top of page

Pemuda dan Internet: Arena Lama yang Ditinggalkan, Realitas Baru yang Memprihatinkan.


'Lika' ilustrasi oleh Fransiskus Denny

Ini adalah fenomena anak muda.

Jika rasa keingintahuan manusia kita bayangkan sebagai sebuah penyakit, obat yang akan dokter berikan adalah internet. Internet, pada era ini, adalah satu hal yang menjadi daya tambahan untuk umat manusia. Internet memberikan manusia kuasa untuk mengeksplorasi banyak hal yang mereka sulit jangkau sebelumnya. Internet memberikan manusia produktivitas yang baru, hobi yang baru, kesenangan yang baru, uang yang baru, dan semua hal yang baru. Internet adalah sebuah fenomena yang patut kita syukuri. Film The Circle (2017), yang disutradarai oleh James Ponsoldt, mengilustrasikan betapa dahsyat daya yang bisa dihasilkan internet. Lewat media sosial, semua aktivitas manusia dapat terpantau, mulai dari kesehatan tubuh hingga relasi mereka dengan orang lain. Di film ini, kita bisa menyaksikan bagaimana internet menginterupsi semua kegiatan sehari-hari manusia, bagaimana mereka terkoneksi dengan sesamanya dalam semua aspek di kehidupan, dan bagaimana akses yang selama ini sulit kita capai, terjadi dalam hitungan detik. Internet menjadi sosok penolong bagi manusia. Dengan mudahnya, semua kebutuhan manusia bisa dipenuhi hanya dengan beberapa sentuhan jari ke layar handphone. Internet menghadirkan perspektif berbeda dari generasi yang berbeda pula. Mungkin tidak untuk kita yang lahir di era yang serba modern ini, tapi bagi kebanyakan orang yang merasakan betul perkembangan fenomena internet berbagai kemudahan ini akan terasa sebagai keajaiban. Bayangkan, dimensi ruang yang selama ini memisahkan kita dengan orang-orang dekat, bisa dijangkau hanya dengan mudah dengan bantuan internet kapanpun kita mau. Barang-barang yang kita inginkan bisa kita dapatkan tanpa mengunjungi toko, membelinya, dan membawanya pulang. Hanya dengan beberapa sentuhan jari ke layar handphone. Bagi kita yang lahir di era yang modern ini, tentunya kita akan menuntut fenomena ini untuk harus terjadi. Kita kemudian akan membayangkan kehidupan ini tanpa bantuan internet. Mungkin kita akan merasakan kerepotan dan urusan yang berbelit-belit. Kita akan membayangkan kehidupan yang sangat hampa dan membosankan. Layaknya pisau bermata dua, di samping banyaknya kebaikan dan keistimewaannya, internet juga bisa membawa manusia masuk ke dalam jurang kehancuran. Pada awal tahun 2018, saya berkesempatan untuk melakukan riset soal generasi muda dan internet. Riset ini dilaksanakan selama kurang lebih dua minggu, di Desa Bantarkulon, Kecamatan Lebakbarang, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Selama hampir dua minggu itu saya mengakrabkan diri dengan remaja-remaja di sana dan mencoba memperhatikan dinamika hidup mereka dari bangun tidur hingga istirahat malam. Perlu diketahui, lokasi saya melakukan riset ini cukup jauh dari daerah perkotaan. Untuk mengakses banyak kebutuhan, termasuk kebutuhan pokok, warga desa ini harus mengorbankan banyak uang dan tenaga. Mereka harus membayar jasa angkutan umum dan menempuh jarak kurang lebih dua puluh kilometer. Desa Bantarkulon terletak di daerah pegunungan dengan akses jalan yang berlubang dan berliku. Butuh sedikit usaha ekstra untuk bisa datang ke desa ini. Namun, karena kita hidup di era yang serba modernc, kita tidak perlu meragukan kemampuan manusia mengolah teknologi yang sangat canggih. Di Desa Bantarkulon, semua orang sudah bisa menikmati internet dan mengakses smartphone. Saat saya berkeliling desa pada hari pertama, saya sudah bisa menyaksikan remaja-remaja yang asik mengoperasikan smartphone sambil melakukan aktivitas sehari-hari mereka. Saya tinggal di rumah Pak Madri, seorang tokoh yang dihormati