top of page
Writer's pictureFahmi Rizki F

Frankfurt Airport: Ruang Mobilitas dan Garda Terdepan Kota

Updated: Jul 11, 2019

Oleh: Fahmi Rizki Fahroji dan Pamerdyatmaja

Sumber: Google Image

Bandara diantara Keleluasaan dan Ketertiban

Kami datang dan sama sekali tidak menyangkal, bahwasannya ini adalah perjalanan panjang kami untuk tiba di negeri yang lebih dikenal sebagai Bavaria. Melalui perjalanan panjang yang kami lewati melalui setidaknya satu kali transit dan sisanya dengan mengudara dalam waktu yang cukup lama. Kami mencoba untuk merasakan sensasi dari ketertiban bandara ketika kami pun hadir dalam perpindahan identitas kewarganegaraan (re: imigrasi) dalam dua wilayah yang sempat kami jajaki kala itu. Tidak ada kata mudah untuk melakukan perpindahan ini bagi kami. Sodoran berkas dihadapan petugas, menjadikan kepatuhan tiap orang yang ingin memasuki batas baru setidaknya perlu untuk dihubungkan dan dijamin oleh negara yang disinggahi.

Perjalanan ini setidaknya memberikan harapan bagi kami untuk menuliskan artikel ini. Awalnya oleh karena rasa iseng yang kami miliki, kami mencoba memformulasikan rasa penasaran yang sekiranya demikian. Mengapa acapkali setiap terbang dan tiba di Bandara satu dengan yang lain, seringkali hadir berbagai representasi wajah kota maupun negara melalui fasilitas publik satu ini ? Kenangan apakah yang sebenarnya ingin dihadirkan melalui penggambaran imajinatif ini kepada kami (re: selaku penumpang) yang entah itu akhirnya tiba maupun sekadar transit dalam suatu tempat. Benarkah kenyamanan yang hadir dalam suatu bandara, merupakan wujud langsung dari representasi yang dapat kami temui di lapangan ? Atau mungkinkah dengan cara inilah daya tarik wisata menjadi terdorong oleh karena representasi yang dikatakan cukuplah utopis dengan segala kekurangan yang dikatakan masih nampak.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang persoalan yang dihadirkan bandara beserta dampak sosialnya. Kiranya kita perlu untuk merefleksikan lebih lanjut kepada tulisan di bawah yang menghadirkan pengalaman sebagai proses aksi-refleksi yang sekiranya dapat dihasilkan untuk mencapai praksis pembangunan yang seringkali terselubung dalam praktik representasi wajah bandara. Ketakutan beserta pengabaian, seolah menjadi diwajarkan di tengah kontestasi kelas yang menenggarai beberapa kecurigaan yang tentunya kami alami ketika berada di bandara. Secara historis pun, kami juga tidak bisa mengulik lebih jauh. Namun dari timbul-tenggelamnya suatu fenomena, kami mencoba untuk mewadahi peristiwa demi peristiwa yang ditapaki. Untuk secara langsung dengan mudahnya menjadi anggapan sederhana yang seringkali dilupakan. Tetapi melalui tulisan inilah, kami mengharapkan daya kritis dari masing-masing pembaca untuk mempertanyakan sebagaimana besar dampak fasilitas publik dengan pengembangan yang menyerupai “integrasi kota di dalam kota.”


Keberadaan Bandara yang Acapkali Janggal

Bandara merupakan keberadaan lokal yang tidak terpisahkan dari pengaruh global. Peran ini pun sejatinya menjadi bagian dari globalisasi yang tidak disadari oleh banyak pihak terkait dengan perkembangan akses beserta mobilitas. Bandara juga lekat diasosiasikan sebagai simpul dari keruwetan tata kota. Mengapa demikian ? Oleh (Freestone & Baker, 2011) bandara merupakan sebuah gagasan proses pembangunan tempat terintegrasi baru di luar perencanaan kota yang sejatinya dirancang untuk bertahan dan lebih mampu diguncang perubahan sosial yang terjadi di sekitarnya. Penyederhanaan istilah untuk tepatnya dikatakan bahwasannya bandara merupakan keberlangsungan kawasan yang dikonstruksikan secara keberlanjutan. Memang pada hakikatnya definisi ini memberikan batasan tegas terkait dengan pola kontrol beserta cara seleksi masyarakat untuk masuk ke dalam bagiannya.

