Bettina Otto, Eliesta Handitya, Fikra Ahnaf D, Meivy Andriani L.
Bertepatan sehari sebelum Ramadhan dimulai, retail belanja Carrefour Ambarukmo Plaza (Amplaz) penuh sesak oleh lalu lalang orang-orang yang berbelanja. Sembari berjalan mengendap-endap, kaki kami menyalip satu-dua troli yang melaju dengan santai, berbelanja sembari mendudukkan anak mereka yang masih berusia balita. Anak-anak itu duduk manis di atas troli, sesekali mata mereka mengerjap ketika melihat hal-hal yang menarik perhatian. Anteng, para balita-di-atas-troli menyaru dengan barang belanjaan yang meletak di dasar troli bersama orang tua mereka yang sedang berbelanja.
Mengikuti jejak langkah seorang keluarga, kami—empat Detektif Carrefour—pun mengitari lantai satu Carrefour Ambarukmo Plaza yang dipenuhi rak yang memajang berbagai jenis barang. Dari sisi kanan (pintu masuk) Carrefour lantai satu, nampak menyembul sekelumit lapak penitipan barang yang gelap nan sepi—entah masih digunakan atau tidak. Beberapa spanduk dan stikel promosi nampak memenuhi dinding celah penitipan barang yang berwarna merah—seolah-olah iklan itu ingin melambaikan selamat datang dengan malu-malu. Masuk ke dalam, seorang petugas, dengan tongkat bercahaya merah yang mirip Lightsaber—senjata milik Jedi dalam seri Star Wars—melakukan pemindaian (scanning) kepada para pengunjung. Carrefour, detik itu juga menjelma sebagai ruang panoptik yang terawasi.
Window Shopping Perabot Rumah Tangga di Lantai Satu Carrefour Amplaz
Setelah masuk gerbang-selamat-datang, kami pun mulai memasuki Carrefour yang bernuansa terang dan lapang. Menengok ke kanan, nampak lah berbagai properti rumah tangga dipajang untuk menggoda mata. Kasur, meja makan, kursi, almari, berjajar berharap bersitatap dengan para pengunjung. Namun, berbeda dengan toko furnitur IKEA yang memungkinkan pengunjung untuk menyentuh—bahkan mencoba menggunakan properti seperti kasur, kursi, dan sofa dengan santai, di Carrefour Ambarukmo Plaza ini, segala properti yang dijual telah dilapisi dengan plastik transparan. Barangkali antisipasi agar tidak ada jejak tangan dan pantat nan membekas di atas furnitur yang harganya di atas dua juta rupiah itu.
Melenggang ke sudut yang sama di rak berbeda, kita bisa menemukan berbagai perabot rumah tangga membentang di sepanjang lorong kanan (timur), mulai dari perabotan plastik, sabun cuci, alat masak, pertukangan, dsb. Kemudian beranjak ke tengah, pemandangan barang-barang yang ditata di atas keranjang persegi, membuat langkah kaki tersendat. Tangan kami terjulur, dan mulai mengamat-amati produk yang dijual dengan seksama. Produk itu nampang telanjang begitu saja, bersama dengan label diskon bermacam rupa. Sungguh menggoda iman orang-orang yang ingin hemat. Silakan mendongakkan kepala untuk melihat poster bertuliskan “Spirit Gaya Ramadhan” terjuntai, menggantung di langit-langit, menegaskan bahwa Ramadhan esok sudah akan menyambang.
Melintas sedikit ke kiri, berjajar rak panjang yang berisikan berbagai macam produk perawatan kulit, rambut, dan tubuh. Sebagai Detektif Carrefour, gairah kami membuncah tatkala melihat poster bergambar bintang iklan sampo yang rambutnya berkibar, berulang kali melempar senyum dari bilik karton, tersembul di atas rak. Di sisi lain, instalasi pria berjenggot dengan pose melempar poni—wajahnya tersenyum tanpa lelah menghadapi pengunjung yang berkutat memilih produk di celah rak.
