Anthropology Discover Love
- Yuniar Galuh Larasati
- Dec 28, 2018
- 11 min read
Oleh Yola Ninda Dwi Woro Dyah Sehnur dan Yuniar Galuh Larasati
Mengapa Memilih Konsep Cinta?
Merasakan cinta, adalah sebuah perasaan yang alamiah dimiliki oleh setiap manusia. Merasakan memiliki orang lain, dimengerti, disayang, diperhatikan, dinilai sebagai wujud dari perasaan cinta ini. Dalam perkembangan manusia, seseorang merasakan cinta sejak ia lahir ke dunia ini hingga menuju ajal. Meskipun objek cinta ini memiliki perkembangan selama masa kehidupan manusia. Contohnya, saat masih bayi hingga kanak-kanak, manusia akan selalu merasa nyaman dan sangat membutuhkan ibunya (dan ayahnya). Maka tidak heran, jika kita melihat anak kecil yang tidak mau lepas dari ibunya, karena takut kehilangan rasa nyaman yang berarti kehilangan merasa dicintai.
Kemudian menuju remaja, pada fase ini perkembangan ini, manusia mulai merasakan ketertarikan kepada lawan jenisnya. Hal ini disebabkan karena adanya proses alami dalam tubuh yakni pertumbuhan sel-sel dan perkembangan hormon. Perkembangan hormon ini mengakibatkan terjadinya perubahan orientasi objek cinta. Yang semula hanya merasa nyaman dengan ibu (dan ayah), kini mulai mencari sosok lain, di luar keluarga dekatnya, dan dari dialah merasakan cinta. Seorang remaja menjadi sangat berubah setelah mengalami perubahan hormonal ini. Ada yang menjadi sangat aktif mencari "pengalaman" dan pengakuan untuk dicintai lawan jenisnya. Ada pula yang memilih diam, menahan deburan gejolak di dalam diri, karena hasil internalisasi nilai-nilai tentang relasi antara lelaki dan perempuan.
Kemudian, pada masa yang jauh lebih dewasa. Cinta tetap mengiringi tumbuh kembang manusia. Pada tahap ini biasanya seseorang telah mencoba untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dan serius. Serius dalam hal ini bisa berarti mulai mempertahankan kebersamaan ditengah dinamika perasaan yang menyertai. Mulai mencoba memahami pasangan dari berbagai sisi, membicarakan masa depan, berbagi kegelisahan dan kekhawatiran yang tidak dapat lagi dibagi dengan orang tua, kemudian dari sanalah muncul perasaan saling membutuhkan.
Jika telah mencapai usia tertentu, telah dianggap siap, dan memiliki berbagai variabel untuk mempertahankan kehidupan. Maka manifestasi dari cinta ini menuju ke sebuah ikatan yang lebih serius yakni pernikahan. Dalam kehidupan yang sekarang ini, kita sangat umum dengan pola kehidupan yang demikian. Mengenal cinta di usia muda, bermain-main dahulu, kemudian menemukan seseorang yang dianggap "the one" dan kemudian menikah. Menikah kemudian menjadi salah satu tujuan hidup seseorang. Selain itu, menikah juga menjadi impian tertinggi setiap pasangan, untuk merengkuh kehidupan bersama-sama setiap waktu. Menghabiskan kehidupan bersama, hingga memiliki anak, mengantarkan anak-anak mereka menapaki setiap tangga kehidupan menuju sukses, dan kemudian tumbuh menua bersama, hingga dipisahkan oleh maut.
Begitu dekat dan tidak terpisahkannya cinta dari kehidupan manusia. Membuat kita terkadang mempertanyakan, sebenarnya apa itu cinta? Dari sekian banyaknya rasa cinta yang kita berikan ke setiap objek cinta yang berbeda, mengapa semuanya memiliki rasa dan sensasi yang berbeda dengan objek cinta yang lain. Mengapa kita butuh merasa untuk dicintai? Serta benarkah bahwa pernikahan memang menjadi tujuan tertinggi dari perasaan mencintai dan dicintai?
