top of page
Writer's pictureHarits Arrazie

Buku, Baca, dan Lawan

Updated: May 26, 2019

Galang Dwi Putra, Harits Naufal Arrazie, Matthew Alexander

Dokumen Pribadi

Langit sudah gelap. Kira-kira pukul 18.32 kami tiba pada satu rumah. Di sana baru terlihat beberapa orang yang tengah asik dengan buku di tangan masing-masing. Barangkali karena bertepatan dengan bulan puasa, rumah itu terlihat sepi pada jam-jam buka puasa dan ketika waktu solat taraweh tiba. Tidak hanya mereka yang sedang menikmati bukunya masing-masing, satu orang pemuda juga terlihat sibuk mondar-mandir. Sesekali ia mengantar kopi dan cemilan kepada para pengunjung, sesekali ia duduk membaca buku. “Halo, Bung”, begitu sapaan akrabnya kepada kami. Bukan hanya kami saja yang ia sapa dengan sebutan “Bung”, melainkan setiap orang yang datang ke rumah itu. Tanpa perlu berlama-lama, kami segera mengambil tempat di dalam garasi, membuka laptop lalu memesan kopi.


Namanya Berdikari Book, salah satu dari sekian banyak toko buku alternatif di Yogyakarta. Lokasinya di Jalan Elang Jawa, tak terlalu jauh dari Stadion Maguwoharjo. Berdikari Book berdiri pada sebuah rumah yang cukup luas dan memiliki dua ruangan dengan fungsi yang berbeda. Ruang pertama adalah ruang tamu, atau bisa juga disebut ruang keluarga. Ruang ini adalah tempat di mana Berdikari Book menjajakan buku-bukunya. Ruang ini sesak dengan buku. Setiap buku tersusun rapi pada rak-rak yang menempel di setiap sisi ruangan, ditambah dengan beberapa rak kecil. Meja kasir berdiri persis di ujung ruangan. Jumlah buku yang dijajakan sangatlah banyak. Bagi siapapun yang datang namun belum menentukan pilihan hendak membeli buku apa, agaknya akan sedikit kebingungan.


Ruangan kedua adalah garasi dan halaman depan. Ruangan ini seperti perpaduan antara cafe dan perpustakaan, dan diperuntukkan bagi siapapun yang ingin membaca buku. Hal itu dapat dilihat dari anasir-anasir yang melekat pada ruangan itu. Buku-buku berhimpitan dan bertumpukan pada rak-rak yang menempel di setiap dinding garasi. Beberapa poster juga ikut menempel di setiap sisi dinding. Mural dari tokoh-tokoh terkenal, lengkap dengan kutipan-kutipannya menghiasi dinding abu-abu halaman depan. Tokoh-tokoh yang wajahnya terlukiskan di sana bukanlah tokoh yang terkenal karena ia adalah artis papan atas ibu kota, melainkan terkenal karena pemikiran dan aktivitas revolusionernya. Sebut saja Tan Malaka, Pram, Bakunin, hingga Karl Marx.


Yang paling penting, tentu saja, adalah keberadaan meja dan kursi di ruangan ini. Kedua properti itu diperuntukkan bagi siapapun yang datang, entah untuk menghabiskan waktu dengan membaca, mengerjakan tugas lewat laptop masing-masing, maupun ngobrol santai dengan pengunjung lainnya mengenai bacaan mereka. Tak hanya itu, minuman serta makanan ringan seperti kopi, teh, serta kentang goreng ikut tersedia agar mulut para pengunjung tidak kering-kering amat.


Ruang Bertukar Ide

Dilihat dari aktivitas yang berlangsung di sana, Berdikari Book bisa dikatakan cukup berbeda apabila dibandingkan dengan tempat sejenis yang memadukan konsep serupa (kafe, buku, tempat nongkrong, ataupun co-working space). Fasilitas perpustakaan kecil di garasi menjadi ruang sekaligus sarana bagi pengunjung yang datang untuk membaca buku, mulai dari sastra, kajian ekonomi-politik, hingga filsafat tanpa merogoh kocek sepeserpun. Karena itu, aktivitas yang paling dominan terlihat di Berdikari Book adalah membaca.


