Oleh: Iffah Fitri Annisa & Lia Sukma Catartika

Apa yang pertama terpikirkan di benak kalian ketika mendengar kata ‘rumah’? Apakah bangunan tempat kalian tinggal yang memiliki struktur atap segitiga, dinding persegi, pintu persegi panjang, dan jendela dengan empat bagian seperti gambar yang kalian buat sewaktu kecil? Atau rumah adalah tempat di mana kalian bercengkrama dengan kakak, adik, ayah, ibu, dan sanak keluarga lainnya? Mungkin ada hal lain yang terpikirkan oleh kalian mengenai rumah itu sendiri, tidak harus sama dengan yang lainnya. Bahwa setiap individu memiliki satu hal yang melekat pada dirinya dari ingatan rumah masa lalu.
Sebagai seorang anak, kami sepakat bahwa rumah adalah tempat di mana ibu berada. Ketidakhadiran sang ibu akan membuat seisi rumah menjadi kacau. Adik tidak dapat menemukan di mana kaus kakinya. Kakak tidak ingat di mana ia terakhir kali meletakkan tugas sekolahnya. Ayah juga seringkali tidak ingat di mana kunci motornya dan tidak dapat menemukan remot tv setiap kali ia ingin melihat berita sepak bola. Akan ada teriakan-teriakan memanggil ibu, “Buuu! Maaa! (nama barang yang dicari) aku di manaa?” Tidak akan berjalan dengan lancar aktivitas di dalam rumah ketika ibu tidak ada. Begitulah sedikit gambaran keadaan di dalam rumah ketika ibu sedang dinas ke luar kota atau pergi mengunjungi nenek.
Bachelard (1994) dalam bukunya The Poetics of Space menuliskan, “Our house is our corner of the world … Our first universe, a real cosmos in every sense of the word. If we look at it intimately, the humblest dwelling has beauty”. Setelah dipikir-pikir lagi memang benar seperti itu, bahwa rumah menjadi representasi seorang anak mempelajari sesuatu. Sewaktu kecil ketika seseorang membuat kesalahan maka akan terdengar kalimat seperti, “Kamu gak diajarin ya di rumah?” “Emangnya di rumah diajarin apa?” Atau ketika kurang sopan pada guru-guru mereka akan mengatakan, “Kamu gak diajarin sopan santun ya di rumah?” Bahkan sebaliknya ketika sesorang melakukan suatu hal baik maka yang terdengar adalah, “Pasti di rumah anak baik-baik deh” atau kalimat lainnya yang bersifat judgemental. Dari hal seperti itu maka seorang anak akan dianggap sebagai representasi dari rumahnya, keluarganya. Oleh karena itu seorang anak dituntut untuk berperilaku baik agar tidak mencoret nama baik keluarga atau tempat asalnya.
Antropologi ‘Rumah’
Di masa lalu, rumah sering digambarkan dalam etnografi sebagai benda material budaya, sebagai suatu objek penuh makna simbolis, atau sebagai tempat sistem produksi rumah tangga (Barnard dan Spencer, 2010:353). Mungkin akan sedikit aneh kedengarannya bahwa rumah sebagai aspek arsitektur digunakan untuk melambangkan hubungan sosial, juga representasi gender melalui pembagian ruang domestik dan ruang publik. Seperti adanya anggapan bahwa perempuan yang harus lebih sering mengurusi urusan rumah dibanding laki-laki. Namun kini antropologi telah menbahas ‘rumah’ lebih jauh. Tidak hanya sebatas objek etnografi antara bentuk rumah, lingkungan dan budaya yang ada, tetapi menjadikannya sebagai sebuah gagasan untuk memahami konseptualisasi dari praktek hubungan sosial juga hubungan kekeluargaan.
Hubungan antara bentuk rumah, lingkungan, dan budaya seringkali menjadi perbincangan oleh beberapa disiplin ilmu, salah satunya antropologi. Di tahun 1991, Waterson (dalam Kuper dan Kuper, 1996:641) mengatakan fokus antropologi pada rumah berasal dari cara rumah memiliki kepentingan dalam budaya tertentu, sebagai konstruksi material, kelompok sosial, dan sebagai subjek elaborasi simbolik. Seperti contoh yang dijelaskan oleh Kuper bahwa di banyak masyarakat, prinsip-prinsip penting klasifikasi sosial seperti usia dan gender diwujudkan dalam pengaturan ruang internal di dalam rumah. Santoso pun (dalam Cahyandari, 2012:105) menyebutkan tidur dan duduk merupakan hal yang signifikan untuk menjadikan rumah diliputi dengan makna-makna karena keduanya berhubungan dengan dua gagasan utama tentang kedomestikan, yakni kehidupan pribadi dan terlibat dalam hubungan sosial dengan orang-orang lain. Apa yang dikatakan oleh keduanya kami temukan dalam konsep rumah Joglo di Jawa.
