Oleh : Fahmi Rizki Fahroji dan Pamerdyatmaja
Kami pernah mendengar kisah bahwasannya di Yogyakarta pada zaman dahulu (kurang lebihnya kurun tahun 1980 sampai awal 2000-an). Tersiar kabar atas eksistensi dan keberadaan komunitas tekyan yang sekiranya telah mapan dan menjadi panggilan keseharian bagi anak-anak jalanan di kawasan kota. Sekiranya jejak tentang komunitas ini masihlah terekam atau besar harapan kami masih ada saat ini. Namun nampaknya tidak secara keseluruhan kami dapat menyaksikan tekyan berada di jalanan sampai tulisan ini terbit. Istilah tekyan memang masih bertahan selain halnya nama yang masih terngiang-ngiang sebagai sebutan populer pada masanya. Tekyan yang pernah santer diperbincangkan memang kini lebih mengarah pada kehidupan wajar seorang anak kepada orang tuanya yang saat itu kami saksikan hanya mengekor pada aktivitas mengemis, mengamen, maupun menjajakan koran dan berjualan makanan di persimpangan jalan.
Dalam beberapa waktu terakhir, pun kami berusaha mengitari kawasan kota Jogja untuk menemukan anak-anak atau tepatnya komunitas ini berdinamika kalaupun ada dan masih bisa ditemukan. Namun seolah kini pandangan tersebut hanyalah kiasan yang menjadi potret dari layar cerita lepas cerita. Maupun kisah yang tertuang dari suara demi suara yang saling terbagikan dan hilang begitu saja bagai tersapu angin. Untuk sisanya, kami hanya menemukan sedikit pengalaman yang tidak terlepas dari kisah seorang veteran tekyan maupun salah seorang yang merepresentasikan bahwa ia juga termasuk bagian tekyan. Yang selanjutnya kami bandingkan dengan beberapa kajian ilmiah yang kemudian kami himpun dan kembangkan dalam narasi panjang kali ini. Walaupun tekyan dirasa tidaklah memiliki signifikansi dalam pergerakan maupun perubahan dinamika politik kota seperti halnya dicatatkan dalam petunjuk ethnography activity #4. Namun bagi kami, memposisikan tekyan sebagai salah satu transformasi kesenjangan kota pada era 1980- awal 2000-an mampu menjadi tolok ukur mengenai seberapa sigapnya pemerintah menyediakan jaminan atas kehidupan para warga kota yang dapat kami sepakati sebagai bagian dari masyarakat rentan perkotaan.
Perjumpaan dengan Jono
“Merasa betah merupakan hal mewah,” ujar salah satu veteran tekyan yang kami jumpai. Hal ini merupakan perspektif dari seorang tekyan yang tidak bisa lepas dari masa lalu kehidupan jalanannya. Meskipun dapat dikatakan ia kini telah bekerja dan menetap sebagai salah seorang tukang parkir di sudut kota Yogyakarta. Kami menemukan celah untuk membicarakan bahwasannya permasalahan keluarga dan kabur dari rumah tetaplah menjadi alasan terkuat seorang tekyan merasa terjamin kehidupannya di jalanan. Katakanlah kami bertemu dengan Jono (bukan nama sebenarnya). Ia memberikan sekelumit kisah hidupnya kepada kami tentang masa-masa sebelum ia diperkenalkan dengan pekerjaan tetap yang menurutnya menuntut untuk menjadikan hidupnya lebih terjamin dan mapan. Meski dalam kenyataannya pun, kemapanan ini hanyalah “angen e wong cilik” (angan-angan bagi orang kecil), menurut Jono.
Mengapa "betah merupakan hal mewah ?," Jono menjelaskan kepada kami bahwasannya banyak anak-anak yang tergabung di komunitas tekyan oleh karena dirundung oleh saudaranya, dipukuli oleh orang tua, diperlakukan tidak adil di lingkungan tinggalnya. Dan tentunya berbagai alasan lain yang bagi mas Jono telah dilupakan jauh-jauh sehingga mereka bergabung dengan Tekyan untuk memulai jalan baru.
Perjumpaan dengan Jono, memang bagi kami merupakan kebetulan semata, mengingat luasnya kota Yogyakarta dan tentunya banyaknya sudut yang seringkali tidak terjangkau bagi kami. Membuat kami berdua sebenarnya acapkali luput untuk memperhatikan persoalan ini dengan menyeluruh dari segala penjuru. Di saat kami bermain pada salah satu sudut pasar barang bekas yang hanya terselenggara di malam hari. Jono pun dengan sukarela menceritakan kepada kami, bahwasannya memang ia menyetujui dengan apa yang kami temui untuk saat ini. Persetujuan atas perihal kehidupan anak jalanan tidaklah lagi dipandang dalam kacamata berkelompok secara mapan layaknya dulu. Anak jalanan, menurut Jono, tidaklah terlihat kembali oleh karena mereka secara tidak langsung memiliki nilai jual apabila diajak orang tuanya untuk mengemis.
