top of page

Bersenang-senang di Kafe, Bersenang-senang di Kota

Updated: May 14, 2019

M. Don Lopulalan dan Priyanca Minerva C. S.

Asoka Coffee setelah Last Order.

Malam semakin malam, jenis lagu yang mengiring (pun menggiring) suasana kafe semakin beragam. Asoka Coffee, sebuah kafe yang terletak di daerah pemukiman Condongcatur, sekilas tidak tampak seperti kafe pada umumnya yang berada tepat di pinggir jalan umum, desain kios, dan bising jalan raya. Sebaliknya, tempat ini adalah hasil renovasi dari taman sebuah rumah (ya, tepat di belakang kafe adalah rumah sang pemilik), terletak di antara pemukiman warga, dan tidak langsung bertatap-muka dengan jalan umum.


Meskipun tampak seperti tempat yang ‘terpencil’, Asoka Coffee telah tergabung dalam suatu ikatan komunitas non-formal dengan tiga belas (13) kafe lain di daerah Condongcatur. Tempat seduh kopi yang akan berumur tujuh bulan pada tanggal 24 April nanti ini mengatur lingkar konsumen dengan cukup menarik. Ketika menulis ini, kami telah menjajaki bulan keempat menyerahkan kehidupan malam untuk mengerjakan tugas perkuliahan pada tempat ini. Bagi kami, alasannya sederhana yakni tempat ini menyediakan ketenangan dan lingkaran sosial kecil dengan suasana (hype) positif pada saat yang bersamaan. Alasan kami tersebut kurang-lebih sama dengan yang dialami oleh para pekerja (barista—sebutan untuk penyeduh kopi) tentang alasan untuk bertahan dan nyaman. Selain daripada materi (uang) dan pengetahuan tentang kopi, para barista merasa tempat ini menyediakan relasi sosial yang lebih cenderung terasa seperti pertemanan dibandingkan pekerjaan.


Pada tulisan kali ini, kami akan menyertakan catatan deskriptif dan analisa dari sudut pandang antropologi urban atau perkotaan. Bersamaan pula, kami memakai perspektif inklusif-ekslusif, third place (tempat ketiga), dan hubungan relasi sosial dengan kapital untuk menjelaskan proses sosial yang terjadi di Asoka Coffee sebagai salah satu tempat di daerah urban.


Relasi yang Tak Terduga

“Lagi pada ngapain, nih?” ujar Adi (18), barista di Asoka Coffee, kepada kami yang sedang mengerjakan tugas perkuliahan. Kami merespon sekenanya sambil mempersilahkan ia duduk yang berlanjut kepada pembicaraan singkat tentang permainan gawai, perkuliahan, dan keadaan kafe. Berhubung keadaan kafe agak sepi, kami bertiga secara leluasa dapat meluangkan waktu satu sama lain untuk bertatap muka dan menghisap rokok sembari membicarakan perihal alasan tempat tersebut sepi.


“Coba tanya di whatsapp group, deh!” kata Bagas (19), barista lain yang sedang mendapat shift. Ujaran Bagas langsung direspon cepat oleh Adi dengan mengetik gawai guna memberikan pesan di whatsapp group. Whatsapp Group yang diberi nama dengan judul yang unik adalah inisiatif salah satu barista Asoka Coffee untuk menjaring orang-orang yang cukup sering datang ke Asoka dengan memasukkannya dalam sebuah lingkaran virtual salah satu aplikasi sosial media.


Dua bulan sebelumnya, ketika masa awal kami mendatangi Asoka Coffee, belum ada lingkaran virtual group whatsapp seperti sekarang ini. Dahulu, relasi sosial hanya dapat ditempuh dengan mendatangkan badan fisik ke Asoka untuk dapat bertatap-muka dengan barista ataupun pemilik kafe. Dengan beberapa orang yang waktu kedatangannya makin konsisten—dua hari atau sehari sekali, hubungan pertemanan antara pemilik, barista, dengan beberapa konsumen pun makin terbentuk. Terlebih lagi, hubungan pertemanan tidak hanya dibentuk dengan tatap muka melalui pesan-memesan makanan ataupun minuman, pun juga melalui media permainan gawai yang menjadi kegiatan waktu luang sebagian besar orang yang konsisten datang. Selain itu, permainan kartu juga menjadi selayang pandang yang digunakan apabila mata terlalu lelah menatap layar gawai.


