top of page
Writer's pictureShafira Hendrawan

Angkringan: Ruang Relasional Manusia

Updated: May 14, 2019

Ali Akbar Muhammad, Athif Tsabit Prasojo, Shafira Apriliana Hendrawan.


Apa Itu Angkringan?

Sederhananya, angkringan adalah kaki lima yang menjual makanan dan minuman sederhana, khusus untuk waktu malam hari, harga makanan dan minuman relatif murah, dan tempatnya seringkali menjadi media untuk mengobrol berbagai hal (Sudiro, 2014). Ciri menonjol dari angkringan selain sebagai tempat makan adalah tempat bersosialisasi dengan teman dan pelanggan lainnya yang nanti akan dibahas lebih lanjut dalam bagian ‘Angkringan sebagai Ruang Publik’. Kata angkringan mengacu pada bentuk asli awal kemunculan angkringan sendiri yang disebut ‘angkring’, karena pada awal mula kemunculannya menggunakan dua keranjang kayu yang disambungkan dengan tongkat bambu dan dibawa dengan cara dipikul di pundak seperti yang dikatakan oleh Yusuf berikut,

The word angkringan is derived from 'angkring' which means two wooden baskets tied on either side of a bamboo pole that can be carried by shoulder.” (Yusuf, 2017)

Sejarah Singkat Angkringan

Untuk mengetahui sejarah angkringan, kami memutuskan untuk mengobrol santai dengan Pak Tarso, Pak Sugeng, Pak Min dan tidak lupa ditemani oleh kopi dan rokok. Berhubung dua orang dari kelompok kami juga orang Jogja, obrolan menjadi gathuk dan sangat cair, berbagai celotehan hingga umpatan muncul dalam senda gurau gayeng kami malam itu. Ketiga orang bapak-bapak yang sudah cukup tua–salah satunya sudah berusia 73 tahun–tersebut rupanya sejak kecil tinggal tidak jauh dari Jalan Mangkubumi yakni di ledok (sebutan yang eksis di Jogja untuk daerah pemukiman yang berada di bantaran sungai, khususnya Kali Code) yang terletak di sebelah barat jalan tersebut. Pak Min dan Pak Sugeng sendiri kini menjadi tukang parkir dan Pak Tarso merupakan tukang becak.


Setelah mengakrabkan diri dengan waktu sekitar ‘sakududan’, kami langsung saja menyampaikan maksud kami yakni ingin mengetahui tentang sejarah angkringan. Mendengar keinginan kami tersebut, mereka sangat antusias untuk menceritakannya hingga mereka bertiga berebut untuk berbicara. Ketika menceritakan sejarah angkringan, yang menarik adalah mereka bercerita tidak terlepas dengan segala cerita keseruan masa mudanya, saat hal itu mulai klimaks maka nanti dua orang bapak yang tidak sedang bercerita ini akan menimpalinya dan saling mengejek dan misuhi sambil mengingat masa muda mereka dahulu. Menyenangkan ajakan untuk duduk mengobrol malam itu juga membawa kebahagiaan bagi mereka yang sangat tergambar dari wajah dan ekspresinya ketika kami tertawa lepas bersama.


Pak Tarso, Pak Min, dan Pak Sugeng dalam ceritanya sepakat bahwa angkringan pertama kali muncul di Yogyakarta sekitar pertengahan 1960-an dan kemudian tahun demi tahun berikutnya menjamur di beberapa sudut kota Yogyakarta. Menurut kisah mereka, angkringan pada masa awal kemunculannya merupakan gebrakan yang sangat heboh dalam dunia perdagangan kaki lima. Gebrakan tersebut karena angkringan membawa banyak hal baru meski kalau dipikir-pikir warung kaki lima yang sudah ada–seperti warung kaki lima yang menjajakan soto, nasi dan bakmi goreng, penyetan, dan lainnya–juga menyajikan makanan dan minuman, namun pendekatan yang dibawa oleh angkringan berbeda karena mereka membawa makanan ‘kecil’ saja, seperti nasi kucing, sate (usus, hati, brutu, telur puyuh) dan gorengan serta klethikan kecil lainnya, bukan main course. Bahkan sate daging ayam sendiri seingat Pak Tarso baru mulai muncul ketika mendekati tahun 1990 karena daging ayam merupakan kemewahan dan tidak dijajakan di warung seperti angkringan. Minuman yang angkringan bawa sejak awal kemunculannya tidak sekedar jeruk atau teh namun juga berbagai wedhangan seperti jahe.


