top of page

Bapak Fauzi: “Menjadi Driver Adalah Hobi Sekaligus Dedikasi untuk Melayani”


Bapak Fauzi dan Istri tercinta (Dokumen pribadi milik Pak Fauzi)

November Rain”, biasanya orang-orang menggabungkan dua kata itu untuk mengawali sebuah novel atau tulisan lainnya. Kami juga akan memakainya untuk awal tulisan ini. Hujan di bulan November menjadi terasa sangat spesial. Semua tak lain karena sudah lama sekali Jogjakarta dilanda panas dan debu. Air enggan turun dari langit, mungkin karena singgasana dan istananya lebih indah di atas daripada di bumi. Kata salah satu teman kami, nama bulan yang belangkanya ada “ber-” itu identik dengan air karena berhubungan dengan sebuah benda yang dekat dengan air, yaitu “ember”. Lepas dari pembahasan tentang hujan dan ember, syukurlah kami bisa melanjutkan tulisan kedua kami—bersama-sama—di menjelang akhir semester yang padat ini. Pada tulisan sebelumnya, kami bercerita mengenai pameran Sumba dan kesibukan kami dalam Festival Sumba. Festival tersebut mengantarkan kami pada ide tulisan kedua ini. Dalam tulisan ini, kami kami akan menyuguhkan sebuah cerita. Cerita dari seseorang, cerita tentang seseorang. Seseorang yang kami temui di kala hujan begitu lebat turun menyapa bumi, di bulan November ini.


#1 Kisah Awal: Senyum Lebar dan Semangat

Pada suatu sore yang dingin karena hujan deras mengguyur disertai angin, kami—yang sebelumnya telah membuat janji—datang ke pos SKKK. Bertemulah kami dengan seorang bapak yang saat itu berkemeja lengan panjang berwarna putih bersih dan bercelana panjang kain warna hitam. Beliau memakai sepatu berwarna coklat, penampilannya bersih dan rapi. Beliau memiliki tubuh yang cukup tinggi dan kurus. Rambut beliau pendek sehingga lebih terlihat tipis, namun penuh. Kulit beliau sawo matang, dan beliau sangat ramah senyum.

Nama beliau adalah Fauzi. Tidak ada kata lain yang menyertai. Namanya hanya satu kata itu saja. Kami mengenal beliau berawal dari Festival Sumba yang diadakan oleh jurusan kami—Antropologi Budaya—beberapa waktu lalu. Beliau sempat membantu kami untuk mengantar-jemput panelis karena waktu itu kami sempat kalang-kabut-tidak-karuan. Dari situlah kami bertatap muka dan setidaknya tahu keberadaan Bapak Fauzi di kampus kami. Bapak Fauzi merupakan salah satu dari tiga driver di kampus kami. Di antara ketiganya, beliau lah yang paling lama bekerja di Fakultas Ilmu Budaya.


Kini, usia beliau sudah menginjak 56 tahun. Namun, masih sangat semangat dan tanggap saat berbicara menanggapi kami ketika wawancara—sama halnya ketika beliau membantu kami di Festival Sumba. Beliau tinggal di Jalan Kaliurang km. 6,7 Yogyakarta. Beliau memiliki satu istri dan dua orang anak. Anak pertamanya sudah lulus kuliah, dan anak keduanya sedang menjalani kuliah semester ketiga di Sekolah Vokasi UGM. Berbicara tentang kedua anak Bapak Fauzi, beliau sungguh terlihat senang dan bangga ketika menceritakan kedua anaknya yang berhasil kuliah di UGM, apalagi yang pertama sudah berhasil menyelesaikan kuliahnya. Anak pertamanya, kebetulan sama seperti kami, yaitu mahasiswa jurusan Antropologi di UGM. “Luthfi namanya, angkatan 2010,” jawab beliau saat kami tanya. Sesekali senyuman bangganya terbersit—sehingga membentuk kerutan dan lipatan di wajahnya—saat menceritakan kedua anaknya itu.