Selain membaca, ngobrol dan diskusi ringan antar sesama pengunjung terkait bacaan juga menjadi pemandangan yang lumrah. Pada satu kesempatan, secara tak sengaja kami mendengar dua orang tengah bercakap-cakap mengenai tulisan Chairil Anwar dan hal-hal yang berbau sastra. Sampai pada suatu momen, kami mendapati ucapan menarik yang dilontarkan salah satu di antara mereka:


“Membaca sastra dapat menambah (pilihan) kata-kata kita. (Tidak hanya itu) jika disampaikan pada orang yang tepat, kata-kata itu bisa terasa mahal. Tapi, jika disampaikan pada orang yang salah, kita dianggap seperti bicara dengan seorang dewa.”


Aktivitas membaca, ngobrol, maupun diskusi yang berlangsung di Berdikari Book agaknya berkaitan dengan apa yang disebut sebagai dialogue reading paradigm. Konsep ini merujuk pada aktivitas membaca yang tidak bersifat privat atau interaksi tunggal antara satu individu dengan buku yang tengah ia baca, melainkan suatu aktivitas yang bersifat intersubjektif, di mana individu lain ikut terlibat dalam membangun sebuah ruang dialog berdasarkan sumber bacaan yang sama (Álvarez-Álvarez, 2015:1). Praktik dialog yang dimaksud dapat merujuk pada aktivitas diskusi yang berlangsung malam itu, ketika kelompok kecil orang yang ada di Berdikari Book tengah asik membicarakan sastra, saling menawarkan rekomendasi buku yang menarik untuk dibaca lebih lanjut, serta membagikan informasi mengenai kegiatan diskusi maupun seminar mengenai topik-topik sastra.


Hal ini kiranya serupa dengan apa yang dipaparkan Freire (2005), dimana proses dialog memang menjadi bagian penting dalam membangun sebuah pengetahuan yang humanis (demi kebaikan bersama) untuk menghindari dominasi sepihak atas sebuah pengetahuan. Agaknya dialog yang timbul akibat membaca buku ini juga serupa dengan salah satu kutipan pada slogan yang terpampang di salah satu sisi dinding: Lawan dengan membaca!


Karena itu, kami melihat Berdikari Book sebagai tempat bertukar pengetahuan yang dibangun lewat minat membaca. Berdikari Book kiranya menjadi ruang alternatif di saat ruang-ruang publik yang ada justru dibangun, serta digunakan demi kepentingan-kepentingan finansial semata (misalnya: co-working space[1] yang muncul sebagai pengganti ruang perkantoran) (Álvarez-Álvarez, 2015:2). Dengan begitu, Berdikari Book menjadi ruang yang sesuai dengan apa yang Jürgen Habermas sebut sebagai public sphere, yaitu ruang yang mewadahi dialog antara warga biasa mengenai persoalan-persoalan yang merugikan publik, demi melahirkan ide kritis atau pengetahuan baru yang kiranya dapat melawan atau menelanjangi wacana yang tengah mendominasi (Goode, 2005:9: Hardiman, 2010:189).


Alternatif

Semakin malam, semakin banyak orang yang datang ke Berdikari Book. Semakin banyak pula orang-orang berseliweran keluar masuk garasi (perpustakaan) untuk mengambil lalu membaca buku. Lantunan musik instrumental dari sebuah speaker turut meningkahi aktivitas di Berdikari Book malam itu. Ucapan “Bung” pun juga semakin sering terdengar. Selain membuat kopi dan kudapan, pemuda yang ikut-ikut kami sapa dengan “Bung” ini-–karena tak kami ketahui namanya--juga melayani setiap pengunjung yang kebingungan mencari buku di perpustakaan. Jumlah buku yang tersedia di perpustakaan tak kalah banyaknya dengan buku yang dijajakan di ruang tengah. Dengan senyum simpul, si Bung akan memberitahu lokasi buku yang mau pengunjung baca. Sebab pengunjung pasti akan kebingungan ketika ingin membaca buku A, namun tak mengetahui lokasi persisnya di mana.


