oleh: Deswita Ayu Wandira & Twina Paramesthi
“Kalian sudah punya banyak teman?”
Pertanyaan mengenai apakah kami sudah memiliki teman di sebuah tempat yang baru seringkali kami dapatkan. Pertanyaan tersebut kami anggap sebagai suatu bentuk kepedulian seseorang kepada kami, karena dalam masyarakat banyaknya teman yang dimiliki seringkali dianggap sebagai indikator kebahagiaan seseorang. Semakin banyaknya jumlah teman yang seseorang miliki, maka dianggap juga orang itu memiliki tingkat kebahagiaan yang cukup tinggi.
Anggapan umum terkait dengan korelasi antara jumlah teman yang dimiliki dengan tingkat kebahagiaan cukup membingungkan bagi kami. Bagaimana batasan dari konsep “teman” itu dan juga konsep “kebahagiaan” itu sendiri membuat kami kebingungan. Definisi dari konsep adalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu (Ahimsa-Putra, 2010). Menurut kami setiap orang memberi makna berbeda-beda terhadap istilah “teman” dan “kebahagiaan”. Pemberian makna yang berbeda-beda terhadap suatu istilah akan menghasilkan konsep-konsep yang berbeda dalam masyarakat. Konsep mengenai “teman” dan “kebahagiaan” serta konsep-konsep mengenai hal lainnya yang dipahami oleh setiap orang itu dapat berbeda karena adanya perbedaan latar belakang pengalaman, budaya, serta pendidikan.
Dalam artikel kali ini kami tidak hendak membahas tentang hubungan teman dengan tingkat kebahagiaan, tetapi kami akan membahas tentang konsep hubungan yang terjalin antar teman atau biasa disebut dengan hubungan pertemanan. Pertemanan bagi kami cukup menarik karena merupakan suatu hubungan yang dimiliki dan dialami dalam keseharian oleh semua orang. Konsep pertemanan yang akan kami bahas adalah konsep pertemanan dari sudut pandang ilmu antropologi budaya, ilmu sosiologi, serta ilmu psikologi. Karena beberapa orang yang kami tanyai memiliki jawaban yang berbeda-beda tentang konsep mengenai “pertemanan”, maka pengertian dari istilah pertemanan dari tiga ilmu studi tersebut akan kami paparkan dalam artikel ini.
Konsep mengenai pertemanan yang kami tanyai kepada beberapa orang menghasilkan beberapa pandangan yang cukup beragam. Ada yang menjawab konsep pertemanan dengan menghubungkannya dengan identitas diri, yakni bahwa pertemanan merupakan suatu hubungan ketika seseorang tidak perlu menjadi orang lain di hadapan mereka (teman). Dan terdapat juga seorang yang menghubungkan konsep pertemanan dengan keuangan –suatu masalah yang biasa terjadi dalam keseharian– bahwa menurutnya pertemanan merupakan suatu hubungan ketika meminjam-meminjamkan uang sudah tidak terdapat lagi perasaan sungkan.
Dua konsep mengenai pertemanan yang kami temukan dari hasil mengobrol dengan beberapa orang tersebut membuat kami cukup tercengang. Ada yang menghubungkannya dengan identitas dan seorang menghubungkannya dengan masalah ekonomi. Awalnya kami mengira bahwa kami akan mendapatkan jawaban mengenai konsep pertemanan yang hanya bersinggungan dengan masalah hubungan emosional saja, kami tidak menyangka akan mendapatkan jawaban yang cukup kompleks tentang konsep pertemanan.
