Berpakaian: Manipulasi Pakaian
- Majesti Amina
- Dec 28, 2018
- 8 min read
Pakaian apa yang kalian kenakan hari ini? Sebagai manusia modern, berpakaian menjadi suatu pilihan yang ditawarkan setiap hari sebelum kita beraktifitas atau berkegiatan keluar rumah. Kadang bagi banyak perempuan mematut baju apa yang akan dikenakan hari ini di depan lemari bisa menjadi keputusan yang sangat penting. Salah berpakaian saja kadang bisa membuat kita kehilangan mood berkegiatan hari itu, berbeda kalau kita menggunakan pakaian kesukaan kita hari itu bisa mebuat kita semakin percaya diri.
Bagi beberapa orang berpakaian tidaklah begitu penting, hanya menjadi hal-hal minor dalam kehidupan, namun bagi sebagaianya berpakaian menjadi salah satu perhatian utamanya dan mereka rela menyisihkan sebagian besar uangnya untuk pakaian. Menurut saya perpakaian adalah bagaimana seseorang ingin menampilkan citra dirinya di publik, ada orang yang acuh tak acuh dengan citra dirinya dan ada yang sangat mementingkan pencitraan dirinya.
Di tulisan ini saya akan membahas tentang pakaian dari berbagai sudut pandang, khususnya antropologi. Menurut saya pilihan berpakaian memliki kaitan dengan identitas, sementara identitas dapat terbentuk oleh pengaruh budaya. Oleh karena itu berpakaian menurut saya adalah pilihan budaya setiap orang, kalian bisa bergaya hip-hop, hipster, vintage, minimalis atau berbagai aliran gaya lainya sesuai pilihan dan pengaruh budaya dominan yang terpapar dikehidupan individu. Hal ini menarik untuk dibahas lebih lanjut terkait berpakaian adalah cerminan identitas, kita bisa sedikit banyak membaca karakter dan identitas seseorang dari cara berpakaianya.
Pengertian Pakaian
Menurut Widya Syafreni Novi (2017) Pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok, yang berfungsi untuk melindungi tubuh manusia. Melalui pakaian dapat dilihat bagaimana manusia mengekspresikan tentang cara hidupnya, karena pakaian adalah hal yang penting untuk menunjang penampilan. Pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan, karena dengan pakaian manusia dapat memiliki kepercayaan diri di hadapan manusia lainnya. Lebih dari itu, pakaian adalah cermin dari identitas, status hierarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius (Nordholt, 2005).
Menurut Syarief Husyein (2015) budaya pakaian adalah salah satu ciri peradaban manusia sebagai makhluk terhormat. Pakaian sebagai busana akan selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tradisi yang ada. Ia selalu mengalami daur ulang, bertransformasi, dan variatif mengikuti zamannya. Dengan begitu dari pakaian yang dikenakan sering kali dapat diketahui identitas diri pemakainya. Oleh karena itu, masalah pakaian adalah masalah kemanusian terkait harkat dan martabat manusia.
Antropologi Pakaian
Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia dalam skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, Simbol adalah sesuatu yang perlu dipelajari, ditangkap, dan ditafsirkan maknanya. Simbol ditemukan pada setiap ruang lingkup kehidupan dengan beraneka ragam makna (Yunita,2017).
Selama hidup manusia membutuhkan bermacam-macam kebutuhan, seperti: makanan, pakaian perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Kebutuhan juga dipengaruhi oleh kebudayaan, lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan suatu masyarakat, semakin tinggi atau banyak pula macam kebutuhan yang harus dipenuhi, termasuk kebutuhan akan pakaian (Novi,2017).