Beberapa waktu sekali, barista akan membuat masakan setelah jam kerja untuk dapat disantap bersama oleh pemilik, barista, dan konsumen konsisten. Kegiatan masak-memasak ini, menurut observasi kami, terjadi setelah beberapa waktu beberapa konsumen dan barista masih menggunakan Asoka Coffee sebagai tempat menggarap tugas dan berkumpul seusai jam kerja. Bahkan, tak jarang konsumen atau barista yang terlalu lelah untuk pulang akhirnya beristirahat sejenak sampai fajar muncul. Waktu yang dihabiskan secara konsisten dan perlahan akhirnya membentuk ikatan yang kuat antara pemilik, konsumen konsisten, dan barista. Ikatan ini pada beberapa waktu lalu dibawa kepada kegiatan di luar jam kerja seperti menonton film bersama, mendukung barista yang sedang mengikuti lomba, atau berkunjung ke kedai kopi yang baru saja grand opening. Sejauh sepengamatan kami, terbentuknya group whatsapp menciptakan relasi pertemanan kuat yang mengakibatkan terdapatnya penerimaan lebih kepada konsumen konsisten.


Selain itu, terdapat hal-hal lain yang tak kalah menarik dan unik. Pertama, tidak terdapatnya jarak umur yang terlalu jauh antara pemilik, barista, dan konsumen. Bahkan, umur pemilik yang sepantaran dengan barista dan keberadaan tempat tinggal yang persis di belakang kafe berdampak kepada ketiadaan jarak untuk mempertahankan relasi pertemanan. Kedua, berbagai pihak tidak berasal dari satu etnis tunggal. Keberagaman etnis (dan nama panggilan berdasarkan perilaku atau latar belakang) menjadi pengisi utama suasana Asoka Coffee. Terakhir, hubungan pertemanan juga didukung oleh latar belakang masing-masing individu, seperti pendidikan, tempat asal, dan jenis hubungan. Berbagai keunikan tersebut dibalut dengan apik melalui agenda perseorangan dan kedai kopi yang bervariasi tiap harinya.


Nongkrong sebagai Pelahir Relasi

Fenomena nongkrong di kafe bukan sesuatu hal yang baru. Hal tersebut telah mengambil andil dalam usaha penelitian dan bahkan orang yang cuma iseng menulis blog. Namun, produk dari kebiasaan tersebut tidak sesimpel kelihatannya. Relasi sosial berdasarkan waktu luang, perbedaan etnis, kisah historis, hobi, dan kopi merupakan produk dari kebudayaan nongkrong tersebut. Pembahasan mengenai dinamika yang terjadi di kafe -khususnya Asoka Coffee- menjadi kajian yang menarik bagi kami.


Menurut majalah.ottencoffee.co.id, kedai kopi memiliki sejarah yang panjang tidak hanya sebagi ruang untuk mengonsumsi kopi, tetapi sebagai wadah sosialitas publik di ruang sosial yang minim ekspresi. Dalam berita tersebut juga, dijelaskan tentang interaksi yang terjadi bukan hanya dengan seorang individu yang bernapas, tetapi juga dengan mesin-mesin kopi yang secara tidak langsung juga menarik perhatian para konsumen. Mesin kopi pun menjadi sebuah jembatan komunikasi antara bukan hanya konsumen dan produsen, melainkan kepada hamper semua individu yang berada di zona tersebut karena mesin kopi tersebut dapat menimbulkan pertanyaan yang akan melahirkan sebuah interaksi yang akan terus berlanjut.


Sedangkan dilansir dari kompasiana.com, kafe memancing sebuah gaya hidup yang bersifat eksklusif dan dapat menular ke mana-mana. Dengan keberadaan kafe yang menjamur di saat musim hujan, eksistensi kafe akan tetap bertahan dan bahkan semakin meluas. Walaupun dalam berita ini nampaknya menolak akan keberadaan kafe karena dianggap sebagai alasan utama menurunnya motivasi para pelajar untuk belajar, tidak dapat dipungkiri juga jika menurut sumber sebelumnya mengimplisitkan adanya informasi lainnya yang dapat diterima.


Melanjutkan kedua sumber sebelumnya, barometerrakyat.com secara semi-objektif menjelaskan tentang fenomena nongkrong di kafe dengan menjelaskan kekurangan dan kelebihan menghabiskan waktu di kafe. Tulisan ini mejelaskan tentang kebiasaan orang-orang, terkhususnya anak muda, dalam menghabiskan sebgaian besar waktu mereka untuk menunjukan eksistensinya di dunia bermodalkan kafe. Peran kafe sebagai sebuah tempat untuk menonjolkan eksistensi diri seseorang nampak jelas melalui media sosial atau fasilitas yang disediakan kafe tersebut. Relasi yang terjadi dalam berita ini juga terasa sebagai relasi yang bersifst mutualisme, antara konsumen dan produsen juga antara konsumen dengan eksklusivitasnya.