#2 Perjalanan Hidup: Semangat Kerja yang Tidak Luntur

Bapak Fauzi mulai bekerja sebagai driver di FIB (Fakultas Ilmu Budaya) pada September 1987, yang berarti sudah 31 tahun bekerja di fakultas ini. Ketika beliau menceritakan fakta ini, kami berdua langsung tersontak. “Wah, berarti saat bapak mulai bekerja di FIB, kami belum sama sekali ada di dunia, bahkan orang tua kami juga belum bertemu”, begitu celotehan kecil kami pada bapak. Beliau menanggapinya dengan tertawa bersama-sama dengan kami.

Cerita Pak Fauzi sebelum bekerja di FIB adalah menjadi driver di Jakarta. Beliau menjadi driver pribadi dari bos koperasi simpan pinjam yang ada di Jakarta Selatan. Kurang lebih 3 tahun beliau bekerja sebagai driver pribadi, dan setiap harinya sibuk di jalanan. Sebulan bisa dua kali beliau melakukan perjalanan jarak jauh mengantar bosnya. Biasanya beliau melakukan perjalanan Jakarta-Surabaya. Bukan hanya sebagai driver pribadi, beliau juga sudah seperti teman jalan dari bosnya. Ia terpaksa berhenti dari pekerjaan tersebut dikarenakan si pak bos menikah lagi dan istrinya sudah menyediakan driver pribadi yang baru. Oleh karena hal itu, Pak Fauzi sempat ditawarkan untuk bekerja di koperasi simpan pinjam milik pak bos sebagai seorang debt collector, namun beliau menolak dan memilih untuk berhenti saja. Ia hanya ingin menjadi supir.


Tahun 1986, setelah berhenti dari bekerja di Jakarta, beliau memutuskan untuk pulang ke Jogja. Beliau memang berasal dari Yogyakarta. Keadaan ekonomi adalah penyebab beliau merantau ke Jakarta untuk bekerja. Di Yogyakarta, beliau mendapatkan pekerjaan sebagai driver di salah satu distributor peralatan listrik. Tiap harinya, beliau mengantar sales untuk menjual dan mengantar barang-barang peralatan listrik. Beliau mengatakan, bahwa dari pekerjaan ini, uang yang didapat cukup banyak. Sebulan—pada masa itu—beliau bisa mendapatkan 120 ribu rupiah dari pekerjaannya menjadi driver. Meskipun tidak dipungkiri, bahwa pekerjaannya itu cukup padat dan tidak terlalu teratur.


Tidak cukup lama di pekerjaan ini, beliau berhenti. Menurut cerita beliau, ada dua hal besar yang membuat beliau bertekad bulat untuk keluar. Pertama, beliau merasa sangat tidak cocok dengan lingkungan kerjanya. Beliau mengaku cukup banyak mendapat uang, namun hati tidak mendapat damai. Lingkungan yang ada bagi beliau tidak nyaman dan kurang baik. “Hidup orang jalanan, saya nggak nyaman,” ujar beliau. Alasan kedua, beliau merasa kurang enak juga dengan waktu yang kurang teratur. Pada dasarnya ia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut karena sejujurnya beliau menyukai pekerjaan driver. Hanya saja, dikarenakan alasan pertama, beliau menjadi tidak nyaman dan cocok untuk bekerja di distribusi peralatan listrik tersebut. Akhirnya, beliau keluar.


Tidak lama setelah itu, syukurlah, lewat kenalan kakaknya, beliau mendapat informasi bahwa FIB UGM, saat itu masih bernama Fakultas Sastra, membutuhkan pekerja atau karyawan. Beliau mendaftar dan mengajukan diri menjadi driver di FIB. Gaji beliau setelah ditetapkan menjadi pekerja adalah 20 ribu rupiah per bulan—pada masa itu. Sungguh jauh berbeda dari pekerjaan sebelumnya yang mendapat 120 ribu. Namun, dengan wajah berseri, beliau mengatakan pada kami bahwa beliau sangat bersyukur dengan gaji yang ada, karena yang paling penting adalah hati dapat damai di lingkungan yang ada. Dari 20 ribu tersebut beliau membiayai hidup keluarga dan berusaha menyicil sepeda motor untuk kendaraan sehari-hari. Sebelum mempunyai kendaraan sendiri, beliau mendapat pinjaman sepeda ontel dari saudaranya. Namun malang benar, sepeda itu dicuri orang ketika diparkirkan di Gelanggang Mahasiswa.


