandakan bahwa pandangan negara terhadap keberagaman kepercayaan di Indonesia telah semakin terbuka serta sebagai bentuk awal penghilangan diskriminasi terhadap kepercayaan lokal. Permasalahan sekarang adalah, apakah dengan pengakuan dari negara terhadap keberagaman agama maka akan serta-merta diikuti oleh masyarakat Indonesia? Tentunya sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan sulit dihilangkan, termasuk konstruksi bahwa “agama yang diakui di Indonesia hanya berjumlah lima” akan sulit dighilangkan oleh masyarakat Indonesia.


Kesimpulan

Jika kita meninjau kembali pengertian religi baik secara hakikat, psikologis maupun secara budaya, maka akan ada satu benang merah atau satu kesamaan inti dari konsep agama. Agama adalah sistem simbol, sistem nilai, sistem keyakinan dan sistem perilaku yang terlembaga yang kesemuanya mengatur kepercayaan pada adanya suatu kekuatan gaib atau suatu zat yang dianggapnya lebih tinggi daripada manusia, dan penyebab manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beragam untuk berkomunikasi. Tentunya setiap agama di dunia yang beragam memiliki satu nilai tersebut, begitu pun dengan kepercayaan juga memiliki nilai tersebut. Hal ini menjadi penguat bahwa agama dan kepercayaan memiliki nilai inti yang sama sehingga keduanya dapat didefinisikan sebagai suatu konsep agama. Kembali pada pendapat Koentjaraningrat (1974) yang tidak menyebutkan istilah agama tetapi lebih menyebutnya sebagai religi karena dianggap universal. Koentjaraningrat menyesuaikan dengan budaya Indonesia, di mana istilah agama telah dikonstruksi sebagai konsep yang absolut dan memiliki ketentuan-ketentuan sehingga dikhawatirkan terjadi diskriminasi terhadap agama atau kepercayaan lokal di Indonesia.

Mengkaji studi kasus di Indonesia mengenai agama, bahwa negara turut mendefinisikan agama melalui ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang. Hal ini memunculkan dua pengertian berbeda yaitu agama dan kepercayaan yang kedua-duanya sebenarnya mengacu pada inti yang sama. Namun, di Indonesia melalui peraturan per-Undang-Undangannya menyebutkan bahwa hanya ada lima bentuk agama yang harus diakui oleh masyarakat Indonesia dan agama selain itu merupakan kepercayaan. Di sini diskriminasi terjadi, yang melibatkan administrasi dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk yang harus memilih salah satu dari lima agama yang diakui tersebut sehingga menimbulkan konflik. Namun, lambat-laun negara mulai terbuka dengan keberagaman agama di Indonesia sehingga mencantumkan semua agama dalam KTP dan KK yang telah dimuali sejak tahun 2017. Hal ini tentunya merupakan awal yang baik bagi penghapusan diskriminasi terhadap agama-agama lokal di Indonesia. Tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana menyadarkan keberagaman agama dan pengakuan terhadap agama lain yang beragam ini terhadap masyarakat Indonesia yang telah terbiasa dengan pengakuan terhadap lima agama. Tentunya bukan hal yang mudah mengubah pandangan masyarakat luas akan keberagaman agama di Indonesia, oleh karena itu, dimulai dari yang terkecil yaitu diri kita sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Z. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Durkheim, E. (1976). The Elementary Forms Of The Religious Life. Routledge.

Geertz, C.(1973). The Interpretation Of Cultures. Vol.5043. Basic books.

Geertz, C., Mahasin, A., & Rasuanto, B. (1983). Abangan, santri, priyayi: dalam masyarakat Jawa (No. 4). Pustaka Jaya.

Koentjaraningrat. (1974). Kebudayaan, mentalitet, dan pembangunan: bungarampai. Gramedia.

_______________. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Marzil, A dan Saifudin. (2016). Agama dan Kebudayan. MBARA : Indonesian Journal of Anthropology 1(1): 57-75.

Munawar, B dan Rachman (ed). (2010). Membela Kebebasan Beragama. Jakarta: LSAF dan Paramadina.

Rosidah, F. U. (2011). Pendekatan Antropologi dalam Studi Agama. Religió: Jurnal Studi Agama-agama 1(1): 23-32.

Woodhead, L dan Rebecca C. (2009). Religion or belief‟: Identifying issues and priorities. London: Equality and Human Rights Commission, Lancaster University.

Commentaires


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page