Suasana ini tentu sangat bertolak belakang dengan perpustakaan mainstream pada umumnya. Tanpa aturan kaku ataupun izin seperti yang acap terlihat di perpustakaan mainstream, tiap orang sesuka hati memilih dan menukar buku yang hendak dibaca. Tak ada perasaan malu ataupun sungkan karena telah berkali-kali mondar-mandir mengganti buku. Setiap orang bebas memilih, bebas membaca. Dan, yang sangat menyenangkan, buku yang tengah dibaca dapat didiskusikan dengan sesama pengunjung lain.


Keberadaan Berdikari Book dapat menjadi alternatif baru, bagi mahasiswa kere seperti kami, misalnya, untuk dapat mencicipi buku-buku tanpa perlu mengeluarkan kocek sepeserpun. Memang, perpustakaan pada umumnya juga menghadirkan kondisi serupa. Namun, kami kira, Berdikari Book jauh dari kesan kaku layaknya perpustakaan biasa. Di Berdikari Book, setiap orang dapat mendiskusikan buku yang tengah ia baca tanpa perlu berbisik-bisik layaknya orang-orang yang ingin berbicara di perpustakaan biasa. Di perpustakaan biasa, seolah-olah tak boleh ada suara sedikitpun karena dikhawatirkan mengganggu pengunjung lain yang tengah berkerut dahinya saking seriusnya membaca. Suasana di Berdikari Book pun tak hening-hening amat, karena berada di pinggir jalan. Lebih lagi karena saat ini bulan puasa, suara pengajian yang keluar dari toa mesjid terdekat turut terdengar.


Aktivitas membaca dan berdiskusi berlangsung di Berdikari Book setiap malam. Artinya, setiap malam pula sedang berlangsung, katakanlah, pertukaran pengetahuan di sana. Berdikari Book menjadi ruang tempat saling bertukar gagasan, relasi perkawanan, sekaligus referensi bacaan. Mengutip ungkapan salah satu dosen dari fakultas sebelah, “Komunitas epistemik harus tetap hidup.” Dan, dalam ruang bernama Berdikari Book, ia dihidupkan melalui aktvitas membaca. Barangkali inilah mengapa Berdikari Book memiliki kredo tajam terkait membaca yang terpampang jelas di salah satu sisi tembok halaman depan:

Kemampuan manusia dalam bertahan sepadan dengan kemampuan manusia dalam membaca tanda dan fenomena. Membaca tak sekadar memuaskan hasrat, namun ia adalah napas gerak hidup. Apa pun perlu dibaca, fenomena maupun wacana. Buku tak pernah memilih pembacanya, sebab di hadapan buku kita semua sama. Ia adalah rahim pengetahuan, tempat di mana perlawanan lahir, kebodohan diberangus, dan kemerdekaan jadi suluh. Membaca adalah melawan!

Referensi

1. Álvarez-Álvarez, C. (2015). Book clubs: an ethnographic study of an innovative reading practice in Spain. Studies in Continuing Education , 1-15.

2. Freire, P. (2005). Pedagogy of the Oppressed. New York-London: Continuum.

3. Goode, L. (2005). Jurgen Habermas: Democracy and the Public Sphere. London: Pluto Press.

4. Hardiman, F. B. (2010). Ruang Publik: Melacak "Partisipasi Demokratis" dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.


Sumber Artikel

1. Kompas. 1 Agustus 2018. Kekosongan Ruang-ruang Kantor di Jakarta. https://kompas.id/baca/utama/2018/08/01/kekosongan-ruang-ruang-kantor-di-jakarta/

[1] Merujuk pada artikel Kompas, dimana ruang-ruang perkantoran di kota Jakarta misalnya, mulai mengalami kekosongan akibat munculnya ruang-ruang baru seperti co-working space yang memberi suasana kerja yang baru bagi pegawai setelah sebelumnya beraktivitas di ruang yang bersekat-sekat. Selengkapnya di “Kekosongan Ruang-ruang Kantor di Jakarta,” Kompas, 1 Agustus 2018, https://kompas.id/baca/utama/2018/08/01/kekosongan-ruang-ruang-kantor-di-jakarta/

89 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page