Berita terakhir yang kami ambil yaitu dari viva.co.id, lebih menjelaskan secara rinci sumber barometerrakyat.com dengan memaparkan fenomena nongkrong sebagai sebuah usaha menunjukkan eksistensi diri bagi si konsumen. Lewat website yang dipenuhi berbagai iklan ini, dijelaskan tentang bahwa di era urban sekarang, beberapa orang lebih mementingkan seberapa mewah gaya hidupnya. Gaya hidup yang konsumtif ini juga tak tanggung-tanggung untuk sekedar mencari tempat yang instagramable tanpa mempedulikan dompet yang menangis. Hal ini cukup menarik untuk dijelaskan dengan sumber yang lebih meyakinkan dan valid.


Menurut artikel Urban Nightlife, Social Capital, and the Public Life of Cities (2009), beberapa tempat seperti kafe, bar, dan klub merupakan tempat yang disebut ‘third places’. Alasan mengenai istilah tersebut berangkat dari beberapa tempat yang disebutkan sebulmnya merupakan tempat yang memperbolehkan para orang asing menghabiskan waktu luang mereka untuk bercengkerama secara ‘informal’. Third places merupakan tempat seorang untuk secara bebas mengekspresikan dirinya di tempat yang dianggap inklusif.


Inklusivitas ini juga sebenarnya cukup paradoks. Inklusivitas tersebut lahir dari perasaan eksklusif yang hadir dalam setiap individu yang menghabiskan waktunya di third places. Dalam artikel ini juga menjelaskan tentang beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam relasi yang dapat ditemui dalam third places, yaitu (1) Batasan yang dilahirkan berdasarkan ras-etnis dan kelas; (2) Normalisasi gender yang memperbolehkan seseorang berkspresi tapi masih dibatasi juga; dan (3) Kurangnya inklusivitas dalam lingkungan yang bersifat urban. Batasan yang ada dalam lingkup sosial di kafe dapat dikatakan mengalami perubahan seiring dengan perkembangan kafe itu sendiri. Kebebasan yang diberikan kepada seseorang individu dalam ruang yang informal ini menghasilkan relasi yang tidak umum. Relasi yang dilahirkan merupakan hasil dari pendobrakan batas berdasarkan ras-etnis dan kelas, normalisasi gender yang nanggung dan kesadaran bahwa inklusivitas itu lahir dari perasaan eksklusif secara kolektif.


Dalam pembahasan yang lebih mendetail tentang kafe dan tidak digabung dengan third places, Welcome to the Pleasure Dome: Play and Entertainment in Urban Public Space: The Example of the Sidewalk Cafe (1992) menjelaskan lebih detail mengenai peran kafe sebagai tempat individu bisa bercengkerama secara ‘manusiawi’. Peneliti juga diharapkan melihat daerah urban sebagaimana ia ada, bukan sebagaimana ia harusnya ada. Alangkah baiknya bagi penulis untuk menilik ruang urban sebagai ladang keuntungan bagi tempat relasi sosial dibandingkan hanya sebatas tempat untuk bekerja. Selain itu, tempat urban seperti kafe ini juga dapat mendukung seorang individu untuk mengeksplor minat dan hobinya sekaligus bersosialisasi.


Refleksi

Sama halnya dengan Asoka Coffee, kafe pada umumnya menyediakan ruang bagi seorang individu untuk menciptakan relasi sosial. Namun, tempat-tempat urban tersebut tetap memberikan ruang untuk manifestasi yang tradisional. Tempat urban, dalam hal ini kafe, telah menjaga kepentingannya sebagai bentuk, sebagai latar sosial, yang memberi bentuk pada interaksi sosial yang dialami seorang individu sebagai hal yang menyenangkan dan menghibur untuk kepentingannya sendiri juga untuk orang lain. Bersenang-senang juga dalam konteks publik, menunjukan eksistensi diri, menyaksikan orang-orang berlalu-lalang dalam 'atmosfir konsumsi publik', melaksanakan hobi secara individu maupun berkelompok, dan sekedar minum kopi merupakan hal yang sebenarnya yang dapat dinikmati seseorang.


75 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page