Bagi Jono, ketatnya pemerintah kota Yogyakarta mengadakan operasi Gepeng (Gelandangan Pengemis) serta hadirnya sekolah alternatif di Yogyakarta. Menciptakan ruang baru bagi keterpaksaan seorang anak untuk kabur dari rumah tidaklah selapang dulu. Jono menegaskan bahwa dirinya terlibat menjadi Tekyan dikisaran tahun 1995-2001 ketika pemerintah kota belum sama sekali memperhatikan persoalan anak-anak. Ia seringkali berkeliaran di kawasan kota dengan aibon sebagai bahan untuk berelasi dengan kawan-kawannya, untuk selanjutnya dipergunakan di seputaran ledok maupun bawah jembatan di sepanjang kali Code. Tekyan yang diasumsikan jarang pulang ke rumah atau bahkan sama sekali tidak pernah kembali ke rumah memang ada benarnya bagi Jono.
Kenakalan terbesar memang tidaklah menjadi pandangan yang dapat dikatakan objektif bagi tiap orang bahkan dalam kacamata pemerintah kota saat itu. Justru bagi Jono tersendiri, tanpa istilah “nakal,” bocah tekyan yo sakjane raiso urip – atau tanpa kenakalan seorang tekyan tidak akan bisa bertahan hidup. Ia menggambarkan selain berkutat pada aktivitas nge-lem (menghirup uap dari lem aibon). Para tekyan seringkali dihadapkan pada pilihan untuk pergi nge-bong. Istilah nge-bong ini sebenarnya menjadi hal yang lumrah dan diketahui bagi banyak pria dewasa di seputaran kota Yogyakarta. Namun hal ini bagi para tekyan merupakan suatu kemewahan dan tantangan untuk saat itu. Nge-bong secara tersendiri merupakan ungkapan tersirat atas kunjungan anak-anak ke Sarkem (Pasar Kembang) dalam rangka melihat para pekerja seks komersial menawarkan jasanya. Sarkem memang dikenal sebagai kawasan prostitusi di samping stasiun Tugu Yogyakarta.
Ketenaran dari Sarkem pun sejatinya juga kami memorikan dalam pembacaan yang mungkin dapat dirujuk melalui cerpen Istana Tembok Bolong yang dituliskan Seno Gumira Ajidarma di tahun 2016 maupun praktik menyalakan korek api dalam upaya bertahan hidup, seperti halnya bagian dari film pendek Prenjak karya Wregas Bhanuteja di tahun produksi yang sama. Tekyan, menurut mas Jono mengkreasikan kehadiran mereka sewaktu nge-bong hanya dengan cara mengintip dan bermain melalui korek api. Uang yang diperoleh para tekyan waktu itu memanglah tidak seberapa. Sehingga nge-bong pun lebih sering dilakukan sebagai salah satu keberanian di kala mereka memiliki uang. Bertahan dalam makan sehari-hari pun, mereka memutuskan untuk “mangan kembulan” - makan secara bersama-sama. Lalu dalam bincang yang sebenarnya hanya berisikan rasa ingin tahu beserta kekehan tawa kami bertiga. Pun sebenarnya kami juga merasakan banyak tanya atas perubahan mas Jono yang mampu melanjutkan hidup dan memutuskan dirinya secara individu sebagai tukang parkir.
Pendidikan Alternatif Kota
Tidak ada petunjuk lain, di luar upaya mas Jono yang menampilkan jikalau beberapa sekolah kolong atau sekolah di beberapa titik Code – salah satunya milik Mangunwijaya, memaksa mereka untuk belajar dan mengubah keputusan kolektif mereka. Melalui sekolah-sekolah tersebut memang dikatakan oleh mas Jono, anak-anak yang dinamai oleh lingkungannya sebagai tekyan memiliki kesempatan serupa dengan anak-anak yang berada di kalangan mapan untuk sama-sama menempuh pendidikan. Memang dalam praktiknya mas Jono tidak memiliki ijazah dan bahkan hanya mengupayakan diri untuk berhitung dan membaca. Namun beberapa memori yang masih dikenang mas Jono, bahwasannya pondokan Girli atau komunitas Sanggar Omah Ijo yang kala itu eksis di tahun 1990-an. Menjadikan perubahan penting bagi kondusifnya anak-anak jalanan untuk memilih jalan setelah mereka beranjak dewasa.
