top of page

Redempta Tete Bato dan Upaya Pemberdayaan Generasi Muda Sumba

Ditulis oleh Rayhan Wildan Ramadhani dan Tigar Brilyan Sugijarta

sumber gambar: http://www.sumbahospitalityfoundation.org/

Minggu, 28 Oktober 2018


Cuaca Jogja hari itu sangat cerah. Hangatnya sinar matahari menemani kami sepanjang perjalanan menuju Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Jam sudah menunjukkan pukul 10.00, yang berarti masih masih ada waktu 15 menit lagi sebelum sesi pertama Simposium Sumba hari ini dimulai. Suasana lantai 7 gedung Soegondo saat itu masih cukup sepi. Sebelum memasuki ruang panel, kami mengambil beberapa makanan ringan dan segelas teh hangat yang sudah disediakan panitia. Setelah mengisi daftar presensi, kami masuk ke ruang panel 1. Ternyata, ruang panel masih sangat sepi. Hanya ada beberapa orang panitia yang sedang sibuk mempersiapkan urusan teknis. Para panelis pun belum terlihat di ruangan, kecuali Redempta Tete Bato yang saat itu sedang berbincang dengan salah seorang panitia mengenai slide presentasinya. Rencananya, Redempta akan mengisi sesi simposium pertama ini bersama dua panelis lain, yakni Maman Suharman, kepala Taman Nasional Matalawa (Manuepu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti) dan Yudi Umbi TT Rawambaku, kepala Seksi Analisa Data Pasar Pemasaran Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur. Mereka bertiga akan membawakan materi yang secara garis besar mengambil tema tentang “Peluang-peluang peningkatan Kesejahteraan”.


Setelah selesai, Redempta kemudian kembali ke kursinya yang terletak di sisi kanan ruangan. Di sana, ia duduk bersama seorang gadis cantik. Kami kemudian berjalan ke tempat Redempta dengan maksud membuat janji wawancara dengannya. Senyumnya yang hangat menyambut kehadiran kami. Setelah kami memberikan penjelasan tentang apa saja yang akan ditanyakan saat wawancara nanti, dia langsung menyetujui. Kami pun kembali ke tempat duduk sembari menunggu sesi pertama simposium hari ini yang tak kunjung dimulai.

Para peserta simposium mulai berdatangan. Moderator dan dua panelis lain pun sudah hadir di ruangan. Baru pada pukul 11.05 sesi pertama ini resmi dimulai. Redempta mendapatkan giliran ketiga untuk menyampaikan presentasinya. Secara garis besar tema materi yang dibawakan ketiga panelis hampir sama, yakni mengenai kesejahteraan yang terbangun dari adanya perkembangan pariwisata dan dampaknya bagi masyarakat di Sumba. Akan tetapi, materi yang dibawakan oleh Redempta menghadirkan pemahaman baru, yakni bagaimana dia berupaya untuk menyiapkan tenaga pariwisata yang tidak hanya menjadi ‘pekerja’, namun dapat menjadi pemimpin.


Saat tiba gilirannya untuk menyampaikan presentasi, Redempta bangun dari kursinya dan maju ke depan, dan berdiri di antara tempat duduk peserta dengan meja para panelis. Dengan pembawaan yang penuh semangat dan sedikit terburu-buru, dia mulai menjelaskan poin-poin yang termaktub dalam slide presentasinya. Memperhatikan Redempta berbicara hampir sama sensasinya ketika mendengarkan sebuah orasi. Dengan suara lantang serta artikulasi yang jelas, dia berhasil mencuri perhatian seluruh ruangan supaya dapat fokus pada apa yang ia bicarakan. Selain itu, Redempta terlihat sangat menguasai materi yang ia bawakan yang bertemakan “Perempuan dan Pariwisata Berkelanjutan”. Sembari terkagum dengan caranya ketika berbicara, kami membuka Buku Panduan Simposium untuk melihat profil dari Redempta. Ternyata, dia telah bekerja di berbagai bidang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) selama lebih dari 20 tahun, serta berpengalaman dalam peraturan perlindungan anak dan pelayanan pemantauan pendidikan untuk mengevaluasi hasil pelatihan dan program logical framework analysis. Disebutkan pula bahwa ia pernah berkuliah di jurusan Sosiologi di Universitas Atma Jaya dan sudah lulus tahun 2014 lalu.