Pertemanan dalam Sudut Pandang Antropologi
Tidak banyak dilakukan suatu pengkajian terkait konsep Pertemanan dalam ilmu Antropologi. Kekerabatan atau kinship dianggap memiliki peran yang lebih penting, karena banyaknya hubungan yang didasarkan pada kekerabatan, sepeti hubungan politik dan hubungan ekonomi. Studi tentang pertemanan hanya dijadikan satu bagian dari kajian kekerabatan. Hal tersebut berakibat pada melewatkan peran berbeda yang terjadi dalam hubungan pertemanan yang berbeda dari hubungan kekerabatan. Meletakkan studi tentang pertemanan dalam pusat analisis ilmu antropologi akan membantu dalam menentukan bagaimana kunci hubungan sosial diartikulasikan dengan ide dari relasi, dan ide dari menjadi seorang manusia (Desai dan Killick, 2010:15).
Pembahasan mengenai pertemanan seringkali disebut “anthropology’s love affair with kinship” karena minimnya para ahli antropologi yang melakukan penelitian terkait pertemanan dalam menggambarkan masyarakat skala kecil. Kegiatan mendokumentasikan sistem kekerabatan menjadi sebuah rutinitas dalam kegialan lapangan para ahli antropologi di abad ke-20. Kegiatan pendokumentasian tersebut dapat berupa membuat suatu silsilah keluarga. Silsilah keluarga merupakan bagian penting dari perangkat etnografi dalam masyarakat, karena melalui silsilah keluarga ahli etnogafi dapat mengidentifikasi daftar istilah orang yang berhubungan darah atau perkawinan (misalnya: ayah, ibu, sepupu, bibi, ayah mertua). Kemudian dengan mendapatkan istilah dalam sistem kekerabatan dapat memberikan pertanyaan dan melakukan pengamatan terhadap perilaku tradisional masyarakat. Metode seperti itu sangat bagus dalam membedakan bagaimana hubungan kekerabatan mempengaruhi perilaku masyarakat, tetapi mengabaikan jenis hubungan lain yang mungkin ada di antara orang-orang (Hruschka, 2010:48).
Dalam melihat tujuan dari hubungan Pertemanan, ilmu antropologi mempunyai beberapa pandangan yang berbeda karena mengkaji dari banyak kebudayaan. Dalam masyarakat Barat menekankan bahwa konsep hubungan pertemanan itu bersifat egaliter, yang mana diantara teman dianggap saling tidak memiliki utang-piutang (Desai dan Killick, 2010:13). Dalam buku The Ways of Friendship: Anthropological Perspectives, terdapat beberapa karya etnografi tentang bentuk-bentuk pertemanan dalam beberapa masyarakat. Pertemanan diantara para siswa laki-laki di Tenter Ground School, London, ditunjukkan bukan dengan apa yang bisa dan seharusnya mereka diberikan, tetapi hanya sekedar bahwa mereka saling mempunyai rasa kasih sayang. Mempunyai seorang teman di Markakasa, India berarti merupakan suatu jaminan bahwa akan mendapatkan makanan dan tempat untuk beristirahat dalam keadaan malam hari yang dingin (Desai dan Killick, 2010:14).
Cara pandang umum dalam melihat pertemanan biasanya hanya dari segi tingkah laku para pelakunya saja. Namun Daniel J. Hruschka dalam bukunya yang berjudul Friendship: Development, Ecology and Evolution of a Relationship menyatakan bahwa cara pandang terhadap pertemanan juga dapat dilihat dari perasaan dan motivasi yang mendasari perbuatan tersebut. Dalam keseharian, tindakan seperti memberi hadiah merupakan satu-satunya yang bisa diobservasi untuk memahami cara kerja dari hubungan pertemanan. Dibalik dari tindakan memberi hadiah terdapat proses psikologis, seperti adanya persepsi, perasaan, dan motivasi yang berperan dalam mengarahkan tindakan dalam hubungan pertemanan (Hruschka, 2010:18).
Dalam memberikan penjelasan tentang konsep hubungan pertemanan, para etnografer seringkali menyamakan hubungan pertemanan sebagai hubungan kekerabatan yang “artifisial” atau “fiksi”. Hal tersebut dilakukan oleh etnografer karena dalam beberapa kelompok masyarakat rujukan pemanggilan kepada teman itu juga menggunakan istilah yang sama dengan istilah kekerabatan, seperti brother, sister, ayah, atau bibi (Hruschka, 2010:47).
