Harits Naufal Arrazie & Muhammad Fathi Mujadidi
I
Bagi kalangan penganjurnya, bahkan masyarakat umum sekalipun, boleh jadi pariwisata dicap sebagai sektor yang akan mendatangkan banyak pundi keuntungan. Indonesia yang dianugerahi bentang alam indah dan keberagaman budaya, khususnya wilayah timur, lantas menjadi arena terbaik bagi tumbuh kembang pariwisata. Sebut saja Sumba. Bila mengetik “Sumba” di bilah mesin pencari, maka si pengumpul informasi ini dalam sepersekian detik memberitahu informasi terkait lokasi wisata dan objek pariwisata di sana. Informasi dasar seperti lokasi geografis paling-paling hanya satu tautan. Artinya, Sumba telah terasosiasi dengan pariwisata. Bahkan boleh jadi, Sumba adalah pariwisata itu sendiri.
Departemen Antropologi UGM menghelat sebuah acara bertajuk Festival Sumba baru-baru ini. Dari namanya saja, konten acara ini sangat mudah diterka. Segala anasir terkait Sumba akan dihadirkan. Sosial, budaya, arsitektur, pakaian, hingga yang melekat pada Sumba saat mencarinya di mesin pencari: pariwisata.
Lantai 7 gedung Soegondo tak seperti biasanya. Hari itu, meja-meja tamu berjejer di depan ruangan pertemuan. Orang-orang berlalulalang ke sana-kemari. Festival Sumba tengah sampai pada acara Simposium. Acara yang berupaya membahas seluruh aspek terkait Sumba lewat beberapa panel. Di ruangan panel tiga tengah berlangsung panel dengan tajuk Model Intervensi Kebijakan. Aku[1] berada di sana. Ketertarikanku mengikuti panel ini karena salah satu dari tiga panelis membawakan tema yang sangat menarik. Judulnya Gerakan Konservasi Lingkungan Hidup: Harapan dan Tantangan ke Depan.
II
Namanya Umbu Wulang. Panelis ke dua dalam panel ini. Dia jelas orang Nusa Tenggara Timur (NTT). Nama depannya menegaskan itu. Penampilannya begitu khas. Kepalanya terbalut kain Sumba. Rambutnya melampaui dua telinga sampai menyentuh bahu. Warna merah kemeja yang ia kenakan selaras dengan kain Sumba kemerah-merahan yang membungkus bagian bawah tubuhnya. Raut wajahnya tegas. Kumis dan janggut bercokol di sana, menyiratkan sosok yang sarat dengan tempaan ragam pengalaman hidup. Dengan sandal yang agaknya juga khas Sumba, ia berjalan meninggalkan kursi yang telah disediakan panitia. Umbu wulang memilih presentasi sambil berdiri tepat di sebelah layar tancap. Aku menangkap kerisauan di balik tebalnya lensa kacamata yang ia kenakan. Risau dengan suatu kondisi. Kondisi Nusa Tenggara Timur dan Sumba, sudah pasti. Atau boleh jadi risau dengan pemaparan panelis sebelumnya.
Sebelum Umbu Wulang mendapat giliran, panelis sebelumnya, Taufik Arifianto, memaparkan materi terkait potensi, pengelolaan, dan tantangan pariwisata di Sumba. Pariwisata di Sumba, bagi Taufik, tengah menghadapi ancaman serius. Ancaman yang ditimbulkan akibat masifnya gelombang wisatawan. Untuk itu, diperlukan siasat untuk segera menjawab tantangan itu. Pemaparannya sungguh lama, sampai melewati tenggat waktu yang telah diberikan. Dia sampai dua kali diperingatkan, dan tetap bergeming. Kalau kuingat-ingat, setengah jam ia melewati tenggat. Dari seluruh pemaparannya, tetap yang mendapatkan ancaman adalah pariwisata. Bukan lingkungan hidup, budaya, apalagi manusia-manusia Sumba.
Layar tancap menyala. Umbu Wulang bersiap memulai presentasi. Tapi, sebelum itu, dia buru-buru mengajukan klaim. Bahwa selain sebagai rakyat NTT, ia juga berdiri sebagai direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT. Ketertarikanku memasuki panel ini karena sebelumnya aku sudah mengetahui status Umbu Wulang, selain tema yang ia bawakan. WALHI, sepengetahuanku, adalah ornop yang menaruh fokus pada isu-isu lingkungan hidup. Klaim yang dia ajukan itu sesuai dengan kerisauan di matanya. Risau dengan kondisi lingkungan hidup. Mungkin juga dengan kondisi yang lain.
