Konsep Utang: Debt to Society, Sejarah Uang, dan Liability
Utang merupakan suatu konsep yang sebenarnya sangat menarik. David Graeber menujukkan poin menarik tentang utang lewat pertanyaan kritis yang ia lontarkan. Ia bertanya, “Why debt? What makes the concept so strangely powerful? Consumer debt is the lifeblood of our economy. All modern nation-states are built on deficit spending. Debt has come to be the central issue of international politics. But nobody seems to know exactly what it is, or how to think about it” (Graeber, 2011:5).
Konsep utang secara umum selama ini sangat erat kaitannya dengan uang. Menurut KBBI daring, utang berarti uang yang dipinjam dari orang lain atau kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima. Debt sebagai padanan kata utang dalam Bahasa Inggris juga memiliki arti yang tidak terlalu jauh berbeda. Menurut Oxford Dictionaries melalui situs daringnya, debt berarti (1) a sum of money that is owed or due; (1.1) the state of owing money; atau (1.2) a feeling of gratitude for a service or favour.
Antropologi memiliki definisi tersendiri mengenai konsep utang. Drucilla K. Barker, dalam artikelnya yang mereview artikel dari Miranda Joseph yang berjudul “Debt to Society”, menyebutkan bahwa para antropologi mengartikan utang atau debt sebagai “the bond that holds communities together and is thoroughly embedded in all social relations and in all economies.” (Barker, 2016: 612). Gustav Peebles menggunakan istilah credit dan debt untuk menjelaskan konsep yang sama. Menurut Peebles, credit/debt adalah “a method of lending concrete resources to an institution or and individual in the present and demanding (or hoping for) a return in the future.”(Peebles, 2010:227). Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa “credit/debt can be seen as a method devised for a debtor to borrow speculative resources from his/her future and transform the into concrete resources to be used in the present.”(Anderlini & Sabourian, 1992: 75-106 dalam Peebles, 2010:227). Kemudian ada pula Keith Hart, merujuk pada David Graeber, menjelaskan utang sebagai “a obligation with a figure attached, and hence debt is inseparable from money.”
Isabelle Guerin menjelaskan perbedaan antara konsep utang dalam sudut pandang ekonomi dan antropologi dengan cukup baik. Guerin menyebutkan bahwa dalam perspektif ekonomi, utang berarti “a monetary transfer between two parties considered equal. It is defined by an amount, an interest rate, and a deadline. The repayment is supposed to conclude the relationship. For the borrower, a debt is a positive when it brings financial returns within the time frame of the transaction and is negative when it is still owed after the item is consumed or the income earned from the asset is less than the cost of the loan.” (Guerin, 2014:540). Ia merasa definisi dan kategorisasi yang dikembangkan oleh teori ekonomi tidaklah sepenuhnya tepat (Ibid.) Guerin berpendapat bahwa jika kita mencoba untuk menganalisis praktek serta menelisik perasaan dan emosi yang terasosiasi dengan utang, maka kita akan dapat melihat utang lebih daripada sekadar transfer material atas jangka waktu yang terbatas (Ibid.). Ia menyebutkan bahwa “The history and anthropology of debt reveals that debt is both shaped by and constitutive of social relationship, moral values, and culture.” (Ibid.) Utang, menurutnya, memiliki variasi makna dan formulasi yang sangat bergantung pada konteks yang partikular (Ibid.).
David Graeber, yang kami sebutkan di awal, dalam bukunya yang berjudul “Debt: The First 5.000 Years” menyebutkan bahwa ketika kita ingin membicarakan sejarah utang, maka secara langsung kita juga membicarakan sejarah uang. Selain itu, Graeber juga menyebutkan bahwa, “...and the easiest way to understand the role that debt has played in human society is simply to follow the forms that money has taken, and the way money has been used, across the centuries.” (Graeber, 2011:21). Dalam artikel berjudul sama, yang ditulis pada tahun 2009, Graeber telah menjelaskan secara ringkas awal mula konsep utang dan relasinya dengan kekerasan, perbudakan, dan uang. Ia menjelaskan bahwa “If you surrender in war, what you surrender is your life, your conqueror has the right to kill you, and often will. If he chooses not to you literally owe your life to him, a debt conceived as absolute, infinite, irredeemable.” (Graeber, 2009:8). Ia kemudian juga menerangkan bahwa kita semua terlahir pada utang tak terbatas pada masyarakat (society) yang telah membesarkan, merawat, memberi makan dan pakaian, kepada para leluhur yang telah menciptakan bahasa yang kita ucapkan dan tradisi yang kita lakukan, yang dengan demikian memungkinkan kita untuk eksis. Perkembangan dari utang sosial tersebut adalah uang, di mana Graeber menyebutkan bahwa “money is simply the concrete form of this social debt, the way that it is managed.” (Ibid.)