Ketiga bapak-bapak tadi juga menceritakan adanya perubahan angkringan di masa lalu dengan yang saat ini. Perubahan pertama yang paling kentara adalah banyaknya angkringan yang sejatinya pikulan, menjadi angkringan dengan gerobak beroda. Fenomena ini menurut mereka muncul tidak lama setelah angkringan sendiri muncul, masih pada sekitar tahun 1970-an. Selanjutnya, pada awalnya angkringan adalah bentuk menjajakan jajanan yang benar-benar mobile, yang dibawa (untuk angkringan pikulan) ataupun didorong (untuk angkringan yang menggunakan gerobak), benar-benar dibawa dari rumah penjualnya ke lokasi berjualan yang pada sejarahnya, angkringan selalu buka di malam hari antara pukul 18.00 hingga larut malam bahkan dini hari.


Namun saat ini rata-rata mereka sudah memiliki tempat berjualan yang pasti dan menetap sehingga angkringannya (baik yang berupa gerobak maupun pikulan) ditinggal di sana. Selain itu, berbagai perubahan telah terjadi sejak 1960-an hingga saat ini, seperti item menu tertentu dan tentu saja harga. Dalam hal variasi menu, angkringan saat ini menawarkan menu yang sangat beragam dan tidak identik dengan makanan kelas bawah lagi, seperti varian sate-sate baru yang sudah tidak jeroan lagi (sate daging, sate sosis, sate nugget, dan sate bakso) dan minumannya yang kini sudah didominasi oleh berbagai minuman sachet beraneka jenis. Angkringan kini masuk kedalam deretan kuliner legendaris menurut wisatawan yang perlu dinikmati ketika berkunjung ke Yogyakarta seperti yang dikutip dari Tribunnews.com (2018).


Angkringan Sebagai Ruang Publik

Warung angkringan dapat pula ditempatkan sebagai “ruang publik” masyarakat. Ruang publik (public sphere) sebagaimana diutarakan Jurgen Habermas adalah,


“...public sphere may be conceived above all as the sphere of private people come together as a public; they soon claimed the public sphere regulated from above against the public authorities themselves, to engage them in a debate over the general rules governing relations ...” (Habermas, 1989, p. 27)

Lebih jauh, Habermas (1989) menjelaskan bahwa ruang publik adalah suatu ruang yang bebas dari penindasan, tekanan, dan dominasi, artinya merupakan suatu ruang dimana setiap individu memiliki derajat yang sama, dan berbagai diskusi hingga yang bermuatan subversif pun seperti mengkritik/mengecam pemerintahan dapat berlangsung di dalamnya. Melalui pengertian ruang publik di atas, kiranya warung angkringan dapat terkategori di dalamnya.


Apabila kita amati, diskusi yang terjadi dalam warung-warung angkringan berlangsung secara bebas dan terbuka. Bebas dalam arti, setiap orang dapat mengemukakan pendapat berikut kritiknya terhadap pemerintah tanpa harus merasa takut atau was-was bakal dicekal. Sedang, terbuka berarti setiap orang dapat turut berpartisipasi dalam diskusi atau debat yang tengah berlangsung, entah itu pejabat, pegawai negeri sipil, tukang becak, buruh bangunan, sopir, mahasiswa dan mahasiswi. Berbagai lapisan masyarakat dengan beragam profesinya yang berbeda melebur di angkringan, Bahkan angkringan juga telah “naik status” menjadi hidangan Istana Negara dimana seperti yang dilansir dalam Tribunnews.com (2019) pedagang angkringan diundang Istana agar presiden dan paspampres dapat menikmati menu angkringan. Menilik proses sosial yang terjadi di dalam warung angkringan tersebut akhirnya turut menjadi ciri khas dan identitas dari angkringan.


