top of page

Benang Kusut Kemacetan di Yogyakarta

Rayhan Wildan Ramadhani


Tribun Jogja/ Bramasto Adhy

Layaknya kota besar lain yang ada di Indonesia, kemacetan juga merupakan masalah utama di Yogyakarta. Menurut survei yang dilakukan oleh INRIX Research, pada tahun 2017 Yogyakarta menduduki posisi 60 sebagai kota termacet di dunia dan 4 besar di Indonesia setelah Jakarta, Bandung, dan Malang. Berdasarkan data Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, disebutkan bahwa hingga tahun 2015, jumlah kendaraan bermotor yang tercatat di wilayah DIY berjumlah 2,2 juta unit. Bahkan untuk tahun tahun 2016 saja tercatat ada 84.312 kendaraan bermotor baru di Yogyakarta (“Tahun 2016 Tercatat Ada 84 Ribu Kendaran Baru di Yogyakarta”, 2016).


Di sisi lain, kapasitas kota Jogja dianggap sudah tidak mampu lagi untuk menampung jumlah kendaraan yang tiap tahun terus meningkat, akibatnya terjadi pergeseran pembangunan yang semakin meluas ke daerah penyangga kota (“Kapasitas Kota Yogya ‘Overload’”, 2018). Fenomena yang dapat disebut sebagai urban sprawl tersebut juga berdampak langsung pada titik kemacetan yang semakin meluas. Akibatnya, kemacetan yang terjadi karena meningkatnya kepadatan volume kendaraan menjadi fenomena yang harus diakrabi oleh warga provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang hendak menuju atau keluar dari kota Yogyakarta, terutama ketika jam berangkat dan pulang kerja.


Dalam esai pendek ini, saya akan berusaha untuk membahas mengenai dua faktor yang dianggap sebagai penyebab kemacetan di Jogja. Kedua faktor tersebut yakni buruknya kondisi transportasi publik yang ada di Jogja dan semakin mudahnya proses kredit kendaraan bermotor. Kedua masalah tersebut secara berkelindan menambah rumitnya penyelesaian fenomena kemacetan di Jogja.


Buruknya kondisi transportasi publik


Sebelum bermigrasi ke Jogja, saya mempertimbangkan beberapa hal di antaranya adalah urgensi untuk membawa kendaraan pribadi. Kondisi tarnsportasi publik yang ada di Jogja memang sangat berkebalikan dengan kondisi yang ada di kampung halaman saya, Jakarta. Memang, di Jakarta juga terjadi kemacetan yang bahkan lebih parah, namun Jakarta juga memiliki sistem transportasi publik yang terintegrasi seperti TransJakarta dan kereta rel listrik (KRL) Commuter Line. Selain itu, KOPAJA, Metromini, mikrolet hingga angkot pun masih eksis sehingga tersedia banyak pilihan untuk melakukan mobiltas di sana.


Kondisi di atas tidak saya temukan di Jogja, di mana mobilitas seseorang akan sangat terbatas jika hanya bergantung pada ketersediaan transportasi publik. Sehingga, memiliki kendaraan pribadi seperti sebuah keharusan untuk memudahkan kita dalam melakukan mobilitas. Pada saat saya tiba di Jogja, saya cukup jarang melihat adanya angkutan transportasi publik terutama Trans Jogja. Dan seandainya bertemu, saya akan berusaha untuk menghindar akibat kesal dengan banyaknya supir Trans Jogja yang mengendarai armadanya secara ugal-ugalan serta pekatnya asap knalpot yang dikeluarkan.


Sebagai daerah yang dikenal memiliki banyak potensi wisata, Jogja seharusnya memiliki sarana transportasi publik yang baik agar mampu mengakomodasi para wisatawan ketika berkeliling Jogja. Tercatat ada 355,313 wisatawan mancanegara dan 4,194,261 wisatawan domestik yang mengunjungi Jogja pada tahun 2016 (Dinas Pariwisata DIY, 2017). Sayangnya, pemerintah provinsi DIY belum mampu untuk menyediakan transportasi publik yang terintegrasi sehingga para wisatawan baik lokal maupun internasional kerap menyewa kendaraan roda dua maupun roda empat ketika berlibur di Jogja. Hal tersebut di sisi lain membawa keuntungan bagi warga Jogja untuk membuka lahan bisnis baru berupa rental kendaraan. Namun juga membawa dampak negatif yakni antrian panjang kendaraan di beberapa lokasi wisata seperti Malioboro, pantai – pantai di wilayah Gunungkidul dan Jalan Kaliurang, terutama saat puncak liburan.