Selain itu, secara singkat ia juga menjelaskan sejarah terciptanya konsep utang dari masa Mesopotamia pada tahun sekitar 3.500 SM. Di masa Mesopotamia, utang mulai dikenal dengan adanya sistem kredit. Para penduduk lokal dapat mengutang di tempat-tempat minum dan akan dibayar ketika masa panen tiba. Setelah masa itu, Graeber menyebutkan masa Axial pada tahun sekitar 800 SM – 600 M di mana bentuk uang mulai mewujud pada koin dan batangan besi. Di Abad Pertengahan pada sekitar tahun 600 – 1500 , sistem ekonomi mulai mengembalikan virtual credit-money sebagai sistem pembayaran yang dominan. Kemudian, di masa Age of European Empires di sekitar tahun 1500 – 1971 , logam mulia kembali menduduki posisi dominan sebagai alat pembayaran. Masa setelah itu adalah masa kini, di mana Graeber menyebutnya dengan “The Empire of Debt” (Ibid., 9-13). Dinamika tersebut seluruhnya dipengaruhi oleh peristiwa penaklukan, penjajahan, dan penguasaan. Contohnya adalah sistem virtual credit-money yang sudah eksis pada masa Mesopotamian sempat redup karena wilayah Mesopotamia dikuasai oleh Alexander Agung yang memakai setengah ton batangan perak per hari sebagai gaji prajuritnya (Ibid., 10).
Pemikiran lain dari Graeber yang menarik adalah aspek moralitas dalam utang. Graeber menjelaskan bahwa kekuatan utang terletak pada kekerasan, sehingga relasi antara pengutang dan pemberi utang dipandang sebagai sesuatu hal dasar moralitas. Hal ini diterangkan oleh Graeber bahwa, “For thousands of years, violent men have been able to tell their victims that those victims owe them something. If nothing else, they “owe them their lives” because they haven’t been killed.” (Graeber, 2011:5). Graeber kemudian menyebutkan bahwa bila seseorang melihat sejarah utang, maka hal pertama yang ia temukan adalah kebingunan moral yang mendalam. Hal ini terlihat paling termanifestasi dengan jelas karena “one finds that the majority of human beings hold simultaneously that (1) paying back money one has borrowed is a simple matter of morality, and (2) anyone in the habit of lending money is evil.”
Graeber kemudian melanjutkan bahasannya mengenai moralitas utang ketika ia menanyakan apa yang terjadi ketika moralitas dan keadilan dalam utang direduksi ke dalam bahasa perjanjian bisnis? Apakah itu berarti kita mereduksi obligasi moral ke dalam ‘utang’? Graeber menjawabnya dengan,
“On one level, the difference between an obligation and a debt is simple and obvious. A debt is the obligation to pay a certain sum of money. As a result, a debt, unlike any other form of obligation, can be precisely quantified. This allows debts to become simple, cold, and impersonal--which in turn, allows them to be transferable...One does not need to calculate the human effects; one need only calculate principal, balances, penalties, and rates of interest. If you end up having to abandon your home and wander in other provinces, if your daughter ends up in a mining camp working as a prostitute, well, that’s unfortunate, but incidental to the creditor. Money is money, and a deal’s a deal.” (Ibid., 13-14)
Setelah itu, kami juga melakukan studi pustaka dari sudut pandang ilmu ekonomi, terkhusus dari ilmu akuntansi, dengan menggunakan buku “Intermediate Accounting: Second Edition” sebagai dasar acuan. Menurut buku tersebut, utang tidak hanya merujuk pada konsep debt, namun juga pada konsep liability. Liability adalah:
“a present obligation of a company arising from past events, the settlement of which is expected to result in an outflow from the company of resources, embodying benefits. In other words, a liability has three essential characteristics:
1. It is a present obligation.
2. It arises from past events.
3. It results in an outflow of resources (cash, goods, services).
Because liabilities involve future disbursements of assets or services, one of their most important features is the date on which they are payable. A company must satisfy currently maturing obligations in the ordinary course of business to continue operating. Liabilities with a more distant due date do not, as a rule, represent a claim on the company’s current resources. They are therefore in a slightly different category. This feature gives rise to the basic division of liabilities into (1) current liabilities and (2) non-current liabilities” (Kieso, D., dkk, 2014:598).