Penikmat angkringan dari semua segmen tersebut menjadi sebuah ciri khas kebersamaan dan interaksi sosial yang erat di angkringan. Angkringan menjadi simbol ekonomi kerakyatan dan kultur kebersamaan yang dibangun spontan sehingga menurut kami di sinilah terkandung nilai ekonomi dan sosial. Fenomena angkringan merupakan kultur urban-seperti yang disampaikan Pak Tarso, Pak Min, dan Pak Sugeng di mana dahulu angkringan merupakan gebrakan baru dan segera menjamur-yang berkembang jauh sebelum muncul kafe-kafe. Ketertarikan konsumen dengan angkringan bukan karena makanan namun lebih pada menikmati suasana santai, informal, dan bebas. Penikmat bebas membicarakan apa saja di angkringan dan tanpa kita sadari pengunjung angkringan telah berproses menjadi satu bagian dari “unit sistem” yang tercipta di sana.


Angkringan di Pusat Kota


Kami mengunjungi angkringan yang terletak di Jalan Mangkubumi (Angkringan Kopi Jos Pak Agus) dan angkringan yang terletak di Jalan Wongsodirjan (Angkringan Kopi Jos Pak No) yang mana ujung barat jalan ini bertemu dengan Jalan Mangkubumi. Keduanya terkenal dengan sebutan ‘Angkringan Mangkubumi’ dan ‘Angkringan Stasiun Tugu’ karena memang berada sangat dekat dengan Stasiun Tugu Yogyakarta. Ada puluhan angkringan yang berada di sekitaran wilayah ini dan semua angkringan tersebut terletak berdekatan--bahkan saling menempel--di sepanjang jalan tersebut. Terdapat kedua jenis fisik angkringan di ‘Angkringan Mangkubumi’ ini, baik yang menggunakan gerobak beroda maupun yang ‘angkring’ pikulan. Tempat untuk pengunjungnya sendiri disediakan lesehan dengan tikar yang digelar di hampir seluruh trotoar di sekitar kedua jalan tersebut, bahkan menurut sepengamatan kami, cenderung benar-benar menutup seluruh trotoar yang berada dekat angkringan-angkringan tersebut.


Meski berada di tengah kota, angkringan-angkringan ini tetaplah angkringan. Tetap menggunakan tiga cerek, arang, dan makanannya dijajakan dengan ditata sedemikian rupa di gerobak ataupun angkringan tersebut. Menu yang disajikan sendiri identik dengan semua angkringan lainnya seperti nasi kucing, sate-satean, gorengan, dan wedhangan, namun disini terdapat beberapa perbedaan yakni seperti aneka sate yang lebih beragam seperti sate bakso, sate udang, sate sosis, banyaknya minuman sachet yang direnteng dan turut dijajakan - malah seperti warung Indomie/burjo.


Namun untuk ‘Angkringan Mangkubumi’, terdapat satu hal yang unik yakni adanya menu kopi jos (kopi yang dicelup dengan arang yang membara). Harga menjadi aspek yang paling menonjol perbedaannya dengan angkringan yang tidak berada dalam kumpulan ‘Angkringan Mangkubumi’ ini. Dalam kumpulan ‘Angkringan Mangkubumi’, semua harga menunya menjadi sangat mahal dan malah mirip dengan harga menu di rumah makan. Bagaimana tidak, es teh dihargai empat ribu rupiah dan sate-satenya mulai dari harga empat ribu hingga delapan ribu rupiah. Harga ini kami rasa lebih mahal hingga tiga kali angkringan pada umumnya.


Meski dengan bentuk angkringan, mahalnya harga menu yang dijajakan ini kami rasa turut dipengaruhi dengan lokasinya yang terletak di tengah kota. Namun bukan karena sekedar tengah kota karena buktinya dari pengalaman kami sekelompok, angkringan lain yang berada di tengah kota sekalipun harganya tetap murah. Hal ini serupa dengan angkringan milik Paijo dalam artikel yang ditulis oleh Hadi (2018) dalam detiknews mengenai angkringan yang masih menjajakan nasi kucing dengan harga seribu lima ratus rupiah, meski berada di Jalan Colombo yang letaknya notabene di pusat kota.