Memang saat ini kehadiran pondokan Girli tidak muncul dan terdengar oleh karena keberlanjutannya yang belum juga dapat kami pastikan. Terakhir kami himpun berdasarkan data pada catatan daring maupun jurnal. Pondokan Girli hanya disinggung pada kisaran tahun 2009 serta dimungkinkan bahwa pondokan ini telah tutup. Begitu pula dengan mas Jono yang tidak tahu pasti tentang kehidupan Girli saat ini. Ia hanya mengetahui rekan-rekan seangkatan bermainnya melalui pergaulan yang ia lakukan secara spontan dan langsung ia jumpai. Kehadiran komunitas Girli atau sanggar Omah Ijo memang kini tidak perlu dipastikan keberlanjutannya oleh karena banyak bermunculan sekolah alternatif lain seperti Sanggar SALAM, maupun beberapa sekolah binaan yayasan Mangunwijaya dengan nama Dinamika Edukasi Dasar (DED).
Memiliki visi yang serupa dalam memerdekakan masyarakat kelas bawah perkotaan dari ikatan kesejahteraan yang seringkali bersifat utopis. Beberapa kehadiran sekolah alternatif, bagi mas Jono juga tidak mudah diterimanya pada awal keberadaannya untuk melepaskan diri bersama teman-temannya. Oleh karena semisal mas Jono memutuskan untuk berpisah pun, maka ia sendiri justru memiliki pengalaman pahit akan dijauhi teman semasa pergaulannya. “Ya awal e ncen susah ngono kae mas. Tapi yo piye meneh, mergo aku yo penasaran, Girli yo nduwe dampak karo pilihan gaweanku saiki.” Kami pun setidaknya harus menyudahi perjumpaan di atas jok motor pada petang itu. Mengingat dari perbincangan ini pun, tidak luput pula kami sampaikan penjelasan secara definif, yang hadir mengenai para tekyan itu sendiri.
Konstruksi Identitas ‘Tekyan’
Membahas Tekyan di Yogyakarta akan lebih afdal apabila menyertakan kajian soal anak jalanan karya Beazley (2003) yang berjudul “The Construction and Protection of Individual and Collective Identities by Street Children and Youth in Indonesia”. Beazley berulang kali menyebutka anak jalanan sebagai sebuah term yang general dan ‘tekyan’ adalah salah satu wujud dari pengistilahan itu, atau biasa ia sebut juga sebagai identitas kolektif “Street Children”. Fenomena anak jalanan mungkin cukup ringkih dan familiar di keseharian kita. Beberapa hal yang menjadi diskursus ini adalah kaitannya dengan kesejahteraan sosial. Bagaimana anak-anak yang menjadi korban dari pengaruh kehidupan domestik yang kurang harmonis, mengambil alternatif ini sebagai jalan untuk mempertahankan hidup. Kesendirian dan keterpinggiran orang-orang semacam ini menghidupkan suatu subkultur baru.
Dalam artikel ini, Harriot melakukan sebuah riset studi di Yogyakarta mengenai kehidupan anak jalanan. Ada beberapa faktor yang mendasar terjadinya fenomena ini, salah satunya adalah ketidakharmonisan kehidupan dalam keluarga di rumah manakala mereka seringkali menjadi korban dari kekerasan domestik. Beberapa ada juga yang tidak mampu melanjutkan kehidupan normalnya sebagai anak karena ditinggal oleh keluarga yang batih. Namun, satu hal yang menarik dalam bahasan artikel ini, Harriot membawa kami kepada pemahaman yang universal bahwa anak-anak jalanan atau Tekyan ini selalu dianggap pelanggaran sosial.
Stigma yang muncul entah dari mana, membuat kehidupan anak jalanan ini semakin terpinggirkan.
Pandangan-pandangan orang terhadap Tekyan tersebut memojokkan mereka kepada kehidupan yang terasing. Akan tetapi, subkultur semacam ini dapat terus eksis akibat adanya hidden transcript atau nilai-nilai yang mereka yakini terbangun dalam komunitas tersebut. Nilai-nilai ini termasuk prinsip solidaritas, kelangsungan hidup individu, kebebasan dan kemandirian, hierarki kerja, pemahaman slang dan kode jalanan, dan beberapa sikap unik untuk hidup di jalan (2003: 125). Nilai tersembunyi ini yang menjadi landasan mereka untuk terus hidup di jalan. Bahkan, pernyataan anak jalanan terhadap keterasingan mereka mampu melegitimasi kehidupan mereka bahwa: ketika ditanya dengan siapa mereka hidup, mereka menjawab “sendiri bersama Tuhan”.
