top of page

Apartemen Uttara: Politik Ruang dan Kekuasaan

Asyifa Nadia Jasmine



Pola tata ruang disetiap kota akan mengalami perkembangan dan perubahan secara signifikan. Dari perubahan tata ruang akan berdampak pada sistem sosial, lingkungan, public space, termasuk berefek pada sistem ekonomi. Lalu apa sebenarnya penyebab pola tata ruang ini? Berdasarkan artikel yang sudah saya baca serta pengamatan beberapa waktu lalu, pola tata ruang berubah penyebabnya karena peningkatan jumlah penduduk serta bertambahnya jumlah bangunan serta gedung-gedung kapitalis seperti mall, hotel, resort.

Beberapa waktu lalu saya dan teman-teman satu UKM saya (UPII/ Unit Penalaran Ilmiah Interdisipliner UGM) mengadakan diskusi terkait pola tata ruang Yogyakarta dan transformasi sosial serta budayanya (tepatnya Juni 2017). Diskusi itu menarik ketika salah seorang teman saya mendiskusikan konflik terkait pembangunan apartemen Uttara di Dusun Karangwuni Rt 01 Rw 01, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman. Pembangunan apartemen yang dilakukan secara sepihak oleh pihak pemerintah menimbulkan kontra dari masyarakat di sekitar Apartemen Uttara. Masyarakat sudah berusaha mempertahankan keadaan dan argumen mereka, namun seperti yang kita tahu pembangunan Apartemen Uttara masih dilanjutkan. Pengabaian partisipasi masyarakat terkait kebijakan pemerintah setempat menjadikan adanya kebijakan sepihak tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat.


Berdasarkan diskusi tersebut saya dan beberapa teman saya mengadakan mini riset ( tepatnya Akhir Juni 2017) di apartemen Uttara dan mencoba mengungkap kebenaran konflik yang tidak menjadi perhatian publik ini namun baru sempat mewawancarai seorang narasumber, mini riset terpaksa kami hentikan karena beberapa hal mendesak seperti mendekati UAS, namun saya masih mencoba mengulik konflik ini melalui beberapa literatur internet dan beberapa web yang memuat informasi terkait apartemen Uttara.


Permasalahan yang coba saya bicarakan disini adalah bagaimana kontestasi politik dan kekuasaan bekerja dalam mengatur tata ruang kota. Kebijakan sepihak yang telah diputuskan membawa kekecewaan masyarakat sekitar apartemen Uttara sehingga mereka secara terang-terangan tidak mengakui penghuni apartemen Uttara sebagai bagian dari wilayah RT mereka dikarenakan secara sosial, mereka sedari awal menolak secara tegas pembangunan apartemen ini. Meskipun secara de jure, Apartemen Uttara sudah memperoleh surat perizinan dari pemerintah Sleman. Pemerintah bukan tanpa alasan menetapkan kebijakan ini, pemerintah memiliki pandangan sendiri terkait pembangunan ekonomi dan penataan ruang karena semakin padatnya wilayah Yogyakarta wilayah Utara seperti Kabupaten Sleman khususnya desa Caturtunggal dan Condongcatur Kecamatan

Depok.


Tata Ruang Kawasan Perkotaan


Setahun tinggal di Yogyakarta menjadikanku biasa dengan beberapa perubahan, pembangunan serta transformasi pengalihan lahan menjadi kawasan hotel, mal dan apartemen. Meskipun Solo juga demikian, namun perubahannya tidak seintens Yogyakarta. Perkembangan fungsi kota yang semakin tinggi intensitasnya dihadapkan pada keterbatasan lahan yang mengakibatkan sulitnya memperoleh lahan untuk mewadahi tuntutan kehidupan kota (Pratista & Ariastitas, 2013). Banyak daerah yang dipengaruhi gentrifikasi yang menyebabkan banyak kampung hilang, karena banyak kompleks hotel besar atau prasarana pariwisata lain diadakan di daerah tersebut (Zahnd, 2008). Lajurnya pembangunan kawasan apartemen dan hotel berbintang seperti menciptakan persaingan tersendiri bagi para penikmat bisnis perhotelan. Meningkatnya jumlah kepadatan penduduk menuntut pemerintah mencari solusi terbaik agar kota tidak terlihat sesak dan terstrutur. Salah satu solusi yang dikembangkan pemerintah Yogyakarta adalah pembangunan apartemen dan rekonstruksi tata ruang kota. Kabupaten Sleman seolah menjadi target sasaran utama bagi pembangunan kompleks, apartemen, dan kondotel. Keberadaan institusi pendidikan, kemudahan transportasi, akses air, serta cuaca yang lebih nyaman disinyalir menjadi faktor pendorong (Mahaswara, 2016). Salah satu yang hingga kini menuai polemik adalah pembangunan Apartment Uttara di Pedukuhan Karangwuni. Selain Uttara, masih berlangsung pula pembangunan Mataram City Apartment and Hotel (Jalan Palagan Tentara Pelajar), Student Castle Apartment (Seturan), Hartono Mall (Ringroad Utara) dll (Mahaswara, 2016).