Rumah Joglo dibangun dalam satu kompleks berdinding yang idealnya terdiri atas tiga bangunan utama, yaitu pendapa, pringgitan, dan dalem. Pendopo atau pendapa terletak pada bagian depan kompleks. Biasanya pendopo merupakan ruang terbuka untuk menerima tamu, pertemuan besar atau kumpul-kumpul dengan tetangga. Peringgitan atau pringgitan adalah serambi antara pendopo dan rumah dalem. Biasanya dijadikan untuk tempat bersantai di sore hari oleh tuan rumah. Tempat dirinya mengaktualisasikan diri sebagai makhluk sosial dan makhluk budaya, di mana peringgitan juga dijadikan tempat untuk pertunjukan wayang. Dalem adalah rumah utama dan semakin masuk ke bagian dalam rumah disebut dalem ageng. Dalem adalah tempat semua anggota keluarga melakukan aktivitas. Pada bagian belakang dalem terdapat tiga ruangan yang disebut senthong. Ketiga senthong ini memiliki fungsi yang berbeda, senthong kiwa (timur) berfungsi untuk menyimpan senjata atau barang-barang keramat, senthong tengah digunakan untuk menyimpan benih, bibit akar, atau gabah dan tempat untuk berdua juga pemujaan kepada Dewi Sri, dan terakhir senthong tengen (barat) untuk tempat tidur serta penyimpanan beras dan hasil pertanian (Cahyandari, 2012:105). Bagian paling belakang dinamakan gandhok yang memanjang di sebelah kiri dan kanan pringgitan dan dalem, juga terdapat dan pawon yang berfungsi sebagai dapur dan pekiwan sebagai wc (Filosofi Rumah Tradisional Jawa - WACANA, 2009).
Pada rumah Joglo terjadi penerapan prinsip hirarki dalam pola penataan ruangnya. Setiap ruangan memiliki perbedaan nilai, ruang bagian depan bersifat umum (ruang publik) dan bagian belakang bersifat khusus (ruang privat). Semakin ke belakang maka ruang tersebut akan semakin privat. Masyarakat Jawa yang merupakan masyarakat patriarki memiliki batasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki lebih dominan dibanding perempuan (Cahyandari, 2012:104). Melalui pembagian ruang rumah tersebut dapat terlihat bahwa ruang bagian depan yakni ruang publik merupakan milik laki-laki, dan bagian belakang yakni ruang domestik adalah milik perempuan.
Rumah yang pada dasarnya merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia tetap bertahan dari waktu ke waktu meskipun harus mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Perubahan ini seringkali mengurangi fungsi dan nilai yang dimiliki oleh rumah di masa lalu. Antropologi dihadapkan pada masyarakat yang mengikuti perubahan tersebut. Masyarakat yang tidak sesuai dengan teori klasik kekeluargaan telah merubah rumah sebagai cara untuk memahami sosialitas (Kuper dan Kuper, 1996:641). Sehingga rumah telah mengalami pergeseran peran dari yang sebelumnya dikaitkan sebagai klasifikasi sosial seperti usia, gender, juga hubungan kekeluargaan. Serta faktor lain yang membuat seseorang cenderung memilih membangun rumah modern, membuat penempatan ruang tidak lagi seperti rumah tradisional.
Arsitektur ‘Rumah’
Berkaca pada perubahan yang dialami rumah dari waktu ke waktu, lalu bagaimana kondisi rumah pada saat ini. Kondisi rumah yang tidak lagi dipandang berdasarkan fungsi dan nilai yang sebelumnya sangat berhubungan dengan kekerabatan dan gender. Seperti yang telah disebutkan bahwa hubungan antara bentuk rumah, lingkungan, dan budaya seringkali menjadi perbincangan oleh beberapa disiplin ilmu, selain antroplogi, arsitektur juga termasuk di dalamnya. Untuk mengetahui dan memandang rumah dari ilmu arsitektur ini kami memerlukan obrolan dengan orang yang berhubungan langsung dengan dunia per-arsitektur-an, yakni mahasiswa dari prodi Teknik Arsitektur itu sendiri.
