Beban Pedagang Warung Kecil: Soal Gali Lubang Tutup Lubang Akibat Perputaran Modal Tidak Lancar
- Arkan Syafera
- Dec 4, 2018
- 6 min read
Kejadian yang sama... sewaktu mamaku buka warung sembako, meskipun ga semua.tapi ada beberapa orang yang seperti itu, giliran ngutang ke warung mamaku, eeeh ada uang ngeloyor ke warung yang jauh, hutangnya ga dicicil, padahal mamaku janda dengan 6 orang anak yang masih sekolah semua, karena bapakku udah meninggal sewaktu adekku yang paling kecil berusia 3 tahun, hiks..sedih
(Komentar dari akun facebook Mia Rusmiati pada postingan akun Ummu Andara berjudul ‘Giliran Ngutang ke Warung Saudara, Beli Cash ke Mini Market.... Apa itu Gak Dzalim???’, 2018) [1]
Ketika menyempatkan pulang ke kampung halaman dengan memanfaatkan waktu libur kuliah, saya turut membantu orang tua dalam melayani pembeli yang datang ke warung di rumah. Pagi hari sekitar pukul 09.00 WIB matahari sudah mulai terik. Ada seorang perempuan datang membeli sabun pencuci baju dan rokok beberapa batang saja. Dia membawa uang pas untuk membeli sabun tersebut. Mungkin dia berniat akan mencuci baju saat itu juga karena tidak ingin menyia-nyiakan teriknya panas. Menurut pemikiran saya, rokok ini segera dibakar nanti—setelah selesai mencuci agar badan tidak dingin atau bahkan menggigil. Tetapi, dia tidak membawa uang untuk membayar rokok tersebut seakan sudah berniat dari rumah bahwa akan berhutang saja, tidak membelinya.
Tega!
Tidak sekali dua kali dia melakukan hal demikian. Ibu sampai takut memberi hutang lagi kepada dia. Jika satu kali diperbolehkan berhutang, hutang akan ditambah terus menerus. Akan tetapi, dia terlalu enak berhutang tanpa mengingat-ingat sudah berapa banyak dan kapan akan dibayar. Bekerja saja, tidak. Dia hanya menengadahkan tangan kepada suami yang entah kapan dapat pekerjaan tetap dan dapat memenuhi kebutuhan istrinya yang setiap hari paling tidak harus menghisap dua-tiga rokok.
Tidak seperti warung besar dan toko yang menjual barang secara grosir, warung kecil sekadar menjual barang eceran. Atau swalayan, minimarket, maupun supermarket yang memiliki sistem sedemikian rupa agar mencegah pembeli berhutang, warung kecil tidak mampu melakukan hal serupa. Warung kecil dipaksa mau dijadikan tempat berhutang. Secara tidak langsung, pedagang warung kecil telah menjadi korban pembeli penghutang terutama tetangga-tetangga sekitar warung yang bersangkutan saat tidak memiliki uang. Penjual ‘diwajibkan’ sukarela didatangi tetangga dengan kantong kosong. Barang dagangan dirampas hingga berkantong-kantong plastik. Rak-rak jadi kosong sampai-sampai pembeli malu membuka warungnya karena sudah tidak ada barang lagi yang dapat dijajakan. Pembeli lain lagi datang berniat mencari barang kebutuhan, penjual hanya dapat menggelengkan kepala tanda tidak ada. Kalau seperti itu terus, pembeli kapok bolak-balik ke warung kecil ini, tetapi tidak kunjung dapat sesuatu yang diinginkan. Tidak patut lagi apabila pembeli penghutang justru ikut tidak mau datang ke warung ini. Apa mungkin muka mereka—pembeli penghutang—begitu tebal sehingga tidak malu seperti melempar batu sembunyi tangan? Rasa tanggung jawab tidak ada sama sekali. Mereka tidak sadar atas kelakukannya-lah yang membuat suatu usaha di ambang gulung tikar. Pertanyaan muncul ketika kita mengembalikan bahasan ini kepada curahan hati seseorang di akun facebooknya, kemudian dikomentari akun lain yang juga pernah mengalami hal serupa: bagaimana pandangan orang desa terhadap keberadaan warung kecil di sekitar rumah? Lalu, bagaimana kita mengaitkannya dengan sistem gali lubang tutup lubang pada perputaran uang di warung kecil?
Piutang dan Tidak Ada Pilihan Lain
Sebelum melihat beban pedagang kecil secara lebih jauh, ada baiknya kita memahami dahulu konteks warung kecil. Seperti usaha perekonomian lain, warung kecil pun memiliki sisi lain dan keterbatasan tersendiri—yang, mirisnya, tidak diperhatikan oleh para pembeli.
