Cak Kasno: Menguntai Sejarah Bersama Mie Ayam
- Nur Muhammad Swastika Ardhi
- Dec 8, 2018
- 9 min read
Oleh Fransiskus Denny Pratama & Nur Muhammad Swastika Ardhi
__________________________________

Mie ayam merupakan makanan yang bisa kita temui di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Mie ayam yang mulanya berasal dari China, kini di Indonesia ada berbagai macam variasinya. Mie ayam Jakarta, Mie ayam Solo, Mie ayam Tunggal Rasa, Mie Pasar Baru, Mie Ayam Ceker Bandung, Mie Ayam Pak Pendek, dan banyak varian mie ayam-mie ayam lainnya yang pasti salah satunya pernah kita nikmati.
Persebaran mie ayam di Indonesia bisa dibilang sangat luas dan merata. Namun bagaimana awal mula makanan mie ayam ini bisa menyebar dan diterima masyarakat di Indonesia hingga menjadi makanan favorit di semua kalangan seperti itu, masih jarang dibahas di masyarakat umum. Untuk mencari tahu sedikit tentang cerita dari mie ayam, kami menemui Cak Kasno, salah satu figur pedagang mie ayam yang menurut kami memiliki peran besar dalam penyebaran mie ayam ini khususnya di Yogyakarta.
Kami menemui Cak Kasno di SMA Negeri 3 Yogyakarta di hari Rabu, 14 November 2018. Ketika kami temui, beliau sedang sibuk melayani siswa-siswa di sana. Dengan atasan kaos berkerah, celana jeans, dan sandal jepit, beliau meracik lebih dari 5 mangkok sekaligus. Memang banyak siswa yang membeli mie ayam beliau karena beliau merupakan satu-satunya pedagang mie ayam di SMA Negeri 3 Yogyakarta. Beliau lahir di tahun 1977 di Wonogiri, anak ke enam dari tujuh bersaudara. Cak kasno bisa dianggap sebagai orang penting di SMA N 3 karena hanya beliaulah yang menjual mie ayam di kantin SMA tersebut. Kantin SMA N 3 terdiri dari empat warung yang menjual makanan yang relatif berbeda. Namun sejak tahun 1990-an, mie ayam Cak Kasno tidak pernah tergantikan dengan warung mie ayam lainnya. Jika dilihat sekilas, mie ayam Cak Kasno mirip seperti mie ayam khas Wonogiri. Beliau memang lahir di Wonogiri tetapi perjalanan mie ayam beliau tidak dimulai dari Wonogiri melainkan dari Yogyakarta.
Perjalanan Mie Ayam Cak Kasno bermula dari kakak pertamanya, Pak Giat. Singkat cerita, Pak Giat pada sekitar tahun 1970an pulang dari merantau di Jakarta. Beliau bekerja dengan orang keturunan Cina yang memiliki restoran mie di sana. Beliau memutuskan untuk kembali ke Yogyakarta setelah merasa bekerja di Jakarta tidak menimbulkan perubahan dalam hidupnya. Di Yogyakarta, menurut Cak Kasno, Pak Giat awalnya bekerja serabutan. Namun di sekitar tahun 1985, Pak Giat terfikir untuk membuat mie versinya sendiri. Beliau kemudian menghubungi salah satu rekan kerja beliau ketika di Jakarta yang menurut beliau sangat akrab dengan pemilik restoran mie tersebut. Beliau kemudian menemukan bagaimana cara membuat mie dan mulai membuat mie nya sendiri. Tanpa mesin, mie tersebut beliau buat sendiri hingga akhirnya jadilah mie dengan tekstur lembut, tipis, tidak terlalu kenyal, dan dapat menyatu dengan bumbu yang akan dipadukan.

Setelah mie ala Pak Giat itu sudah ada patokannya atau sudah fixed, beliau membuat bumbu versi beliau sendiri. Bumbu yang beliau ciptakan memang sangat khas karena menurut kami bumbu mie ayam tersebut tidak pernah kami temukan di mie ayam lainnya di Yogyakarta. Cocok dengan lidah orang Yogyakarta yang menyukai rasa manis, mie ayam Pak Giat ini saat dimakan rasanya sangat legit. Namun kenikmatan yang kami rasakan ini ternyata tidak sama dengan apa yang dirasakan masyarakat Yogyakarta pada tahun 1985-an tersebut. “Biyen nek payu sedina isa mung limang mangkok, kuwi wae ra mesti “. “Dulu kalau laku sehari bisa hanya lima mangkok saja, itu juga tidak pasti” kata Cak Kasno. Menceritakan hal tersebut, Cak Kasno teringat bagaimana ia ikut mendorong gerobak mie ayam tersebut. “Dodolan e ki nganggo gerobak cilik kae lho, sing koyo gerobak cilok. Mengko njuk mie ne di delehke neng ngisor”. “Jualannya itu menggunakan gerobak kecil itu, yang seperti gerobak cilok. Kemudian mie nya di letakkan di bawahnya” begitu kata Cak Kasno sembari beliau memperagakan mendorong gerobak tersebut dan bagaimana beliau menyiapkan mie ayam di gerobak tersebut kepada kami. Karena gerobak yang kecil, mereka hanya membawa sekitar dua puluh mie saja setiap harinya. Rute jalan yang mereka lalui untuk menjual mie ayam tersebut bermula dari rumah Pak Giat di daerah Blunyahrejo, melewati SMA Negeri 3 yang dulu masih satu gedung dengan SMA Negeri 4, lalu kembali ke rumahnya.

