top of page

Belanja Online: Dilema antara Kebutuhan dan Kecanduan

Writer's picture: Nur Hafifah KhusmawatiNur Hafifah Khusmawati

Oleh: Nur Hafifah Khusmawati


Pada masa ini, masyarakat lebih banyak berbelanja secara online. Fenomena tersebut terjadi bukan semata-mata karena platform dan sellers toko online gencar meng-iklankan diri mereka di media, namun karena mereka juga menawarkan berbagai buyers benefit yang tidak kalah kompetitif. Dalam konteks tersebut, belanja online yang pada dasarnya merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan, kemudian bertransformasi menjadi rasa kecanduan dalam berkedok sebagai pemenuhan kebutuhaan. Persoalan tersebut membuat buyers tidak mampu mengidentifikasi antara kebutuhan dan nafsu mereka. Sasaran empuk dari persoalan tersebut merupakan kaum hawa, terlepas dari persepsi bahwa mereka tidak bisa dilepaskan dari rutinitas berbelanja.


https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/jenis-kecanduan-aneh/
Ilustrasi fenomena maraknya penggunaan oline shop di masyarakat.

Unsur Adiktif dalam Belanja Online

Bukan persoalan sulit ketika kita diharuskan untuk menyebutkan alasan kenapa kini orang-orang lebih memilih belanja online untuk menggencarkan rutinitas belanja mereka. Pasti alasannya tidak jauh-jauh dari ‘harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari toko konvensional’ atau ‘kemudahan untuk mengakses barang dari seller yang jauh dari jangkauan’.


Namun, segala kemudahan tadi tidak akan berhenti di situ jika kita memilih untuk menggunakan jasa platform belanja online. Karena dengan platform-plaform tersebut, kita tidak akan awam lagi dengan yang namanya diskon, promo dan cashback, yang juga diklaim sebagai loyalitas mereka kepada kita yang notabene merupakan user setia aplikasi mereka. Strategi yang cenderung memanjakan tersebut, secara tidak sadar telah membuat kita kecanduan untuk terus berbelanja, sekalipun itu merupakan barang yang tidak kita butuhkan sama sekali.


Saya telah malang-melintang dalam platform-platform belanja online seperti Shopee, Lazada dan Buka Lapak sejak saya masih duduk di bangku SMA. Oleh karena itu, saya menjadi cukup tahu bahwa display dan kepraktisan dari suatu paltform akan banyak berdampak pada motivasi berbelanja para buyer. Dengan display yang eye-catching dan rapi, buyers dibuat tidak sadar jika mereka telah men-scroll laman aplikasi selama berjam-jam dan keranjang mereka juga sudah penuh dengan barang-barang yang terasa terus menuntut untuk segera dibeli. Membahas mengenai kepraktisan, saya rasa kita tidak akan jauh-jauh dari urusan bayar-membayar. Kini, calon buyers yang tidak memiliki akun bank dapat dengan mudah melakukan pembayaran melalui beberapa mini-market yang telah menjalin kerja sama dengan paltform-platform tadi. Bahkan pembayaran juga dapat dilakukan secara kredit (tanpa bunga) dengan tenggat waktu pembayarannya juga cukup panjang.


Dibalik segala tawaran menggiurkan tersebut, masih banyak buyers yang mengeluhkan ongkos kirim barang yang cukup mahal serta estimasi pengiriman yang sering kali kurang tepat waktu. Menanggapi keluhan tersebut, salah satu paltform toko online dengan berani menawarkan fitur gratis ongkir dan fitur asuransi jika proses pengiriman barang membutuhkan waktu pengiriman yang sedikit lebih lama.


Setelah melewati seluruh penjelasan panjang tersebut, bukan hal yang mengherankan jika rutinitas belanja online disebut-sebut memiliki unsur adiktif yang bertransformasi dalam berbagai fitur dan kemudahan di atas. Unsur adiktif tersebut mejadikan buyers kecaduan dan menjadikan belanja online sebagai sarana untuk memperoleh kepuasan dan kesenangan ketika mereka telah membeli apa yang mereka inginkan.


Online Shop: Masih Lapaknya Kaum Hawa?

Pertama, saya akan menjawab pertanyaan dalam judul tersebut dengan ‘a big yes!’, mengapa? Wanita lekat dengan persepsi bahwa mereka merupakan kaum yang menyenangi kegiatan berbelanja, kemudian persepsi tersebut juga sampai pada online shop yang didominasi oleh barang-barang wanita.


Satu hal yang lebih realistis dari persepsi-persepsi tersebut, yakni fakta bahwa mode fashion dan riasan wanita selalu bergerak dinamis mengikuti arus dan gaya yang tengah menjadi trend. Hal tersebut membuat para sellers dan platform-platform belanja online berlomba-lomba untuk menyediakan barang-barang yang tengah nge-trend tersebut. Untuk mengikuti trend tersebut, banyak wanita yang melakukan pembelian bukan karena kebutuhan, namun karena mereka hanya sekedar ‘latah’ dan untuk memenuhi hawa nafsu mereka.