Sekian banyak pertanyaan filosofis yang membawa kita pada mencari definisi cinta dalam kehidupan. Dalam artikel ini, kita akan membicarakan definisi cinta yang bersumber dari kajian akademis dua sudut pandang yang berbeda, yakni disiplin ilmu Antropologi dan ilmu Psikologi. Sepertinya sudah tidak asing jika Psikologi membahas tentang cinta yang selalu berkaitan dengan emosi seseorang. Namun, bagaimanakah Antropologi mulai mempertanyakan cinta, yang sebagai dasar terciptanya sebuah keluarga hingga klan dan kekerabatan yang dalam ilmu Antropologi sudah dikaji sejak awal kemunculannya. Di sini Antropologi akan menerangkan tentang cinta itu dikonstruksi dan tidak sebenar-benarnya merupakan pengalaman naluriah seorang manusia.
Cinta seperti apa yang akan dibahas di sini?
Definisi cinta telah coba diuraikan dalam beberapa disiplin ilmu lain, seperti Psikologi dan Filsafat. Di dalam kedua disiplin itu tersebut, cinta tetap terbagi-bagi menjadi kotak-kotak kecil yang membatasi. Cinta yang terjadi antara ibu dan anak tentunya berbeda dengan cinta yang terjadi antara laki-laki dan perempuan dewasa. Sedangkan di dalam penemuan-penemuan di Antropologi, cinta lebih mengarah kepada cinta romantis yang terjadi diantara laki-laki dan perempuan dewasa. Karena dalam Antropologi sebelumnya cinta tidak didefinisikan, sedangkan yang terdefinisikan adalah pernikahan yang menjadi institusi sosial untuk membentuk kekerabatan.
Bidang ini dalam Antropologi kemudian menjadi konsentrasi baru. Sebuah artikel yang dimuat di surat kabar The New York Times dengan judul "After Kinship and Marriage, Anthropology Discovers Love" (Goleman, 1992) memberikan pantikan bahwa Antropologi kini mulai menyadari tentang adanya faktor yang menyebabkan seseorang menikahi orang lain, hingga terbentuk keluarga dan kekerabatan. Faktor tersebut adalah cinta. Tanpa disadari sebelumnya, bahwa di berbagai belahan dunia ini, dalam masyarakat yang pada waktu itu tidak terpapar tekonologi dan komunikasi dengan dunia atau negara lain. Mereka memiliki romantisme masing-masing tentang hubungan cinta.
Dalam artikel ini mulai dijelaskan bahwa, dikalangan para Antropolog terjadi kegelisahan tentang romantisme yang terjalin antara relasi hubungan pria dan wanita. Dan mengatakan bahwa percintaan adalah produk budaya abad pertengahan. Yang diwariskan turun-temurun hingga seperti yang kita kenal sekarang saat kita menjalani sebuah hubungan percintaan. Namun, pada suatu waktu yang lain, para antropolog kemudian berpikir tentang bahwa cinta itu (seharusnya) universal dan merupakan warisan dari proses-proses evolusi manusia berjuta-juta tahun yang lalu.
Mereka menduga bahwa sebenarnya cinta romantis di berbagai belahan dunia, yang dikenali sebagai naluri manusia sebenarnya diinisiasi oleh budaya. Dimana budaya membentuk bagaimana konsep ideal tentang cinta dan romantisme yang terjadi. Romantisme tersebut bisa terwujud melalui tindakan, ucapan, perilaku, dan sebagainya. Perwujudan tentang cinta yang romantis ini kemudian menjadi beragam dalam berbagai wilayah di muka bumi ini.
Namun, terdapat pertentangan mengenai cinta yang romantis di dalam konsep Antropologi. Karena, cinta yang romantis ini telah lama bertentangan dengan institusi sosial yang merajut orang lain secara teratur. Pilihan yang romantis sering bertabrakan dengan pasangan yang "tepat" bagi keluarga. Jatuh cinta dalam banyak budaya di dunia telah dipandang sebagai sesuatu yang bahaya dan subversif. Meskipun, gambaran tentang cinta yang romantis ini -pengorbanan, perjuangan, pengertian- berasal dari dongeng/cerita rakyat yang berkembang di dalam masyarakat itu sendiri.