Batas yang membedakan antara hubungan kekerabatan dengan hubungan pertemanan terkadang sulit ditemukan. Terdapat suatu pernyataan “Ia sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri” yang berarti bahwa seorang teman dianggap sudah memiliki hubungan yang sangat dekat, layaknya seperti seorang saudara. Para ilmuwan sudah membuat pembatasan yang lebih jelas antara hubungan kekerabatan dengan pertemanan. Confucius menyatakan bahwa pertemanan merupakan hubungan yang terpisah dari ikatan keluarga, yang membutuhkan hak dan kewajiban unik. Sedangkan para ilmuwan sosial seringkali memperlihatkan kontras antara pertemanan dengan kekerabatan seolah-olah keduanya merupakan hubungan yang sangat jauh berbeda. Sebagai contoh: hubungan kekerabatan memiliki relasi biologis, sedangkan pertemanan tidak; hubungan kekerabatan berlangsung seumur hidup seseorang, sedangkan pertemanan dapat terputus pada saat kapanpun; dan seseorang dapat memilih orang dalam hubungan pertemanan, tetapi dalam hubungan kekerabatan tidak dapat memilih anggota keluarga (Hruschka, 2010:74).
Pertemanan dalam Sudut Pandang Psikologi
Berdiskusi dengan seorang mahasiswa Psikologi UGM yang sedang dalam masa studi tahun ke-empat (masa skripsi), membuat kami sedikikitnya paham dan dibawa pada konsep dasar kebutuhan manusia sebelum menarik pada konsep pertamanan. Mbak Dedut panggilan akrabnya, membeberkan kepada kami tentang teori Hieraki Kebutuhan yang dihasilkan dari otak Abraham Maslow.
Maslow adalah seorang psikolog humanistik. Humanis berfokus pada potensi. Maslow percaya bahwa manusia berusaha untuk terus meningkatkan kemampuannya. Manusia mencari batas-batas kreativitas tertinggi untuk mencapai kesadaran dan kebijaksanaan.
Abraham Maslow mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi banyak orang. Teorinya berhasil menggambarkan realitas banyak pengalaman pribadi dan banyak orang menemukan bahwa mereka bisa memahami apa kata Maslow. Sedangkan selama ini mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak bisa memasukkannya ke dalam kata-kata.
Maslow kemudian membuat teori Hierarki Kebutuhan atas pengembangan dari Teori Psikologi Humanistik. Konsep hirearki kebutuhan manusia oleh Maslow ini pada walnya berasal dari pengamatannya terhadap perilaku monyet. Berdasarkan pengamatannya tersebut, maslow menyimpulkan bahwa beberapa kebutuhan lebih diutamakan daripada kebutuhan lainnya. Misalnya air merupakan sumber kehidupan utama bagi makhluk hidup. Makhluk hidup bisa bertahan dari rasa lapar dan tidak makan, namun tidak bisa bertahan dari rasa haus dan tanpa air. Hal ini yang disebut Maslow merupakan kebutuhan dasar yang kemudian disusun menjadi bentuk tingkatan kebutuhan. Maslow memberikan kesimpulan bahwa kebutuhan pada tingkat selanjutnya bisa dicapai apabila kebutuhan di tingkat bawah tercapai.
Menurut Maslow, pemuasan kebutuhan didorong oleh kekuatan motivasi yaitu motivasi kekurangan (deficiency growth) dan motivasi perkembangan (motivation growth). Motivasi kekurangan adalah upaya yang dilakukkan manusia untuk memenuhi kekurangan yang dialami. Sedangkan motivasi perkembangan adalah motivasi yang tumbuh dari dasar diri manusia untuk mencapai suatu tujuan diri berdasarkan kapasitasnya dalam tumbuh dan berkembang. Kapasitas atau kemampuan diri masing- masing orang berbeda- beda dan merupakan pembawaan.