Atas solidaritas dan kesamaan identitas komunitas tekyan ini, anak jalanan merasa ‘jalanan’ bagi mereka itu adalah rumah. Kadang, tak lama setelah orang-orang ini bergabung dengan kelompok tersebut, mereka acap kali dirujuk kembali untuk bergabung dengan keluarganya. Namun, hanya sedikit dari mereka yang melakukan hal tersebut. Sebagian banyak menjadi anak jalanan adalah pilihan utama dan kehidupan yang harus mereka terima, karena mereka susah untuk menerima pulang kembali ke rumah yang pertama. Juga, anak-anak jalanan ini merasakan kebebasan yang lebih di jalanan. Meskipun sebenarnya, apakah mereka sepenuhnya merasa ‘bebas’ terlepas dari kehidupan yang diakibatkan oleh dampak struktural?
Selayang Pandang dari Penerapan Istilah Komunitas Tekyan Masa Kini
Kami menemui salah satu teman kami yang kebetulan sering menjadi rujukan orang-orang kalau ia adalah tekyan (re: namun bukan dalam arti seseorang yang mencoba untuk memisahkan diri dari keluarganya). Istilah ini pun, lebih diartikan untuk merujuk kepada aktivitas terdahulunya yang pernah mengalami persinggungan dengan aparat oleh karena kegiatan ilegal yang pernah ia lakukan. Untuk mencari tahu lebih lanjut, obrolan informal pun kami layangkan kepadanya selain perjumpaan awal dengan Jono. Tetapi, atas alasan privasi yang diminta dari narasumber pula. Kami mencoba untuk menjadikan nama dari narasumber kedua ini menjadi Gufi.
Secara tersirat, sebenarnya Gufi tidak menyebutkan dirinya sebagai tekyan. Ia juga tidak mau disebut demikian, dan apabila orang-orang menganggap ia begitu lantas itu hanyalah pandangan yang muncul dari orang-orang. Menurut Gufi, tekyan terbentuk bukan karena permasalahan keluarga batih di rumah. Tekyan itu sendiri sebenarnya tidak jelas asal-usul penamaannya. Entah siapa yang memberikan identifikasi kelompok ini. Yang jelas, banyak sekali pandangan mengenai Tekyan itu sendiri. Untuk mengidentifikasinya, menurut Gufi, kita mesti mengenal dulu apa yang menyamakan Tekyan dengan istilah-istilah sejenisnya. Tak jarang, di Bantul, tempat di mana ia berasal. Tekyan-tekyan juga kerap disebut sebagai “Jamet” atau Jawa Metal. Jamet biasa dapat ditemukan di perkampungan di Jawa. Orang-orang yang teridentifikasi kelompok ini merupakan bagian dari individu yang terlihat secara penampilan menyerupai orang-orang preman, tetapi tidak melakukan tindak kriminalitas. Hanya saja, kesamaannya dengan Tekyan adalah tidak memiliki pekerjaan dan kerap mempunyai ciri yang ‘identik’ dalam berpakaian.
Gufi juga menganalogikan Tekyan dan segala pengistilahan itu dengan “wong ndeso”. Orang yang memiliki tingkat solidaritas dan interaksi sosial yang erat sesama kelompok, maupun intrakelompok. Mereka juga memiliki Bahasa slang-nya sendiri. dilansir dari Kompasiana, Wardhana menyebutkan walau ada Bahasa Ibu yang lekat dalam tubuh mereka, Bahasa slang ini dipakai sebagai cara bergaul sesama kelompoknya, seperti “Piye dab, mangkat ora? Pokmen aku wegah dhewekan”. Menurutnya, ini pun menjadi ciri ke-Tekyan-an itu dilihat. Kemudian, Tekyan sendiri terbentuk akibat ajakan dari ‘luar’—dari teman-teman sebayanya. Biasanya Tekyan yang dikenal orang-orang itu dipandang sebagai segerombol anak muda yang suka mabuk-mabukan dan luntang-lantung tidak produktif. Tetapi menariknya beberapa masyarakat di sekitar tempat tinggalnya—menurut narasumber kami—melihat Tekyan atau ‘genthu’ atau gondes digolongkan pada mereka yang memang orang-orang yang kurang perhatian. Oleh karena kurang perhatian itu, Tekyan-tekyan atau kelompok anak muda ini tak jarang berkumpul di satu tongkrongan dengan biasanya dikeliling motor-motor bodong—mengekspresikan sesuatu sesukanya. Biasanya, ekspresinya itu terlontar dalam lagu-lagu iringan ukulele (gitar ukuran kecil). Lagu yang kata narasumber kami biasa dibawakan adalah “wong peyok kui bebas”
Persis apa yang ditulis Beazley juga, bahwa anak jalanan dan sub-kultur Komunitas Tekyan, keberadaannya tidak bisa dipetakan sebagai sebuah kelompok khusus. Ia terbentuk karena adanya kesamaan identitas dan faktor yang menyertainya, serta penamaan itu sendiri muncul dari sudut pandang luar. Secara tersirat, memang tidak disebutkan Tekyan ini seperti apa, apakah ada ciri yang menjelaskan sebuah sebutan dan identifikasi kelompok. Kebebasan dan identitas kelompok Tekyan yang dianggap sebagai ‘rumah’ menjadi momok dalam asumsi-asumsi street children (Beazley, 2003). Tidak lain dan tidak bukan, fenomena semacam ini patut dilihat dari banyak sudut pandang. Kita tidak serta merta mengecap bahwa anak jalanan adalah suatu bentuk penyimpangan sosial dan romantisasi pandangan terhadap mereka sebagai tindak laku kriminal. Mereka berhak hidup, layaknya kita, mereka sama-sama mengikuti kehidupan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.