Kabupaten Sleman merupakan wilayah yang diaggap padat dan perlu penataan ruang yang terstruktur. Pembangunan yang dilakukan seperti apartemen Taman Melati dan Uttara dikembangkan meskipun ada pro dan kontra dengan masyarakat sekitar. Kehadiran apartemen Uttara menjadi bagian dari pembangunan hotel, mal, dan apartemen yang beberapa tahun belakangan telah banyak menimbulkan permasalahan dan isu-isu lingkungan di Yogyakarta ( Darwin, 2016). Penataan ruang sangat mempengaruhi kesejahteraan seluruh makhluk hidup di dalamnya . Sebab bila penataan ruang tidak berjalan dengan baik dan maksimal maka akan menyebabkan potensi-potensi kenyamanan yang terganggu dan bencana ekologis. Pembangunan apartemen Uttara dengan menawarkan hunian 19 lantai dan 3 basement tentu akan membutuhkan banyak persediaan air. Pihak apartemen menjelaskan bahwa sumur yang mereka gunakan pada kedalaman 60 meter sedangkan warga menggunakan sumur pada kedalaman 10 meter (Darwin, 2016). Kita bisa memprediksikan bagaimana kerusakan lingkungan dan minimnya ketersediaan air di lingkungan apartemen tersebut.


Apartemen Uttara, Kontestasi Politik, Kekuasaan dan Pengalihan Lahan


Konflik kepentingan yang terjadi antar stakeholders dalam pembangunan Apartemen Uttara di Dusun Karangwuni, Kabupaten Sleman yang diakibatkan oleh pengabaian substansi partisipasi publik terhadap proses kebijakan pembangunan oleh pihak pemerintah. Wadah partisipasi publik sudah disediakan oleh Pemerintah dalam proses kebijakan pembangunan di Sleman, namun yang terjadi partisipasi tersebut hanya sebatas prosedural bukan secara substantif. Hal ini mengakibatkan permasalahan yaitu suara publik tidak menjadi bagian dari pertimbangan pada proses suatu kebijakan pembangunan tersebut (Darwin, 2016). Pemerintah cenderung tidak transparan dalam menetapkan kebijakan. Kedua pihak, baik pemerintah ataupun masyarakat setempat kurang konsolidasi dan diskusi bersama terkait pola pikir dan arah kebijakan itu dimaksudkan.


Sejak rencana pembangunan Apartemen Uttara The Icon digulirkan boleh dibilang pihak pengembang mengalami kendala dalam mendapat dukungan dari masyarakat sekitar proyek. Masyarakat Karangwuni berpandangan bahwa keberadaan apartemen Uttara The Icon nantinya akan memunculkan kerugian tersendiri bagi mereka yang telah lebih dulu bermukim di sekitarnya ( Wibowo & Prihatin, 2016). Sikap pemerintah kabupaten Sleman, baik DPRD ataupun bupati menunjukkan pembelaan terhadap pihak pengembang dengan menyatakan bahwa pemerintah tidak bisa menghentikan karena semua persyaratan pendirian sudah dipenuhi ( Darwin, 2016)


Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD) Sleman juga megungkapkan bahwa PT. Bukit Alam Permata sudah memenuhi aspek legal formal karena mereka telah memenuhi syarat sesuai Perda 19/001 dan Perbup 11/2007. Menurut DPPD Sleman, Pemkab tidak memilki alasan untuk menolak izin yang diajukan PT. Bukit Alam Permata. Kepala Kantor Perizinan Sleman memberikan tanggapan bahwa sebenarnya pembangunan tidak membutuhkan persetujuan dari warga sekitar, namun yang dibutuhkan adalah adanya sosialisasi kepada warga. [1]