di desa ini. Pak Madri tinggal dengan istri, anak dan kedua cucunya. Yoga adalah cucu pertama Pak Madri, ia adalah seorang murid SMP dari sekolah yang sangat dekat dengan rumahnya, kira-kira lima menit berjalan kaki. Saat saya sampai di rumah Pak Madri, Yoga belum pulang karena masih bersekolah. Ketika Yoga pulang, hal yang pertama kali dia raih adalah smartphone. Dari kejauhan, terdengar suara yang familiar di telinga saya, suara game yang juga ada di ponsel saya. Masih dengan seragam sekolah yang belum dilepas, Yoga asik memainkan smartphonedan tidak mempedulikan sekitarnya. Itu adalah kegiatan istirahat Yoga setelah pulang sekolah. Di sana saya juga dikenalkan dengan teman-teman sepermainan Yoga, adalah Prapto, Oyan dan Dika. Hampir setiap sore, mereka datang ke rumah Yoga untuk bermain bersama. Mereka datang dengan smartphone dan charger. Hanya dua benda itu yang mereka bawa ke rumah Yoga. Dari siang hingga menjelang maghrib, mereka duduk dan menatap layar smartphone menikmati permainan clash of clans. Ketika menjelang malam, setelah beribadah dan berlatih rebana di mushola desa, Yoga pulang ke rumah dan kembali meraih smartphone-nya. Kali ini ia tidak bermain game, ia membuka YouTube untuk menikmati beberapa video tentang game. Melihat keseringan Yoga mengakses internet lewat game dan dan YouTube, terbayang dalam kepala saya berapa uang yang harus ia keluarkan untuk bisa menikmati akses internet yang sangat sering ia gunakan. Dari pengalaman saya tinggal di Bantarkulon, saya bisa menyimpulkan bahwa fenomena internet di mata remaja di sana, merupakan semata-mata suatu arena permainan yang baru. Karena begitu menariknya arena permainan baru ini, smartphone menjadi kebutuhan pokok yang baru. Ketika saya bertanya pendapat Pak Madri yang membelikan Yoga smartphone, Pak Madri dengan semangat menjawab “saya mah gak senang sama handphone gini, bikin Yoga males”, “Itu dulu Yoga waktu minta pernah sampai ngancam mau bunuh diri mas” lanjutnya. Smartphone ternyata menghadirkan gengsi yang tidak sehat bagi keuangan rumah tangga keluarga di Desa Bantarkulon. Mengingat sebagian besar warga Bantarkulon yang bekerja sebagai buruh serabutan, membelikan smartphone dan kuota internet untuk anak mereka adalah kesulitan yang menghadirkan banyak dilema. Mereka merasa mau tidak mau harus membelikan anak mereka smartphone, walaupun harus mengeluarkan uang yang sangat besar. Hal ini tetap dilakukan kebanyakan orangtua di sana agar anak mereka mendapatkan ‘porsi’ di dalam pergaulan mereka. Yoga sendiri mengaku sudah delapan kali mengganti model smartphone-nya karena dirasa sudah ketinggalan zaman. Kemudian saya tertarik dengan cerita warga di sana tentang kondisi desa ini sebelum fenomena internet masuk dan mendominasi kegiatan hidup anak-anak mereka. “Ya biasanya pulang sekolah makan terus mandi di kali atau mancing sama teman-temannya” terang Pak Madri pada saya. Mendengar itu, saya meminta Yoga untuk mengajak saya bermain di kali yang maksud oleh Pak Madri tadi. Sampailah saya di suatu kali yang tidak terlalu besar, cukup untuk sembilan sampai sepuluh orang bermain dan mandi. Saya begitu menikmati keseruan mandi di kali, namun tidak bagi kebanyakan teman-teman saya itu. Mereka memang begitu semangat dan bangga memperlihatkan saya arena bermain mereka itu. Tapi mereka memang tidak lagi tertarik untuk menghabiskan waktu bermain mereka di sana. Menurut mereka, mandi dan memancing ikan di kali adalah aktivitas yang membuang-buang waktu dan melelahkan. “Sekarang saya mah sudah jarang mas ke kali, lebih enak main hp di rumah” jawab Yoga ketika ditanya soal ini. Mereka lebih menikmati waktu bersantai di rumah sambil bermain smartphone. Sedikit tambahan informasi, arena yang sudah cukup lama mereka tinggalkan itu memang mulai beralih fungsi. Saat saya mandi di kali itu, banyak warga di pinggiran kali sedang mengambil pasir dan batuan kali. Air di kali itu memang sudah tidak terlalu jernih, agak kecoklatan karena penambangan ini. Suatu malam ketika saya sedang menuliskan hasil wawancara saya dengan warga setempat, Oyan datang menghampiri saya dan berbisik “mas punya video bokep ga?”