Berdasaran yang telah dijelaskan di atas, bahwa hierarki kebutuhan Maslow memiliki 5 tingkatan, yakni:
1. Kebutuhan Fisiologis
Kebutuhan fisiologis yaitu terkait dengan kebutuhan tubuh secara biologis. Kebutuhan fisiologis termasuk oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh normal. Kebutuhan fisiologis ini adalah kebutuhan dasar yang menyokong kehidupan manusia. Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar pertama yang akan dicari oleh manusia untuk mencapai kepuasan hidup. Apabila salah satu dari kebutuhan fisiologis ini tidak didapatkan, maka akan mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar selanjutnya.
2. Kebutuhan Akan Rasa Aman
Setelah kebutuhan fisiologis sudah terpenuhi, maka ada kebutuhan rasa aman, seperti rasa aman fisik, stabilitas, ketergantungan, perlindungan, dan kebebasan dari berbagai ancaman, penyakit, takut, cemas, atau bencana alam.
Menurut Maslow, orang-orang yang tidak merasa aman mempunyai tingkal laku yang berbeda. Mereka akan bertingkah laku seperti orang yang memiliki ancaman besar. Orang yang merasa tidak aman otomatis akan mencari kestabilan dan akan berusaha keras menghindari hal-hal atau keadaan yang asing atau yang tidak diharapkan.
3. Kebutuhan Akan Cinta dan Rasa Memiliki
Kebutuhan akan cinta dan rasa ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan efektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan yang berlainan jenis, di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan kelompok di masyarakat. Bagi individu-individu, keanggotaan dalam kelompok sering menjadi tujuan yang dominan, dan mereka bisa menderita kesepian, terasing, dan tak berdaya apabila keluarga, pasangan hidup, rekan kerja, atau teman-teman meninggalkannya.
4. Kebutuhan Esteem
Kebutuhan esteem bisa termasuk kebutuhan harga diri maupun penghargaan dari orang lain. Ketika kebutuhan pada tingkat ketiga terpenuhi makan akan muncul kebutuhan akan esteem. Manusia memiliki kebutuhan untuk dihormati oleh orang lain, dipercaya oleh orang lain, dan stabil diri. Ketika kebutuhan ini sudah dicapai maka tingkat percaya diri seseorang tersebut juga akan meningkat dan memiliki harga diri yang tinggi. Hal ini akan berpengaruh terhadap peran sosial dan aktivitasnya dalam interaksi sosial. Apabila kebutuhan esteem ini tidak bisa dicapai, maka orang menjadi depresi, tidak percaya diri, harga diri rendah, dan merasa tidak berharga atau berguna.
5. Kebutuhan Akan Aktualisasi Diri
Kebutuhan untuk mengungkapkan diri atau aktualisasi diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan yang ada di bawahnya telah terpuaskan dengan baik. Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi orang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya.
Maslow mencatat bahwa aktualisasi diri itu tidak hanya berupa menciptakan kreasi atau karya-karya berdasarkan bakat-bakat atau kemampuan-kemampuan khusus. Orang tua, mahasiswa, dosen, pegawai, dan buruh pun bisa mengaktualisasikan dirinya, yakni dengan jalan membuat yang terbaik, atau bekerja sebaik-baiknya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Bentuk aktualisasi diri ini berbeda pada setiap orang. Hal ini tidak lain disebabkan dan merupakan cerminan dari adanya perbedaan-perbedaan individual. Bagaimanapun, Maslow mengakui bahwa untuk mencapai taraf aktualisasi diri atau memenuhi kebutuhan akan aktualisasi diri tidaklah mudah, sebab upaya ke arah itu banyak sekali hambatannya.