Evolusi dari pembangunan bandara pun di tegaskan oleh (Freestone & Baker, 2011) bahwasannya menghasilkan cara pandang pembangunan yang amat Amerika-sentris hingga saat ini. Glokalisasi, belum menjadi salah satu pilihan penting, mengingat pertumbuhan bandara di dunia. Merupakan salah satu pertumbuhan yang di dorong oleh adanya investasi silang yang berasal dari masing-masing negara maju. Untuk menghadirkan kelengkapan fasilitas umum yang mapan bagi sesama negara maju yang membeli layanan tersebut bahkan dengan permintaan dari masing-masing negara berkembang untuk mencoba menghadirkan apa yang sebenarnya tidak diharapkan ada bagi suatu wilayahnya. Dengan adanya proses investasi yang saling silang inilah, bandara sebenarnya memulai proses privatisasi yang secara tidak langsung didominasi oleh banyaknya perusahaan plat merah (Gupta, 2015).

Dari adanya pertanyaan besar kami yang mencoba untuk mengulas tentang master plan pembangunan bandara yang berasal dari pinggiran pun, (Freestone & Baker, 2011) menetapkan jika panduan konstruksi bandara memang selama ini diajukan pada topografi lapang yang sekiranya tidak mengintervensi kemapanan kota. Dengan kelapangan inilah, kota selanjutnya baru dapat mengintervensi beberapa fasilitas seperti yang telah disediakan ke dalam bandara itu sendiri. Bandara memang tidak menjadi salah satu aspek yang disepakati selain halnya memerlukan tanah lapang melainkan merupakan representasi evolutif pembangunan yang dimulai pada ciri abad ke-20 yang memulai pembangunan jalan raya, di abad ke-19 merupakan ciri dari masifnya pembangunan rel kereta, dan terakhir untuk abad ke-18 merupakan kunci dari pra-industri yakni berkembangnya pelabuhan. Namun apabila benar ditetapkan demikian secara histori pembangunan yang berlangsung, bagaimana sebenarnya kesemrawutan bahkan fobia yang muncul dalam fasilitas publik seringkali masih saja berlangsung ?Saat tahu kalau kami akan turun di Frankfurt Airport, kami sudah menyiapkan mantel dan waist bag semenjak di pesawat. Katanya, kalau kata orang-orang yang pernah ke luar negeri, ketika turun di bandara, di Eropa, cuaca dan angin di udara akan terasa sangat drastis berbeda. Ini akhirnya yang memotivasi kami untuk memakai mantel dari awal, serta waist bag berisikan paspor dan boarding pass. Karena panik, dan juga mungkin sedikit udik, kami jalan cepat-cepat selepas pesawat landing dengan sempurna di Frankfurt Airport. Bahasa dan petunjuk jalan semuanya berubah. Kata-kata semacam achtung! (attention!), Ankünfte (arrivals), dan Gepäckausgabe (Baggage claim), lebih sering ditemukan di sini. Tanda-tanda ini seolah sudah menyesuaikan langsung ketika kami datang di bandara yang berbeda. Ini juga yang menjadi culture shock bagi kami. Orang-orang berjalan dengan sangat cepat, sedangkan kami hanya santai dan bingung harus kemana (?). Tetapi, uniknya juga dari kami semua, kami gengsi untuk bertanya walau nantinya mungkin akan sesat di jalan. Alhasil, dengan cara mengikuti jalan orang ke arah yang mungkin bisa kami terka kalau dia itu mengarah ke kedatangan, akhirnya kami mengikutinya sampai berhenti.


Ruang Transaksional dan Pembentukan Citra

Pertama, mungkin Anda akan berbicara kalau kami seperti penguntit yang padahal kalau ditanya “sedang apa?” kami pun tidak tahu menahu. Gimana mau ditanya, wong bahasanya saja tidak mengerti. Kedua, berkebalikan dengan apa yang kami pikirkan. Justru pertanyaan atas asumsi itu tidak pernah muncul. Yang ada malahan semua orang begitu cuek dan enjoy dengan apa yang dilakukannya masing-masing. Apalagi, kalau penumpang itu berasal dari kelas VVIP/Luxury. Orang-orang ini lah yang memiliki akses yang sangat nyaman. Mulai dari keberangkatan hingga kedatangan, tulisan Luxury Class selalu terpampang. Jalur mereka tersedia berbeda dengan kelas ekonomi. Biasanya di pintu keluar pesawat, mereka selalu didampingi oleh bodyguard dan usher untuk mengantarkan ke ruang transit atau menuju baggage claim.

