top of page

Masjid Gedhe Kauman: Simbol dan Implikasi Modernistik Bangunan Suci

Updated: Jul 9, 2019

oleh: Alfian Aulia, Yolita Andindya dan Fathi Mujadidi

Pada bulan puasa seperti ini, mahasiswa, khususnya anak rantau, seringkali ramai-ramai mencari takjil-takjil murah, bahkan gratis ke masjid-masjid atau tempat tertentu yang membuka pasar Ramadhan. Masjid-masjid di Yogyakarta ini memang rata-rata mengadakan buka puasa bersama yang diisi oleh takjil serta makan gratis. Salah satu masjid yang menyelenggarakan adalah Masjid Gedhe Kauman. Sebuah masjid yang berada di sebelah barat alun-alun utara Keraton Yogyakarta ini kerap ramai setiap menjelang buka puasa. Seperti yang kami lihat saat itu, banyak orang-orang yang sudah berdatangan. Namun, tujuan mereka berbeda. Ada yang memang bersiap-siap untuk buka puasa dan ada juga yang ingin mengunjungi Masjid Gedhe Kauman sebagai objek wisata. Masjid Gedhe ini memang sering terucap, namun, apa yang membuat Masjid ini menjadi salah satu objek wisata di lingkungan keraton?


Masjid Gedhe Kauman adalah salah satu masjid besar dan tertua yang ada di kota Yogyakarta. Masjid ini memiliki sejarah panjang mulai dari pembangunannya, kegiatan yang ada di dalamnya, hingga konservasi yang telah dilakukan. Masjid ini, seperti masjid-masjid Agung di kota lainnya, memiliki beberapa bagian utama, yakni ruang shalat, mihrab, maqsura, hingga hal-hal lain disekitar masjid yang bersifat profan, seperti yakihun, kolam, dan serambi masjid. Masjid ini memiliki arsitektur Jawa Tradisional, dimana atapnya bertumpang tiga dengan gaya Tajug Lambang Teplok. Masjid ini juga memiliki pagar yang mengitarinya, dan dikawasan sekitar masjid ini juga ada beberapa bangunan lain, seperti kantor pengurus masjid, KUA, serta tempat menyimpan gamelan sekaten. Nuansa Keraton sangat kental pada masjid ini. Bahan bangunan yang kini digunakan sudah banyak berubah dari yang aslinya, karena untuk kepentingan konservasi. Bagian dalam masjid yang sebelumnya batu kali, kini sudah diganti marmer. Kemudian ornamen hiasan pada kayu dan pintu masjid juga di cat lagi agar tidak pudar warnanya. Untuk bagian serambi masjid dilakukan perluasan agar dapat menampung lebih banyak jamaah. Sementara bagian kolam diperkecil, sehingga hanya tersisa sedikit saja di dekat pagar. Kemudian, karena ada pengaruh modern yang masuk, masjid ini dilengkapi juga oleh papan LED yang berguna untuk menginformasikan waktu solat dan sebagainya.

Menurut cerita dari salah satu penghuni masjid, pembangunan Masjid Gedhe ini diprakarsai oleh Sultan Hamengkubuwono I, dan direalisasikan oleh seorang arsitek bernama Kyai Wiryokusumo pada tanggal 29 Mei 1773. Masjid ini selain menjadi tempat ibadah utama umat Islam kala itu, juga berfungsi sebagai basis kegiatan sosial dan perjuangan, dimana saat itu Indonesia sedang dikuasai oleh Belanda. Masjid ini memiliki banyak peristiwa sejarah penting yang terjadi didalamnya. Masjid ini merupakan tempat dimana Muhammadiyah lahir, yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Saat itu K.H. Ahmad Dahlan sedang menjabat menjadi ulama keraton, dan beliau terkenal karena membetulkan arah kiblat Masjid Gedhe Kauman. Masjid ini juga sering menjadi basis perjuangan pemuda untuk menyusun strategi melawan Belanda, sehingga banyak kemenangan yang dimulai dari masjid ini. Kini, selain sebagai tempat ibadah, Masjid Gedhe Kauman juga terkenal sebagai salah satu wisata Kraton, dan tetap aktif melaksanakan kegiatan masyarakat, khususnya saat bulan puasa seperti ini. Pada masa itu, sistem tatanan kota di Jawa sendiri terbagi dalam tiga aspek yakni: 1.) Tempat untuk mengurus administratif (Keraton/Kantor gubernur), 2.) Alun-alun sebagai tempat yang luas untuk berkumpulnya masyarakat dan 3.) Masjid untuk masyarakat menjalankan ibadah. Tatanan kota ini pun tidak hanya ada di Jogja saja, namun tersebar hampir diseluruh Jawa. Masuknya konsep ini dimulai pada masa kerajaan Islam yang menduduki Jawa.


Dikutip dari jurnal Representation Of Harmony In Javanese Culture In Building Design Of Kauman Yogyakarta, Suastiwi T. (2010: 90-107) menyimpulkan bahwa secara umum, sejak berdirinya Kauman Yogyakarta pada tahun 1775 hingga sekarang, penyelesaian telah mengalami empat periode perubahan sosial dan budaya yang masing-masing dipengaruhi oleh hal-hal berikut:

1. Sultan dan Kraton Yogyakarta. Kauman Yogyakarta didirikan di bawah naungan Sultan Hamengkubuwono I. Penduduk Kauman pada awalnya seluruhnya etnis Jawa, terkait satu sama lain dan bekerja sebagai abdi dalem urusan agama Kraton Yogyakarta.