Senin, 10 Desember 2018 kami bertemu dengan Ahmad Dhira Pramboda, salah satu mahasiswa semester 3 jurusan Teknik Arsitektur angkatan 2017. Tujuan kami menemui Dhira—panggilan akrabnya, adalah untuk memahami konsep rumah dari sudut pandang arsitektur. Obrolan dilakukan dengan santai, mengingat waktu telah menunjukan pukul 3 sore, tetapi terlihat seperti pukul 5 karena langit begitu gelap tanda akan datang hujan deras yang disertai angin kencang.
Untuk orang awam yang tidak mengenal arsitektur akan mengira bahwa prodi ini hanya untuk mendesain sebuah bangunan, tetapi Dhira mengklaim bahwa arsitektur mempelajari semuanya, “Ya mungkin kalo orang awam hanya mengira kita belajar sebuah bangunan, tetapi kita belajar semuanya mulai struktur terus lingkungannya … kita belajar semuanya tapi gak sedalam semuanya”. Dhira mengatakan bahwa arsitektur pada dasarnya lebih terfokus pada struktur sebuah bangunan. Arsitektur mendesain bagaimana sebuah bangunan sesuai dengan konsep yang diinginkan individu. Untuk suatu pekerjaan atau proyek pembangunan, arsitektur tidak turun langsung ke lapangan. Arsitektur hanya sebatas membuat gambar dan konsep dari bangunan tersebut, tetapi bukan berarti mereka tidak menghitung struktur bangunan seperti teknik sipil. Untuk merealisasikan konsep tersebut, arsitektur telah menganalisa permasalahan suatu tempat, atau sites. Permasalahan seperti lingkungan, budaya dan sebagainya. Kemudian dikaitkan dengan pembuatan konsep sesuai keinginan juga yang menyelesaikan permasalahan di tempat tersebut.
Untuk menciptakan rumah yang sesuai keinginan si penghuni dalam hal kenyamanan, Dhira memberikan pendapat singkat yang cukup masuk akal, “Ya itu semua tergantung permintaan client, karena nyaman adalah sebuah subjektivitas”. Kenyamanan dapat diciptakan oleh setiap individu dengan ukuran yang berbeda. Kenyamanan sangat penting diciptakan dalam rumah ketika mereka menghendaki bagaimana bentuk bangunan itu sendiri. Menariknya berkaitan dengan permasalahan lingkungan dan sosial budaya ia―arsitek―akan melihat kondisi arus aktivitas manusia dalam rumah tersebut maupun kebiasaan orang sekitar yang nantinya dikategorikan kondusif atau tidak kondusif. Hal ini akan mempengaruhi kenyamanan bangunan itu sendiri.
Adapun aturan-aturan yang dimiliki arsitektur dalam sebuah pembangunan. Salah satunya yaitu sepandan atau jarak bangunan dengan jalan. Jarak ini tidak lebih dari 2,5 meter agar bangunan tidak terlalu mepet dengan jalan karena beberapa hal salah satunya keselamatan. Kemudian Dhira juga menyebutkan adanya nilai estetik dalam bangunan. Walaupun ketika ditanya apa definisi arsitektur mengenai bangunan estetik ia tidak dapat menjelaskan. Dhira menyebutkan, “Definisi estetik itu aku juga belum tau pasti gimana patokannya bangunan itu estetik. Tapi kayak gitu bisa dipahami seiring dengan adanya ‘jam terbang’”.
Kembali lagi dengan permasalahan pembangunan rumah tradisional di era modern, Dhira menyatakan pendapatnya bahwa pembangunan tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan lahan, juga nilai budaya dari rumah tradisional dapat diambil secara ‘filosofis’ yang nantinya dapat disematkan pada bangunan rumah baru. Jika dibandingkan dengan rumah Joglo, keterbatasan lahan menjadi masalah juga biaya yang dibutuhkan sangat besar sehingga hanya orang mampu yang dapat merealisasikan rumah Joglo, tetapi kembali lagi pada fungsi dan nilai yang dipercaya. Misalnya saat ini rumah tidak lagi memiliki pendopo, tetapi hanya memiliki ruang tamu yang terbatas. Hal ini dikarenakan hanya sedikit orang yang masih rajin untuk bertamu dan berkunjung sebab semua orang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Seperti pekerjaan yang menyita banyak waktu―pergi pagi pulang malam―membuat hubungan sosial di masyarakat berkurang.