Selain itu, sebagai provinsi yang memiliki sekitar 128 perguruan tinggi, Jogja juga menjadi daerah tujuan utama untuk melanjutkan pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya 98,782 orang yang melakukan migrasi risen ke 4 kabupaten dan 1 kota yang ada di wilayah DIY pada tahun 2015 (BPS, 2016). Angka tersebut hanya sebagian dari total 286,231 orang yang pindah ke DIY dengan berbagai alasan. Jika mencermati tren penduduk yang masuk ke Jogja baik itu hanya untuk berlibur maupun untuk menetap maka akan terlihat tren peningkatan kepadatan. Sampai titik ini, kehadiran transportasi umum jelas sangat diperlukan untuk menunjang mobilitas dari satu tempat ke tempat lain.


Munculnya Trans Jogja pada tahun 2008 awalnya merupakan harapan bagi terciptanya transportasi publik yang terintegrasi. Trans Jogja merupakan wujud penerapan program bus rapid transit yang dicetuskan oleh Pemerintah Provinsi DIY melalui dinas perhubungan. Dalam penyelenggaraannya, Trans Jogja dikelola oleh PT. Jogja Tugu Trans (JTT) sebagai wujud konsorsium empat koperasi transportasi angkutan lokal yakni Koperasi Pemuda Sleman, Aspada, Kopata, Puskopkar, dan Perum DAMRI (Ferdian JR, 2017). Hingga saat ini, TransJogja sudah memiliki 17 trayek dan total 129 armada bus serta didukung dengan 267 yang memiliki kota Jogja dan sekitarnya.


Akan tetapi, kemunculan Trans Jogja tidak serta merta membawa angin segar bagi kondisi tranportasi publik di Jogja. Beragam masalah muncul mengiringi upaya Trans Jogja untuk menjadi pilihan utama transportasi warga. Masalah pertama adalah masih lamanya waktu yang harus dihabiskan calon penumpang ketika menunggu datangnya armada. Trans Jogja yang digadang-gadang sebagai solusi kemacetan belum bisa memenuhi harapan warga terkait ketepatan waktu.


Masalah kedua adalah cara berkendara supir Trans Jogja yang dianggap tidak mengindahkan keselamatan penumpang. Dalam sebuah kegiatan dengar pendapat Pansus Pengawasan Trans Jogja di DPRD DIY, Senin 6 Februari 2017, sebagian besar perwakilan masyarakat mengeluhkan sikap supir yang tergesa – gesa ketika berkendara (“Sopir Trans Jogja Sering Ngebut, Ternyata karena...”, 2017). Masalah ketiga yang juga tak kalah penting adalah terkait halte portabel. Dinas Perhubungan (Dishub) DIY mencermati halte-halte Trans Jogja yang permanen maupun portabel belum ramah bagi penyandang disabilitas atau difabel. Untuk itu, guna mengakomodasi dan melayani penumpang difabel tersebut, Sigit Sapto Rahardjo, kepala Dishub DIY, mengatakan bahwa pihaknya tengah menyiapkan 10 halte bus Trans Jogja ramah difabel pada tahun 2018 ini (“Enam Sopir Trans Jogja Dimutasi”, 2018).


Sebenarnya, Trans Jogja bukanlah model transportasi publik pertama yang ada di Jogja. Dahulu, di Jogja terdapat banyak angkutan umum yang melayani masyarakat. Darmaningtyas (2017) menyebutkan bahwa pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an adalah puncak perkembangan angkutan umum di Kota Yogyakarta. Selain ada bus kota Kopata, ada Kubotri (L300), Aspada, Damri, Koperasi Pemuda, dan bus sedang warna putih, serta Angkudes. Saat itu, kondisi transportasi publik di Jogja sangat bergairah. Namun, beberapa masalah terutama yang berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan menyebabkan para penumpang mulai meninggalkan bus kota. Selain itu, DP untuk membeli kendaraan yang semakin murah juga dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan semakin meredupnya eksistensi bus kota ini.


Proses kredit kendaraan semakin mudah


Ketika pemerintah belum mampu menyediakan sarana transportasi publik yang memadai, perusahaan otomotif turut berperan dalam menambah kompleksitas permasalahan. Dengan kekuatan modal besar dan dibekali jargon – jargon yang bertujuan untuk menarik perhatian calon pembeli, raksasa otomotif besar masuk ke Indonesia untuk mengeruk keuntungan. Mereka hadir seolah sebagai solusi bagi masyarakat agar terhindar dari macet. Faktanya, peningkatan jumlah kendaraan khususnya roda dua yang sangat masiflah yang membuat penumpukan kendaraan semakin sulit untuk diurai. Namun, harus dimengerti bahwa akan sangat sulit mengharapkan masyarakat untuk menggunakan transportasi publik ketika kondisinya jauh dari kata ideal.


Memiliki kendaraan pribadi pada akhirnya menjadi alternatif pilihan yang dianggap tepat. Apalagi kini proses pembelian kendaraan bermotor semakin murah. Untuk kendaraan roda dua, hanya dengan membayar down payment (DP) Rp500.000 seseorang sudah dapat membawa pulang motor baru. Selain itu, berkembang wacana bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mengeluarkan aturan terkait uang muka atau down payment kendaraan bermotor. Dengan aturan itu, nantinya perusahaan pembiayaan atau leasing bisa memberlakukan DP 0% untuk nasabah yang akan mengambil kredit (“Kredit Mobil dan Motor Dp 0%, Jalanan Bakal Tambah Macet”, 2018).


