top of page

Bayu Purnomo: Menggeluti Karawitan di Tengah Deburan Zaman

Writer's picture: Nur Hafifah KhusmawatiNur Hafifah Khusmawati

Oleh : Dita Septianing Dyah dan Nur Hafifah Khusmawati


“Seni akan banyak menentukan alur dan tujuan hidup seseorang”, kiranya itu merupakan satu pembelajaran berharga yang kami peroleh dari Mas Bayu Purnomo atau yang lebih akrab kami sapa dengan Mas Bayu. Mas Bayu merupakan sosok humoris dan easy going yang telah menggeluti dunia karawitan sejak masa kanak-kanaknya, katakanlah Mas Bayu telah tumbuh dan berkembang bersama karawitan. Kesibukannya sebagai seorang seniman muda tidak menghalangi tekadnya untuk membagikan segala pengalaman dan ilmu yang dimiliki kepada kawula muda lainnya. Beberapa tahun lalu Mas Bayu juga tergabung sebagai pengajar mata kuliah karawitan di program studi Sastra Nusantara, FIB UGM. Kami telah menjadi segelintir orang yang beruntung karena sudah berkesempatan untuk mengenal dan belajar karawitan dari sosok se-inspiratif Mas Bayu.


Mas Bayu bepose sambil memainkan gamelannya. (sumber: dokumentasi pribadi)

Profil Singkat Mas Bayu Purnomo

Mas Bayu Purnomo atau yang lebih akrab disapa dengan Mas Bayu merupakan seorang pelakon kesenian Jawa yang kami kenal satu tahun lalu melalui mata kuliah karawitan. Mas Bayu merupakan dosen karawitan di FIB UGM dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Mas Bayu bercerita bahwa ia tidak berasal dari keluarga seni, melainkan lingkungan tempat tinggalnya yang mengenalkannya pada seni. Bahkan ia sudah belajar kendhang sebelum masuk TK. Pada tahun 90-an, gamelan, jatilan, dan kuda lumping banyak dimainkan di lingkungannya.


Kemudian, saat Mas Bayu duduk di bangku kelas dua sekolah dasar, ia mulai mengumpulkan kaleng-kaleng bekas biskuit untuk dimainkan selayaknya drum. Saat di bangku kelas empat, ada seseorang yang mengintip di rumahnya ketika ia sedang bermain dengan kaleng-kaleng biskuit tersebut. Kemudian Mas Bayu direkrut oleh orang tersebut untuk ikut main kendhang di jatilan. Bahkan saat itu Mas Bayu diberi julukan ‘cupet’, karena ukuran kendhangnya yang lebih besar daripada tangannya. Ketika Mas Bayu duduk dibangku sekolah menengah pertama, ia memenangkan kejuaraan gamelan di suatu sekolah kejuruan. Kemudian tempat lomba tersebut menjadi tempat untuk melanjutkan sekolah.


Mas Bayu juga bercerita bahwa ia memiliki tekad yaitu “saya harus menjadi pengendhang yang kondhang”, yang mana tekad tersebut termotivasi dari ejekan seorang anak pengendhang yang terkenal. Dengan ejekan itu akhirnya ia masuk dalam sanggar kesenian. Mas Bayu aktif sejak tahun 2005 di Sanggar Yayasan Pamulangan Sasmita Margawa. Menurut Mas Bayu, hanya sanggar tersebut yang berani memotong durasi Tari Bedhaya dan Tari Srimpi dari satu jam menjadi sekitar dua puluh menit.


Pencapaian terbesar yang diperoleh Mas Bayu selama aktif dalam dunia karawitan yakni ketika ia mendapatkan gelar Penata Iringan Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2017 di Berau, Kalimantan Barat. Kemudian, ia juga pernah menyabet gelar pengendang terbaik di Kabupaten Bantul dalam Kejuaraan Karawitan Bersama dan juga menjadi penata iringan terbaik dalam Sendratari se-Yogyakarta pada tahun 2010.