Ekonomi X Sejarah: Transaksi Keuangan dan Empat Periode Utang
Dalam subbab ini, kami akan memaparkan hasil tanya-menanya dari dua informan yang berasal dari dua disiplin ilmu yang berbeda. Informan pertama dari disiplin ilmu ekonomi dan informan kedua dari disiplin ilmu sejarah. Pembahasan konsep utang menurut dua disiplin ilmu tersebut akan dipaparkan lebih dalam di bagian ini.
Informan pertama bernama Gerardo Gani. Dia adalah mahasiswa semester 5 program studi S1 Akuntansi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Menurut pemaparannya, utang dalam ilmu ekonomi merupakan percepatan konsumsi, sebaliknya, saving atau tabungan merupakan perlambatan konsumsi. Secara sederhana, yang dimaksud dengan utang adalah mengambil sumberdaya masa depan untuk digunakan di masa kini, kemudian akan dibayar dengan hasil pengelolaan aset. Di sisi lain, utang dalam ilmu akuntansi adalah beban yang harus dibayarkan di masa kini atas aktivitas ekonomi di masa lalu. Gani (nama sapaan) juga menjelaskan secara singkat mengenai unsur-unsur utang atau kewajiban (liabilities), yaitu: 1) It is a present obligation, 2) It arises from past events 3) It results in an outflow of resources (cash, goods, services). Gani juga mengajukan definisi liabilitas menurut PSAK No. 57 (Revisi 2009), yang berisi: “Liabilitas adalah kewajiban kini entitas yang timbul dari peristiwa masa lalu yang penyelesaiannya dapat mengakibatkan arus keluar sumber daya entitas yang mengandung manfaat ekonomi”.
Pada dasarnya, kedua konsep tersebut hampir sama. Dalam perspektif ilmu ekonomi, konsep utang ini menitikberatkan pada penggunaan di masa sekarang, sedangkan di akuntansi berfokus pada pembayaran di masa sekarang. Dalam konteks akuntansi. Gani memberitahu juga mengenai persamaan akuntansi yaitu, aset=liabilitas+ekuitas dan Liabilitas= aset – ekuitas. Secara sederhana, berbicara dalam konteks ilmu akuntansi, utang sudah sangat spesifik merujuk pada transaksi keuangan.
Dalam konsep utang ini, terdapat dua pihak yaitu orang yang mengutang dan orang yang memberi utang. Dalam penjelasan Gani, alasan dari orang melakukan utang dikarenakan keterbatasan sumberdaya di masa kini untuk memenuhi kebutuhan di masa kini. Sementara itu, orang memberi utang dikarenakan adanya sisa sumber daya atau sumber daya yg tidak terpakai, yang dapat dipinjamkan dengan harapan akan mendapat keuntungan berupa bunga (interest), atau juga karena basis bisnisnya dia adalah peminjaman.
Beralih dari perspektif ilmu ekonomi akuntansi, selanjutnya utang dibahas menurut ilmu sejarah. Informan kedua ini bernama Abednego Andhana .P. Dia adalah mahasiswa semester 3 program studi S1 Sejarah Murni di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam menjelaskan konsep utang, Abed (nama sapaan) membaginya menjadi beberapa periode waktu. Periode waktu yang ada tidak spesifik berurutan, namun merupakan masa-masa yang menurutnya paling jelas untuk konteks perutangan.
Periode pertama adalah masa kesultanan (Islam) yang secara melompat juga merangkap masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa kesultanan atau Islam, dikenal sistem feodal yang sangat melekat di Indonesia, terutama di Jawa. Pada masa ini, kepemilikan tanah menjadi hal yang penting dalam konteks ekonomi. Kepemilikan tanah inilah yang termasuk dengan sistem feodal atau feodalisme. Seseorang yang memiliki tanah bisa diartikan juga memiliki sumber daya manusia yang ada di sekitar tanah itu. Namun, perutangan lebih dikenal ketika masa Indonesia sudah merdeka. Pada masa Soekarno, demi membantu krisis moneter yang dialami negara, beliau mengutang pada sultan, bangsawan, dan orang-orang yang justru erat dengan feodalisme. Hal itu dikarenakan Soekarno cukup membenci Barat sehingga tidak mau mengutang pada Barat karena tidak ingin terlihat bergantung pada negara-negara Barat. Menurut Abed, inilah penyebab Indonesia mengalami krisis moneter terus, dikarenakan utang dan ekonomi berbelit di dalam negeri dan dibelitkan pada masyarakat Indonesia sendiri.