Novi (2017) mengatakan bahwa kebutuhannya akan berpakaian, lebih ditekankan pada jenis kebutuhan sosio-budaya. Karena setiap orang hidup di lingkungan sosial dan budaya, dimana mereka saling berinteraksi satu sama lain. Salah satunya adalah dengan pakaian, dengan pakaian mereka dapat memenuhi kebutuhan sosial dan budaya mereka. Pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita memilih pakaian, baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefenisikan dan mendeskripsikan diri sendiri (Laurie dalam Nordholt, 2005:1). Karena pakaian membantu tubuh-tubuh individual kita menyatakan keberadaan sosialnya dan siapa diri kita. Dengan memperhatikan arti penting berpakaian sebagai suatu ekspresi dari identitas sosial, asal usul, komitmen, dan kesetiaan individu, tidaklah mengherankan bahwa orang-orang seharusnya memandang pakaian hamper seperti perpanjangan diri mereka sendiri. Singkatnya, sekarang dapat kita mengerti mengapa hubungan seseorang dengan pakaiannya bersifat langsung dan lebih akrab daripada hubungannya dengan semua objek materi yang lain (Nordholt, 2005:4).
Pakaian tidak hanya untuk mengenali identitas individu seseorang saja tetapi pakaian juga menjadi identifikasi untuk mengenali sebuah group atau komunitas dari mana orang itu berasal. Misalnya orang minang identik dengan baju kurungnya, orang jawa identik dengan kembennya, dan komunitas anak punk identik dengan celana jins ketatnya. Perubahan (transition) budaya yang dialami seseorang juga dapat mempengaruhinya dalam perubahan fashion. Seperti yang dialami oleh para remaja ketika masuk ke perguruan tinggi sebagai mahasiswa, dimana dalam memilih gaya berpakaian mereka akan terpengaruh oleh teman-teman dan lingkungan mereka. Pakaian erat kaitannya dengan kebudayaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Morris (dalam Rizky, 2012:5) bahwa pakaian juga mampu menampilkan peran sebagai pajangan budaya (cultural display), karna mampu mengkomunikasikan afiliasi budaya. Pakaian menunjukkan identitas budaya si pemakainya (Novi,2017).
Novi (2017) mengutip J.J Honigmann dalam Koentjaraningrat (2009:150) bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu, pertama: wujud ideal dari kebudayaan yang bersifat abstrak yang berupa ide-ide, gagasan, nilai, peraturan, norma, dan sebagainya yang memberi jiwa kepada masyarakatnya yang disebut dengan sistem budaya atau adat istiadatnya. kedua: adalah serangkaian aktifitas manusia dalam suatu masyarakat menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan disebut dengan sistem sosial, dan ketiga: berupa hasil karya manusia yang disebut dengan kebudayaan fisik. Salah satu dari hasil kebudayaan ini adalah pakaian. Pakaian sebagai hasil dari budaya yang mencerminkan kepribadian masyarakat. Adanya slogan yang mengatakan bahwa “You are what you wear” menyebabkan terciptanya stereotip dalam pakaian yang menjadikannya sebuah simbol tertentu (Aniesatun dalam Schlehe dan Kutanegara, 2006:181).
Marshall Sahlins (dalam Lury,1998:22) sudah melakukan pendekatan antropologis terhadap budaya materi, khususnya mengenai totemisme untuk mengembangkan sebuah analisis tentang konsumsi, “khususnya makanan dan pakaian”, dalam masyarakat Barat modern. Ia berargumen sebagai berikut: Masyarakat modern telah mengganti objek-objek alamiah dan spesies dengan objek-objek buatan pabrik. Dengan kata lain objek buatan pabrik berperan sebagai totem baru dunia modern; dan kelompok konsumen bagaikan suku-suku dalam masyarakat tradisional. Sahlins menunjuk contoh, bagaimana bagian-bagian pakaian dapat bertindak sebagai totem, mengkomunikasikan identitas sosial yang mencolok dan mengidentifikasikan berbagai ‘suku’. Dia memandang sistem pakaian kita bukan sekedar seperangkat objek materi untuk membuat pemakainya merasa hangat, tetapi sebagai kode simbolik yang digunakan pemakainya untuk mengkomunikasikan keanggotaan mereka dalam kelompok sosial. Jadi, pakaian yang menunjukkan perbedaan antara pria dan wanita atau antara kelas atas dan bawah juga menunjukkan suatu sifat berbeda yang dianggap ada di antara mereka. Pakaian mengkomunikasikan apa yang dianggap ‘kehalusan’ wanita dan ‘keperkasaan’ pria; apa yang dianggap ‘kesopanan’ kelas atas dan apa yang dianggap ‘kekasaran’ kelas bawah. Dengan demikian pakaian dapat dipandang mengkomunikasikan hak milik yang dianggap melekat dalam setiap kelompok dan menjadi dasar untuk membedakan mereka (Novi,2017).