Belum lagi dengan semakin gencarnya iklan mobil low cost greeen car (LCGC) yang dikonstruk pasar sebagai “mobil murah”. Kedua hal tersebut memiliki pengaruh langsung terhadap penambahan volume kendaraan di jalan. Di Jogja, setiap tahunnya rata – rata terdapat penambahan jumlah kendaraan bermotor sejumlah 2.500 hingga 3.000 unit. Sayangnya, kondisi tersebut tidak diiringi dengan perbaikan moda transportasi publik yang bisa dibilang jalan di tempat.


Kerja sama berbagai pihak


Fenomena kemacetan yang terjadi di Jogja jelas bukan menjadi urusan pemerintah semata. Banyak pihak yang turut berperan dalam benang kusut ini. Pada bagian penutup ini, saya akan mencoba untuk memberikan saran dan langkah penyelesaian untuk masing - masing pihak yang terlibat.


Sebagai penyelenggara pemerintahan, pemprov DIY harus merumuskan sebuah regulasi yang mengatur secara tegas dan jelas terkait jumlah kendaraan bermotor pribadi. Regulasi tersebut jelas sangat diperlukan untuk mendapatkan kondisi yang proporsional antara jumlah kendaraan yang berlalu lalang dengan ketersediaan volume jalan. Akan tetapi, saya skeptis jika pemprov DIY akan berani untuk melakukan pembatasan ini karena pajak kendaraan bermotor adalah lumbung bagi pendapatan daerah. Dari data laporan realiasi anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2015, target pajak kendaraan bermotor pada 2015 adalah Rp 511 miliar dengan realisasi Rp 580,2 miliar. Sementara itu, dari bea balik nama kendaraan bermotor targetnya 448,9 miliar dengan realisasi Rp 411,9 miliar (“Kendaraan Bermotor Sumbang PAD DIY Sebesar Rp 1,2 Triliun”, 2016).


Selanjutnya, bersamaan dengan proses perumusan regulasi yang mengatur pembatasan kendaraan motor tersebut, pemprov DIY melalui dinas perhubungan harus sudah menyediakan alternatif pilihan transportasi bagi masyarakat. Penambahan armada Trans Jogja jelas sangat diperlukan untuk memfasilitasi para pengendara kendaraan pribadi yang beralih mengunakan transportasi publik. Jika jumlah transportasi publik yang ada tidak dapat mencukupi jumlah calon penumpang, maka pembatasan hanya akan menjadi omong kosong.


Terakhir dan yang paling penting adalah kampanye untuk mendidik masyarakat agar menggunakan transportasi publik. Dalam tataran gagasan memang terlihat mudah, namun akan sangat sulit ketika diterapkan. Yang menjadi tantangan terbesar adalah mengubah cara pandang masyarakat tentang transportasi publik yang selama ini kerap diasosiasikan dengan kondisi yang kurang nyaman dan harus berdesak-desakan. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika upaya pembiasaan ini difokuskan pada anak – anak. Peran lembaga pendidikan sangat diperlukan di sini untuk mengenalkan apa dan bagaimana posisi dari transportasi publik itu dalam kehidupan masyarakat kepada para murid. Dengan begitu, mereka akan terbiasa untuk menggunakan transportasi publik sebagai penunjang mobilitasnya.


Referensi


Kredit Mobil dan Motor Dp 0%, Jalanan Bakal Tambah Macet. (2018, August). DetikFinance. Retrieved from https://finance.detik.com/moneter/d-4178793/kredit-mobil-dan-motor-dp-0-jalanan-bakal-tambah-macet/

Kapaitas Kota Yogya ‘Overload’. (2018, February 27). Kedaulatan Rakyat, p. 7

Tahun 2016 Tercatat Ada 84 Ribu Kendaran Baru di Yogyakarta. (2016, October).Tribun News. Retrieved from http://jogja.tribunnews.com/2016/10/03/tahun-2016-tercatat-ada-84-ribu-kendaran-baru-di-yogyakarta/

Kendaraan Bermotor Sumbang PAD DIY Sebesar Rp 1,2 Triliun. (2016, October). Tribun News. Retrieved from http://jogja.tribunnews.com/2016/10/03/kendaraan-bermotor-sumbang-pad-diy-sebesar-rp-12-triliun/

Enam Sopir Trans Jogja Dimutasi. (2018, March). Kedaulatan Rakyat. Retrieved from http://krjogja.com/web/news/read/61696/Enam_Sopir_Trans_Jogja_Dimutasi/

Menghidupkan Lagi Angkutan Umum di Yogya. (2017, September). Kedaulatan Rakyat. Retrieved from http://krjogja.com/web/news/read/43882/Menghidupkan_Lagi_Angkutan_Umum_di_Yogya/

Comentarios


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page