Awal ia bekerja, beliau ditugaskan sebagai pekerja yang membantu membersihkan gedung atau taman. Statusnya masih sebatas karyawan honorer. Setelah kira-kira selama 2 tahun beliau bekerja sebagai karyawan honorer, barulah pada tahun 1990 beliau diangkat menjadi pekerja tetap di fakultas kami. Hal itu membuat beliau senang karena akhirnya ia bekerja seperti yang ia inginkan, yaitu sebagai driver. Beliau juga sempat menjelaskan, bahwa beliau berbeda dengan dua driver kampus lainnya, karena hanya beliaulah yang sedari awal mendaftar sebagai driver.


Pekerjaan rutin beliau sejak awal menjadi driver tetap FIB adalah menjadi driver dekan. Selama 5 periode dekan, beliau lah yang setia menjadi teman dan melayani dekan di Fakultas Ilmu Budaya. Dengan sangat hafal, beliau menyebutkan satu-persatu dekan yang dilayani selama bekerja. “Prof. Dr. Teuku Ibrahim Alfian, Bu Hamamah, Prof. Dr. Sjafri Sairin, Prof. Timbul Haryono, Prof. Rohadi, setelah itu ada Bu Ida dan dilanjut oleh Pak Pujo Setiadi. “Namun, Pak Pujo tidak memerlukan driver pribadi dari fakultas”, begitu kata Pak Fauzi, sehingga sejak saat masa jabatan Pak Pujo, Pak Fauzi ditugaskan sebagai driver operasional.

Setiap harinya, selama menjadi driver dekan, beliau datang paling awal dan pulang paling akhir. Beliau mengantar kemanapun urusan dekan dan, kapanpun beliau dibutuhkan, beliau selalu siap sedia. Meskipun begitu, Pak Fauzi merasa sangat senang dan bersyukur melayani tiap dekan yang bertugas. Bagi beliau, setiap dekan memiliki kesan tersendiri dalam hati dan hidup beliau. Selalu ada hal baru yang beliau dapat dan pelajari dari tiap hari kerjanya menjadi driver dekan.


Kini, keseharian beliau sebagai driver operasional adalah mengantar mahasiswa yang melakukan kuliah lapangan, pengabdian masyarakat, lomba, atau juga keperluan fakultas lainnya. Suka dan duka tentu beliau alami selama bekerja di FIB, namun bagi beliau jauh lebih banyak suka dan syukur yang didapat. Belum lagi banyak pengetahuan baru yang beliau dapat. Misalnya saat mengantar mahasiswa kuliah lapangan, beliau juga ikut untuk mendengarkan atau menyimak kuliah tersebut. Bagi beliau, belajar tidak pernah berhenti selama kita masih hidup.


#3 Dedikasi: “Saya Melayani Mahasiswa Seperti Melayani Anak Sendiri”

Sedari Remaja, Pak Fauzi memang sudah biasa untuk hidup bekerja. Ditinggal oleh sang bapak, beliau mau tidak mau harus berjuang untuk menghidupi dirinya. Karena besar dari lingkungan yang menurut kata beliau “biasa-biasa saja”, beliau hanya mengingingkan menjadi driver. Namun, itu bukanlah pekerjaan yang dilakukan terpaksa, justru sebaliknya. Bagi Pak Fauzi, menjadi driver adalah satu-satunya pekerjaan yang ingin beliau capai, menjadi driver adalah hobi yang selalu beliau ingin lakukan. Oleh karena itu, selama hidupnya, beliau selalu mencoba untuk melamar pekerjaan sebagai driver. Bahkan ketika kami menanyakan hal lain yang dapat membuat beliau senang, Pak Fauzi dengan tersenyum mengatakan, “Hanya menyetir yang membuat saya senang. Sedari dulu saya tidak pernah membiasakan diri untuk menikmati kesenangan dunia seperti olahraga, nongkrong, dll”. Bagi beliau, yang terpenting adalah bekerja agar terus hidup. Tetapi, pekerjaan tersebut juga harus dinikmati dan membuat hati nurani tetap damai. Begitulah yang selama ini beliau terapkan dalam hidup.