Dalam artikel terkait keikutsertaan warung dalam mengambil bagian pemenuhan kebutuhan obat bagi warga sekitar, beberapa peneliti dari Pusat Penelitian dan Pembangunan Farmasi—Sudibyo Supardi, Sarjaini Jamal, dan M. J. Herman—memberikan definisi warung sebagai suatu bentuk usaha swadaya masyarakat yang menjual secara eceran aneka ragam bahan kebutuhan pokok sehari-hari dalam jenis dan jumlah terbatas. Di samping itu, beberapa peneliti ini mengutip pengertian warung menurut Bopeng, yaitu umumnya dikelola langsung oleh pemiliknya, lokasi di samping atau menyatu dengan rumah pemilik, buka sepanjang hari, dan dapat melayani pembeli setiap saat, meskipun sudah tutup. Umumnya di desa, membuka warung merupakan kegiatan ibu rumah tangga, disamping kesibukkan sehari-hari mengurus rumah tangga.[2] Tidak terlepas dari kemandekan usaha warung kecil dipicu pemberian piutang, Uswah Dia Dara menyebutkan dalam jurnalnya bahwa penduduk desa yang mulai mengikuti gaya hidup modern telah memunculkan pikiran untuk menjadikan hutang sebagai alternatif atau pilihan terbaik dalam memenuhi gaya hidup, tetapi dengan pendapatan dan status ekonomi yang masih rendah. Uswah Dia Dara melakukan studi terhadap kalangan buruh perempuan di Desa Jetis, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Salah satu cuplikan dari hasil penelitiannya dapat menggambarkan pandangan beberapa orang terhadap hutang-piutang. Masyarakat banyak memiliki hutang hingga saat ini, bahkan berhutang tidak sekali dua kali melainkan berkali-kali yang mana hutang mereka tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, tetapi juga tidak sedikit yang berhutang untuk mendapatkan kebutuhan kedua hingga kebutuhan ketiga yang menyebabkan mereka memiliki pola konsumtif yakni membeli barang-barang yang bukan menjadi kebutuhan utama secara terus menerus tanpa memperhatikan nilai gunanya.[3] Ketika seorang penghutang memenuhi kebutuhan pokok dari sembako di warung kecil, kemudian berhutang barang sekunder atau tersier di tempat lain maka penghutanglah yang lebih sejahtera dibandingkan dengan penjual warung kecil sang pemberi hutang.
Berhadapan dengan kenyataan ini, penjual warung kecil tidak mampu berbuat banyak. “Kalau nggak mau dihutangin ya jangan buka warung di desa”. Saya sangat ingat dengan kata-kata itu yang keluar dari mulut tetangga. Mereka seakan memegang kuasa atas usaha kecil yang sering menjadi tempat pertama didatangi saat tidak ada uang sama sekali atau pura-pura tidak memiliki uang. Sebab, Ibu saya pernah menjumpai pembeli yang menghitung uangnya secara sembunyi-sembunyi. Akan tetapi, uang tersebut tetap bisa dilihat Ibu saya karena bentuk yang menyerupai bola akibat sudah digenggam sekian lama. Pada waktu membayar tiba, pembeli penghutang ini hanya memberikan uang Rp5.000,00-an yang bahkan kurang dari setengah total harga belanjaan. Selang beberapa hari, pembeli penghutang ini memakaikan anaknya kalung emas. Tidak disangka! Dia menghilang-hilangkan sesuatu yang sebenarnya dia miliki.
Pada saat akan menuliskan hutang seseorang di buku khusus berisi catatan piutang karena keterbatasan dalam mengingatnya, saya menemukan hampir semua nama warga satu Rukun Tetangga (RT) ada di buku tersebut. Kolom beberapa orang juga sudah memakan baris hingga bagian buku paling bawah. Ada lagi yang satu nama, tetapi menghabiskan kolom lain di sebelahnya. Ibu saya memang membagi buku ini ke dalam beberapa kolom dengan tujuan menghindari hutang seseorang tergabung ke hutang orang lain. Catatan hutang ini juga dilengkapi dengan tanggal pengambilan barang. Akan tetapi, tetap saja ada orang yang lupa atau bahkan tidak percaya bahwa dia memiliki hutang di tanggal yang disebutkan.
Tentang Kesulitan Berbelanja Ulang
Menjadi usaha yang memiliki peluang untuk mengadu nasib lebih lama daripada Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan 8 jam kerja atau—paling dekat hubungannya—dengan pedagang pasar yang dibatasi jam operasional pasar dalam berdagang, warung kecil digadang-gadang dapat berkontribusi banyak terhadap perekonomian rumah tangga. Saya merujuk pada uraian panjang tesis milik Triana Nurhayati memfokusi pengembangan usaha mikro. Dalam analisisnya, warung kelontong—termasuk warung—diharapkan beberapa pedagang bersangkutan agar dapat mensejahterakan keluarga dan anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan yang tinggi. Namun, hal tersebut masih sulit terwujud.