Di Shopee (salah satu platform belanja online yang sedang naik daun) buyers dikenalkan dengan istilah-istilah seperti womens day atau mens day. Saat periode womens day berlangsung, maka Shopee akan dipenuhi dengan diskon dan promo untuk segala barang kebutuhan wanita, bahkan saat baby and children days, saya masih bisa menemukan banyak barang yang dapat dikategorikan sebagai kebutuhan wanita. Namun, saya rasa tidak ada perbedaan yang signifikan pada saat womens day diberlakukan jika dibandingkan dengan regular shopping days. Karena barang yang ditawarkan di flash sale dan barang yang bertengger di top search selalu didominasi dengan yang namanya kebutuhan wanita.


Shopee juga melakukan strategi pengiklanan yang menurut saya cukup cerdas, dimana mereka merekrut sejumlah selebriti papan atas untuk menjadi Brand Ambassador. Dalam iklan-iklan tersebut, saya melihat jika Shopee menempatkan diri mereka sebagai platform yang dapat memenuhi segala hasrat dan kebutuhan wanita lewat iming-iming program gratis ongkos kirim.


Kecanduan Belanja Online dan Gaya Hidup Konsumtif

Kegiatan belanja online dapat membawa seseorang pada gaya hidup konsumtif karena lambat laun kegiatan tersebut akan dilakukan secara terus menerus, berkelanjutan, dan pada akhirnya menjadi kecanduan (Fitria, 2015, p. 118). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa perubahan gaya hidup (menjadi konsumtif) merupakan output dari konsumsi berlebihan dari barang atau jasa dari online shop.


Pada sub-judul sebelumnya, sudah dibahas jika mode fashion dan riasan bergerak dengan sangat dinamis. Yang mana fenomena tersebut membuat sebagian orang terdorong untuk terus mengikuti dinamika tersebut karena kini mereka ditunjang oleh berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh platform-platform online shop.


Pemberian diskon, promo dan cashback juga banyak berpengaruh pada munculnya gaya hidup konsumtif. Cashback merupakan salah satu yang paling berpengaruh, mengapa? Cashback adalah sejumlah poin yang akan diterima oleh buyers setelah mereka menyelesaikan seluruh transaksi jual beli lewat platform belanja online. Nah, poin tersebut dapat berguna untuk meringankan pembayaran pada pembelanjaan yang selanjutnya. Pihak platform tidak akan semudah itu untuk memberikan keuntungan bagi para buyers. Karena cashback tersebut tidak akan bisa dicairkan menjadi uang tunai atau di pindah ke akun bank si buyers. Cashback tersebut juga akan hangus jika selama beberapa bulan tidak digunakan sama sekali. Oleh karena itu, banyak buyers yang mengalami kecanduan belanja semata-mata karena mereka tidak ingin cashback yang ada di akun mereka hangus sia-sia atau sekedar untuk memperoleh cashback tersebut.


Sering kali, sellers di platform belanja online juga menawarkan harga yang jauh di bawah harga pasar serta dirasa kurang masuk akal. Ketika diadakan flash sale terdapat sejumlah barang yang bahkan mempu menyentuh harga Rp 99. Dan dari dari hasil pengamatan saya, barang-barang dengan harga super rendah tersebut, bukan merupakan kebutuhan yang akan benar-benar terpakai dan berguna bagi buyers dan malah cenderung saya lihat sebagai barang-barang yang telah lama mengendap di gudang seller. Dalam konteks ini, harga sangat berpengaruh dengan peluang buyers untuk berperilaku konsumtif, mengapa? Platform-paltform tersebut mencatat bahwa ribuan barang flash sale mereka dapat terjual dalam hitungan detik saja, bahkan barang-barang yang dapat dikategorikan jauh dari daily necessity sekalipun.


Terdapat satu faktor lagi yang mendorong seseorang untuk mengkonsumsi barang dan jasa dari online shop secara konsumtif, yakni pengiriman barang. Mengapa bisa? Saya kurang tahu jika perasaan semacam ini juga hanya diapat dirasakan juga oleh orang lain, yang pasti menunggu barang belanjaan dari sampai ke tangan kita telah memberikan suatu sensasi yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Walaupun terkadang buyers dibuat kesal karena barang belanjaan yang tak kunjung sampai, namun pada akhirnya buyers akan merasa sangat puas dan (sedikit) bangga ketika ia pada akhirnya menerima barang belanjaan yang di order dari tempat yang tidak dapat dikatakan dekat dengannya. Nah, berdasarkan pengalaman beberapa orang, perasaan ketika menunggu datangnya barang order-an serta rasa puas setelah barang tersebut datang telah mebuat seseorang menimbulkan rasa candu untuk berkali-kali mengalami proses tersebut. Jadi, mau tidak mau mereka harus rajin-rajin melakukan pembelian barang walaupun mereka sedang dalam kondisi keuangan yang tidak terlalu baik.