Ketika ditanya definisi rumah saat ini dalam arsitektur, ia mengatakan bahwa rumah harus mendukung segala aktivitas yang dibutuhkan. Berkurangnya fungsi dan nilai pada masyarakat menjadikan rumah hanya sebatas pendukung kebutuhan. Dhira menambahkan kalau dibagi sesuai tingkatan kebutuhan, kamar tidur, dapur dan MCK akan masuk pada kebutuhan primer. Ruang keluarga, ruang makan, dan ruang tamu termasuk kebutuhan sekunder. Kamar tamu, ruang kerja, dan taman akan masuk pada kebutuhan tersier. Walaupun demikian, jika dirinya dihadapkan pada client yang menuntut pembangunan rumah tradisional dengan fungsi dan nilainya maka ia tidak dapat menolak karena kembali lagi pada selera masing-masing, dan arsitektur hanya mengikuti serta memberi solusi pada client.
Dari sini kami mengamati adanya pergeseran dari konsep rumah itu sendiri. Dari sudut pandang arsitektur, diwakili oleh Dhira, ia lebih menyesuaikan dengan bagaimana bangunan pada masa kini dengan ditambah beberapa pertimbangan seperti lahan, biaya, dan kebutuhan menurut si tuan rumah. Tidak lagi begitu kental hubungannya dengan konsep-konsep yang dimiliki oleh antropologi. Dari pergeseran konsep rumah tersebut dapat dilihat betapa berbedanya pemahaman yang dimiliki oleh kedua disiplin ilmu.
Perencanaan Wilayah dan Kota ‘Permukiman’
Jika berbicara mengenai rumah tinggal maka akan ikut terpikirkan kawasan dari rumah tersebut. Hanya kemungkinan kecil seseorang akan membangun rumah di tengah hutan atau di dekat air terjun seorang diri. Tidak mungkin seseorang itu bermukim di tempat yang membahayakan dirinya. Pasti terdapat pertimbangan lain yang membuat dirinya memutuskan untuk tinggal di tempat tersebut. Saat ini manusia bermukim bukan sekedar untuk tempat tinggal dan berteduh, tetapi lebih dari itu mencakup rumah dan segala fasilitasnya seperti ketersediaan air, penerangan, transportasi, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini lah yang juga patut untuk diperhatikan ketika ingin memiliki sebuah rumah.
Menurut KBBI daring permukiman adalah daerah tempat bermukim, sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Untuk memahami pengertian ini kami perlu mempelajarinya lebih lanjut dari mahasiswa jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota.
Sabtu, 8 Desember 2018 kami menemui mahasiswa prodi teknik Perencanaan Wilayah dan Kota atau PWK, Universitas Gadjah Mada. Kami sepakat bertemu di Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik, UGM. Ia adalah Bayu Adji Pratama, mahasiswa semester 3 tahun angkatan 2017. Setelah berkenalan dan berjabat tangan, kami bertiga duduk di pojok dekat bangunan studio arsitektur. Ditemani bangku kosong, kami memulai pembicaraan hangat seputar topik yang sudah ditentukan sebelumnya. Sedikit dibumbui canda tawa, kami memulai obrolan dengan membicarakan apa saja yang dipelajari dalam studi teknik perencanaan wilayah dan kota dengan tujuan untuk memahami permukiman dari sudut pandang mereka.
Bayu, sapaan akrabnya, mulai menjelaskan bahwa teknik terdiri dari studi yang spesialis dan generalis. Contoh dari ilmu teknik spesialis adalah teknik elektro dan teknik kimia—teknik yang menggunakan analogi pemrosesan yang nantinya memiliki tugas akhir dalam merencanakan pembangunan pabrik tergantung dengan konsentrasi studi pilihan, sedangkan PWK termasuk dalam teknik generalis. Dalam hal ini, mata kuliahnya ‘studio’. Mata kuliah ini menuntut mahasiswa untuk ke lapangan mengamati setiap sudut jalan dan mencatat setiap detil yang terdapat di daerah tersebut. Selain itu mereka memiliki tugas untuk menganalisis ruang publik beserta fungsi dari fasilitas yang tersedia. Pada tahun pertama, lingkup yang menjadi target adalah kawasan, tahun kedua kota, dan tahun ketiga wilayah atau bisa dibilang kumpulan dari beberapa kota.