Pengaruh pembangunan infrastruktur urban yang bagus di wilayah ini menjadi salah satu penyebab munculnya pengelompokkan puluhan angkringan-angkringan di ‘Angkringan Mangkubumi’. Dahulu, menurut ketiga bapak-bapak yang menjadi informan kami tadi hanya ada satu angkringan saja yang terletak di Jalan Mangkubumi dekat Stasiun Tugu ini yaitu angkringan milik Lik Man. Namun seiring berbagai pembangunan infrastruktur urban di wilayah ini karena lokasinya yang strategis, serta fakta bahwa Jalan Mangkubumi ini juga menjadi ikon dan wajah jogja karena merupakan jalan yang satu garis lurus dari Tugu Jogja hingga Kraton Yogyakarta (seperti Jalan Malioboro) membuat wilayah ini menjadi ramai hingga dianggap sebagai tempat wisata membuat pedagang angkringan banyak yang datang dan berkumpul di sini untuk berjualan.


Pembangunan tata kota yang rapi dan menarik seperti pedestrian yang luas dan bagus serta lampu-lampu kota yang menarik membuat banyak wisatawan datang ke wilayah ini karena dianggap sebagai tempat yang ‘sangat Jogja’. Hasil obrolan kami dengan Pak Tarso, Pak Min, dan Pak Sugeng menemukan fakta yang menarik karena rupanya para pedagang angkringan yang berkelompok di ujung Jalan Mangkubumi ini memang sengaja menaikkan harga dagangannya karena mereka menilai kalau pengunjungnya bukan sekedar pelanggan angkringan saja, namun juga sebagai wisatawan.


Kami merasa anggapan pedagang tersebut selaras dengan apa yang kami temui di ‘Angkringan Mangkubumi’ ini. Secara sederhana saja, tidak banyak motor berplat AB yang berhenti di sini. Ketika kami duduk dan bergeser dari lesehan satu angkringan ke angkringan lainnya pada sepanjang jalan ini, kami menemukan bukti bahwa hampir seluruh pengunjungnya tidak berasal dari Jogja karena bahasa dan logat yang mereka gunakan. Hal ini juga dipertegas ketika kami menanyakan langsung pada mereka dengan mengatakan bahwa kami sedang mengadakan penelitian. Terdapat perubahan dari relasi sosial yang terjadi serta tidak berlakunya lagi “unit sistem” yang seharusnya ada di angkringan itu sebagai ruang publik komunal seperti yang diungkapkan (Nurzami dan Marlina, 2019).


Berjam-jam kami mengamati dan geser dari satu angkringan ke angkringan yang lainnya, dan kami kembali mendapati bahwa pengunjung yang datang benar-benar tidak ada yang saling berinteraksi dengan pengunjung yang lainnya - selain sekedar meminjam korek api untuk menyalakan rokok. ‘Angkringan Mangkubumi’ pada akhirnya tidak ada bedanya dengan warung makan biasa, harga tidak murah, tidak ada interaksi apalagi peleburan pengunjungnya dalam “unit sistem” angkringan.


Angkringan di Pinggiran Kota


Merupakan angkringan yang dilihat dari tampilannya masih sederhana dengan mempertahankan unsur kesederhanaannya sebagai tempat makan yang menyajikan makanan siap saji. Selain mengamati angkringan di pusat kota Yogyakarta, kami juga mengamati angkringan yang berada di area Kotagede. Daerah ini merupakan perbatasan antara Yogyakarta dan Bantul, tepatnya di Jalan Karanglo dan Jalan Kemasan Kotagede. Angkringan ini hampir tidak tersentuh oleh infrastruktur modern-urban karena letaknya berada di pinggiran kota.


Kami juga melakukan pengamatan di wilayah kabupaten yang berbeda. Biasanya angkringan ini menggunakan gerobak atau lapak kios berdiri sendiri, beda dengan ‘Angkringan Mangkubumi’ yang mengelompokkan diri. Selain itu, terdapat jarak antara satu angkringan dengan angkringan lain. Di wilayah Kotagede yang terbilang kecil, kira-kira setiap 500-an meter terdapat angkringan, sedangkan di wilayah Bantul jaraknya lebih jauh dan bisa mencapai berkilometer. Singkat kata, proksimitas menjadi salah satu pembeda antara kumpulan ‘Angkringan Mangkubumi’ dengan angkringan di pinggiran kota.