Meskipun terjadi pertentangan tentang konsep cinta yang romantis dan berbenturan dengan berbagai budaya. Dalam disiplin ilmu Antropologi pun juga memberikan perbedaan tentang gairah romantis dan nafsu birahi, dengan berbagai jenis konsep cinta yang lainnya. Dr. William Jankowiak, Universitas Nevada mempertanyakan (Goleman, 1992) "Mengapa sesuatu yang sangat sentral dalam budaya kita diabaikan begitu saja oleh Antropologi?" Menurutnya hal ini terjadi karena adanya bias ilmiah sepanjang ilmu sosial memandang cinta romantis sebagai kemewahan pada manusia hidup. Karena cinta yang romantis menurutnya, hanya bisa dijangkau oleh kaum elite dan berpendidikan. Hal ini terlihat dari sebuah fenomena, jika seseorang berasal dari golongan sosial menengah ke bawah, konsep tentang cinta yang romantis ini akan terserap jatahnya untuk memikirkan kondisi ekonomi.
Cinta romantis oleh antropolog diartikan sebagai daya tarik yang kuat dan kerinduan untuk menjadi satu dengan yang dicintai. Maka dari itu cinta, bisa jadi merupakan faktor yang fundamental yang mendasari konsep pernikahan. Sehingga ketertarikan dan keinginan untuk menjadi satu dengan orang yang dicintai menjadi sangat kuat. Dr. Helen Fisher (Goleman, 1992) mengatakan bahwa ikatan antar pasangan muncul ketika spesies kita mulai mencari makan. Berdiri dengan 2 kaki, dan membawa makanan kembali ke tempat yang aman untuk dimakan.
Konsep Cinta dalam Antropologi
Dalam ilmu Antropologi, cinta dan romantisme adalah dua hal yang selalu berhubungan. Layaknya api dan bara, cinta dan romantisme tidak dapat dipisahkan. Cinta masih diyakini sebagai hal yang klise, seperti cinta itu buta, cinta itu menguasai, hidup tanpa cinta adalah kehidupan yang tidak layak dijalani, pernikahan seharusnya terjadi hanya karena cinta, dan sebagainya. Cinta romantis tidak bisa diperjualbelikan, cinta tidak dapat dihitung, cinta itu misterius, benar dan dalam, spontan dan memaksa, serta bisa menyerang siapa saja (Lindholm, 2006).
Cinta merupakan sebuah perasaan yang kuat, maka dengannya para pecinta menyediakan "semacam keselamatan sekuler".... yang dapat menembus seluruh keberadaan mereka, meskipun mungkin mereka mati karenanya (Illouz, 1998:176). Layaknya kisah Romeo dan Juliet, cinta romantis telah menguasai emosi seseorang hanya untuk yang dicintai. Sehingga mengharuskan orang yang menanggung rasa ini memperjuangkan perasaannya. Romantisme yang seperti ini disinyalir sebagai warisan kebudayaan Barat, pada abad pertengahan. Serta mulai meluas ke seluruh dunia dengan hadirnya televisi serta perfilman barat, hingga mengubah dan menyeragamkan romantisme cinta.
Romantisme cinta yang demikian menurut (Lindholm, 2006:6) dibangun untuk tujuan berbagai hal: 1) idealisasi komersialisasi seksualitas yang dipromosikan melalui buku, film, atau iklan. 2) Dari prespektif ini, mungkin di seluruh dunia evolusi budaya cinta romantis adalah ilusi yang dikomoditaskan. Cinta romantis yang sejati adalah benar-benar pengalaman Barat. Namun, pengalaman yang sejatinya yaitu romentisme Barat kemungkinan juga merupakan ilusi. Yakni, ilusi atas penyamaran tipis nafsu yang dijual ke publik. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Ralph Linton (1936:175):
The hero of the modern American movie is always a romantic lover, just as the hero of an old Arab epic is always an epileptic. A cynic may suspect that in any ordinary population the percentage of individuals with capacity for romantic love of the Hollywood type was about as large as that of persons able to throw genuine epileptic fits. However, given a little social encouragement, either one can be adequately imitated without the performer admitting even to himself that the performance is not genuine.