Selain itu, kami cukup terkejut ketika Bayu menjelaskan bahwa dalam studi PWK ini melibatkan beberapa aspek seperti ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam permukiman sendiri perlu dilihat dari aspek ekologi, atau kondisi lingkungan dari permukiman tersebut. Seperti permukiman yang linier atau mengikuti garis, yakni permukiman di pesisir pantai, permukiman di pinggir jalan, dan permukiman di tepi sungai. Berbeda lagi jika permukiman yang berbentuk mengelompok, jenis permukiman seperti ini dapat dijumpai di daerah datar dan jenis permukiman yang tersebar di daerah lereng gunung. Jika dikaitkan dengan ilmu antropologi, tentu bentuk sebuah permukiman akan terbentuk bedasarkan faktor-faktor yang dapat menunjang kebutuhan, seperti permukiman yang mengikuti garis sungai karena air merupakan kebutuhan paling utama. Berbeda dengan ilmu teknik PWK ini, mereka melihat permukiman bedasarkan berapa kemiringan tanah yang kiranya digunakan atau dirasa tidak membahayakan untuk dihuni.
Berhubungan dengan aspek ekonomi, sebuah pekerjaan menurut ilmu PWK akan lebih baik jika berlokasi di dekat tempat tinggal. Hal ini bukan tanpa alasan karena jika terdapat pekerjaan yang berlokasi di kota atau daerah lain nantinya akan menimbulkan spill over atau tabrakan arus. Dampak yang diakibatkan dari adanya spill over ini adalah jalanan yang menghubungkan antar kota akan mengalami kepadatan pada jam-jam tertentu.
Berbicara mengenai sebuah permukiman, Bayu menjelaskan sebuah informasi menarik yang didapat ketika mengikuti salah satu rangkaian orientasi mahasiswa baru fakultas teknik. Pada masa kerajaan Jawa jika ada alun-alun dapat dipastikan empat hal yang berada di sekitarnya—Catur Gatra Tunggal atau Catur Sagotra, empat elemen dalam satu unit. Kalau di Yogyakarta, di selatan alun-alun ada keraton, di utara akan ada pasar yakni Pasar Bringharjo, masjid Gedhe Kauman di sisi barat alun-alun, dan di sisi lainnya akan ada permukiman. Sri Sultan mengatakan, “Dalam konsep Catur Sagotra ini, yang penting dimengerti adalah bahwa kraton terpadu dalam interaksi masyarakat kota secara langsung. Ruang publik langsung berada di depan kraton,” (Catur Gatra Tunggal – Kompas.com, 2009).
Bayu menjelaskan aspek sosial budaya dari permukiman dengan mencontohkan kasus pembangunan NYIA (New Yogyakarta International Airport). Ia menyebutkan bahwa, “Secara pandang teknik lain itu mending dibangun NYIA itu karena dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar” ia menambahkan, “dari sudut pandang PWK itu mereka itu lebih nrimo dari lahir. Tidak segampang itu untuk membikin suatu proyek kerja yang masif diletakkan di pinggir, kalau di kota dia terbatas ruang yang penuh kalau di desa terbatas oleh fungsi budaya, sosial, dan masyarakatnya. Akhirnya disitu akan ada tarik ulur, jadi PWK juga kerja disitu. Ketika ada proyek besar yang dibangun di desa atau dimana, PWK akan jadi pihak ketiga yang menyambung pihak perusahaan dan masyarakat”.
Sesaat setelah ia menjelaskan mengenai adanya pendekatan dengan masyarakat, di sini kami merasakan adanya titik temu antara ilmu antropologi dan PWK. Pendekatan pada masyarakat menjadi sangat penting, selain untuk jalinan komunikasi antar kedua belah pihak, juga dapat memahami bagaimana karakteristik dan pola kehidupan masyarakat tersebut. Peran masyarakat memang tidak dapat dihilangkan ketika terjadi pembangunan ataupun aktivitas lain, disini pendekatan menjadi sangat penting.
Berkaitan dengan adanya pendekatan dengan masyarakat, Bayu juga menyebutkan satu teori sosial yang masih berhubungan dengan hal tesebut. teori pemberdayaan masyarakat. Bayu menjelaskan bahwa, “Pertama kita harus membaur dulu sama masyarakatnya, kita harus mengikuti pola main dari masyarakatnya. Ketika kita udah menemukan titik masalah atau potensi yang bisa dikembangkan, baru ngomong karena ketika sudah ada kepercayaan disitu orang akan lebih mau atau lebih terbuka pikirannya untuk menerima saran dari kita”. Dari penjelasan singkat yang dijelaskan oleh Bayu, kami menyimpulkan bahwa isi dari teori tersebut menjelaskan bagaimana cara mendapatkan sebuah kepercayaan dari masyarakat yang nantinya akan bermanfaat untuk memberi masuka yang berguna bagi masyarakat itu sendiri.