Dalam berkarya, Mas Bayu banyak terinsipirasi oleh Ki Narto Sabda. Bagi Mas Bayu, Ki Narto Sabda merupakan tokoh yang dahsyat karena kemampuan yang dimiliki sangatlah kompleks. Ki Narto Sabda bisa menari, karawitan, dan juga merupakan seorang dhalang. Bagi Mas Bayu, Ki Narto Sabda merupakan seorang dhalang yang mampu memasukkan unsur kethoprak dan teater dalam ceritanya. Selain itu, Mas Bayu juga sangat kagum dengan kemahiran Ki Narto Sabda dalam memainkan kendhang. Gending-gendingnya sangat apik dengan masukkan unsur-unsur kerakyatan yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat.


Selain Ki Narto Sabda, Mas Bayu juga mengagumi salah satu tokoh seni dan sastra jawa yaitu Ki Rangga Warsita. Ki Rangga Warsita merupakan pujangga terakhir yang berkaitan dengan kesusastraan Jawa. Beliau tersebut mampu menggambarkan keadaan pada jamannya dengan baik melalui karyanya, yaitu Kolobendu (zaman edan). Dengan karya tersebut, UGM pernah menggunakan untuk mewakili sebuaah kejuaraan di UI. Karya tersebut juga fenomenal karena sering digunaan dalam adegan wayang kulit, yakni goro-goro.


Menelik Kesibukan Mas Bayu dalam Dunia Karawitan

Dalam kesehariannya, Mas Bayu memiliki dua kesibukan utama, yakani mengajar karawitan dan aktif menggeluti kesenian Jawa. Mas Bayu mengajar di FIB UGM dan ISI Yogyakarta. Kesibukan Mas Bayu dalam bidang seni misalnya adalah pementasan wayang kulit, pementasan uyon-uyon, dan kethoprak. Pementasan tersebut dibagi menjadi dua, yaitu pementasan yang membutuhkan proses latihan dan yang tidak membutuhkan proses latihan.


Sendratari biasanya membutuhkan waktu latihan satu bulan sebelum pementasan. Wayang juga membutuhkan waktu latihan, tetapi tergantung dengan konsep yang ingin dipakai, biasanya jika wayang klasik lebih ke spontan (tanpa latihan). Menurut Mas Bayu, ada juga beberapa dhalang yang sering diminta untuk melakukan latihan terlebih dahulu karena ada konsep baru yang belum pernah dipentaskan.


Bila tidak ada jam mengajar atau sedang selo, biasanya Mas Bayu banyak mengisi waktunya dengan membaca dan menerjemahkan notasi serta artikel-artikel seni. Notasi yang banyak dibaca adalah notasi-notasi lama dari tahun 70-an, karena menurutnya notasi lama dan notasi baru memiliki banyak perbedaan, dimana notasi lama ditulis tangan dan notasi baru kebanyakan sudah berbentuk ketikan.


Menurut Mas Bayu, pembelajaran yang dapat diperoleh dengan menekuni seni dan karawitan yaitu jika seni dipelajari dengan sungguh-sungguh dapat menjadikan seseorang menjadi ‘orang’ apapun itu pekerjaannya. Hal tersebut tidak hanya berlaku untuk seni, karena hal apapun bila ditekuni dengan baik juga akan memberi hasil kepada orang tersebut. Mas Bayu juga percaya bila sudah niat untuk terjun ke dalam suatu hal, misalnya kita harus melakoni suatu profesi atau kegemaran dengan benar-benar serius, karena sesuatu yang dilakukan dengan setengah-setengah tidak akan pernah membawa kita pada suatu hasil yang memuaskan.


Memaknai Karawitan secara Filosofis

Saat kami bertanya mengenai “Apa makna karawitan bagi Mas Bayu?”, Mas Bayu dengan senang hati menanggapinya dengan jawaban yang panjang lebar disertai dengan akses Jawa yang kental di setiap pelafalannya. Mas Bayu menjawab setiap pertanyaan kami dengan begitu rinci dan perlahan, dimulai dari menjelaskan kata karawitan yang berasal dari kata rawit yang bermakna kecil, halus dan rumit. Ia kemudia beralih untuk meluruskan pemahaman kami bahwa makna rawit tersebut tidak merujuk pada ukuran instrumen-instrumen karawitan, melainkan lebih merujuk pada kesan estetis yang ada pada konsep menabuh instrumen-instrumen tersebut.