Kemudian, melangkah ke sisi barat Carrefour lantai satu—kami menumbuk pandang pada jajaran barang elektronik yang kelihatan ultra-modern. Televisi dengan berbagai macam model, sound system, kipas angina, DVD—menyapa dengan dingin. Namun, suasana di ujung barat Carrefour ini terasa lebih gaduh ketimbang sudut lainnya, sebab hampir seluruh alat elektronik yang dipajang, dinyalakan dengan suara kencang: televisi menyetel gambar dan visual warna-warni yang tumpang tindih gaduh antara satu dengan lainnya, sound system berdentum bersahutan, ditambah dengan lagu yang pula membahana lewat pengeras suara Carrefour.
Terakhir, di bagian selatan Carrefour lantai satu, terlihatlah kasir berjajar. Pengunjung mengantre, melakukan pembayaran pasca berbelanja. Dompet-dompet dikeluarkan tas atau kantong celana, tak lupa digenggam erat oleh sang pemilik. Rupanya, Carrefour pun menyediakan layanan cicilan kredit dengan Bank Mega yang berada di bawah payung manajemen yang sama dengan Carrefour, yaitu CT Corp. Tersedia pula mesin ATM yang bertengger di sudut utara Carrefour yang hanya melayani tarik tunai Bank Mega dan BCA. Uang tunai, kartu atm, kartu kredit, dan berbagai macam cara pembayaran digital pun dilakukan, diiringi suara kret kret kret mesin struk.
Memasang teleskop dan membereskan kacamata hitam, perjalanan detektif Carrefour pun berlanjut. Membalik badan dari pemandangan kasir, kami kembali ke rak dan menemukan berbagai macam instalasi promosi menyembul di atas produk. Instalasi tersebut cukup meramaikan panggung display barang yang serba-mirip dalam satu rak, dan bagi kami nampaknya mampu menciptakan impresi terhadap produk yang bersangkutan. Meskipun pilihan pelanggan tidak lantas ditentukkan oleh instalasi-promosi tersebut, paling tidak kehadirannya yang impresif mampu menarik perhatian pengunjung untuk (minimal) mendatangi rak berisikan produk yang dimaksud.
Akulturasi Pasar Modern dan Pasar Tradisional di Lantai Dasar Carrefour Amplaz
Persis dengan kondisi lantai satu, lantai dasar Carrefour Ambarukmo Plaza juga penuh sesak dengan orang-orang yang ingin berbelanja untuk kebutuhan selama bulan ramadan. Kami turun ke lantai dasar, setelah kami menyudahi pengamatan pada lantai satu. Saat berjalan ke bawah, kami terpukau dengan display makanan yang ada di kanan, kiri, dan tengah tangga eskalator. Sebagai detektif dadakan, kami tidak menduga akan ada penataan produk dengan model seperti itu. Sungguh nampak pretensius.
Namun, apa sesungguhnya alasan di balik peletakkan snack itu sepanjang kanan, kiri, dan tengah tangga eskalator? Analisis singkat kami mengatakan bahwa display tersebut barangkali memang dengan sengaja diletakkan di tempat strategis macam itu guna menarik perhatian anak-anak. Pasalnya, berbarengan dengan turunnya kami ke bawah, kami melihat beberapa anak-anak yang tertarik akan makanan ringan yang ada di display tersebut. Ya, sesekali ada yang mengambil, dan ada pula yang hanya memegang namun sepertinya tidak diperbolehkan membeli oleh orang tuanya. Kami pun masih penasaran, sepanjang yang kami lihat, produk makanan ringannya pun hanya merk itu-itu saja. Mungkin saja, memang merk itu membayar lebih banyak pada Carrefour guna melakukan investasi pada tempat strategis macam itu.