Di tengah―menuju akhir―perbincangan tiba-tiba Bayu mengatakan sebuah kalimat yang menurut kami sangat mengejutkan, “Sebenarnya kita itu hampir sama ya Soshum sama PWK. PWK itu mengkaji di tengah, yang sini mengkaji tentang teknis terus yang sini mengkaji tentang sosial. Makanya kami disebut generalis, harus belajar semua tapi nggak mendalam”.
Penutup
Rumah yang pada dasarnya merupakan kebutuhan pokok ‘papan’ manusia seringkali menjadi perbincangan oleh beberapa disiplin ilmu karena hubungan antara bentuk rumah, lingkungan, dan sosial budayanya. Mulai dari antropologi yang menjadikan rumah sebagai objek penuh makna simbolis atau sebagai tempat sistem produksi rumah tangga. Arsitektur yang terus berusaha menyesuaikan rumah dengan permasalahan dan perkembangan zaman. Juga, PWK yang senantiasa memerhatikan sekitar demi pembangunan permukiman yang sesuai dengan kehidupan dan menunjang aktivitas manusia.
Meskipun makna dari sebuah rumah akan berbeda menurut setiap konsentrasi ilmu tersebut bukan berarti salah satu dari makna itu adalah salah. Namun kembali pada konsep dari masing-masing konsentrasi dan kebutuhan ilmu yang dipelajari. Dari sini dapat disimpulkan bahwa setiap studi saling bahu-membahu―adanya keterkaitan dalam memandang dan membentuk konsep rumah―melibatkan berbagai aspek untuk mengembangkan konsep rumah itu sendiri.
Hingga pada akhirnya rumah mengalami pergeseran peran, bukan berarti ia berubah sepenuhnya. Ia tetap bertahan dari waktu ke waktu dengan dilihat dari berbagai perspektif keilmuan. Ketika ilmu teknik lebih kearah konstruksi dan infrastruktur namun ilmu antropologi lebih kearah pemaknaan dari kata ‘rumah’ itu sendiri. Rumah bisa saja diciptakan baik dari bentuk bangunan maupun kenyamanan yang akan disebut ‘home’. Ketika seseorang memiliki label ‘homeless’ atau tuna wisma bukan berarti orang tersebut tidak memiliki rumah. Bisa jadi ia merasakan ‘home’ ketika terdapat kehangatan atau kenyamanan dalam lingkup tertentu. Sama halnya dengan seseorang yang memiliki bangunan rumah tinggal, tetapi ia merasa ‘homeless’ karena kurangnya kehangatan yang ia dapatkan dari bangunan itu sendiri. Di sisi lain ia akan merasa berada di rumah ketika mendapat kenyamanan dari kehadiran seseorang di dekatnya.
Referensi:
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). [Online] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/permukiman Di akses 14 Desember 2018
Bachelard, G. (1994). The Poetics of Space, trans. Maria Jolas. Boston: Beacon.
Barnard, A., & Spencer, J. (2010). The Routledge Encyclopedia of Social and Cultural Anthropology. (A. Barnard, & J. Spencer, Eds.) New York: Routledge.
Cahyandari, G. O. (2012). "Tata Ruang dan Elemen Arsitektur pada Rumah Jawa di Yogyakarta sebagai Wujud Kategori Pola Aktivitas dalam Rumah Tangga" dalam Jurnal Arsitektur KOMPOSISI , 10 (2), 103-118.
Kompas.com. (27 Juli 2009). “Catur Gatra Tunggal” dalam https://travel.kompas.com/read/2009/07/27/08370277/catur.gatra.tunggalDi akses 14 Desember 2018
Kuper, A., & Kuper, J. (1996). The Social Science Encyclopedia. London: Routledge.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Jakarta: Republik Indonesia.
WACANA: Jelajahi Peradaban. (28 Januari 2009). "Filosofi Rumah Tradisional Jawa - WACANA" dalam http://www.wacana.co/2009/01/filosofi-rumah-tradisional-jawa/ Di akses 13 Desember 2018
Comments