Pada era tahun 1950-an sampai 1960-an, riset-riset antropologi tentang emosi, romantisme, feminitas. Tidak begitu mendapatkan perhatian. Pada etnografer lebih tertarik untuk menjelaskan tentang incest atau kanibalisme di suku-suku terdalam daripada menyentuh hal-hal seperti yang tersebut di atas. Namun, dengan giliran "Geertzian" menuju interpretasi antropologis sistem makna budaya, studi tentang emosi mulai berkembang.
Penelitian tentang emosi lebih berkembang untuk meneliti tentang kemarahan, gangguan kejiwaan dan sebagainya. Namun penelitian emosi yang berkaitan dengan cinta romantis tidak berkembang pada dekade awal-awal. Hal ini dikarenakan citra cinta yang romantis dianggap sebagai sebuah gangguan kejiwaan oleh orang Yunani dan Romawi, dan orang Jepang pra-modern.
Paradigma tentang cinta yang berkembang adalah seksual dan suci (Lindholm, 2006:10). Hubungan romantis yang dicita-citakan Barat adalah menjadi alasan yang dapat diterima untuk melakukan hubungan seksual. Namun, akhir-akhir ini pandangan cinta romantis sebagai modern dan Barat telah ditentang dalam dua sisi, yaitu oleh penelitian antropologi dan sosiobiologi. Antropologi melihat bahwa emosi tertarik untuk menemukan kapan dan dimana cinta romantis terjadi, dan dalam menghubungkan kemunculannya dengan prakondisi sosial dan psikologis tertentu (Goode,1959). Bagi para antropolog, cinta romantis dibangun secara kultural, meskipun mungkin didasarkan pada beberapa impuls manusia yang lebih mendasar. Yang paling mempengaruhi adalah sosiobiologi, dan bahwa cinta romantis selalu muncul disemua masyarakat manusia, dan pencarian untuk itu dibawah hiruk-pikuk budaya (Lindholm, 2006:10).
Konsep Cinta dalam Psikologi
Dalam psikologi, konsep cinta lebih diarahkan pada analisa perilaku dan sikap individu dalam membentuk suatu keterikatan hubungan yang dekat. Perasaan, tindakan, dan psikis pada setiap individu menjadi faktor yang mudah terpengaruh oleh sebuah konsep yang disebut dengan cinta. Para psikolog menekankan bahwa pengalaman dan cara individu dalam menjalankan cinta sangatlah berbeda-beda jenisnya tetapi mayoritas memiliki dasar yang sama. Biasanya pemahaman mengenai konsep cinta dipengaruhi dari latar belakang kebudayaan dan lingkungan dalam mengolah seorang individu untuk belajar memahami dan memaknai sebuah konsep cinta bagi dirinya. Para psikolog lebih melihat konsep cinta sebagai perilaku untuk menunjukan sebuah afeksi timbal balik dalam mempengaruhi sikap individu tersebut.
Cinta adalah sesuatu hal aktif yang mana dapat memecahkan tembok yang menjadi pemisah kesepian dan penyatuan dengan orang lain, dimana konsep cinta yaitu care, responbility, respect, dan knowledge. Cinta adalah orientasi yang mengarah pada semua dan tidak pada satu orang. Namun, dengan berkata demikian bukan berarti tak ada perbedaan dalam jenis-jenis cinta. (Fromm, 2018)
Sore itu, ditemani dengan hembusan angin yang riuh di pelataran gedung A Fakultas Psikologi, kami bertemu dengan dua orang teman kami yang bernama Cahya Amelia dan Devina Anggita. Mereka adalah kedua mahasiswa yang mengambil jurusan Psikologi dan saat ini sedang menjalani kuliah selama 3 semester. Aya (sapaannya), mengajak kami duduk di bawah pohon rindang ditemani daun yang menari akibat hembusan udara. Terlihat suasana Fakultas Psikologi begitu tenang dan sepi tanpa lalu lalang orang yang semakin mendukung untuk mengobrol santai tanpa diganggu suara keramaian. Pertanyaan mendasar, kami lontarkan di depan mereka berdua. Kami menanyakan bagaimana konsep cinta diajarkan di jurusan mereka. Mereka saling memandang dan tersenyum seakan mereka mengkode melalui mata siapa yang akan menjawab dahulu.