Hari itu, Redempta berbicara dalam kapasitasnya sebagai kepala sekolah dan anggota dewan Sumba Hospitality Foundation (SHF). SHF merupakan sekolah pariwisata berstandar internasional yang terletak di Jalan Mananga Aba, Desa Karuni, Kecamatan Loura, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pendirian SHF digagas oleh Inge De Lathauwer, perempuan asal Belgia yang memiliki gelar master dari Universitas Ghent dalam bidang studi Asia. Redempta menceritakan bahwa pendirian SHF dilatarbelakangi oleh kegelisahan ketika industri pariwisata di Sumba sedang berkembang pesat namun posisi penting dalam industri ini masih dipegang oleh orang asing.


SHF menyediakan pendidikan kejuruan bagi lulusan SMA berusia antara 17-23 tahun yang kurang beruntung secara ekonomi, yang terlebih dahulu harus mengikuti serangkaian tes. Area pendidikan SHF mulai dibangun sejak tahun 2015 pada lahan seluas enam hektar dan mulai beroperasi pada Mei 2016. Berdasarkan hasil penelusuran kami, SHF memiliki fasilitas penunjang kegiatan yang sangat lengkap. Bangunan kelasnya berdesain tradisional khas Sumba dengan menggunakan alang-alang sebagai atap serta bambu sebagai kerangka utama bangunannya. Selain itu, berdasarkan informasi dari situs resminya, disebutkan bahwa SHF diharapkan dapat menjadi model untuk konservasi dan energi hijau di pulau Sumba. Sumber listrik di SHF berasal dari 288 panel tenaga surya. Selanjutnya, para siswa juga mendapatkan fasilitas asrama lengkap, makan, serta perawatan kesehatan.


Pada bagian awal presentasinya, Redempta merujuk kepada United Nations (UN) Sustainable Development yang berbicara tentang 5 target untuk “Achieve gender equality and empower all women and girls”. Dari 8 poin yang termaktub dalam program tersebut, Redempta memberikan penekanan pada 3 poin utama, yakni:

1. Eliminate all forms of violence against all women and girls in the public and private spheres, including trafficking and sexual and other types of exploitation,

2. Ensure women’s full and effective participation and equal opportunities for leadership at all levels of decision making in political, economic and public life,

3. Enhance the use of enabling technology, in particular information and communications technology, to promote the empowerment of women.


Dari 3 poin tersebut, Redempta sejenak mengajak kita untuk merefleksikan kesenjangan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam industri pariwisata. Meskipun jumlah perempuan dalam presentase tenaga pariwisata termasuk besar, namun mereka hanya menempati posisi rendah dan mendapat upah yang lebih kecil dari pekerja laki-laki.

Pariwisata berkelanjutan sendiri memiliki definisi sebagai “Form of tourism that are consistent with natural, social, and community values and which allow both host and guest to enjoy positive and worth while interaction and shared experience” (Fitra dan Maharani, 2001). Aspek sosial, ekonomi dan lingkungan menjadi aspek yang saling terintegrasi dalam mendukung upaya pembangunan pariwisata. Redempta menjelaskan bahwa membicarakan lingkungan dalam konteks pembangunan pariwisata berarti memanfaatkan dengan semaksimal mungkin sumber daya alam yang tersedia. Kemudian terkait aspek sosial, Redempta menyoroti tentang otentisitas dari kebudayaan lokal yang terancam oleh adanya pariwisata massal. Dia juga mengkritisi keinginan pemerintah yang berencana untuk ‘membuat 10 Bali baru’. Menurutnya, hal yang menarik dari suatu wilayah adalah pengalaman unik ketika mengunjungi wilayah tersebut.