Tetapi begini. Analoginya, andai kata Luxury Class dengan segala kemewahan dan fasilitas yang mumpuni mudah diraih orang, bukankah itu akan mempengaruhi terhadap pembentukan citra bandara itu sendiri? Atau bahkan bisa saja, citra yang dibangun sebagai bandara mewah—dilansir dari detikfinance—akan terkikis jika tidak ada pembanding antara kelas-kelas di ruang bandara—yang mana memotivasi untuk pembangunan bandara yang lebih bagus. Hal serupa tentu diliput lebih lanjut oleh The Moodie Davitt Report yang mana salah satu perusahaan, seperti Hermès menyumbang citra bagus untuk bandara. Penjajaan toko pakaian yang nyentrik dengan desain yang fancy menjadi salah satu penanda modernitas suatu tempat. Ini yang menyebabkan bandara Frankfurt disebut sebagai bandara terbaik ketiga di Jerman, dan termasuk yang paling mewah ke-11 di dunia (Costa, 2016).

Tentu sebagai lalu lintas manusia, bandara adalah garda terdepan kota. Sebuah kota dengan budaya dan imagenya akan mudah terlihat dalam satu ruang representatif—tempat pertemuan orang-orang—di bandara. Meskipun ini mudah untuk disangkal, tapi kami berani mengatakan kalau citra yang dibentuk sedemikian rupa tak lain adalah wujud dari pencitraan kota dalam ruang-ruang yang strategis. Dalam hal ini, bandara juga menjadi ruang transaksional. Anda bisa mendapatkan barang-barang mewah jika tidak sempat membelinya di mall, ketika perjalalan liburan Anda. Anda juga dapat mendapatkan pernak-pernik bertajuk ‘budaya’ dan endemik daerah tersebut jika tidak sempat membelinya di pusat kota. Frankfurt sendiri menjajakan toko-toko belanja kelas dunia, seperti Hermès, BOSS, Samsonite, dan lain sebagainya.

Maka dari itu, fenomena ini sejalan dengan apa yang Wisniewska (2016) katakan dalam artikelnya yang berjudul “Manuscript: Technologies of Space and Body in Transit”. Bandara bukan hanya wilayah fisik dari suatu perkotaan, ia juga menjadi batas kota dalam ruang-ruang yang bersirkulasi dengan tipologi kenyamanan, estetika, dan kontrol.

“Nowadays, the airport is more than just a mixture of complex infrastructures and the emergence of city-like functions and structures. It is a transnation state spatialized through a new order of architecture, a manifestation of technology of abstract procedures of transition, inclusion and exclusion, adopting emergent patterns of socio-spatial mobility in a globalized network” (2016: 83).

Arsitektur bandara yang bersirkulasi dengan ketiga tipologi tersebut membentuk suatu dinamika relasi sosial lokal-global dalam satu wadah. Akibatnya, kalau bandara hanya menjadi tempat transit, ia dapat disebut sebagai tempat “just-in-time”. Tetapi, dalam mobilitas yang konstan ini, bandara menjadi citra dan representasi kota dalam sebuah ruang transit.


Mobilitas, Tata Tertib dan Keamanan

Barangkali kita bertanya, mengapa mobilitas di bandara begitu cepat? Semua orang terllihat terburu-buru seolah-olah berada di penghujung waktu keberangkatan? Apa yang sebenarnya mereka kejar? Itu lah yang kami rasakan. Tidak hanya sesaat sampai di bandara, bahkan ketika sampai di kedatangan, ruang-ruang bandara yang menjebak seakan-akan mengharuskan kami gerak lebih cepat dan cepat. Mungkin bukan tidak mau tertinggal pesawat, tapi tidak mau terlewat pengambilan bagasi. Atau juga, mungkin karena kami baru pertama kali datang ke bandara yang berbeda dengan niat antisipasi lebih penting ketimbang tertinggal atau telat. Dan, kalau boleh bilang, tentu ini sangat tidak nyaman—manakala barang bawaan banyak dan juga tubuh mengatur suhunya menyesuaikan udara di Frankfurt.