Pakaian dari Kacamata Psikologi
Membahas pakaian tidak akan puas dari satu sudut pandang saja oleh karena itu mari kita lihat bagaiamana psikologi melihat fenomena berpakaian. Salah seorang teman bernama Nabila dari jurusan psikologi semester tujuh mau berbagai sudut pandangnya tentang pakaian dari kacamata psikologi. Menurut Nabila berpakaian adalah membentuk citra diri (self image). Bagaiaman seseorang mencitrakan dirinya bisa jadi dari pilihan warna yan gia gunakan dan gaya yang ia pilih hari itu. Citra ini bisa dipengaruhi perasaan atau mood seseorang, misalnya warna cerah untuk perasaan ceria dan gelap sebagai warna kalem.
Selain citra diri, berpakaian menurut Nabila adalah salah satu usaha yang dilakukan individu agar dapat diterima dilingkungan sosial. Menurut salah satu tokoh psikologi bernama Abraham Maslow, manusia punya kebutuhan dan dorongan untuk diterima dan dicintai. Untuk diterima individu berusaha memenuhi keinginan lingkungan sosial. Misalnya seseorang ingin diterima di lingkungan islami maka seseorang itu hendaknya mengikuti nilai-nilai yang ada di lingkungan itu dengan berpakaian islami.
Menurut Nabila pakaian juga bisa mencerminkan perilaku. Misalnya pada beberapa orang yang memiliki gangguan jiwa seperti orang-orang yang ingin eksis berlebihan, ini bisa menandakan bahwa ia tidak pernah diterima dan melakukan hal-hal diluar normal agar diakui dan diperhatikan. Sebagai contoh Nabila menjabarkan bahwa ada beberapa artis yang menderita gangguan histrionik (suka cari perhatian) saat ke acara red carpet mereka suka menggunakan pakaian yang tidak lazim, seperti terlalu terbuka karena ingin diperhatikan.
Kebalikan dengan orang yang ingin diperhatikan, ada juga orang yang terlalu tidak peduli dengan pandangan orang lain, ini salah satunya bisa diihat dari cara orang itu yang tidak memperhatikan penampilan. Orang yang tidak memperhatikan penampilan ini menurut Nabila bisa juga dikarenakan sumber lingkungan sosialnya yang tidak menekan ia untuk berpakaian tertentu. Disini kami membahas contoh menarik tentang penampilan anak Fakultas Ekonomi dan Bisnin dan anak Fakultas Ilmu Budaya. Kenapa anak FEB cendrung berkuliah rapi dengan batik, celana bahan, bersepatu atau berpakaian formal lainya? sementara anak FIB kebanyakan berkuliah dengan gaya santai seperti kaosan, jeans sobek dan sendal. Kami melihat bahwa anak FEB memiliki tuntutan lingkungan untuk berpakaian profesional, karena mereka berhadapan dengan dunia perkantoran yang profesional sehingga agar dapat diterima di lingkungan profesional itu mereka berpakaian sebagaimana nilai-nilai yang ada di lingkungan profesional. Berbeda dengan anak FIB, anak FIB tidak memiliki tuntutan lingkungan kantoran yang profesional layaknya anak FEB. Beberapa jurusan di FIB pun berlatar belakang kerja lapangan seperti antropologi, arkeologi dan sejarah, sehingga mereka berpakian sebagaimana lingkungan lapangan membentuk mereka.