Sesampainya di lantai dasar, display pertama yang kami lihat adalah koper dengan jumlah banyak yang berjejer rapi. Sebenarnya, kelihatan sedikit aneh. Kenapa koper harus di letakkan di lantai dasar yang notabene berisi makanan & minuman, bukan ditaruh di lantai satu? Mungkin saja, itu juga bentuk strategi marketing agar orang tertarik, karena yang dilihat pertama kali ada koper yang berjejer rapi.
Kemudian, kami melanjutkan penyusuran. Bagian pertama yang kami tuju adalah bagian makanan ringan dan minuman, tepatnya berada di bagian kiri setelah kita turun ke lantai dasar melalui tangga eskalator. Tidak ada yang begitu aneh sebenarnya pada display bagian tersebut. Sama seperti supermarket-supermarket lainnya yang ada di Yogyakarta. Namun ada satu bagian di mana susu kaleng yang ada di bagian tersebut kesemuanya dipasangi alat detektor.
Setelah kami perhatikan lebih lanjut, ternyata susu kaleng-susu kaleng tersebut sengaja di pasangi alat detektor karena harganya yang lumayan mahal. Satu susu kaleng bisa dihargai 450.000,- hingga Rp700.000,-. Harga yang cukup fantastis untuk sebuah susu bubuk kaleng. Namun, kami rasa prasangka Carrefour cukup tinggi dalam konteks ini. Lagi-lagi, Carrefour menampilkan gigi taring pengawasan (surveillance) nya melalui detektor pengaman produk, menegaskan sisi supermarket ini sebagai ruang panoptik.
Setelah itu, kami menyusuri bagian ruang nan cukup padat dan ramai. Sejujurnya, kami agak kaget melihat keberadaan food court di dalam Carrefour. Kami melihat banyak keluarga dan remaja membeli makan dan sambil memakannya di tempat. Selain itu, pada bagian sayur-sayuran dan buah-buahan, orang-orang juga bisa mencicipi terlebih dahulu buah yang akan mereka beli. Rasa-rasanya, Carrefour seolah sedang menghadirkan suasana pasar tradisional. Padahal jelas, Carrefour merupakan retail modern yang tentu segmentasinya menyentuh kalangan menengah ke atas, berbeda dengan pasar tradisional yang lebih inklusif.
Ada juga fakta yang cukup mengejutkan mengenai diskon barang maupun promo buy 1 get 1. saat pembeli datang dan mendapatkan potongan harga yang lumayan murah, tanpa dia sadari, harga untuk kebutuhannya yang lain lebih mahal dari harga aslinya. Permainan harga di pasar modern ternyata lebih mengerikan ketimbang transaksi di pasar tradisional.
Selintas Penataan Display Barang di Carrefour Amplaz
Display barang dalam supermarket adalah salah satu hal yang tentu sangat diperhatikan oleh manajemen supermarket itu sendiri. Ketidaksesuaian display tentu akan berpengaruh pada laku tidaknya suatu barang. Itulah mengapa, bagian depan dan bagian belakang berisi barang barang yang berbeda. Pun juga dengan bagian kanan dan kiri.
Ada beberapa pertimbangan dalam membuat display pada supermarket, yaitu: (1) barang promo harus ada di pintu masuk, (2) makanan yang segar ditaruh di bagian paling dalam, (3) sayur dan buah-buahan berada di bagian tengah, dan (4) barang-barang kecil seperti permen, baterai, dll ditaruh di bagian kasir. Selain itu, produk-produk yang ada juga harus ditampilkan semenarik mungkin. Makanan siap saji, buah-buahan yang sudah terpotong rapi, juga pemberian aksesoris seperti lampu adalah beberapa contoh guna menarik perhatian pengunjung. Apa yang dilakukan oleh pasar modern adalah bermain visual. Kesan rapi dan menarik akan membuat pengunjung tertarik.
Sorotan: Tentang Pengunjung Carrefour Amplaz Siang Itu
Supermarket adalah ruang sosial khusus dalam lingkungan kota yang menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar untuk memudahkan hidupan kompleks dalam ruang kota. Tak luput, kami memperhatikan orang-orang yang berjalan dan berbelanja di dalam Carrefour itu, mengamati produk-produk yang sekeliling kami. Ruang supermarket itu tidak hanya memuaskan kebutuhan orang kota, tetapi menciptakan kebutuhan tersebut juga.