Saat itu, pada tanggal 31 Juni 2019, adalah jadwal kepulangan kami dari Frankfurt menuju Jakarta dengan nomor penerbangan TG-921 menggunakan pesawat Thai Airways. Masih ingat di benak kami, tata tertib bandara mengantarkan seluruh pengunjung yang akan ‘terbang’ diatur dengan sederet peraturan. Karena alasan keamanan bandara, Frankfurt Airport memiliki segandrung peraturan yang menjadi skema dari alur masuk ke bandara hingga take off.

Terkait peraturan, kami sudah diwanti-wanti dari jauh hari dengan narasi bagian migrasi dan peraturan bandara di Eropa begitu ketat. Mungkin ini juga yang membedakan bagaimana orang dengan jam terbang yang banyak biasa menghadapi ini, gesture tubuh mereka terlihat lebih rileks dan santai. Sedangkan bagi kami, yang mungkin baru beberapa kali terbang, masih amatir dalam satu dua hal peraturan, terbukti dari Fahmi—bagaimana beberapa cairan di dalam tasnya disita, padahal sudah tahu itu dilarang. Namun sebenarnya, mengenai pemeriksaan dan kaitannya dengan pengamanan, bandara Frankfurt sendiri memiliki alasan tersendiri. Dirunut dari lansiran berita di Reuters—pada 6 Juli 2019 lalu—gangguan berupa bom teroris ditemukan di sekitar bandara Frankfurt. Akibatnya, sejumlah penerbangan dibatalkan dan ditunda. Dan pada bulan Maret 2019 lalu pun, ancaman serupa muncul di beberapa titik di kota Frankfurt:

“They are believed to have agreed to carry out an Islamist, terrorist attack using a vehicle and guns that would kill as many ‘non-believers’ as possible,”

Pernyataan jaksa penuntut ini juga yang mungkin pada akhirnya memunculkan isu ‘islamophobia’ pada beberapa bandara di Eropa dan Amerika. Isu terkait teroris dan ketakutan akan bom dan serangan tiba-tiba, sebenarnya, sudah lahir sejak Perang Dunia II. Akibatnya kadang, beberapa kelompok islam dari negara Iran dan timur tengah lainnya memiliki kendala dalam mengurus sejumlah perizinan masuk negara-negara di Eropa. Bahkan, ketakutan itu muncul pada salah satu dari kami—Fahmi—yang mana ia memiliki paras seperti warga timur tengah: berjenggut dan berkumis tebal. Sampai pada keberangkatan, akhirnya ia pun memilih untuk mencukur bulu pada bagian wajahnya itu.

Apa yang ingin kami sampaikan di sini, adalah suatu kekhawatiran birokrasi bandara dalam aspek-aspek yang tidak bisa ditangani secara mudah. Barangkali tata tertib dan peraturan ini muncul dan membuat mobilitas di ruang-ruang bandara menjadi sangat kompleks. Kompleksitas muncul karena kami dapat melihat isu rasial, perbedaan kelas, dan ruang bandara disulap sebagai mall dan ruang transaksional. Akhirnya, ia tidak hanya menjadi ruang transit individu untuk tujuan tertentu, tetapi juga menjadi garda terdepan kota baik dalam keamanan dan kenyamanan mobilitas pengunjung dalam satu wadah di mana batas negara tujuan dan yang dituju berkelindan.


Daftar Pustaka

[5]Wisniewska, Monika C. 2006. Manuscript: Technologies of Space and Body in Transit. Massachusetts Institute of Technology. Dari https://www.jstor.org/stable/43876277.

[6]Gupta, Rajiv. 2015. Issues in Airport Infrastructure Development under Public Private Partnership. International Journal of Business and Management Invention ISSN (Online): 2319 – 8028, ISSN (Print): 2319 – 801X www.ijbmi.org .Volume 4 Issue 6. June. 2015. PP-66-77.

[7]Freestone, Robert. Baker, Robert. 2011. Spatial Planning Models of Airport-Driven Urban Development. Journal of Planning Literature 26(3) 263-279 ª The Author(s) 2011 Reprints and permission: sagepub.com/journalsPermissions.nav DOI: 10.1177/0885412211401341

58 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page