"Privatisasi dan komersialisasi sesungguhnya adalah usaha mengubah kelimpahan menjadi kelangkaan untuk si miskin dan diakhiri dengan mengubah kelangkaan menjadi kelimpahan untuk si kaya (Vandana Shiva)"
Kalimat itu dengan jelas terpampang di layar tancap. Umbu Wulang memilih kalimat itu karena menemukan kebenarannya di Nusa Tenggara Timur. Privatisasi dan komersialisasi, secara masif, tengah berlangsung. Keduanya beroperasi dalam ragam sektor. Namun, Umbu Wulang menenggarai salah satu pintu masuk utama adalah pariwisata. Sektor yang dibahas sampai melewati batas oleh panelis sebelumnya. Pariwisata, yang konon adalah sektor penggemuk kantung nyata-nyata melahirkan ancaman serius. Ancaman yang menyangkut lingkungan hidup, pangan, dan kebudayaan. Pariwisata, kata Umbu Wulang, adalah upaya membikin Sumba menjadi komoditas. Segala sesuatu di Sumba ditransaksikan demi mendatangkan keuntungan. Pertanyaannya, siapa yang diuntungkan? “Investor-investor itu! Bukan rakyat!” dengan nada tegas Umbu Wulang berujar.
Dulu, saat Soeharto masih bertengger di tampuk kekuasaan, Sumba menjadi salah satu daerah yang sumber daya alamnya habis dikuras. Pertambangan, eksploitasi Gaharu dan Cendana –pohon khas Sumba– secara rakus telah merusak ekosistem Sumba. “Cendana itu khas kita (Sumba), tapi jumlahnya malah sedikit di sini daripada di Jakarta sana, di Jalan Cendana (kediaman keluarga Soeharto).” Orang-orang tertawa kecil. Namun, melihat ekspresi jengkel di wajahnya, semua orang lantas terdiam. Termasuk aku. Pemaparan Umbu Wulang adalah penyajian permasalahan nyata. Permasalahan yang tengah berlangsung di Sumba secara khusus, NTT secara umum. Permasalahan yang dari dulu sampai sekarang masih berlangsung dan terus mereproduksi diri.
Meski Golkar belum bubar dan banyak menteri-menteri Orba yang masih menjabat saat ini, tetap saja Soeharto sudah lengser. Reformasi telah bergulir. Bergulir salah arah, sayangnya. Bergulir menjauhi NTT, khususnya Sumba. Pengelolaan pariwisata yang ditopang modal asing tak ubahnya kebijakan eksploitatif Soeharto dulu. Umbu Wulang memberi contoh. Masyarakat Sumba lazim mengkonsumsi sorgum sebagai bahan pangan utama. Kini, sorgum-sorgum mulai terpinggirkan. Masyarakat harus rela menerima nasib buruk beralih pangan ke beras akibat wisatawan yang asing dengan sorgum. Yang semakin menyedihkan, beras-beras untuk perut wisatawan itu didatangkan lewat impor.
Tak hanya pangan, pariwisata juga menyambangi tanah dan kebudayaan. Hotel berbintang dibangun di setiap sudut. Petani harus memutar jauh agar dapat menuai padi. Nelayan menapak lebih lama agar sampai di bibir pantai. Jalan mereka terhambat beton yang isinya wisatawan lokal maupun asing. Juga, segala ekspresi kebudayaan jadi tontonan laiknya pertunjukkan sirkus. “Apa-apa yang kami lakukan dipotret. Kami menari dipotret, melakukan Kedde juga dipotret. Kami ini sudah seperti topeng monyet!” Seantero ruangan hening. Aku menemukan kemarahan di wajah Umbu Wulang. Sorot tajam matanya semakin menegaskan bahwa pariwisata adalah upaya licik nan kreatif segelintir orang demi menjaga agar dompet tetap gemuk.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Mengapa modal asing begitu mudah mendikte pariwisata di Sumba? “Tak seimbangnya negosiasi antara investor dengan rakyat, serta tidak hadirnya negara (pemerintah) di sana adalah salah satu sebab,” katanya. Investor, dengan bekal pengetahuan tingkat universitas-universitas mahal datang menawarkan segepok uang pada masyarakat tempatan yang boleh jadi tak mengecap pendidikan formal. Meski begitu, masyarakat tempatan tentu paham fungsi uang sebagai alat tukar. Jadi, tak ada alasan untuk menolak tawaran itu. Masyarakat tak mengetahui, setelah menerima uang itu, kehidupan dan budaya mereka jadi komoditas, tanah dirampas, dan sumber daya alam habis dikuras. Pada titik inilah, menurut Umbu Wulang, negara harus hadir sebagai mediator. Memberi analisis dampak pasca negosiasi mencapai kata sepakat. Negara tak boleh semata-mata hanya mempersoalkan untung dan rugi. Rakyat dan lingkungan harus jadi prioritas.