Aya berpendapat bahwa kata cinta sudah diajarkan di awal perkuliahan semester 1 sampai semester 3 dimana cinta ada pada materi psikologi dasar dan sosial. Tetapi sampai semester ini cinta yang disampaikan hanya sebatas pengertian dan konsep-konsep dari para tokoh Psikologi. Dia mengatakan bahwa “Dalam psikologi, konsep cinta itu banyak sekali, aku mencampurkan berbagai macam konsep cinta atau lebih tepatnya aku agak ngemix konsep cinta. Karena setiap tokoh psikologi mempunyai definisi sendiri yang berbeda-beda mengenai cinta. Secara garis besar, cinta adalah sikap terhadap orang lain. Sikap terbagi menjadi kesadaran, perasaan, dan perilaku. Pertama, mempunyai kesadaran dan kepekaan terhadap orang lain. Kedua, mempunyai perasaan dengan orang lain dan terakhir cinta menghasilkan perilaku atau afeksi kepada orang lain. Seperti yang dituliskan R. J. Sternberg (1988) :
Kisah cinta mereflesikan kepribadian, minat, dan perasaan seseorang terhadap suatu hubungan. Kisah tersebut biasanya mempengaruhi orang dalam bertindak dan bersikap. Cinta merupakan kombinasi dari rasa, pola pemikiran atau nalar yang diteruskan melalui tindakan dan perilaku dari setiap individu.
Berbeda dengan Aya, Devina lebih memahami bahwa konsep cinta terbentuk dari emosi yang ada pada diri setiap individu. Emosi membentuk suatu rasa yang mempengaruhi tindakan dan kesadaran seseorang untuk dapat merasa dekat dan nyaman. Devina mengatakan “ Emosi terbagi menjadi dua jenis yaitu emosi positif dan emosi negatif. Cinta termasuk ke dalam bentuk emosi positif seperti kasih sayang, perhatian, peduli, dan empati.” Jadi secara tidak langsung konsep cinta adalah suatu proses yang terbentuk akibat adanya emosi. Emosi sendiri, sudah terbentuk sejak dini dan dipengaruhi oleh memori dan persepsi tiap individu masing-masing sehingga jenis-jenis cinta antar individu sangat berbeda.
Cinta merupakan suatu hal yang abstrak karena perbedaan rasa yang dialami oleh manusia. Teori Sternberg ini mematahkan persepsi bahwa cinta adalah hal abstrak. Setiap manusia memiliki rasa cinta yang berbeda sehingga ada sebuah penggolongan ilmiah mengenai cinta yang dapat menjawab sebuah keabstrakan tersebut. Mereka berdua sepakat dalam menjawab pertanyaan kami mengenai teori dari tokoh siapa yang dapat kami jadikan acuan dalam membuat tulisan ini. Mereka menjawab teori Sternberg dan menyarankan kami untuk membaca teori ini. Konsep cinta milik Robert J. Sternberg bernama Triangular Theory of Love (segitiga cinta). Segitiga cinta memiliki 3 komponen penting yaitu (1) keintiman (intimacy), (2) gairah (passion) dan (3) komitmen (commitment).
Dalam hal ini, Aya menjelaskan “Ketiga aspek ini dibagi lagi kedalam beberapa kelompok analisa. Jika hanya ada komitmen sebagai aspek yang mendominasi maka disebut sebagai empty love. Jadi kosong cintanya dalam artian seseorang hanya sebatas tahu, aku suka dia, hanya sekedar menyadari saja. Jika intimacy digabungkan dengan passionate akan menghasilkan romantic love. Intinya ketiga aspek ini akan disilangkan pada masing-masing aspek. Cinta yang paling sempurna adalah cinta yang memuat ketiga aspek ini yaitu bernama consumate love.” Devina menambahkan “Ketika kita membicarakan love kita dapat membicarakan banyak hal tidak hanya sebatas pada laki-laki ke perempuan yang saling mencinta atau sebaliknya, tetapi bisa juga cinta ibu kepada anak, cinta pada sesama teman.”
