M. Don Lopulalan dan Priyanca M. C. Soselisa
Undangan untuk berbuka puasa telah beredar untuk setiap mahasiswa atau pekerja yang berasal dari Maluku di Yogyakarta. Hal tersebut berujung kepada terkumpulnya sebagian besar orang-orang tersebut di salah satu rumah seorang sesepuh Ikatan Pelajar Mahasiswa Maluku (IKAPELAMAKU). Acara berbuka puasa bersama ini sebenarnya memiliki motif tesembunyi lain, yaitu sebagai alat reuni orang-orang yang berasal dari Maluku.
Rumah tersebut terletak di Jalan Kaliurang km. 9, tepatnya Komplek TB. Rumah tersebut berada di paling pojok dan berhadapan dengan lahan kosong yang menjadi tempat parkir. Mata yang awalnya memandang was-was kemudian berlanjut dengan tawa lepas menjadi ciri khas beberapa orang yang sedang ‘nongkrong’ di luar rumah. Komplek TB terdiri atas 5 rumah identik yaitu rumah bertingkat dua dengan desain cukup bersih yang ditinggali oleh sesepuh Maluku dengan umur lebih dari 40 tahun dan bekerja di Yogyakarta. Yang menarik adalah komplek tersebut berawal dari kepemilikan tanah oleh sesepuh yang kemudian dilanjutkan dengan pembangunan rumah. Hal tersebut dilakukan sebagai eksekusi terhadap keresahan sesepuh yang tak kunjung menemui titik akhir. Kesulitan untuk bertemu dan berbincang bersama teman-teman membuat mereka memutuskan untuk menabung bersama dan membangun tempat khusus. Secara tak langsung komplek tersebut dijadikan tempat berkumpul orang Maluku untuk bertemu teman-teman tanpa tertekan dengan pandangan tetangga yang berbeda asal. Bahkan beberapa sesepuh tersebut juga sering duduk bercengkerama dengan menikmati segelas teh dan pisang yang digoreng sendiri.
Suasana yang dihasilkan oleh kumpulan orang itu bisa dibilang unik. Stigma yang telah ada untuk masyarakat timur memang tidak keliru namun juga tidak tepat. Obrolan-obrolan mengenai masa lalu dan pengalaman menyinari semua forum yang terbentuk di rumah tersebut. Keributan yang terjadi memang sering mengganggu orang yang tidak sama dengan mereka, namun tidak berlaku di komplek tersebut. Memori kolektif yang dibangun oleh kerumunan orang tersebut hanyalah berasal dari daerah yang sama dan bisa bercerita mengenai hal yang sama. Berbagai diskusi yang diciptakan oleh para sesepuh sembari berbuka puasa juga memantik berbagai mahasiswa yang baru menapaki kaki di tanah rantau untuk berpikir kritis. Selain itu, berbagai kenangan juga dipantik dengan penyediaan makanan-makanan asal Maluku seperti sagu putih, sagu merah, dan papeda. Ikan-ikan yang dibakar dengan colo-colo (sejenis sambal kecap yang sering dimakan bersama ikan bakar) juga menghibur mahasiswa rantau yang tak sempat pulang ke Maluku. Suasana yang diciptakan di komplek tersebut membuat orang-orang Maluku tersebut teringat akan kehidupan mereka di Timur Indonesia.
Keributan yang dihasilkan oleh mulut-mulut yang bersua kadang memancing beberapa orang lalu-lalang untuk menatap dengan tatapan terganggu terhadap kerumunan orang tersebut. Hal tersebut menghasilkan pertanyaan lain, kenapa tidak ada asrama untuk pekerja atau mahasiswa Maluku di tempat yang terhindar dari tatapan seperti tadi? Lingkungan dan nuansa yang jauh berbeda menyulitkan berbagai pencarian daerah asrama yang tepat. Belajar dari hal yang dialami oleh mahasiswa Papua yang diserang hanya berdasarkan asumsi, pemerintah Maluku tidak berani untuk melaksanakan pencarian tersebut. Pemerintah Maluku mencoba untuk menghindari penyerangan terhadap asrama lainnya.
Ketakutan lainnya yang dialami oleh Pemerintah yang menunda pembangunan asrama tersebut yaitu pengalaman kerusuhan di Ambon pada tahun 1999. Kerusuhan tersebut menghasilkan masalah yang sampai sekarang masih dihindari di Maluku. Sejak kerusuhan tersebut, hubungan antar orang beragama di Maluku masih tegang dan kadang tidak nyaman untuk menyatukan berbagai orang berbeda tersebut di satu lingkungan asrama yang sama, apalagi akan menimbulkan masalah jika asrama mereka dipisah. Memori akan ketakutan diserang menghantui setiap orang yang berasal dari Maluku, entah dari sesama orang Maluku atau orang luar Maluku.
Bisa dilihat bahwa memori kolektif yang dibawa dan dipegang oleh masyarakat Maluku mempengaruhi sikap mereka di Yogyakarta. Sikap defensif berdasarkan pengalaman buruk yang menimpa beberapa orang lain yang juga dari Timur Indonesia dan diri mereka sendiri mencegah pembangunan yang diwacanakan. Hal tersebut membuat kami mempertanyakan: apa hubungan antara memori kolektif dan eksekusi wacana pembangunan asrama Maluku?