Permainan Simbol Berpakaian Kalangan Menengah Bawah
Menurut Novi (2017) Dilihat dari tingkatan sosialnya, gaya berpakaian pada masyarakat golongan menengah ke bawah dan golongan menengah ke atas, memiliki gaya berbeda-beda pula. Masyarakat golongan menengah ke atas misalnya, gaya (fashion) merupakan sesuatu yang amat penting untuk mereka tonjolkan, dan untuk menunjukkan eksistensi mereka. Salah satunya adalah cara mereka dalam memilih pakaian yang akan mereka kenakan. Pakaian bermerek, berkualitas dan memiliki daya jual atau harga yang tinggi, merupakan kriteria mereka dalam memilih pakaian. Berbeda dengan masyarakat golongan menengah ke bawah, bukan berarti mereka tidak terlalu mementingkan gaya (fashion), namun penampilan atau tren berpakaian dengan barang-barang bermerek dengan harga tinggi bukanlah prioritas utama yang ingin ditujunya. Mereka masih membanding bandingkan harga sesuai dengan daya beli kemampuan mereka. Terkait dengan sikap demikian, Gerke (dalam Damsar,2005:184-185) menjelaskan bahwa tidak semua anggota kelas menengah mampu mengkonsumsi barang-barang simbolis kelas menengah secara nyata, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Oleh karena itu pada lapisan kelas menengah kebawah mereka mengkonsumsi barang-barang simbolis menengah secara simbolis pula dengan membeli barang-barang bermerek di pasar loak.
Berangkat dari hal tersebut, maka bagi masyarakat golongan menengah ke bawah juga mencari barang-barang yang dapat memberikan simbol bagi kelompok sosial mereka. Untuk itu, pakaian bekas impor dapat dikatakan merupakan barang simbolis yang dijadikan solusi bagi mereka yang ingin tetap tampil gaya (fashion) dengan merek terkenal namun harganya murah. Di sisi lain pakaian bekas impor adalah limbah global yang berasal dari negara-negara maju yang kemudian diekspor ke negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, untuk dijual kembali dengan harga murah (Novi,2017).
Kesimpulan
Dari nilai positif yang saya lihat, berpakaian bisa menjadi trik seseorang untuk meraih kelas sosial atau pergaulan tertentu.berbagai Item fashion adalah simbol dari berbagai kelas sosial atau pergaulan, kita bisa melekatkan item fashion ini sebagai trik untuk masuk atau tergabung dengan lingkungan sosial tertentu. Hal ini tentunya bermanfaat untuk pendekatan individu kepada berbagai kelompok target, disini saya melihat bahwa berpakaian pun bisa bersifat manipulatif dengan tujuan untuk meraih dan mendekati kelas sosial atau pergaulan tertentu.
Selain manipulatif dari pakaian tadi, kita juga bisa menggunakan pakaian untuk meningkatkan kepercayaan diri, memberi semacam booster berupa rasa aman, tenang dan lainya. misalnya saja seorang kristen yang menggunakan kalung salib, maka secara tidak langsung kalung yang berupa item fashion itu memberikan rasa harmoni dan ketenangan batin. Kalian pernah dengan gelang Balance? yang didaulat mampu menyeimbangkan emosi dan fisik. Beberapa meyakini fungsinya tapi beberpa meyakini bahwa gelang itu hanyalah kepercayaan alam bawah sadar saja, rasa dimana manusia lebih nyaman memiliki kepercayaan atau bergantung pada suatu hal.
Pada kesimpulanya berpakaian adalah bagian dari berbudaya, bagaiamana seseorang dibentuk oleh lingkungan budaya untuk merepresentasikan diri mereka dalam lingkungan sosial. berpakaianlah sebagaimana yang kamu senangi dan tidak lupa inti dari berpakaian adalah percaya diri, apapun pakaian yang digunakan asalkan penggunanya percaya diri maka kepribadian positif akan terpancar. J
Daftar Pustaka
Husyein, S. (2015). Antropologi jilboob: Politik identitas, life style, dan syari’ah. In Right:
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, 4(2), 317-340.
Novi, W. S. (2017). Mahasiswa dan pakaian bekas: Suatu kajian budaya konsumsi kalangan
mahasiswa pelanggan boutique second di kota bukittinggi. Thesis. Padang: Universitas Andalas.
Yunita, E. (2017). Pergeseran fungsi ear-ring sebagai aksesoris hijab di kalangan perempuan
Kota Lhokseumawe (Kajian antropologi budaya). Aceh Anthropological Journal, 1(1), 95-111.
https://lanangindonesia.com/read/fashion-sebagai-lini-budaya diakses tanggal 10 Desember 2018.
Foto: https://fashionista.com/.image/t_share/MTUzNTU4MTc2NzI0NDk0MDY1/best-new-york-fashion-week-street-style-fall-2018.jpg
Comments