Ketika kami menanyakan mengenai aspek terpenting dalam sebuah pernikahan, Aya mengatakan bahwa pada sebuah pernikahan, terdapat tahapan untuk menghasilkan cinta yang sempurna. Pada awal pernikahan atau sebelum pernikahan cinta akan lebih banyak ke arah passionate atau lebih banyak pada aspek seksualnya. Tahap paling awal adalah kedekatan seperti saling mengenal satu sama lain kemudian menjadi akrab lalu nyaman. Lama-kelamaan akan ada aspek seksualnya dan kemudian akan masuk pada aspek komitmen dengan masuk kedalam sebuah pernikahan. Nantinya, makin kebelakang, aspek passionate akan semakin berkurang. Seperti pada orang tua yang sudah sangat tua, aspek seksual menjadi hal yang tidak terlalu penting sehingga lebih banyak mengarah pada komitmen. Setiap orang memiliki tahapan dan cara yang berbeda dalam menjalani pernikahan.
Kemudian kami menanyakan mengenai apakah cinta dan perilaku memiliki keterkaitan. Analisa ini termuat dalam teori 5 bahasa cinta. Devina mengatakan “Jadi 5 bahasa cinta salah satunya yaitu act of service. Misalnya, di Indonesia terkesan ibu yang mengurus segala jenis aktivitas rumah tangga (household) tetapi sebenarnya seorang bapak juga dapat berperan dalam membantu pekerjaan rumah tangga. Selain itu, perilaku memberikan hadiah (gift) dan afeksi dalam percakapan juga termasuk kedalam 5 bahasa cinta lebih jelasnya seperti take and give dimana keduanya saling menguntungkan.” Dalam konsep cinta terdapat konsep learning dimana setiap individu belajar untuk menjalankan sebuah cinta.
Kemudian sebagai penutup kami menanyakan mengenai fenomena bunuh diri akibat percintaan yang sedang marak terjadi sekarang ini. Aya dan Devina sependapat dan menjawab bahwa cinta dapat saja hilang bila ketiga aspek cinta tidak terpenuhi seperti yang telah dijelaskan tadi. Tidak semua orang memiliki karakter yang sama. Dalam psikologi tidak bisa langsung memberikan kesimpulan pada setiap permasalahan yang ada dalam artian tidak dapat secara langsung meregeneralisir. Karena ini banyak yang harus dilihat. Banyak yang harus dicari tahu dahulu ke belakang sampai ke masa kecil seseorang sangat bisa menentukan kedepannya. Memang harus mengidentifikasikan dahulu faktor yang mendominasi.
Kesimpulan
Antropologi dan Psikologi merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Dalam memahami konsep love dua ilmu ini memiliki ranah yang berbeda. Antropologi membahas konsep cinta dalam kebudayaan dan masyarakat luas. Sedangkan, Psikologi dapat menganalisa konsep cinta secara individu. Kedua hal ini sama-sama membicarakan mengenai manusia dalam ranah berbeda. Dalam hal ini cinta menjadi dasar manusia dalam membentuk suatu keluarga dan kekerabatan sampai kepada suatu komunitas besar masyarakat. Menurut antropologi romantisme yang sekarang berkembang pada masyarakat kita merupakan romantisme ala barat yang diberikan melalui film dan lagu. Romantisme tersebut menjadikan masyarakat untuk mempunyai suatu pola percintaan yang sama. Sedangkan menurut psikologi romantisme dan cinta memiliki suatu hal yang berbeda dan banyak jenisnya. Romantisme memiliki banyak konsep yang dikaitkan dengan lingkungan dan latar belakang yang ada. Dapat disimpulkan bahwa cinta dalam Antropologi dilihat secara luas dan Psikologi memperdalamnya.
Referensi
Daniel Goleman. (1992). After Kinship and Marriage, Anthropology Discovers Love.The New York Times.
Fromm, E. (2018). The Art of Loving Harper and Brothers. Cetakan Pertama. Yogyakarta : Basabasi.
Setiawan, Y. (2014). Kesempurnaan Cinta dan Tipe Kepribadian Kode Warna.
Pesona, Jurnal Psikologi Indonesia, 3(1). 90-96.
Comments