Angkringan di pinggiran kota juga identik dengan ‘tempat makan kelas ekonomi bawah’ karena kesederhanaannya yang terlihat dari tampilan tempat makan ini. Angkringan-angkringan ini umumnya berangkat dari fungsinya sebagai tempat makan dan sebagai tempat untuk sekedar menikmati minuman yang disajikan, sehingga angkringan jenis ini tidak membutuhkan modal yang terlalu besar untuk membuatnya. Para pedagang angkringan sendiri umumnya berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah dan menargetkan konsumen yang juga dari kelas ekonomi menengah ke bawah sehingga harga yang dipatok untuk makanan dan minuman di angkringan-angkringan ini murah dan ramah di kantong. Beberapa menu yang dijajakan di angkringan ini bermacam-macam, mulai dari nasi kucing yang berkisar antara seribu sampai dua ribu rupiah setiap bungkusnya, hingga lauk yang terdiri dari berbagai jenis, mulai dari lima ratus rupiah sampai empat ribu rupiah. Minuman yang ada di angkringan ini terbilang lebih sederhana daripada yang terdapat di ‘Angkringan Mangkubumi’, seperti teh atau jeruk, minuman sachet, dan minuman tradisional lainnya, berkisar antara seribu hingga empat ribu rupiah.


Angkringan dalam konteks ini dibagi dalam dua kategori, yang pertama adalah angkringan yang menggunakan gerobak untuk menjajakan jualannya, yang yang lain adalah angkringan yang menggunakan lapak atau kios yang dibuat secara permanen atau semi permanen. Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mencolok dari kedua angkringan ini, makanan dan minuman yang disajikan pun biasanya homogen, hanya yang membedakan adalah tempatnya saja.


Keduanya masih mencerminkan kesederhanaan yang sangat lekat dengan kelas ekonomi bawah, namun biasanya angkringan yang lapak atau kios lebih lengkap daripada yang menggunakan gerobak. Meskipun menggunakan lapak, namun tempat duduk yang disediakan tetap sama dengan angkringan gerobak, juga tampilan dagangan yang diletakkan diatas meja, sehingga dari penataan yang seperti ini, setiap pengunjung berkumpul menjadi satu meskipun mereka tidak saling mengenal maupun tidak dari kelompok yang sama. Interaksi yang terjadi di angkringan jenis ini lebih intensif daripada angkringan yang berada di infrastruktur urban dimana pengunjung mengelompok satu sama lain tidak saling mengenal, suasana di angkringan juga lebih cair karena di beberapa angkringan yang kami amati terdapat permainan yang disediakan oleh pedagang untuk pengunjungnya seperti catur dan karambol, sehingga antar pengunjung bisa saling bermain.


Kami mengidentifikasi bahwa pengunjung angkringan di pinggiran kota ini merupakan kelas ekonomi menengah kebawah, terlihat dari kendaraan yang pengunjung gunakan adalah sepeda motor biasa, dari pakaian yang digunakan juga terlihat sederhana. Obrolan yang pengunjung ungkapkan merupakan obrolan keseharian yang mereka lakukan, hal ini terlihat juga karena mereka saling mengenal satu sama lain, seperti yang ditulis oleh Priyatmoko (2018) dalam detiknews mengenai kearifan angkringan


Lokasi angkringan ini biasanya ada di pinggir jalan raya yang dekat dengan pabrik, sekolah, lapangan, pasar atau tempat ramai lainnya, atau bahkan di dalam kampung. Karena letaknya ini, pengunjung yang datang ke angkringan ini biasanya saling mengenal satu sama lain, sudah mengenal sebelum berada di angkringan maupun saling mengenal karena sering berkunjung ke angkringan yang sama, angkringan dalam konteks ini dijadikan tempat untuk berkumpul warga setiap waktu untuk saling bertukar obrolan sembari menikmati makanan dan minuman.