Untuk menjelaskan pemikiran tersebut, kami menggunakan konsep “the social construction of needs“ oleh Francis Buttle (1989) terkait dengan tingkah laku pelanggan. Menurut Buttle, “needs are sociocultural constructions and can be shown to carry across both time and space” (1989, 197). Artinya, kebutuhan tidak berdasarkan kondisi biologis saja tetapi tergantung konteks sosial yang menyertai. Misalnya, kami mengamati, mayoritas pelanggan yang datang di Carrefour adalah keluarga, pasangan kekasih, atau teman. Kelompok-kelompok keluarga atau teman selalu berjalan bersama dalam bentuk baris longgar. Kami mengamati ketika satu anggota kelompok tertentu berhenti, anggota-anggota lain juga berhenti supaya mereka melanjutkan bersama. Kalau ada seorang yang meninggalkan kelompok, orang itu biasanya mengembalikan barang, dan dalam beberapa menit ia akan berkomunikasi tentang produk mereka untuk melanjutkan aktivitas belanja bersama kembali.
Dalam konteks ini, tidak ada orang sebagai orang individu yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang tidak terkait dengan konteks sosial yaitu mulanya keluarga atau teman. Pengamatan itu berarti juga bahwa konstruksi kebutuhan juga tergantung konteks ruang dan waktu. Kembali ke penjelasan Buttle, “To be a member of a community is to learn the needs of the community and to satisfy those needs through behaviours endorsed by the community” (1989, 205) yang menuntun kami ke pengamatan berikutnya. Pelanggan-pelanggan memeriksa dengan tetap produk-produk dalam supermarket. Mereka menyentuh produk itu, mendekatkan, membuka, atau bahkan mencicip untuk memeriksa kualitas produk.
Terkait dengan proses pemeriksaan tersebut, pengunjung biasanya menceritakan produk yang mereka pilih kepada orang yang bersama mereka. Setelah itu, mereka memutuskan bersama supaya berbelanja atau mengembalikan produknya. Bersama dengan presentasi produk yang akan diteliti di bawah, menceritakan mengenai produk memasuki proses produksi pengetahuan. “The extent to which a particular claim to knowledge endures is not dependent upon its empirical validity but upon social processes such as communication, negotiation, and rhetoric” (Buttle 1989, 198). Pengetahuan tentang kebutuhan-kebutuhan kita juga proses sosial dan tergantung konteks kita. Oleh karena itu, pengetahuan mengenai hal-hal yang kita membutuh atau tidak tergantung lingkungan supermarket, teman-teman dan pengalaman-pengalaman (misalnya dalam konteks kota) sebelum kita berbelanja.
Lebih jauh, komunitas tidak hanya diciptakan sebelum berbelanja (misalnya hubungan keluarga, teman, atau pacar), tapi di dalam konteks supermarket juga. Akan tetapi, bentuk hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas itu berbeda. Saat orang-orang masuk supermarket, mereka merubah tingkah laku; berjalan lebih pelan dan menggeser-geser kepala ke kiri dan ke kanan untuk melihat produk-produk di pinggir rak. Mereka tidak banyak berkomunikasi antara satu dengan lainnya.
Menarik juga ketika kami mengamati perilaku pengunjung, ternyata ditentukan pula oleh preferensi biologis. Misalnya para pengunjung laki-laki yang menghindari rak-rak pembalut, atau celana dalam wanita. Pengamatan tersebut menerangkan bahwa kebutuhan-kebutuhan tergantung erat dengan preferensi identitas seorang individu, dalam hal ini faktor biologis.