Berbeda dengan masa Soekarno, ketika masuk masa Soeharto, utang justru lebih terbuka. Indonesia mengutang pada luar negeri. Konsep utang menjadi semakin kompleks. Belum lagi, penanaman modal asing juga dibuka besar-besaran pada masa Soeharto. Salah satunya Freeport.
Periode kedua adalah pada masa kolonial khususnya VOC. Pada masa ini, utang mulai dihitung dalam konteks perdagangan ekonomi. Utang perdagangan Belanda yang banyak menyebabkan adanya sistem-sistem tanam paksa di Indonesia. Menurut Abed, itulah dampak paling dekat yang dapat dilihat dalam konteks sejarah mengenai keberadaan utang pada masa kolonial terkhusus VOC.
Periode ketiga adalah pada masa VOC sampai politik etis. Pada masa ini, kondisi ekonomi memainkan peran penting. Hal ini dikarenakan banyaknya utang menentukkan kebijakan pemerintah yang dikeluarkan, dibuat, atau juga diubah. Dalam konteks ini, utang memiliki peranan dan pengaruh yang besar dalam ekonomi serta kebijakan pemerintah.
Periode keempat sekaligus periode terakhir yang dipaparkan Abed adalah masa politik liberal. Pada masa ini, pihak swasta masuk dalam sistem perekonomian negara sehingga tidak lagi hanya satu jalur yaitu pemerintah saja. Ekonomi dan politik pada masa ini menjadi lebih terpecah menjadi sistem-sistem kecil yaitu yang ada di pihak-pihak swasta. Perekonomian dinilai menjadi lebih longgar dan terbuka karena adanya koneksi-koneksi yang lebih luas dan rumit. Begitu juga halnya dengan konsep utang menjadi lebih melekat dan luas jalurnya di Indonesia.
Benang Merah: Eksistensi Utang dari Perspektif Antropologi, Sejarah, dan Ekonomi
Konsep utang dalam kehidupan manusia telah bereksistensi dan berkembang dengan seiring masa serta ilmu yang ada. Ilmu ekonomi sebagai ilmu yang pada masa ini ‘paling dekat’ dengan konsep utang telah mendefinisikannya secara praktis dan sangat lekat dengan sistem produksi-distribusi-konsumsi. Begitu pula dengan ilmu akuntansi seperti yang dikatakan oleh Gani. Utang sudah bersifat sangat definitif, bahkan sampai dalam bentuk persamaan matematika, dan sama sekali tidak dapat terpisahkan dari uang. Orang berutang karena dia butuh sumber daya, dan orang memberi utang karena dia memiliki sumber daya berlebih yang dapat dipinjamkan. Semua dapat dikalkulasi, semua dapat dihitung untung ruginya. Pernyataan Graeber tentang aspek moralitas utang yang menjadi impersonal terlihat nyata dalam hal ini.
Dalam konteks sejarah Indonesia, seperti yang dipaparkan dalam data wawancara dengan Abed, utang dihitung secara ekonomi pada masa kolonial tepatnya pada masa kekuasaan VOC. Keberadaanya menyebabkan adanya sistem tanam paksa untuk melunasi utang. Dalam periode sebelumnya, yaitu masa kesultanan, utang tidak secara spesifik ada namun lebih kepada kepemilikan tanah sebagai indikator ekonomi. Barulah memasuki masa-masa VOC sampai politik etis, ekonomi termasuk utang memainkan peran penting di Indonesia. Banyaknya utang dari penjajah sekaligus penguasa dan siapapun yang berwenang, mempengaruhi kebijakan yang ada. Seringkali, kebijakan yang dikeluarkan justru memberatkan rakyat demi utang-utang perdagangan atau lainnya yang hampir tidak berkaitan langsung dengan rakyat bawah. Dari beberapa periode ini, dapat dikaitkan dengan pendapat dari Graeber mengenai awal-awal relasi utang yang erat berhubungan dengan kekerasan, perbudakan , dan uang.
Selain itu, utang pada periode-periode di atas juga semakin eksis dengan berkembangnya peristiwa-peristiwa penjajahan dan penguasaan. Sama halnya dengan data yang ada, utang kemudian menjadi kuat keberadaanya dikarenakan ada penjajahan dan penguasaan. Secara lebih dalam, pada masa kesultanan yang mana berkembang sistem feodal, utang maupun kepemilikan tanah terjadi karena adanya kuasa dari mereka yang memilki sumber daya kepada mereka yang tidak memiliki sumber daya. Sebenarnya, secara keseluruhan dari semua periode, memang konsep utang dapat berjalan karena ada penguasaan yang disertai kekerasan dan penjajahan.