Manusia dan Angkringan

Jika berbicara tentang angkringan, tentunya orang-orang yang mendatanginya tidak luput dari pembicaraan. Sama halnya seperti pengamatan kami, kami pun menjadikan orang-orang yang berada di angkringan-angkringan tersebut sebagai pusat pengamatan kami. Setelah melakukan pengamatan, kami menemukan perbedaan yang cukup signifikan dari segi relasional. Pengamatan kami di ‘Angkringan Mangkubumi’ mengungkapkan fakta bahwa familiaritas yang sering dikorelasikan dengan angkringan hampir tidak ditemukan. Hal ini diakibatkan oleh pengunjungnya yang umumnya merupakan wisatawan yang datang bergerombol dan menjadikan angkringan sebagai ‘objek wisata’. Lokasinya yang tidak jauh dari pusat keramaian wisatawan juga menjadi faktor penting yang kemudian mengundang para wisatawan untuk turut mengunjungi angkringan-angkringan tersebut dalam rangka mendapatkan pengalaman ‘khas Jogja’ yang sesungguhnya.


Berbeda dengan ‘Angkringan Mangkubumi’, angkringan yang terletak di pinggiran kota--seperti Kotagede dan Bantul--kental dengan familiaritasnya. Di angkringan-angkringan ini, manusia dari berbagai latar belakang bertemu dan batas di antara mereka saling melebur. Pintu percakapan mengenai berbagai hal terbuka di ruang ini, tanpa menghiraukan batas-batas yang terimplikasi oleh perbedaan latar belakang mereka. Meski perbedaan tersebut tetap tampak melalui penampilan mereka, perbedaan tersebut tidak tampak dalam percakapan mereka.


Familiaritas ini tidak mesti berarti kebersamaan layaknya keluarga, namun setidaknya terdapat kenyamanan yang terbentuk. Kenyamanan tersebut seakan-akan memperbolehkan segala macam perbincangan untuk terlontar dalam ruang tersebut. Jika dapat kami simpulkan, angkringan layaknya dipandang dalam segi relasionalnya pula. Meski sekilas angkringan-angkringan tersebut tampak serupa, namun relasi manusia yang berada di dalamnya tidak selamanya sama. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini, mulai dari lokasi, suasana, hingga peruntukkan dari angkringan itu sendiri. Melebur atau tidaknya batas-batas sosial dalam angkringan menjadi penentu identitas yang melekat pada angkringan - yakni familiaritas.


Referensi

1. Deretan Kuliner Legendaris di Jogja, Cobain Angkringan hingga Sate Klatak - Tribunnews.com. (2018). Retrieved from http://www.tribunnews.com/travel/2018/10/07/deretan-kuliner-legendaris-di-jogja-cobain-angkringan-hingga-sate-klatak

2. Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. Britain: Polity Press.

4. Hardiman, F. B. (2010). Ruang Publik. Jogjakarta: Kanisius.

5. Harsono, S. S. (2014). Pola Solidaritas Kelompok Pedagang Angkringan Kota Ponorogo . Sosiohumaniora Volume 16 No. 1 , 62 - 69.

6. Nurzami, D. H. W. dan Marlina, A. (2019). IDENTIFIKASI POLA PERILAKU PADA RUANG KOMUNAL ANGKRINGAN. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Perencanaan Partisipatif. Vol. 14, No. 1.

8. Sudiro, E. S. (2014). HIK NAIK KELAS ((Kajian Sosial Ekonomi Warung HIK (Hidangan Istimewa Kampung) di Kota Surakarta)) Sebagai Usaha Kecil Menengah Berbasis Kerakyatan. Jurnal Sainstech Politeknik Indonusa Surakarta ISSN : 2355-5009 Vol. 1 No.2.

9. Soeratno. (2000). “Analisa Sektor Informal : Studi Kasus Pedagang Angkringan di Gondokusuman Yogyakarta“, OPTIMUM, Volume 1 Nomor 1 September 2000, Yogyakarta

10. Undang Pedagang Angkringan ke Istana Bogor, Jokowi Nikmati Sate dan Wedang Ronde Bersama Paspampres - Tribunnews.com. (2019). Retrieved from http://www.tribunnews.com/nasional/2019/01/01/undang-pedagang-angkringan-ke-istana-bogor-jokowi-nikmati-sate-dan-wedang-ronde-bersama-paspampres

11. Yusuf, M. (2017). Measuring Tourist’s Motivations for Consuming Local Angkringan Street Food in Yogyakarta, Indonesia. Journal of Indonesian Tourism and Development Studies Vol.5, No.2.

68 views0 comments

Recent Posts

See All

Comentarios


bottom of page