Membahas mengenai nilai filosofis dalam karawitan, Mas Bayu mengantarkan kami pada pengetahuan bahwa karawitan memiliki konsep ‘olah rasa’. Konsep tersebut merupakan salah satu faktor mengapa karawitan cenderung banyak dimaknai secara filosofis. Konsep ‘olah rasa’ dapat kita lihat dalam kegiatan memainkan gamelan (instrumen dalam karawitan) yang mengedepankan kepekaan rasa atau ilmu titen dari para pemainnya. Mas Bayu juga mengungkapkan bahwa konsep olah rasa ini sangat berguna baginya dalam menentukan porsi tabuhan yang pas sehingga tidak mengganggu pemain vokal (sinden).


Kami bererpose bersama Mas Bayu di ‘ruang kerja’nya. (sumber: dokumentasi pribadi)

Kemudian, Mas Bayu juga menyampaikan segelintir pembelajaran berharga bagi kami ditengah penjelasannya mengenai makna karawitan dan konsep olah rasa. Mas Bayu mengetahui betul jika kami merupakan mahasiswa Antropologi Budaya angkatan 2017 karena kami berdua pernah tergabung dalam kelas karawitan yang diampunya.

Dari konteks tersebut, Mas Bayu mencoba memberikan pengertian bagi kami bahwa memilih jurusan antropologi budaya bukanlah suatu hal yang salah, justru kami akan terlihat mengesankan lagi jika kami juga mau bergelut di dunia seni, mengapa? Karena Mas Bayu memiliki pandangan bahwa seni merupakan pijakan bagi kami untuk menghadapi masa depan yang entah akan seperti apa wujudnya. Mas Bayu memberikan penerawangan bahwa seorang antropolog yang juga mengerti seni dapat dipastikan akan memiliki konsep ‘olah rasa’ yang berbeda, dimana ia akan lebih mudah melontarkan apresiasi untuk apapun dan lebih mudah untuk menunjukkan kepekaannya terhadap masyarakat.


Suka Duka Menggeluti Dunia Karawitan

Dengan nada suara yang tidak setinggi saat menjawab beberapa pertanyaan kami sebelumnya, Mas Bayu dengan hati-hati menjelaskan kepada kami mengenai pengalaman-pengalaman kurang menyenangkan yang ia alami selama bergelut dalam dunia karawitan. Mas Bayu mulai menjelaskan dari permasalahan manajemen yang banyak dihadapinya dan para pelakon seni lainnya.


Masih dengan nada yang lirih, Mas Bayu mengungkapkan satu realita yang cukup mengiris hatinya, dimana saat ini pertunjukkan karawitan dan pertunjukkan kesenian Jawa lainnya acap kali dianggap sebagai sesuatu yang bersifat murahan. Para pelakon seni ini juga sering menerima upah yang tidak sepadan dengan kesulitan yang harus mereka hadapi. Menghafal syair-syair Jawa yang kebanyakan memiliki kerumitan tingkat tinggi juga merupakan hal yang banyak menguras waktu dan pikiran Mas Bayu dan para pelakon kesenian Jawa lainnya.


Realita bahwa karawitan dan kesenian Jawa lainnya merupakan seni yang adiluhung karena mampu bertahan dari zaman Mataram Kuno hingga saat ini, ternyata juga masih kurang jitu untuk membuat orang tidak memalingkan muka terhadap eksistensi mereka. Persoalan tersebut masih ditambah dengan sulitnya mengumpulkan animo masyarakat (terlebih masyarakat perkotaan) untuk menonton pertunjukkan karawitan. “Kalau tidak ada penonton, kami sebagai pelakon kesenian Jawa banyak merasa kecewa”, melalui ungkapan tersebut, Mas Bayu mennyampaikan betapa pentingnya kehadiran penonton bagi dirinya dan para pelakon kesenian Jawa lainnya.