Dari sini, kami bisa menganalisis bahwa Carrefour menciptakan ruang khusus kota sebagai “Marketplace as the forum of needs identification and satisfaction” (Buttle 1989, 207), di mana supermarket menjadi ceruk bertemunya kepuasan ekonomi yang berkaitan erat dengan kebutuhan berdasarkan preferensi identitas tertentu.
Mengamati Pegawai Carrefour Amplaz
Suasana Carrefour pukul dua siang itu memang nampak ramai. Para pengunjung mengamati berbagai macam produk dipajang, bersiap untuk berbelanja. Namun, ada satu hal yang mungkin luput diamati oleh pengunjung: ialah para pegawai nan berlalu lalang. Mereka nampak sedang berdiri, menunggu dihampiri pengunjung. dan ketika dibutuhkan, bergegas mencarikan barang untuk pelanggan. Di beberapa bagian, lorong terlihat sepi tanpa pegawai maupun pelanggan, misalnya di bagian alat makan. Kami melihat di lorong deterjen, ada tiga pegawai dengan seragam berbeda yang sedang berbincang sambil menata barang di rak dan keranjang persegi yang meletak pada lorong ruang.
Masih berdiri di lantai yang sama, menyembul lapak kosmetik dan produk kebersihan. Di bagian tersebut, kami melihat lebih banyak pegawai berdiri di depan rak. Beberapa pegawai kedengarannya sedang berbincang sembari berbagi cerita mengenai harga dan kualitas gincu. Perhatian Detektif Carrefour siang itu teralihkan tatkala melihat para pegawai mengenakan seragam yang berbeda. Misalnya, di bagian kosmetik, hampir setiap pegawai atau Sales Promotion Girl (SPG) menggunakan seragam Himalaya Herbals, Betadine, dan berbagai seragam produk kosmetik serupa. Kebanyakan dari pegawai-kosmetik tersebut kelihatan lebih rapi daripada pegawai lainnya. Mereka—yang kebanyakan adalah perempuan—menyanggul rambutnya, memakai riasan wajah lengkap, memakai seragam berpotongan gaun atau setelan berwarna senada, dan sepatu hak tinggi.
Namun, beberapa pegawai nampak memakai seragam bertuliskan Carrefour lengan pendek berwarna merah nan sporty dengan slogan “Kami Siap Membantu Anda”. Selain itu, kami juga melihat ada seorang laki-laki dengan seragam Carrefour memerintah pegawai atau SPG Betadine untuk mengatur ulang label harga agar tidak membingungkan. Relasi antara pegawai Carrefour dan SPG serta relasi antara Carrefour dan pegawai dan SPG ini menjadi hal yang menarik pula bagi kami. Menilik ke beberapa berita, rupanya pegawai Carrefour kerap mengadakan demonstrasi karena tidak layaknya kondisi dan upah kerja. Salah satu contohnya adalah demonstrasi karena pegawai “magang” diupah makan seharga Rp 6.500. Pegawai Carrefour pun memiliki serikat pekerja yang menggelar demonstrasi pada hari buruh. Isu ketenagakerjaan rupanya menjadi suatu hal yang kerap menjadi permasalahan. Misalnya, tenaga kerja SPG dan keamanan didapatkan dari sistem outsourcing, sehingga mereka tidak mendapatkan keuntungan karyawan seperti asuransi ataupun Tunjangan Hari Raya (THR).
Masih di lantai yang sama, di bagian elektronik, kami melihat beberapa pegawai yang menggunakan gawai yang ditampilkan. Di bagian elektronik yang ukurannya lebih besar, seperti TV dan pendingin ruangan, seragam yang dipakai oleh pegawai adalah kemeja dan celana bahan. Di bagian pakaian dalam, baik perempuan maupun laki-laki, pegawai yang berjaga adalah pegawai perempuan.
Selanjutnya kami turun ke lantai dasar. Di lantai dasar, bahan makanan, tempat makan, dan minuman ditawarkan di sana. Lain dari lantai dua yang tidak begitu riuh, lantai satu ramai dengan interaksi antarmanusia. Misalnya, pegawai dari Fitchips dan beberapa merek lainnya secara aktif menawarkan tester dan promosi. Pegawai masih melakukan aktivitas yang sama seperti di lantai dua, yaitu berbincang dengan sesama, menata barang, membantu pelanggan.