Pada periode setelah Indonesia merdeka, utang secara jelas ada dan dilakukan oleh negara untuk kebutuhan-kebutuhan dalam negeri. Dalam hal ini, ada perbedaan sistem dan jalur perutangan, yang mana Soekarno memilih berutang pada rakyat sendiri daripada pada barat sedangkan Soeharto justru memilih berutang sebesar-besarnya pada Barat. Pada masa politik liberal, ekonomi begitu juga utang menjadi lebih terpecah dan terbuka. Hal ini dikarenakan tidak hanya ada satu jalur yaitu pemerintah, namun setiap pihak swasta melakukan sistemnya sendiri-sendiri dengan jaringannya sendiri.
Dalam kaitannya dengan ilmu antropologi, seperti yang telah dipaparkan oleh Drucilla K. Barker, antropologi memandang utang sebagai ikatan yang menyatukan komunitas dan sepenuhnya tertanam dalam semua hubungan sosial dan di semua ekonomi. Hal ini bila dilihat dari konteks sejarah, utang tidak dapat jelas dilihat dari ikatan komunitas. Namun, seperti yang dikatakan oleh Guerin, sebenarnya sejarah juga memiliki kesamaan dengan antropologi dalam melihat utang dari hubungan sosial dan budaya. Hubungan sosial yang ada dapat dilihat dari contoh masa Soekarno memilih berutang pada rakyat, salah satunya sultan daripada barat. Begitu juga dengan budaya, pada masa Soekarno terdapat budaya timur dan barat yang bertentangan sehingga Soekarno tidak membiarkan Indonesia berutang pada barat.
Pembahasan terakhir adalah mengenai benang merah yang kemudian ditemukan dari perbedaan ilmu dalam konsep utang. Secara sederhana, utang akhirnya eksisten dan terjadi karena adanya kebutuhan. Seperti halnya dalam ekonomi, ada pihak yang memberi utang dan diberi utang, dimana yang diberi utang membutuhkan uang, begitu juga di sejarah. Utang terjadi karena adanya kebutuhan baik kolonial, negara, maupun perorangan.
Utang dan Ikatan Impersonal
Dari seluruh pembahasan yang telah kami lakukan, kami dapat menyimpulkan bahwa utang adalah suatu keadaan di mana seseorang atau sekelompok orang terikat secara moral atas seseorang atau sekelompok orang yang lain. Ikatan tersebut, seperti yang dikatakan Graeber, sebagian besar disebabkan karena adanya tekanan, kekuasaan, atau kekerasan. Orang yang berutang mempunyai posisi yang lebih rendah daripada orang yang memberi utang.
Seiring berkembangnya sistem ekonomi, terutama keuangan, utang pada masa ini merujuk pada penggunaan sumber daya potensial masa depan di masa sekarang. Orang yang membutuhkan sesuatu namun tidak memiliki sumber daya tertentu untuk memenuhi kebutuhannya tersebut akan mengutang kepada orang yang memiliki sumber daya yang dimaksud. Uang yang bersifat sangat impersonal menyebabkan utang secara langsung bersifat impersonal, kuantitatif, dan kini sering bersifat menguntungkan bagi si pemberi utang.
Yogyakarta, 2018. Ditulis oleh Yulius Brahmantya Priambada dan Charistya Herandy pada Bulan Desember yang cukup sering disinggahi hujan.
Refrensi
Graeber, D. (2012). Debt: The first 5,000 years. New York: Melville House.
Peebles, G. (2010). The Anthropology of Credit and Debt. Annual Review of Anthropology, 39(1), 225-240. doi:10.1146/annurev-anthro-090109-133856
Barker, D. K. (2016). Economics, economic anthropology, and debt. Journal of Cultural Economy, 9(6), 611-616. doi:10.1080/17530350.2016.1172020
Guérin, I. (2014). Juggling with Debt, Social Ties, and Values. Current Anthropology,55(S9). doi:10.1086/675929
Hart, K. (2016). The anthropology of debt. The Journal of the Royal Anthropological Institute, 22 (2). pp. 415-421. doi: 10.1111/1467-9655.12406
Kieso, D., dkk. (2014). Intermediate Accounting Second Edition. Wiley
תגובות