2. Pertumbuhan dan perkembangan industri batik pada akhir abad ke-19 (c. 1880-1930). Pedagang dan pedagang Muslim muncul dari dalam Kauman Yogyakarta dan mengembangkan industri batik yang dikenal sebagai Pegangan Batik.

3. Pendirian Muhammadiyah pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Dia adalah abdi dalem yang memegang jabatan ketib amin (tibamin). Upaya Muhammadiyah dalam memurnikan ajaran Islam membawa perubahan, terutama dalam norma agama. Kauman saat ini masih menjadi basis organisasi Muhammadiyah.

4. Setelah era kemerdekaan atau Republik Indonesia (1945-sekarang), Yogyakarta telah menjadi bagian dari Republik Indonesia dan sejak itu berkembang menjadi kota pariwisata dan pendidikan.


Masjid ini memiliki nilai yang sangat berarti bukan hanya bagi Kota Yogyakarta, namun juga Indonesia, karena dari Masjid ini banyak lahir pergerakan dan pemikiran mengenai Islam, contoh nyatanya adalah Muhammadiyah. Masjid ini juga memiliki fungsi yang konsisten sejak pertama kali pembangunannya, yakni sebagai tempat ibadah umat Islam. Pada masa sekarang masjid ini juga berperan penting dalam kesenian yang ada di Yogayakarta.


Implikasi Modernistik Terhadap Masjid Gedhe Kauman

Ketika waktu sudah menunjukan sekitar jam lima sore, kami bertemu dengan satu tokoh dari paguyuban pemuda masjid Gedhe Kauman sebut saja namanya Anwar. Kami bertemu dengannya ketika kami sedang mengelilingi utara masjid, disana ada sebuah sekretariat masjid yang berfungsi untuk tempat berkumpul para pengurus masjid. Kami mengobrol diluar sekre sambil berdiri dengan rasa canggung kami bertanya mengenai pandangan beliau terhadapa masjid ini di masa sekarang, beliau mengatakan:

“Kalo sekarang aku melihat masjid gedhe itu tempat yang penuh sejarah dan dulu sebagai peradaban islam yg kuat dan saat ini masih terlihat dan terjadi. Kebiasaan yg ada pun masih ada hingga sekarang. Kalo dikota ya jelas masjid yang menjadi ikon. Ke eksisannya sangat kuat apalagi banyak acara-acara yang di lakukan di sani terutama di plataran. Sebagai wisata apalagi, bahkan kunjungan wisata ke kauman itu tertinggi se-DIY. Namun, sayangnya dinas pariwisata kota yogyakarta tidak percaya dan tidak mau mengakui hal ini.”

Kemudian, kami mengamini perkataan Anwar karena ketika kami sampai di masjid ini pun apalagi suasana Ramadhan banyak sekali toko-toko makanan maupun pakaian dan aksesoris mengelilingi masjid ini. Tanpa sadar, modifikasi bangunan suci yang membuat bangunan ini menjadi modern menjadikan daya tarik yang besar terhadap pengunjung. Masjid tidak lagi di datangi sekadar untuk beribadah, namun juga sebagai kepuasan wisata. Dengan banyak nya latar belakang yang berkesan dan heroik, masjid ini juga mendapat profit yang sangat berguna untuk umat.


Sebuah monumen yang mengabadikan momentum ini memang menjadi komponen penting dalam perkotaan. Menurut Ong (2011), Kota menjadi tempat sejarah tertentu, aspirasi nasional, dan beragam budaya, Kota jadi tempat wajib untuk proyek-proyek skala dunia. Hal ini yang membuat masjid menjadi banyak fungsi, ada unsur-unsur kapital yang masuk. Namun dalam fenomena ini, bukan masjid yang mengambil keuntungan kapital, namun di sekitarnya seperti toko makanan dan pakaian dan aksesoris. Masjid menjadi pembuka lapangan kerja baru bagi orang sekitar wilayah keraton. Terbentuknya paguyuban pemuda ini juga secara tidak sadar terbentuk karena kepentingan kota, bahwasanya aktivitas gerakan pemuda ini terbentuk untuk mengatasi fenomena kapital tadi. Mereka disiapkan untuk mengatur segala kegiatan di masjid dan juga diluar kegiataan keagamaan.


Daftar Pustaka:

Rianingrum, C., Sachari, A., & Santosa, I. (2017). Representation Of Harmony In Javanese Culture In Building Design Of Kauman Yogyakarta. GSTF Journal Of Engineering Technology (JET), 3(2). Retrieved from http://dl6.globalstf.org/index.php/jet/article/view/146.

Menengok Sejarah Masjid Gedhe Kauman. (2015) jalanjogja.com/menengok-sejarah-masjid-gedhe-kauman/ diakses pada tanggal 30 Mei 2019 pukul 23.00

19 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page