. Saya bingung dan tidak tahu cara merespon pertanyaan ini. Teman-teman saya yang tinggal di desa ini agak sulit membedakan mana hal yang baik dan buruk buat mereka. Semua informasi yang mereka dapatkan di internet disambut dengan penuh semangat. Mereka yang berumur 12-15 tahun dengan mudahnya mengakses video porno, dan mereka menanggapi itu dengan santai dan penuh kewajaran. Ini adalah salah satu contoh dampak negatif yang secara tidak langsung menjadi jurang kehancuran bagi mereka. Generasi muda yang baik adalah mereka yang menciptakan perubahan. Saya merasakan perbedaan yang luarbiasa antara remaja-remaja yang tinggal di daerah perkotaan dengan mereka yang tinggal di pedesaan. Akses yang begitu mudah saya dapatkan di daerah perkotaan membuat saya lebih ‘melek’ akan teknologi. Saya sudah tidak sulit membedakan mana berita hoax dan mana berita yang berkualitas, mana video yang mendidik dan mana yang tidak. Bahkan saya pun mencari ilmu pengetahuan baru lewat internet. Hal ini tidak terjadi dalam kehidupan mereka. Mereka terjebak dalam siklus yang penuh racun. Internet hanya dimanfaatkan sebagai media rekreasi dan bersosial, namun tidak untuk menunjang kreatifitas dan wawasan yang mereka miliki. Apakah mereka akan menuju ke suatu pembenahan? Tidak, dalam waktu yang sangat lama mereka akan terjebak dalam siklus itu. Gap yang terjadi di antara generasi muda ini perlu direspon oleh generasi muda itu sendiri. Saya merasa perlu ada solidaritas di antara sesama generasi muda. Jika sekarang persebaran ilmu pengetahuan begitu dinamis, mengapa itu tidak sampai pada teman-teman di Bantarkulon? Saya rasa hal ini terjadi karena tidak ada media yang membawa itu ke mereka, termasuk internet itu sendiri. Permasalahan utamanya adalah ketidakmampuan mereka mengolah informasi yang datang pada mereka. Untuk itu, generasi muda perlu merangkul sesama mereka, menyebarkan pengaruh yang positif, dan mengajak sesamanya untuk bisa menggunakan internet dengan baik. Jika proses ini kita lewatkan, akan banyak anak muda yang selamanya akan kecanduan internet tanpa mendapatkan ‘apa-apa’. Selamanya mereka hanya akan mengkonsumsi hal-hal baru tanpa menjadikannya sesuatu yang berarti. Generasi muda punya peran penting dalam era digital saat ini. Mereka yang sudah eksis di media sosial dan platform-platform lain juga harus mengambil andil dalam menciptakan perubahan ini. Semangat solidaritas ini perlu dikobarkan. Generasi muda punya daya untuk merebut dan mengalihfungsikan internet dan teknologi, terutama untuk sesama generasi muda. Daya itu pertama-tama harus disadari secara kolektif, mengumpulkan semangat yang sama. Ketika koneksi antar sesama generasi muda terbangun atas kesadaran ini, kita bisa mengurangi dampak-dampak negatif yang terjadi pada banyak generasi muda. Kita harus bisa memberdayakan interne, bukan diperdaya internet. Dan mengapa harus kita generasi muda? Karena kita sama-sama generasi muda, dan perlu ada solidaritas yang terjalin di dalamnya.

Referensi: Farthing, R., Bessant, J., & Watts, R. (2017). The precarious generation: A political economy of young people. Routledge. White, Ben dan Suzzane Naafs. (2012). "Intermediate Generations: Reflections on Indonesia Youth Studies”. Jurnal The Asia Pasific, Jurnal of Anthropology, Vol. 13, No.12.

33 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page