Pihak pemerintah dalam menanggapi konflik antara PT. Bumi Alam Permata dan padukuhan Karangwuni tersebut tidak berpendapat tunggal. Selain itu, dapat dilihat bahwa ada banyak kepentingan yang terwakilkan oleh pemerintah, terlihat dari bupati dan DPPD yang pro terhadap pembangunan dan pihak DPRD komisi A yang menolak pembangunan. Bupati sebenarnya sudah melakukan agenda koordinasi dalam penyelesaian konflik, dengan bertindak sebagai fasilitator antara kedua belah pihak. Namun, di satu sisi bupati terlihat lebih mewakili kepentingan pihak pengusaha. Keberpihakan bupati ini terlihat dari pemberian IPT yang dijadikan landasan oleh PT. Bumi Alam Permata dalam membangun apartemen.[2]


Pembangunan tempat hunian telah banyak yang menggunakan konsep highest and best use yaitu pemanfaatan lahan didasarkan pada kegunaan yang paling menguntungkan secara ekonomi dan memiliki tingkat pengembalian usaha (return) yang lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi lain, sehingga banyak terjadi alih fungsi lahan untuk tujuan-tujuan komersial (Murbaintoro, Ma’rif & Sutjahjo, 2009). Berdasarkan pengamatan saya sebenarnya pemerintah memiliki tujuan mengembangkan daerah apartemen Uttara sebagai sektor ekonomi daerah Depok dan munculnya usaha-usaha swasta yang memicu pergerakan ekonomi. Namun pada akhirnya, hal yang diekspektasikan pemerintah setempat gagal karena justru Apartemen Uttara meningkatkan tingkat kemacetan di sekitar Jalan Kaliurang. Pembangunan apartemen yang tidak ditanggulangi dengan sistem transportasi yang baik justru merugikan masyarakat sekitar. Pembangunan apartemen Uttara dengan kemungkinan dampak positif dan negatifnya telah menimbulkan konflik kepentingan banyak pihak baik pemerintah, pihak swasta yaitu investor, penghuni, masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (Darwin, 2016).


Permasalahan dan pemutusan sepihak pemerintah tanpa berdiskusi dengan rakyat membawa opini negatif masyarakat Karangwuni. Politik dan uang menjadi tombak kekuasaan pemiliki Apartemen Uttara untuk meyakinkan pemerintah bahwa pembangunan apartemen akan membantu meningkatkan ekonomi dan penataan tata ruang Sleman menjadi lebih terstruktur. Namun karena kurangnya kajian yang mendalam terhadap masyarakat serta permasalahan sosial di lingkungan tersebut, pembangunan justru menghambat gerak publik. terkait masalah tata ruang serta pembangunan Apartemen Uttara yang meresahkan warga, muncul opini bahwa tata ruang Apartemen Uttara dikembangkan untuk politik ruang dan kekuasaan pemerintah daerah dalam memanfaatkan ruang publik masyarakat.

Konflik Sosial Masyarakat Karangwuni dan Apartemen Uttara


Beberapa waktu lalu tepatnya bulan Ramadhan 2018 ini, saya dan dua teman saya melakukan mini riset kami terkait pembangunan apartemen Uttara. Untuk mendapatkan data akurat dan universal, kami memutuskan untuk mendatangi rumah RW 01 Dusun Karangwuni. Rumah beliau berjarak kira-kira 500 meter dari apartemen Uttara. Waktu itu karena kita belum sempat membuat janji kami terpaksa hanya bisa bertemu dengan istri bapak RW. Kemudian beliau menceritakan bahwa sebenanrnya mereka benar-benar menolak apartemen Uttara namun tetap saja pemerintah melanjutkan proses pembangunan. Bahkan beliau mengecam bahwa penghuni apartemen Uttara bukan warga RT 01 RW 01 Dusun Karangwuni. Saya mengingat jelas silat mata dan kemarahan serta kekecewaan ibu itu. Seluruh RW 01 memang sudah sepakat menolak pembangunan dan dulu sempat berdemo bersama dibantu bebrapa mahasiswa dan LSM-LSM.