Berikutnya, Redempta membicarakan tentang pengalamannya sebagai kepala sekolah SHF ketika hendak mepersiapkan tenaga pariwisata perempuan. Dia mengatakan bahwa tantangan terbesar bagi perempuan di Sumba adalah tingkat pendidikan yang rendah dan stereotipe. Untuk tantangan yang disebutkan kedua, beliau menceritakan pengalamannya ketika mengalami kesulitan saat mencari murid untuk jurusan baru yang dibuka SHF, yakni jurusan Spa. Para orang tua di sana memiliki kekhawatiran bahwa setelah lulus nanti, anak mereka akan dikirim sebagai pekerja di tempat pijat plus-plus. Pada bagian akhir presentasinya, Redempta menjelaskan bahwa SHF tidak hanya menyediakan kurikulum vokasional sebagai upaya memenuhi ketersediaan tenaga pariwisata. Di SHF, para siswa juga diberikan materi kepemimpinan, sehingga ketika lulus nanti mereka dapat menjadi manajer atau memiliki bisnis pariwisata sendiri.


Setiap kata yang diucapkan oleh Redempta memberikan kami pemahaman baru tentang bagaimana masyarakat Sumba menghadapi masuknya pariwisata ke wilayah mereka. Selain itu, cukup banyak auto-kritik yang dilontarkan oleh Redempta terhadap kondisi di Sumba saat ini, salah satunya adalah ketika dia mengatakan bahwa semakin banyak lahan yang dialihfungsikan sebagai kawasan penginapan. Menurut kami, pengalaman Redempta yang pernah aktif di berbagai LSM membantunya dalam melihat fenomena di Sumba secara lebih kritis dan holistik. Meskipun SHF sendiri didirikan oleh orang asing, namun kurikulum dan materi yang diajarkan tetap memperhatikan keseimbangan antara aspek sosial, budaya dan lingkugan Sumba. Di titik inilah terlihat jelas objektifitas Redempta dalam menyikapi fenomena gencarnya perkembangan pariwisata.


Dalam sesi tanya jawab, Redempta mengatakan bahwa perkembangan industri pariwisata di Sumba adalah sebuah keniscayaan, tinggal bagaimana masyarakat menyikapinya agar jangan sampai industri pariwisata justru merusak tatanan sosial-budaya masyarakat Sumba. Untuk itu diperlukan sumber daya alam (SDM) yang memadai. Oleh karena itu, menurut Redempta sangat penting untuk menyiapkan seorang pemandu wisata yang baik, yang tidak sekadar paham tentang adat istiadat namun dapat mentransfer pemahaman tersebut kepada para wisatawan. Redempta juga berulang kali menyebutkan bahwa murid SHF adalah ambasador bagi Sumba, yang akan menjadi wajah Sumba bagi masyarakat luas. Hal tersebut seolah menjadi bukti betapa besar kepedulian Redempta terhadap Sumba pada umumnya, dan pemberdayaan generasi muda Sumba pada khususnya. Sayang sekali, pada akhirnya kami tidak dapat melakukan wawancara dengan Redempta karena satu dua alasan. Akan tetapi, kami mendapatkan poin penting dari perkataan Redempta dalam simposium hari itu. Bahwa, perubahan dan kemajuan hanya akan dapat diwujudkan jika seseorang atau sekelompok orang memiliki keinginan dan lalu mengusahakan perubahan tersebut.


Referensi


Fitra, A., dan Maharani, L. Pengembangan Kepariwisataan berkelanjutan. Jurnal Ilmu Panwisata Vol.6, No. l. Juli 2001, hal 87.

27 views0 comments

Comments


bottom of page