Namun, yang mencolok bagi kami adalah kegiatan membuat tester dan bersih-bersih di bagian makanan mentah. Petugas kebersihan tidak kami lihat di lantai dua, mungkin karena memang barang yang ditawarkan bukan makanan basah. Kami melihat lebih banyak aktivitas yang dilakukan oleh pegawai di lantai satu. Misalnya, ada pegawai yang mengisi ulang es untuk jajaran ikan dan menimbang bahan makanan dari pegawai. Ada pula yang memotong buah, membungkusnya, dan menimbang untuk pelanggan. Yang menarik bagi kami adalah adanya SPG Yakult yang memakai seragam bernuansa Jepang, yaitu kimono berwarna merah dengan rambut yang disanggul.
Satu hal yang tidak ada di hari-hari biasa adalah konter untuk bingkisan lebaran. Dengan slogan “Menyediakan Kebutuhan Lebaran Anda”, pelanggan bisa meminta bantuan untuk merancang bingkisan lebaran mendatang. Ada beberapa pegawai yang berkumpul di area tersebut, walaupun tidak ada pelanggan di sana. Bagian yang paling ramai dengan pelanggan dan pegawai adalah bagian makanan beku dan makanan mentah. Pegawai di bagian tersebut pun terlihat yang paling sibuk. Kami melihat ada beberapa pegawai yang membawa hand pallet untuk memindahkan barang-barang. Di sana pula ada semacam kantin di mana pelanggan bisa memakan beberapa cemilan sambil berbelanja. Di kantin pun ada beberapa juru masak yang berdiri di depan kompor, siap untuk menerima pesanan pelanggan. Sungguh pengalaman etnografi-pegawai-Carrefour yang sungguh menyenangkan.
Carrefour, Revolusi Supermarket, dan Ekslusi Masyarakat Kelas Menengah
Fenomena supermarket di Indonesia merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan konteks yang terjadi di negara industri di seluruh dunia. Berkembangnya supermarket di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah keruntuhan Rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998. Pada masa itu, Indonesia dilanda krisis besar dan memungkinkan investasi retail multinasional untuk menanamkan modal mereka di Indonesia pada masa setelahnya.
Supermarket pertama di Indonesia sendiri dibangun pada tahun 1971 di Jakarta. Berdasarkan data dari BPS, semenjak berdirinya supermarket pertama tersebut, tidak pernah ada lagi pembangunan yang masif selama sepuluh tahun setelahnya. Hal ini pun berkaitan dengan keadaan sulit di Indonesia yang disebabkan oleh inflasi. Kemudian, outlet Supermarket memulai perkembagannya semenjak tahun 1983, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang didorong oleh era revolusi hijau pada masa itu (Natawidjaja 2005). Namun, pada masa itu, retail modern masih dikuasai oleh perusahaan lokal saja.
Baru setelah krisis moneter menghantam Asia Tenggara pada periode 1997-1998, International Monetary Fund akhirnya mendorong proyek pasar bebas retail modern yang memungkinkan perusahaan retail multinasional untuk menanamkan sahamnya di Indonesia. Akhirnya, muncullah retail modern raksasa seperti Walmart (Amerika Serikat), Carrefour (Perancis), dan Dairy Farm (Hongkong) di kota-kota besar di Indonesia. Perkembangan retail modern yang masif tersebut pada akhirnya menandai Revolusi Supermarket di Indonesia (Vetter, et al 2014).