Persoalan yang berkakitan dengan animo penonton ini dinilai Mas Bayu sebagai suatu beban moral yang paling sulit baginya. Mas Bayu juga kerap kali merasa jika pertunjukkan karawitannya terasa sia-sia karena penonton yang datang sangat sedikit. “Namanya saja seni pertunjukkan, terus kalau tidak ada penontonnya berarti mau ditunjukkan kepada siapa?”, satu ungkapan singkat yang disampaikan Mas Bayu dengan nada santai tetapi berhasil menohok hati kami.


Terlarut dalam cerita mengenai pengalaman-pengalaman pilu tadi, membuat kami hampir terlupa untuk bertanya mengenai kisah-kisah menggembirakan dari perjalanan karir Mas Bayu. Kami dapat melihat sosok Mas Bayu yang sebenarnya ketika ia menceritakan pengalaman menyenangkan apa saja yang diperoleh selama menggeluti dunia karawitan. Pada kesempatan tersebut Mas Bayu juga dengan jelas menampakkan kepribadiannya sebagai seseorang yang cerdas dan penuh semangat.


Selain banyak bercerita, Mas Bayu juga sesekali mencoba membuat kami terkesan, salah satunya adalah dengan mengungkapkan bahwa gamelan (instrumen dalam karawitan) dapat dimasukki unsur dan jenis musik apapun, mulai dari pop, rock, hip-hop, jazz, dan masih banyak lagi. Hal inilah yang dipandang Mas Bayu sebagai sesuatu yang telah mematahkan persepsi bahwa karawitan merupakan sesuatu yang membosankan, karena pada dasarnya semua bergantung pada unsur musik apa yang akan kita sadurkan ke dalam pertunjukkan karawitan.


Sorot mata Mas Bayu semakin berbinar ketika ia mengungkapkan hasil riset kecil-kecilan yang ia lakoni beberapa waktu ini. Dari riset tersebut, ia memperoleh fakta bahwa beberapa tahun belakangan telah terjadi peningkatan minat para kaum muda untuk mempelajari kesenian Jawa, hal tersebut ditunjukkan dengan semakin meningkatnya animo para siswa untuk belajar di SMK seni yang tersebar di penjuru Yogyakarta.


Sekitar tahun 2005, saat Mas Bayu masih menempuh pendidikan di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia), siswa jurusan karawitan hanya ada belasan saja, namun saat ini jumlah siswanya sudah menyentuh angka ratusan. Mas Bayu juga menambahkan bahwa, “Sekarang memang banyak yang berminat untuk belajar kesenian Jawa di sekolah seni, walaupun kelak jika sudah lulus tidak harus atau tidak selalu menggeluti kesenian juga”.

Bagi kami, Mas Bayu bukan hanya sekedar tokoh utama dalam tulisan ini. Melalui pembawaannya yang chill dan humoris, ia berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai teman sekaligus dosen bagi para mahasiswanya. Walaupun kami memang sesekali kena marah oleh Mas Bayu, tapi setelahnya Mas Bayu tetap bersikap hangat dan ramah kepada kami.


Bagi Mas Bayu, pengajar kesenian Jawa (khususnya karawitan) harus lebih banyak menyesuaikan diri terhadap para mahasiswanya, mengapa? Mas Bayu menyadari bahwa karawitan dan segala uborampenya bukanlah sesuatu yang mudah dipelajari, karena hingga saat ini saja Mas Bayu masih sering kali kesulitan dalam menghafalkan notasi dalam karawitan yang jumlahnya tidak sedikit. Mas Bayu juga tidak menutup mata proses belajar kesenian Jawa yang tengah dilakoni dirinya dan para mahasiswanya, kini banyak terdistraksi oleh gadget dan media sosial.

 
 
 

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page