top of page

Inisiasi: Problematika Perubahan


Persiapan Malam Sidang Ospek Antropologi Budaya UGM 2018


Pada malam akhir September 2018, diadakan pertemuan antara panitia Inisiasi, mahasiswa aktif Antropologi Budaya UGM yang tergabung dalam kepanitiaan orientasi mahasiswa baru, dengan senior, mahasiswa semester atas serta alumni Antropologi Budaya UGM. Pertemuan tersebut mendiskusikan perubahan dalam agenda orientasi mahasiswa baru Antropologi Budaya UGM. Dalam pertemuan tersebut, partisipan (panitia Inisiasi dan senior) berbagi kepentingan melalui pendapat yang sangat beragam. Pendapat tersebut pula dihias dengan kolektif memori serta justifikasi yang seakan-akan benar. Singkat kata, semua orang merasa pendapatnya benar dan ingin didengar.


Malam itu, perubahan yang didiskusikan bukanlah topik baru. Sejak sepuluh tahun terakhir, bermunculan wacana untuk memberi nuansa baru pada bentuk masa orientasi mahasiswa baru Antropologi Budaya UGM. Perlu diperhatikan bahwa perubahan ini bukanlah menghilangkan acara Inisiasi, melainkan memberi bentuk baru. Meski hanya memberi nuansa baru, perubahan kadangkali hanya menyentuh dinding kebuntuan. Perubahan kerap menuai kebuntuan karena terdapat pernyataan ‘tidak setuju’ atau bahkan condong ‘anti’ terhadap nuansa baru. Pernyataan ini juga menghiasi diskusi lalu. Melalui sesi hati-ke-hati dicampur otak-ke-otak, pernyataan tidak setuju timbul atas perbedaan tafsir tentang Inisiasi. Ada yang menafsirkan Inisiasi sebagai tempat berkumpul (reuni) senior. Ada yang menafsirkan Inisiasi sebagai bentuk kebudayaan yang pantas dilestarikan. Ada yang menafsirkan Inisiasi sebagai wadah perkenalan terhadap lingkungan Antropologi Budaya UGM. Ada yang menafsirkan Inisiasi sebagai acara untuk mahasiswa baru. Tafsir ini datang silir-berganti bergantung kepada topik pembahasan. Untung dan sayang sekali, pertemuan kemarin berakhir karena jam malam kampus.


Meskipun demikian, perubahan ini menarik untuk dicermati karena telah menjadi agenda klasik kepanitiaan Inisiasi. Melalui berbagai pertimbangan, agenda klasik ini dipilih menjadi fokus dan perhatian kepanitiaan Inisiasi 2018. Jauh hari sebelum pertemuan antara panitia dan senior, panitia terlebih dahulu melakukan forum internal yang melibatkan pembicaraan hati-ke-hati. Dalam pertemuan tersebut, hampir seluruh panitia yang ikut forum melontarkan keluhan terhadap acara Inisiasi. Sebagian besar setuju Inisiasi dilanjutkan karena cenderung bingung terhadap cara merubah, sebagian kecil tidak setuju Inisiasi dilanjutkan karena hanya memberi jarak dengan senior dan rasa traumatis yang sulit untuk sembuh. Oleh panitia acara Inisiasi, pembicaraan forum dirangkum dan diekstraksi kepada suatu bentuk baru acara Inisiasi. Pada langkah ini, panitia merasa telah melakukan perubahan. Padahal, langkah selanjutnya, konsolidasi kepada senior, adalah langkah yang menghabiskan tenaga dan waktu.


Berdasarkan sepercik catatan proses insiasi Antropologi Budaya UGM, tulisan ini mencoba memberi penjelasan bahwa perubahan dapat dimaknai sebagai suatu hal yang mencerahkan daripada mengancam. Perubahan tidak semata-mata muncul karena kegelisahan namun pula didukung berbagai faktor lain seperti regulasi, laju informasi, dan pendidikan. Melalui tulisan ini, pembaca diharapkan mengerti dan paham terhadap situasi yang dinamis; kondisi tidak selalu dalam keadaan yang statis serta begitu-begitu saja.