Perputaran uang warung kecil di desa terhambat, sehingga semakin sulit berkembang. Kebingungan melanda ketika pemilik warung sudah harus berbelanja kembali barang-barang yang akan dijual kembali. Seringkali, barang di warung kecil sudah habis, tetapi uang tidak ada. Terkadang pemilik warung harus mencoret beberapa daftar barang yang dianggap masih cukup dan masih ada sisa untuk dijual, padahal sebenarnya dipaksa cukup. Barang sudah habis ketika pemilik warung baru saja pulang dari pasar. Ketika sudah seperti itu, pemilik tidak mungkin kembali ke pasar lagi hanya untuk membeli satu macam barang. Biaya bensin yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil penjualan karena posisi pasar tidak dekat. Lebih ngenes lagi jika barang habis dibeli dengan cara hutang, sedangkan beberapa waktu kemudian ada pembeli yang dapat membelinya dengan lunas. Tetapi, mau gimana lagi. Barang sudah habis. “Mungkin belum rezeki”. Hanya kalimat itu yang dapat membahagiakan diri penjual sendiri. Bahagia karena harus ikhlas.
Mereka tidak sadar bahwa penjual warung kecil tidak mencetak uang sendiri. Penjual warung kecil juga harus berusaha untuk menyambung hidup bersama keluarga. Warung kecil inilah sebagai usaha penjual dalam mencari nafkah. Jangan pikir hanya pembeli penghutang yang boleh memenuhi kebutuhan di saat penjual justru susah payah makan karena tidak berani memakai uang modal warung kecil.
Tetapi, mau gimana lagi?
Penjual hanya memiliki uang modal tersebut. Penghasilannya justru dipinjam oleh tetangga—pembeli pengutang—tanpa tahu akan dikembalikan kapan. Uang yang digadang-gadang dapat memenuhi kebutuhan tidak ditangan penjual. Jangankan untuk membeli mainan anak, misalnya, tiap hari tidak kesusahan membeli bahan makan pun sudah sangat bersyukur. Modal penjual mandek ditangan pembeli penghutang yang marah ketika ditagih seakan-akan penjual sedang mengemis sesuatu yang bukan haknya.
Pembeli penghutang bisa saja sekali-kali makan enak saat sedang memiliki uang dengan beli apa pun di tempat lain tanpa hutang. Setelah memperhatikan para pembeli penghutang ini selama bertahun-tahun di depan mata kepala saya, mereka ternyata gengsi apabila berhutang di warung besar atau toko padahal usaha semacam ini bermodal lebih besar daripada warung kecil. Mereka juga tidak mungkin dengan wajah tidak bersalah datang ke swalayan, minimarket, apalagi supermarket tanpa membawa uang.
Ketegasan Penjual: Sebuah Kesimpulan
Jika melihat penjual warung kecil, keadaannya seakan sedang dikepung oleh dua penghancur sekaligus. Dua penghancur ini tidak lain ialah pedagang besar lain sebagai saingan dan pembeli penghutang sendiri yang seperti ingin menghabisi dan menamatkan usaha warung kecil secara perlahan. Ketegasan penjual menjadi solusi cukup efektif untuk membendung hal-hal buruk pembuat usaha kecil ini mengalami kemandekan. Pedagang harus memilah dan memilih kepada siapa saja hutang dapat diberikan. Pemberian hutang kepada orang yang susah mengembalikan harus dihindari. Sudah seharusnya penjual warung kecil juga memiliki tata cara penjualan sendiri dan jangan sampai memberikan hutang terlalu sukarela tanpa perhitungan matang.
Penulis, adalah mahasiswi S1 Antropologi Budaya di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Referensi:
[1] https://web.facebook.com/photo.php?fbid=501970050269626&set=a.118377348628900&type=3&theater
[2] Supardi, S., Jamal, S., dan Herman, M. J. (2000). Peran Warung dalam Penyediaan Obat dan Obat Tradisional untuk Pengobatan Sendiri di Kecamatan Tanjungbintang, Lampung Selatan. Bul.Penelit.Kesehat, 27(2), 254-261.
[3] Dara, U. D. (2018). Hutang Piutang di Kalangan Buruh Perempuan di Desa Jetis, Kecamatan Jetis, Kabupatena Mojokerto. Surabaya: Universitas Airlangga.
Comments