Transformasi Anak Jalanan : Refleksi Penutup
Sebagai catatan penutup. Kita tidak pernah tahu darimana asal-muasal penamaan tekyan berasal. Bahkan dalam catatan etnografi yang pernah Beazley paparkan pun, Tekyan lebih condong pada penamaan berdasarkan aktivitas yang mereka miliki dan kata-kata iseng yang hadir di tengah keberadaan mereka. Menjamin keberlangsungan dan bahkan kesejahteraan masyarakat kota tentunya dapat menjadi bagian yang tidak terdefinisikan untuk saat ini, mengingat perubahan atau lebih tepatnya transformasi sosial turut terjadi. Kami hanya mendaraskan tulisan ini sebagai rujukan, jikalau sebenarnya kehadiran anak-anak yang pada zamannya menggunakan tekyan sebagai perlindungan, memiliki ikatan sosial yang setidaknya mampu mengatasi peran negara atau bahkan pemerintah kota yang selangkah di belakang dalam menangani gejala kerentanan sosial atau lebih tepatnya perkembangan sub-kultur di kalangan anak-anak jalanan.
Kini kehadiran tekyan tidak lagi secara nyata kita rasakan. Namun semangat kebersamaan yang diadaptasi layaknya Gufi yang menceritakan sekelumit kisah perjalanannya. Mampu menjadi rujukan penting dalam beberapa persoalan yang terjadi dalam tiap masalah keluarga yang acapkali lebih kompleks. Ketimbang bagaimana seharusnya tata ruang kota memberikan kesempatan bagi keluarga rentan di perkotaan untuk berdialektika dan menyelesaikan masalahnya tanpa harus ada yang menjadi korban. Dapatkah kembali kita mempertanyakan dalam catatan etnografi kali ini, bagaimana seharusnya kawasan kota mampu memposisikan dirinya sebagai teman bagi warganya ? Dalam representasi kesadaran apakah sebenarnya pemerintah memberikan penyelesaian seperti halnya komunitas Girli yang dahulu diketahui mampu mengentaskan sedikitnya kesenjangan oleh karena hadirnya tekyan yang berada di bawah terpinggirkannya masyarakat kumuh kota.
Daftar Pustaka
[1] Beazley, Harriot. 2003. The Construction and Protection of Individual and Collective Identities by Street Children and Youth in Indonesia. Children, Youth and Environments, Vol. 13, No. 1, Street Children and OtherPapers (Spring 2003), pp. 105-133.
[2] Karina, Dea. 2016. Bapakku Gun Jack, Preman Terbesar Yogyakarta. Diakses dari https://www.vice.com/id_id/article/qkbjvm/bapakku-gun-jack-preman-terbesar-yogyakarta.
[3] Wardhana, Hendra. 2014. Dari “Dab” hingga “Gondes”, Uniknya Bahasa Gaul Yogyakarta. https://www.kompasiana.com/wardhanahendra/552b1b706ea8346c47552cf6/dari-dab-hingga-gondes-uniknya-bahasa-gaul-yogyakarta.
[4] Indarto, Sigit Setyo. 2009. Strategi Hidup Anak Jalanan : Studi Kasus Komunitas Girli Yogyakarta. DIMENSIA, Volume 3, No. 1. UNY: Yogyakarta.
Comments