Kepuasan Konsumen: Profit untuk Sellers dan Platform Toko Online

Kepuasan konsumen (buyers) merupakan detail yang sangat diperhatikan oleh para sellers dan platform-platform online shop. Karena mau tidak mau, hal tersebut merupakan salah satu sumber profit terbesar bagi mereka. Dapat dikatakan jika kepuasan konsumen merupakan kunci kesuksesan mereka. Misalnya dalam konteks platform belanja online, dimana kepuasan konsumen akan membawa efek positif terhadap kepercayaan platform mereka. Kepuasan konsumen juga akan menghasilkan kepercayaan terhadap platform mereka. Dikutip dari Fullerton (2003) Morgan and Hunt (1999) bahwa “kombinasi dari kepuasan dan kepercayaan merupakan kondisi yang memfasilitasi terbentuknya hubungan jangka panjang dengan pelanggan yang bercirikan sebuah komitmen.”


Lantas, dari mana kepuasan konsumen dapat diperoleh? Janda et al. (2002) dan Szymanski and Hise (2000) mengemukakan bahwa, “kualitas informasi adalah faktor penting dari kepuasan konsumen dalam belanja online.”. Oleh karena itu, kini platform-platform belanja online tengah berlomba-lomba untuk menyediakan customers service yang kapanpun dan dimanapun siap untuk menyampaikan segala informasi yang dibutuhkan konsumen. Walaupun profit yang diperoleh berkat kepuasan konsumen sudah cukup besar, namun sellers dan platform belanja online kini sudah mulai berusaha untuk mendapatkan profit yang lebih besar lagi dengan menjalin media partner dengan platform-platform online lainnya.


Jadi, memberikan diskon, promo dan cashback besar-besaran, tidak berarti telah membuat platform-platform ini merugi.. Masyarakat kita masih sering terkecoh dengan platform-platform yang memperkenalkan diri mereka sekedar perantara antara sellers dan buyers tanpa ada niatan untuk memperoleh profit. Padahal, jika kita telisik kembali, bahasan mengenai profit mereka bukanlah hal yang dapat bebas dibagikan dengan publik. Oleh karena itu, sesekali anda boleh merasa bangga karena anda telah menjadi bagian dari kesuksesan platform-platform tersebut dan berhentilah untuk terus-terusan merasa bersalah karena anda kerap menggunakan diskon, promo atau cashback saat berbelanja melalui toko online. Karena pada dasarnya, masih banyak sumber profit yang belum ter-publikasikan yang tentu nominalnya jauh lebih besar dari segelintir keuntungan yang telah anda peroleh hingga saat ini.


Berbagai bentuk online shop yang semakin marak di masyarakat telah membawa perubahan di berbagai sektor hidup masyarakat. Fenomena tersebut merupakan hasil dari segala kemudahan dalam mengakses media yang menawarkan produk-produk yang diperjual-belikan secara online. Kecanduan dan ketidakmampuan untuk membedakan antara kebutuhan dan hasrat merupakan salah satu dampak negatif dari kemunculan fenomena tersebut. Mengubah pola pikir merupakan hal mendasar yang perlu dilakukan untuk menghindari atau meminimalisir segelintir dampak negatif dari kegiatan berbelanja di online shop. Dan yang pasti, kita membutuhkan pengendalian diri yang kuat juga agar kita dapat mengurangi frekuensi untuk berbelanja melalui online shop.


Kita juga dapat menerapkan pemikiran bahwa berbelanja di toko konvensional bukan merupakan hal yan buruk dan kuno. Toko konvensional dapat kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang kecil kemungkinan tetap akan kita beli dari online shop. Walaupun harga yang ditawarkan oleh toko kovensional terkadang lebih tinggi dari harga di online shop, namun setidaknya buyers memiliki kesempatan untuk melihat dan mencoba barang yang akan mereka beli dan tidak perlu menguras kesabaran dan waktu untuk menunggu datangnya barang pesanan.


Referensi

Daftar Pustaka

Fitria, E. M. (2015). Dampak online shop di instagram dalam perubahan gaya hidup konsumtif perempuan shopaholic di Samarinda. Ejournal Ilmu Komunikasi Universitas Mulawarman3, 117-128.

Ishak, A. (2012). Analisis Kepuasan Pelanggan dalam Belanja Online: Sebuah Studi Tentang Penyebab (Antecedents) dan Konsekuensi (Consequents). Jurnal Siasa Bisnis16(2).

Noviana, I. (2016). ANALISIS MARAKNYA ONLINE SHOP TERHADAP PERUBAHAN GAYA HIDUP KONSUMTIF WANITA (Studi Kasus Pada Remaja Wanita di Desa Pancur Mayong Jepara) (Doctoral dissertation, STAIN kudus).

Nusarika, L. A. K., & Purnami, N. M. (2015). Pengaruh Persepsi Harga, Kepercayaan, dan Orientasi Belanja Terhadap Niat Beli Secara Online (Studi pada Produk Fashion Online di Kota Denpasar). Universitas Udayana. Bali.

Rahmayati, Y. (2016). BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM DENGAN TEKNIK MODELLING UNTUK MENGATASI ONLINE SHOP ADDICT: STUDI KASUS SEORANG WARGA KELURAHAN MAGERSARI DI SIDOARJO (Doctoral dissertation, UIN Sunan Ampel Surabaya).

 
 
 

コメント


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page