Aku terpelongo cukup lama mendengarkan uraian Umbu Wulang. Dari senarai contoh yang ia paparkan, ada satu contoh sederhana yang sangat mengena. Sumba dikenal dengan pulau yang memiliki banyak padang rumput. Lazimnya disebut sabana. Sabana merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Sumba. Interaksi antara manusia dan alam di Sumba adalah interaksi antara masyarakat dengan sabana. Anak-anak kecil menghabiskan sore di atas padang rumput setinggi mata kaki itu. Pemuda-pemudi memadu kasih di atasnya. Kuda-kuda mondar-mandir mengisi perut. Tapi kini, sabana tak lagi terlihat hijau. Banyak bagian-bagiannya mengeras jadi hotel berbintang. Hal ini, sudah pasti, merusak interaksi antara masyarakat dengan sabana, yang selama ini hidup berdampingan. “Kuda adalah salah satu mahar apabila laki-laki ingin melamar perempuan. Nah, kalau sabana tempat kuda-kuda itu makan berubah jadi hotel, bagaimana kami-kami ini mau melamar kekasih kami nanti?”
Contoh kasus yang diberikan Umbu Wulang cukup membuatku memikirkan dan mempertanyakan kembali pariwisata. Pola penyingkiran masyarakat tempatan agaknya serupa di setiap tempat. Hanya lewat sektor yang berbeda dan tetap ditopang tiang yang sama: modal asing. Di Sumatera Utara, banyak petani tersingkir dari sawahnya akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit. Mereka beralih profesi dari petani subsisten menjadi buruh upah rendah. Kesejahteraan yang dijanjikan tidak pernah sampai pada fakta. Hanya mitos. “Modal asing adalah bentuk genosida yang tidak terendus” ucap Umbu Wulang. Yang ada hanyalah akumulasi-akumulasi laba tiada henti. Laba yang dilahap secara rakus oleh segelintir orang.
III
Sepuluh menit lagi waktu presentasi Umbu Wulang mencapai batas. Dia sudah selesai memaparkan dampak-dampak dari kehadiran pariwisata serampangan di Sumba. Aku menduga-duga, kesimpulan Umbu Wulang adalah penolakan terhadap pariwisata. Karena jelas-jelas merugikan rakyat, merusak lingkungan hidup, dan mengkomodifikasikan budaya. Tetapi, dugaanku meleset. Umbu Wulang cukup moderat. Ia tak menolak pariwisata. Bagaimanapun, menurutnya, pariwisata adalah sektor yang mampu memberikan kesejahteraan pada rakyat. Untuk mencapai kesejahteraan itu, diperlukan aturan dan batasan tegas bagaimana pariwisata semestinya dikelola.
“Saya mewakili WALHI,” ia meneruskan, “menegaskan bahwa pariwisata harus mematuhi Syarat Keselamatan Rakyat.” Syarat Keselamatan Rakyat adalah aturan dan batasan yang dibuat oleh rakyat yang wilayahnya hendak dikelola jadi daerah wisata. Aturan ini, bagi Umbu Wulang, sebisa mungkin harus bersumber dari rakyat sendiri agar kepentingan yang dibawa murni kepentingan rakyat. Investor harus mengikuti aturan ini kalau ingin menanam modal. Karena itu, peran negara sangatlah krusial. Negara harus menjembatani investor dengan rakyat agar kesepakatan yang dihasilkan tidak berat sebelah. Tidak, sekali lagi, terbatas pada untung dan rugi (ekonomi). Negara harus memberikan analisis serta potensi dampak ekologis, sosial, dan budaya yang akan ditimbulkan dari kesepakatan antara rakyat dengan investor terkait pariwisata.
Tak berhenti pada aturan yang semestinya menjadi basis pengelolaan pariwisata, Umbu Wulang juga menawarkan solusi terkait model pariwisata yang sesuai dengan Sumba. Dia menamainya dengan pariwisata kerakyatan. Model seperti ini, katanya, adalah pengelolaan pariwisata dengan menggunakan perspektif masyarakat tempatan. Mengacu pada Sumba, pengelolaan pariwisata dengan perspektif sabana adalah salah satu contoh. Sabana yang telah menjadi ruang sosial bagi masyarakat Sumba dihadirkan kepada wisatawan. Hal ini memungkinkan wisatawan memahami bagaimana masyarakat Sumba memaknai Sabana dalam kehidupan mereka sehari-hari. Model seperti ini adalah upaya meredam eksotifikasi dan mendorong timbulnya apresiasi.
Model pariwisata kerakyatan yang diajukan Umbu Wulang agaknya tak hanya terbatas di daerah NTT saja. Model ini, tentu saja, sangat sesuai apabila diterapkan pada seluruh daerah wisata di Indonesia. Model ini mencegah agar lingkungan hidup dan kebudayaan tak menjadi komoditas. Model ini pula yang menjadi jembatan penghubung antara kesejahteraan rakyat dengan kelestarian lingkungan. Mengorbankan rakyat dan lingkungan atas nama pariwisata –yang dikelola secara serampangan– adalah tindakan biadab. Perkataan Umbu Wulang boleh jadi benar, “Pariwisata tak boleh membangun surga dengan menghilangkan surga yang telah diciptakan Tuhan!”
[1] Demi kenyamanan membaca, “aku” dipakai sebagai kata ganti dari dua penulis.
Comments