Berada di FIB dan menjadi driver FIB selama 31 tahun, memberi beliau banyak sekali rasa syukur. Beliau menceritakan ketika dulu waktu FIB masih bernama Fakultas Sastra dan mahasiswa belum sebanyak sekarang, sering sekali para mahasiswa menghabiskan waktu bersama para staff, pekerja, dan beliau. Pada masa itu—mahasiswa antropologi secara spesifik—sering menginap di kampus bersama beliau dan staff yang berjaga di kampus. Eratnya hubungan mahasiswa dan pekerja tentunya menjadi kesan dan kesukaan tersendiri bagi Pak Fauzi. Sayangnya, semenjak ada kehadiran program studi D3 Kearsipan dan Pariwisata—kira-kira tahun 2000—tidak hanya mahasiswa, bahkan dosen sudah tidak lagi akrab dengan staff pekerja dan beliau.


Lepas dari ketidakakraban yang kini terjadi, beliau tetap terus memberikan tenaga dan semangatnya untuk FIB. Bagi beliau, “Bekerja sebagai driver di FIB adalah hobi sekaligus dedikasi. Dedikasi untuk selalu melayani para dosen dan mahasiswa. Dedikasi untuk selalu melayani mahasiswa seperti melayani anak saya sendiri”. Ia tidak banyak menceritakan tentang prinsipnya itu, namun kami mampu melihatnya dalam aksinya ketika beliau membantu pelaksanaan Festival Sumba.


Ia sama sekali tidak mengeluh saat harus mengantar jemput panelis dari bandara hingga penginapan. Hal yang membuat kami benar-benar terkesan dengan beliau adalah ketika beliau masih sempat menanyakan kondisi saya sebagai driver dari panitia. “Itu masnya masih kuat tidak? Kalau tidak, biar istirahat saja. Nanti saya yang mengantarkan sisa panelis menuju penginapan,” begitu ujarnya. Padahal, waktu sudah menunjukkan pukul 21.00. Sudah jauh melampaui jam kerja beliau. Mungkin kedengaran sepele, namun kami sungguh menghargai niatan mulia beliau. Niatan untuk melayani mahasiswa tempat ia mengabdi. Beliau akan pensiun di tahun 2020, dan sampai pada hari itu datang, beliau akan tetap semangat dan tersenyum melayani siapa saja yang membutuhkan bantuan beliau. Dengan modal semangat, syukur, dan ketulusan inilah selama 31 tahun beliau ada di FIB.


Akhirnya, sebelum tulisan ini kami cukupkan, kami sangat bersyukur dapat mengenal beliau setidaknya sebelum beliau pensiun. Mungkin, banyak orang-orang yang tidak menyadari dan mengerti keberadaan beliau, namun kami beruntung dapat menulis tentang beliau. Tulisan ini, biarlah menjadi refleksi bagi kami, bahwa “kisah” tidak melulu tentang mereka yang bekerja menggunakan dasi, atau stetoskop, atau pencetus temuan baru. Terkadang justru kami—sebagai mahasiswa—harus belajar dari mereka yang berada di sekitar kami, entah siapa dan menjadi apa. Pasti selalu ada pelajaran positif dan berharga yang bisa diambil, karena semua orang berjuang dengan keras dalam menjalani kehidupannya. Harapan kami—dan Pak Fauzi terutama—kedepannya, tiap pekerja di FIB ini bisa semakin sejahtera dan dihargai. Dan untuk setiap orang yang telah membaca tulisan ini, kami juga semogakan agar senantiasa sejahtera dan bahagia dalam kehidupannya. Cheers!



Yogyakarta, 2018. Ditulis oleh Yulius Brahmantya Priambada dan Charistya Herandy pada bulan November yang sempat disinggahi hujan.

Commentaires


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page