Memori dan Keberadaan Kini
Ketertarikan kami dengan narasi asrama Maluku di Yogyakarta muncul dari penemuan observasi atas ketiadaan tempat asrama teruntuk mahasiswa asal Maluku. Namun, sangat disayangkan bahwa narasi yang kami dapat melalui cerita sesepuh tidak diimbangi dengan sumber berita yang memadai. Media, terkhusus berita, cenderung membahas masalah mahasiswa Papua. Penyerangan asrama Papua dan bentrok mahasiswa Papua dan Maluku memenuhi layar pencaharian. Lantas, di mana posisi mahasiswa Maluku dalam kerangka Jogja? Apakah media, terkhusus Yogyakarta, memotret Papua sebagai representasi dari Timur?
Terlepas dari jawaban atas pertanyaan tersebut, ketiadaan asrama dan keberadaan mahasiswa Maluku di media tak dapat langsung dikaitkan dengan kurangnya potret terhadap diri mereka. Justru, ketiadaan asrama memberikan kesempatan mahasiswa Maluku untuk berbaur dengan warga. Hal ini tentu tidak akan dapat ditemukan di dalam pagar asrama. Dalam cendananews.com, mahasiswa Maluku yang tergabung dalam Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Maluku (IKAPELAMAKU) menganggap ketiadaan asrama sebagai kesempatan untuk berlatih hidup berdampingan dan beradapatasi dengan kultur kebudayaan yang berbeda. Bahkan menurut suaramerdeka.com, IKEPALAMAKU juga mengeluarkan respon damai terhadap aksi berujung kisruh di Jakarta pada 22-23 Mei lalu. Hal ini tentu sangat penting menilik solopos.com dan inews.id melakukan potret yang agak merugikan terhadap kejadian antara Papua dan Maluku karena sempat bentrok di daerah Sleman. Rupanya, ketiadaan asrama tidak menciutkan nyali dan niat mahasiswa Maluku untuk memunculkan kontribusi.
Meskipun demikian, ketiadaan asrama tidak dapat serta-merta dianggap remeh karena terdapat alasan yang lebih dari sekedar melatih kemampuan adaptasi. Pada pembicaraan di komplek TB, sesepuh menyatakan bahwa ketiadaan asrama Maluku juga merupakan tindaklanjut dari rasa khawatir melihat penyerangan terhadap asrama Papua sebagai cermin. Kekhawatiran dapat dipasangkan dengan istilah oleh Abidin Kusno dalam Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Soeharto (2009) sebagai ‘memori kolektif’.
Memori kolektif adalah memori yang terbentuk melalui interaksi antara warga/masyarakat terhadap sebuah fenomena atau kejadian tertentu dan, tentu saja, peristiwa Ambon 1999-2003 dan bentrok antar mahasiswa Timur turut membentuk memori kolektif di Yogyakarta. Memori kolektif yang terwujud memang selalu mengalami konflik dengan keberadaan dan ketidakberadaan monument sebagai pengingat. Apalagi, Peter Sherlock (2010) dalam kajiannya tentang reformasi Eropa modern menyatakan bahwa monumen adalah media paling penting yang merujuk kepada sebuah memori tentang kematian. Dengan begitu, memori kolektif dan monumen akan saling berhubungan karena keduanya memberi penegasan kepada hal yang harus diingat dan dilupakan.
Asrama, pada kasus ini, dapat dilihat sebagai monumen aktif yang mendorong dinamika memori. Simon Ward (2016) dengan analisa terhadap memori urban di Berlin menyatakan bahwa kedinamisan memori mampu terjadi apabila terdapat pertemuan aktif dengan sebuah tempat yang merepresentasi sebuah peristiwa. Sebaliknya, ketiadaan tempat selalu menyatakan keberadaan potensi (Ward 2016). Ketidaan asrama Maluku memang memberikan potensi mahasiswa Maluku untuk hidup berdampingan dengan warga Yogyakarta seperti yang dicontohkan oleh sesepuh dalam sebuah kompleks. Memang kehidupan sesepuh dalam kompleks tersebut tak dapat dijadikan contoh nyata karena ketiadaan interaksi langsung dengan warga sekitar, namun keberadaan sesepuh dan mahasiswa Maluku yang tersebar dalam kontrakan atau indekos selalu menyisakan pertanyaan terkait porses adaptasi dengan warga.
Mahasiswa Maluku kemudian selalu mencari tempat yang merepresentasikan diri dan memori kolektif terhadap dirinya. Ketiadaan asrama, kemudian, dapat diartikan bahwa terdapat memori yang belum selesai antara mahasiswa Maluku dengan dirinya sendiri atau dengan warga sekitar. Kebimbangan pembangunan asrama akhirnya menyisakan wacana positif sebagai jalan keluar dari penyelesaian memori kolektif. Awalnya, asrama dapat menjadi sumber pembangunan dinamika memori kolektif bahwa proses adaptasi dapat dirangkai dengan menjaga jarak seperti yang telah dilakukan melalui asrama Papua. Namun, ketiadaan asrama rupanya juga memberikan mahasiswa Maluku untuk mengubah keterasingan menjadi kesempatan proses untuk mengingat, melupakan, dan menyatakan memori kolektif atas dirinya sendiri.
Comments