Dalam perkembangan selanjutnya, hipermarket dan supermarket di Indonesia semakin masif jumlahnya, sebanding dengan peningkatan konsumerisme di Indonesia. Saat ini, bahkan, bukan hanya supermarket saja yang merajai setiap sudut ruang urban, tetapi juga minimarket waralaba yang bertebaran di berbagai kota di Indonesia, tidak hanya di kawasan urban dan metropolitan, tetapi juga di daerah rural dan sub-urban. Tidak hanya di wilayah metropolitan pulau jawa, retail modern pun telah merambah hingga pulau-pulau seperti Sumatra, Kalimantan, Bali dan Sulawesi.
Menurut data yang diperoleh dari Euromonitor (2004) pasar modern di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dengan presentase hypermarket peritel dengan tingkat pertumbuhan paling tinggi (25%), koperasi (14.2%), minimarket / convenience stores (12.5%), independent grocers (8.5%), dan su-permarket (3.5%). Itu artinya, pasar tradisional makin lama akan semakin tergantikan oleh pasar modern.
Saking merebaknya fenomena supermarket saat ini, beberapa tahun ini malah mulai digencarkan konsep supermarket yang digabungkan dengan wahana bermain anak, bahkan muncul terminologi baru yaitu belanja atraksi (Bimantara 2017). Beberapa pusat perbelanjaan seperi Neo Soho (Jakarta Barat), Aeon Mall Jakarta Garden City, dan yang paling terkenal: Transmart Carrefour—yang mendapuk dirinya sebagai pusat perbelanjaan 4 in 1 (berbelanja, bersantap, bermain, dan menonton).
Namun, kehadiran supermarket bukan serta merta tanpa kritik, apalagi ketika kemunculannya di Indonesia dianggap meminggirkan pasar tradisional (Effendi 2016), dan yang paling problematik, yaitu bagaimana supermarket menciptakan dinding yang membatasi masyarakat kelas menengah ke atas (upper middle class society) dengan masyarakat kelas bawah (low middle class society) yang diciptakan oleh pembangunan infrastruktur yang serba— bahkan super-modern (Goidanich, et al 2012).[]
Referensi
1. Buttle, Francis (1989): The Social Construction of Needs. Psychology and Marketing. 6(3), 197-210.
2. Effendi, Nursyirwan. 2016. "Studi Budaya Pasar Tradisional dan Perubahan Gaya Hidup Masyarakat Pedesaan: Kasus Pasa Nagari dan Masyarakat Nagari di Propinsi Sumatera Barat." JURNAL ANTROPOLOGI: Isu-Isu Sosial Budaya 105-120.
3. Goidanich, Maria Elisabeth, and Carmen Rial. 2012. "A Place Called Supermarket." International Review of Social Research Volume 2, Issue 1 143-156.
4. Natawidjaja, Ronnie S. 2005 . "MODERN MARKET GROWTH AND THE CHANGING MAP OF THE RETAIL FOOD SECTOR IN INDONESIA." The Pacific Food System Outlook 1-11.
5. Vetter, Thomas, and Marianne Nylandsted Larsen. 2014. "The (so-called) Supermarket Revolution in Indonesia." Thomas Vetter 1-5.
Artikel Media
1. Bimantara, J Galuh. 2017. kompas.id. Desember 23 . Accessed Mei 9, 2019. https://kompas.id/baca/metro/2017/12/23/belanja-atraksi-di-mal/.
2. Faizal, Achmad. 2012. “Dibayar Rp 6.500 Per Hari, Buruh Carrefour Demo”. Kompas.com. https://lifestyle.kompas.com/read/2012/11/01/13391954/Dibayar.Rp.6.500.Per.Hari.Buruh.Carrefour.Demo
3. Prayogo, Oginawa R. 2013. “150 Buruh Carrefour Rayakan May Day di Jalan”. Kontan.co.id. https://nasional.kontan.co.id/news/150-buruh-carrefour-rayakan-may-day-di-jalan
4. Putra, Idris Rusadi. 2012. “Kenapa Carrefour Selalu Dibelit Masalah Perburuhan?” Merdeka.com. https://www.merdeka.com/uang/kenapa-carefour-selalu-dibelit-masalah-perburuhan.html
Comentarios