Regulasi: Anti-Tesis yang Dilematis


Kegiatan Ospek (Oritentasi Studi dan Pengenalan Kampus)—yang kemudian hanya berubah nama menjadi PKKMB tanpa perubahan konten yang berarti—adalah kegiatan awal yang dilakukan oleh mahasiswa baru dengan tujuan pengenalan lingkungan kampus. Seluruh Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia telah menerapkan ospek sebagai kegiatan wajib untuk mahasiswa baru. Kegiatan yang disebut ospek dan dilakukan oleh pihak PT ini dirancang dan dilaksanakan oleh kampus sebagai institusi. Entah karena telah diatur dalam regulasi atau terlaksana karena terdapat surat edaran dari pemerintah, tujuan ospek yang dilakukan secara formal ini sangatlah indah. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor 253/B/SE/VIII/2016 tentang Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), PKKMB bertujuan untuk memperkenalkan, mempersiapkan dan mengakselerasi mahasiswa baru dalam proses transisi menjadi mahasiswa yang sadar akan hak dan kewajibanya, memuat antara lain tentang sistem pendidikan tinggi kegiatan akademik dan kemahasiswaan serta kebijakan kampus, serta materi bela negara, radikalisme, penyaahgunaan narkoba sehingga dapat mendukung keberhasilan studinya di perguruan tinggi. Tujuan yang sangat indah ini dibuat dan dilaksanakan dengan menutupi beberapa hal seperti kurangnya perhatian terhadap dampak masa pengenalan kampus (Neyens 1977) dan menampakkan citra kampus yang tanpa kriminalisasi serta sangat profesional (Fisher 1995).


Walau terdapat sedikit ambigu dalam tujuan masa pengenalan kampus, tulisan ini tidak akan berfokus terhadap kekurangan program melainkan posisi program yang terkesan cenderung dilema antara tegas-ragu ataupun pasif-aktif. Jauh sebelum surat edaran di atas beredar, kegiatan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru ini sudah problematis. Problematis karena kegiatan pengenalan kampus juga dilakukan secara informal oleh mahasiswa tingkat atas kepada mahasiswa baru yang kemudian identic dengan istilah ‘ospek’ atawa ‘perpeloncoan’. Melalui tulisan di historia.id, Isnaeni (2015) menyatakan bahwa perpeloncoan telah ada sejak zaman kolonialisme-feodalisme. Perpeloncoan ini kerap berganti nama dari Masa Kebaktian Taruna (1963), Masa Prabakti Mahasiswa atau Mapram (1968), Pekan Orientasi Studi (1991), Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek), Orientasi Perguruan Tinggi (OPT), dan sekarang umumnya disebut Masa Orientasi Siswa (MOS) (Isnaeni 2015). Perubahan nama ini sangat dilematis karena sembari kasus-kasus yang menelan jiwa mahasiswa baru terus bermunculan, respon pemerintah hanyalah mengganti nama kegiatan. Fenomena ini tidak hanya terdapat antara negara dan universitas, tetapi skema yang sama pula teraplikasi antara rektorat, fakultas, dan prodi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Yang kemudian prodi Antropologi Budaya UGM merasakan dampaknya.


Peraturan yang seharusnya menjadi anti-tesis terhadap warisan budaya yang dianggap ‘lebih banyak memberi dampak negatif daripada positif’ malah beralihfungsi sebagai selimut yang semakin lama semakin tebal dalam menutupi konten kegiatan yang tidak jelas. Entah SK Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemristekdikti Nomor 096/BI/SK/2016 atau SK Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2017 tentang PPSMB (Pelatihan Pembelajar Sukses Bagi Mahasiswa Baru), keduanya tampak tidak aplikatif di lapangan. Kedua peraturan ini berusaha menjadi anti-tesis kegiatan yang dianggap ‘negatif’ sembari memberi ruang agar kegiatan ini dapat terus lestari. Kedua regulasi ini menjadi contoh bahwa regulasi tidak dapat memberi perubahan berarti tanpa kesadaran dan partisipasi masyarakat yang termasuk dalam regulasi. Dalam hal ini, fungsi regulasi hanya sekedar pengingat untuk tidak terlalu lupa terhadap ketidakberesan di sekitar.


Narasi: Fragmen dan Makna


Setiap perubahan, yang mungkin diterapkan dalam penetapan kebijakan/regulasi atau kemunculan suatu inovasi, berangkat dari penyadaran atas kebutuhan. Selain itu, perubahan juga dapat terjadi karena terdapat pergeseran nilai secara pelan atau cepat. Dalam perihal masa orientasi kampus, terdapat pergeseran nilai yang terlihat dari pergantian nama kegiatan masa ke masa. Salah satu pergeseran nilai atau perubahan nilai yang menyebabkan perubahan nama adalah pemaknaan ‘kekerasan’.