Pada 25 Oktober 2013, PT Bukit Alam Permata melakukan sosialisasi I kepada warga sekitar warga Karangwuni, Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta (tidak spesifik hanya mengundang warga RT01/RW01 saja) di Balai RW Padukuhan Karangwuni. Namun, warga yang diundang justru warga yang lokasinya berjauhan dari lokasi Apartemen Uttara. Undangan menjelaskan bahwa pertemuan akan membahas mengenai sosialisasi pembangunan rumah kos-kosan eksklusif di bekas rumah Bapak Edhi Sunarso (tempat lokasi rencana pembangunan tersebut), bukan pembangunan sebuah apartemen & kondotel. [3]


Dari awal saja apartemen Uttara tidak transparan mengenai maksud pembangunan dan tujuan pengalihan fungsi lahan memicu kemarahan warga karena merasa ditipu. Berawal dari permasalahan ini warga kemudian saling berkonsolidasi untuk mengadakan aksi demo menuntuk digagalkannya proyek pembangunan Uttara. Namun aksi demo ini justru menimbulkan kriminalisasi massa. Dimana, para warga yang diduga menjadi otak demo ditangkap aparat kepolisian karena menghambat proyek pembangunan Uttara. Persoalan penahanan massa aksi ini memang bisa saja menjadi persoalan lain, namun hal ini mengindikasikan semakin tegangnya hubungan antara Management apartemen dan warga sekitar.


Kesimpulan


Berdasarkan pernyataan-pernyataan diastas saya menyimpulkan bahwa kurang ada keterbukaan antara pihak management apartemen dar warga sekitar. Selain itu, pihak managemen Uttara tidak transparan terkait proyem pembangunan Uttara. Keberpihakkan pemerintah di satu sisi menimbulkan kekecewaan yang mendalam bagi para masyarakat Karangwuni. Sehingga mereka melakukan aksi demo sebagi unjuk kemarahan mereka. sebenarnya konflik Uttara ini bisa ditanggulangi dengan adanya sosialisasi pihak terkait serta diskusi bersama demi mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Karena dari beberapa artikel yang saya baca pembangunan proyek Uttara justru memberikan banyak dampak negatif seperti : kemacetan, kekurangtersediaan air bersih, ketimpangan sosial dan mengganggu lingkungan warga desa. Seperti yang dituliskan, bahwa pihak dari Apartemen Uttara tidak terbuka dalam diskusi bahkan memalsukan tujuan pengalihan lahan. Dimana, pihak Apartemen Uttara menyatakan pada warganya untuk dibuat kost exclusivve namun realitasnya membangun apartemen besar yang menghalangi desa dan menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial yang meresahkan warga sekitar.

Pemerintah memang menetapkan kebijakan untuk tujuan pembangunan namun menurut saya pemerintah hanya memandang pembangunan dari segi ekonomi, bukan sosial atau kultur masyarakat. Tata ruang kota bisa dirincikan maksimal tanpa harus membangun mal-mal besar, resort, hotel berbintang, apartemen mewah yang justru bisa mematikan ekonomi pasar masyarakat sekitar. Tata ruang kota adalah sistem publik yang harus didiskusikan bersama masyarakat. Hal ini untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan keinginan masyarakat.


Referensi


Darwin, M. (2016). Konflik Kepentingan Antar Stakeholders dalam Pembangunan Apartemen Uttara di Kabupaten Sleman(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).


Mahaswara, H. A. Menggugat Ruang Publik Melalui Gerakan Masyarakat (Studi Kasus Gerakan Warga Berdaya di Yogyakarta). Jurnal Pemikiran Sosiologi, 3(2), 26-39.


Tito Murbaintoro , M. Syamsul Ma’arif , Surjono H. Sutjahjo , Iskandar Saleh, Model Pengembangan Hunian Vertikal Menuju Pembangunan Perumahan Berkelanjutan, Jurnal Permukiman Vol. 4 No. 2 September 2009, hlm. 72-87


Wahyu Endy Pratista, Putu Gde Ariastita, Penentuan Infrastruktur Prioritas Di Wilayah Pinggiran Kota Yogyakarta, Jurnal Teknik POMITS, Vol. 2, No. 2, (2013), hlm 178-183.


WIBOWO, T. A., & Prihatin, S. D. (2016). Dinamika Gerakan Kemasyarakatan Sebagai Respon Pembangunan Apartemen Uttara The Icon di Padukuhan Karangwuni, Sleman, DI Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).


Buku


Zahnd, M. (2008). Model baru perancangan kota yang kontekstual: kajian tentang kawasan tradisional di kota Semarang dan Yogyakarta: suatu potensi perancangan kota yang efektif (Vol. 3). Kanisius.

[1] https://dprd.slemankab.go.id/?s=apartemen+uttara yang diakses tanggal 27 September 2018



[3] Data diperoleh langsung dari website resmi masyarakat Karangwuni (www.tolakapartemenuttara.tumblr.com)

Kommentare


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page