Atas uraian teori dari Maslow di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa manusia selalu belajar dan berproses untuk mencapai kebutuhan tertingginya yaitu aktualisasi diri. Dalam proses tersebut manusia tidak dapat mencapainya tanpa bantuan manusia yang lain. Kebutuhan akan rasa aman misalnya, manusia cenderung merasa aman jika jaminan rasa aman tersebut berasal dari manusia lain. Teman dalam konteks ini pun kemudian menjadi pas untuk dijadikan objek. Akhirnya manusia tetap membutuhkan teman di mana mereka akan saling beradaptasi, meniru, dan memilah mana yang cocok dan baik untuk diri masing-masing.
Pertemanan dalam Sudut Pandang Sosiologi
Kami memahami sosiologi sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang masyarakat. Alasan pemilihan ilmu studi ini dalam melakukan pembahasan konsep mengenai pertemanan karena tulisan dari situs American Sociological Association:
Sociologists study all things human, from the interactions between two people to the complex relationships between nations or multinational corporations.
Pertemanan memiliki peran yang signifikan dalam banyak hidup orang karena dialami oleh hampir semua orang, tanpa memandang gender, usia, ras, maupun lokasi. Namun, banyak para sosiolog yang memfokuskan penelitian pada hubungan masyarakat lainnya, dan tidak berusaha memahami penyebab dari lembaga sosial Pertemanan (Adams dan Allan, 1998:1). Bertha, seorang mahasiswi jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM juga mengakui bahwa ia tidak pernah mempelajari secara khusus tentang hubungan Pertemanan selama ia menjalani studinya.
Sembari meminum coklat dingin di sebuah kafe di daerah Kotabaru, kami mengobrol dengan Bertha, seorang mahasiswi semester 5 jurusan Sosiologi UGM. Bertha menyatakan bahwa studi terhadap hubungan Pertemanan lingkupnya kecil, sedangkan sosiologi berfokus pada hal yang luas seperti suatu komunitas, sehingga ketika kami tanya mengenai konsep Pertemanan menurut ilmu sosiologi, ia sedikit kebingungan. Dituliskan oleh Eve (2003) dalam artikelnya yang berjudul Is Friendship a Sociological Topic? Bahwa hasil kajian dari ilmu sosiologi yang berfokus pada Pertemanan tidaklah banyak jumlahnya. Hubungan Pertemanan itu dianggap sebagai hubungan antar "pribadi" yang membuat konsep itu sebenarnya keluar dari konsep sosiologis normal (Eve, 2003:386).
Sosiologi biasanya dalam melakukan sebuah penelitian, berangkat dari suatu konflik yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh, terdapat penolakan dari beberapa kelompok masyarakat di Indonesia terhadap keberadaan Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT). Permasalahan itu dikaji secara kelompok besar oleh ilmu sosiologi, tetapi tidak mengkaji individu-individu di dalamnya.
Talcott Parsons memandang masyarakat sebagai suatu sistem dari unit interaksi sosial, institusi, dan organisasi. Sistem sosial muncul untuk memecahkan masalah tertentu. Tujuan terbentuknya pertemanan sebagai suatu sistem sosial menurut teori Talcott Parsons, adalah adaptation, goal-attainment, integration, dan latency. Adaptasi berarti bahwa pertemanan harus dapat mengatasi berbagai persoalan di masyarakat dengan cara beradaptasi. Goal-adaptation berarti bahwa hubungan Pertemanan dibentuk agar dapat menyelasaikan konflik. Selanjutnya, tujuan dibentuknya hubungan Pertemanan sebagai integration adalah Pertemanan dan sistem sosial lainnya harus diintegrasikan ke dalam suatu sistem yang kohesif sehingga dapat bekerja secara dinamis. Latency merupakan tujuan terselubung yang terdapat dalam hubungan Pertemanan.
Yang membedakan antara hubungan kekerabatan dengan hubungan pertemanan adalah bahwa hubungan kekerabatan atau keluarga dijalankan berdasarkan keadaan yang memaksa. Sedangkan hubungan Pertemanan dijalankan atas dasar kemauan. Seseorang tidak dapat memilih siapa orang tua mereka, kakak atau adik kandung mereka, juga dan anggota keluarga yang memiliki hubungan darah lainnya. Berbeda dengan hubungan Pertemanan, seseorang dapat memilih teman dan tidak ada keharusan atau paksaan ketika melakukan pemilihan.