Perihal catatan Isnaeni di histori.id, memang tidak ditemukan perubahan makna ‘kekerasan’ sebagai sebab pergantian nama namun perubahan makna ‘kekerasan’ dapat terlihat dari beberapa kasus yang terjadi belakangan ini. Apabila jari sedikit tidak malas untuk mengetik ‘kasus ospek’ dalam mesin pencarian di internet, berita perihal kematian mahasiswa akibat kegiatan ospek akan memenuhi layar gawai. Jikalau dilanjutkan dengan membaca salah satu atau salah dua tulisan berakitan dengan kasus ospek, mata pembaca akan diberi beberapa kata kunci sebagai asupan intelektual yaitu kekerasan, penganiayaan, dan senior. Tidak hanya pada halaman utama, berita tentang kasus ospek akan terus bergulir dalam halaman-halaman mesin pencarian selanjutnya. Hanya melalui kekuatan jari tangan dan kekuatan mengatasi rasa malas untuk mencari, pikiran seseorang terhadap kegiatan ospek akan terisi dengan kosa kata ‘kekerasan’,’penganiayaan’, dan ‘senior’. Kosa kata ini dapat menjadi potongan kecil yang akan terus berkembang dan membentuk gambar yang sangat besar. Hal ini selaras dengan pernyataan Grassian dan Ben-Ari dalam Wilson (2012) bahwa kompilasi dari fragmen kecil akan membentuk suatu ikatan dalam berbagai tingkat yang melahirkan beragam tindakan. Dalam hal ini, kompilasi fragmen kecil diartikan sebagai potongan ‘kata kunci’ terhadap ospek dalam media yang berujung membentuk ikatan makna ‘ospek’. Ikatan makna ini pun melahirkan beragam tindakan misalnya kemunculan regulasi untuk menanggapi ospek.


Namun, ikatan makna yang terbentuk dari berbagai fragmen tidak akan berdapak apapun terhadap seseorang tanpa adanya unsur pengalaman personal. Dengan kata lain, ketiadaan pengalaman personal juga akan meniadakan narasi yang mengandung makna. Narasi terbentuk oleh beragam peristiwa yang tanpa disadari saling tersambung—dengan pengalaman personal sebagai titik pusat (Braid 1996). Melalui pengalaman personal, berbagai peristiwa akan saling tersambung satu dengan lain yang kemudian akan melahirkan makna baru. Kelahiran makna ospek yang penuh kekerasan adalah hasil rangkaian dari pengalaman personal dan laju informasi dengan kata kunci yang serupa. Begitu pula dengan pemaknaan ospek sebagai hal yang lumrah juga dilahirkan oleh rangkaian serupa. Narasi ini tentu harus terus diketahui kebaruannya. Tanpa kebaruan narasi, individu akan sulit memaknai dirinya sendiri serta orang lain. Tanpa kepedulian terhadap kebaruan narasi, individu akan terjebak dalam kondisi nostalgia yang akan selalu mengarah kepada imaji safe home tanpa sadar bahwa safe home yang pernah dialami telah mengalami perubahan di waktu kini (Chrostowska 2010).


Pendidikan: Dari dan Untuk


Berbicara tentang masa pengenalan kampus maka pembicaraan tidak dapat dipisahkan dari topik pendidikan. Segala maksud dan misi yang tertuang dalam tujuan kegiatan yang ditulis dengan begitu indah mempunyai maksud untuk memberi pendidikan sebagai tanggungjawab akademis. Meskipun demikian, pengajar perlu menyadari beberapa hal dalam memberikan sebuah materi. Materi yang tidak tersiapkan dengan baik hanya mewariskan berbagai hal tidak penting dibandingkan pengetahuan. Demikian pula anak didik diharap dapat menumbuhkan semangat yang sama agar menjadi cermin bagi pengajar itu sendiri.