Social safety net merupakan suatu sistem yang dimana seharusnya negara sebagai penjamin dari kehidupan masyarakat. Negara tidak dapat memberikan jaminan kehidupan yang layak bagi masyarakat, sehingga mereka bergantung pada keluarga. Dalam memenuhi kebutuhan dalam bidang ekonomi maupun kesehatan, keluarga dapat diandalkan.
Tidak hanya keluarga, social safety net tadi juga dapat dilakukan oleh organisasi keagamaan. Selain menjadi jaminan kehidupan setelah kematian, adanya jaminan ekonomi yang dapat diberikan oleh agama. Penjualan atribut keagamaan seperti jilbab, peci, patung, lukisan, dan sebagainya dapat memberikan pemasukan dalam ekonomi. Preferensi dalam pertemanan itu dilakukan karena adanya kesadaran atau awareness. Kesadaran terbentuk karena adanya pengalaman masa lalu, kertarikan, keinginan untuk mempertahankan. Manusia adalah makhluk ekonomi yang selalu memperhitungkan keuntungan dan kerugian yang diperoleh dari setiap tindakan yang dilakukannya.
Hierarki atau tingkatan dalam pertemanan dapat dilihat menggunakan teori modal oleh Pierre Bourdieu. Teori modal ini berkaitan dengan persoalan kekuasaan dan dominasi, teori ini bersisikan modal ekonomi, modal sosial, modal kultural, modal simbolik. Kepemilikan modal yang semakin banyak akan menentukan posisi sosial seseorang. Kepemilikan modal seseorang juga dapat menentukan ia berada di dalam kelompok mana.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan tentang pertemanan dari tiga ilmu studi di atas, tidak ditemukan overlapping atau hal yang saling bersinggungan. Pemaparan dalam ilmu antropologi di atas membahas bahwa batas antara hubungan kekerabatan dengan hubungan kekerabatan itu tipis, tapi yang menjadi dasar pembedanya adalah bahwa hubungan pertemanan itu dimulai karena adanya kesukarelaan. Sedangkan, hubungan kekerabatan tidak selalu dimulai karena kesukarelaan, tetapi karena kesamaan keturunan. Pemaran dari ilmu Psikologis membahas tentang mengapa manusia melakukan sosialisasi dan akhirnya terbentuk hukbungan pertemanan.
Menurut kami sendiri pertemanan merupakan suatu hubungan yang terjadi secara sukarela dan di dalamnya mendapatkan kenyamanan emosional dan bantuan (bisa dalam berbagai macam bentuk). Meskipun hubungan pertemanan terjadi atas dasar kesukarelaan para pelakunya, tetapi menurut kami pertemanan terjadi juga karena adanya kepentingan, karena manusia pada dasarnya merupakan makhluk politik.
Daftar Pustaka
Adams, R., & Allan, G. (Eds.). (1999). Placing Friendship in Context (Structural Analysis in the Social Sciences). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9780511520747
Ahimsa-Putra, H. S. (2011). Paradigma, Epistemologi, dan Etnografi dalam Antropologi. Makalah Ceramah, 30.
Desai, A., & Killick, E. (2013). The ways of friendship: Anthropological perspectives. New York: Berghahn.
Eve, M. (2002). Is friendship a sociological topic? European Journal of Sociology / Archives Européennes De Sociologie / Europäisches Archiv Für Soziologie, 43(3), 386-409. Diakses dari http://www.jstor.org/stable/23998867
Hruschka, D. J. (2010). Friendship: Development, ecology, and evolution of a relationship. Berkeley, CA: University of California Press.
American Sociological Association. (2008). Introduction to Sociology. Diakses dari http://www.asanet.org/sites/default/files/savvy/introtosociology/Documents/Field of sociology033108.htm#whatdosociologistsstudy
コメント