Pola pikir yang cocok diterapkan dalam menumbuhkan atmosfer dua-arah adalah pendidikan kritis dan pendidikan multikultural. Meski pendidikan punya beragam tujuan, bidang ini tetap mengarah kepada satu hal yaitu pengembangan manusia (Nussbaum 2009). Pengembangan manusia dapat terlaksana dengan terlebih dahulu tertanam pemahaman tentang keberagaman manusia. Lebih lanjut, pemahaman tentang keberagaman manusia berawal dari kesadaran bahwa setiap manusia adalah berbeda. Setiap manusia mempunyai latar belakang berbeda satu sama lain sehingga memerlukan pula perlakuan yang berbeda. Memang pemahaman ini penting pula tertanam dalam anak didik (murid), tetapi pengajar (guru) harus terlebih dahulu menguasai dan paham terhadap urgensi pola pikir dalam masyarakat multikultural (Alismail 2016). Apabila pemahaman terhadap keberagaman telah katam, atmosfer akademis dapat digiring ke ranah pendidikan yang memakai pedagogi kritis. Rexhepi dan Torres yang dikutip oleh Shor dalam Abraham (2016) menyatakan bahwa pedagogi kritis adalah kebiasaan untuk berpikir, membaca, menulis dan berbicara melebihi batas makna. Fungsi pedagogi kritis dalam pendidikan multikultural adalah membawa isu keberagaman yang cenderung dekat dengan kehidupan akademis ke dalam perbincangan yang lebih intens yang mendalam. Dalam mewujudkan atmosfer yang sedemikian rupa, ruang yang tercipta adalah ruang yang menghargai kebebasan berpendapat. Bahwa setiap pendapat adalah benar dan salah. Bahwa setiap pendapat dapat benar dan dapat salah. Bahwa setiap pendapat berhak didukung dan dikritisi. Melalui kesadaran bahwa setiap orang beragam dan mempunyai nilai, person dapat menyadari perannya dalam lingkup yang lebih besar serta dapat memberi orang lain rasa berharga pula.


Konklusi: Akhir Perenungan


Masa ini adalah perenungan terhadap masa depan dan perubahan dari yang telah lalu sehingga setiap person yang berada di masa sekarang sangat dianjurkan untuk melepas kacamata nostalgia yang terlalu mengekang. Setiap imaji tentang masa lalu memang indah, tetapi apabila terus dipasang maka akan menghalangi masa kini untuk dapat melakukan hal yang lebih baik. Melalui berbagai penjelasan di atas, perenungan terhadap masa depan dapat dimulai dari perenungan terhadap yang ada saat ini. Kemunculan regulasi mempunyai konteks kondisi kegiatan orientasi yang cenderung memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Kondisi ini termanifestasi dengan liar di internet dan menjadi konsumsi massa. Ketika dihadapkan dengan pengalaman personal terhadap ospek, kondisi yang termanifestasi oleh internet tersebut membentuk narasi personal pula. Dalam mengatasi kondisi yang cenderung pelik, kesadaran terhadap pendidikan kritis perlu ditumbuhkan. Melalui kegiatan orientasi yang menjurus kepada konten penyeragaman dan penuh kepatuhan, pendidikan kritis dapat menjadi solusi dalam melahirkan pola pikir kritis. Menurut pendapat penulis, perubahan seharusnya dimaknai sebagai pencerahan lebih daripada sekedar ancaman. Toh, perubahan ini juga demi insan yang melaksanakan acara itu sendiri. Akhir kata, tidak ada salah membuka kesempatan terhadap perubahan yang ‘memanusiakan manusia’ daripada terjebak dalam nostalgia yang hanya ‘memasturbasikan ego diri manusia’.


Daftar Pustaka:


Abraham, Getahun Yacob.

2016 Critical Pedagogy: Origin, Vision, Action & Consequences. Electronic document, https://www.diva-portal.org/smash/get/diva2:768785/FULLTEXT01.pdf, diakses 05 Oktober 2018.

Alismail, Halah Ahmed.

2016 Multicultural Education: Teachers’ Perceptions and Preparation. Journal of Education and Practice, 7(1): 139-146.

Braid, Donald.

1996 Personal Narrative and Experiental Meaning. The Journal of American Folklore 109(431): 5-30, https://www.jstor.org/stable/541716, diakses 11 Oktober 2018.

Chrostowska, S. D.

2010 Consumed by Nostalgia. Substance 39(2): 52-70. The Johns Hopkins University Press.

Fisher, Bonnie S.

1995 Crime and Fear on Campus. The Annals of the Amreican Academy of Political and Social Science 539: 85-101. Sage Publications, Inc. in association with the American Academy of Political and Social Science.

Neyens, Richard T.

1977 Faculty Orientation Programs in Illinois Junior Colleges. Improving College and University Teaching 25(2): 114-116,118. Taylor & Francis, Ltd.

Nussbaum, Martha C.

2009 Education for Profit, Education for Freedom. Electronic document, https://www.aacu.org/publications-research/periodicals/education-profit-education-freedom-0, diakses 05 Oktober 2018.

Wilson, Lee.

2012 A History of Violence: Anthropology and the Study of States. Etnofor 24(1): 123- 128. Stiching Etnofoor.

46 views0 comments

Comments


bottom of page