Cak Kasno mengatakan bahwa ketika berkeliling menjual mie ayam, mereka biasa berhenti di Selatan gedung SMA N 3 ketika sedang memasuki waktu istirahat. Kemudian mereka memutuskan untuk menetap di Selatan SMA N 3, di atas gorong-gorong kering yang mereka tutup dengan bambu sebagai pijakan. Kata beliau, mulanya pembeli mie ayam mereka adalah satu siswa SMA N 3 dan pedagang lain di sebelah mereka yang sudah lebih dulu berjualan di daerah tersebut. Dua orang inilah yang menurut kami membuka kesempatan beliau hingga akhirnya bisa mempunyai kantin sendiri di gedung SMA N 3. Asumsi kami, siswa SMA N 3 tersebut memberitahu teman-temannya tentang mie ayam yang dijual oleh Pak Giat dan Cak Kasno. Kemudian pedagang di sebelah mereka sudah lebih dulu pindah berjualan di gedung SMA N 3 sehingga mungkin saja pedagang tersebut, yang setelah diketahui panggilannya adalah Babe, merekomendasikan ke pihak sekolah untuk meminta mereka berjualan di kantin SMA N 3.
Pada tahun 1991 mie ayam mereka semakin terkenal. Butuh waktu lima tahun bagi bisnis mie ayam mereka untuk akhirnya bisa memiliki tempat yang settle. Di tahun ini, mereka diminta berjualan di kantin gedung SMA N 3 yang sudah tidak jadi satu dengan SMA N 4 lagi. Singkat cerita, Cak Kasno mengatakan bahwa sekitar dua tahun berikutnya SMA N 4 meminta Pak Giat untuk berjualan di kantin SMA N 4. Menurut asumsi kami, guru-guru yang mengajar di SMA N 3 juga mengajar di SMA N 4 dan sering membungkus mie ayam mereka untuk dimakan di SMA N 4 sehingga memungkinkan adanya persebaran mie ayam Pak Giat dan Cak Kasno yang ada di SMA N 3 ke SMA N 4.
Dengan skenario yang kemungkinan sama, kurang lebih dua tahun berikutnya, Pak Giat membuka cabang mie ayam di SMA Muhammadiyah 1 atau SMA Muhi yang juga berada di daerah Karangwaru tidak jauh dari SMA N 4. Alhasil, saat itu Pak Giat sudah memiliki tiga cabang, SMA N 3 yang dijaga oleh Cak Kasno, SMA N 4 oleh adik Pak Giat lainnya, dan SMA Muhi dijaga oleh Pak Giat itu sendiri.
Karena bisnis mie ayam Pak Giat semakin terkenal, saudara kandung dari Istri Pak Giat yang dipanggil Pak Pendek kemudian tertarik untuk membuka usaha mie ayamnya sendiri. Pak Pendek membeli mie buatan Pak Giat yang kini sudah tidak lagi dibuat menggunakan tangan namun menggunakan mesin sehingga lebih cepat dan praktis. Bumbu mie ayam yang dibuat oleh Pak Pendek berbeda dengan Cak Kasno, lebih gurih dan lebih sedikit menggunakan lada. Pak Pendek membuka warungnya pertama kali di daerah Jl. AM. Sangaji di depan gedung yang sekarang menjadi Hotel Tentrem. Karena tekstur mie yang berbeda dengan mie ayam lain yang semakin booming di Yogyakarta, mie ayam Pak Pendek juga mengalami kesuksesan sehingga berhasil memiliki beberapa cabang dengan konsep kakilima.
Sementara itu, adik-adik Pak Giat yang lain juga membuka mie ayam ala mereka sendiri. Salah satunya ada di daerah Timoho di dekat tempat yang sekarang menjadi Alive Fusion Dining namun dengan rasa yang berbeda dengan mie ayam Pak Giat. Lalu karena adik perempuan Cak Kasno yang ke 7 yang mulanya menjaga warung mie ayam di SMA Muhi menikah, mertua adik Cak Kasno tersebut meminta adik Cak Kasno untuk tinggal di Wonogiri karena mertua tersebut tinggal sendirian. Mau tidak mau, adik Cak Kasno kembali ke Wonogiri dan di sana ia masih tetap menjual mie ayam ala Pak Giat yang mungkin saja menjadi penyebab kenapa mie ayam ala Pak Giat sangat mirip dengan mie ayam khas Wonogiri. Usut punya usut, adik Cak Kasno tersebut juga merupakan pedagang mie ayam pertama di Wonogiri, namun kebenarannya masih belum diketahui.
Mie ayam semakin terkenal di Yogyakarta. Hal ini menyebabkan banyak orang yang memesan mie buatan Pak Giat untuk mereka olah sendiri. Yang awalnya hanya saudara dan tetangga saja, kini mie buatan pak giat tersebut sudah dibeli oleh banyak warung-warung maupun restoran mie ayam yang ada di Yogyakarta. Seperti salah satunya adalah restoran yang cukup terkenal yaitu Mie Ayam Ceker Bandung, dengan sedikit modifikasi di bahan mienya.

Pengalaman Cak Kasno tadi tentu memberi dampak terhadap dirinya sendiri dalam menjalani kehidupannya. Meskipun hanya lulusan sekolah dasar, semua pengalaman Cak Kasno menurut kami lebih aplikatif dibanding hanya mengenyam pendidikan akademik saja tanpa praktiknya. Cak Kasno sudah ikut bekerja dengan kakaknya, Pak Giat, sejak umur kurang dari 14 tahun. Beliau turut merasakan proses pembuatan mie milik Pak Giat dari awal masih menggunakan tangan hingga sampai menjadi mesin. Beliau mengatakan bahwa mie Pak Giat lebih enak ketika masih dibuat menggunakan tangan. Cak Kasno menceritakan proses pembuatan mie tersebut sembari memperagakan dengan sangat mendalami. Terlihat Cak Kasno membayangkan dirinya sedang menguleni adonan, menguntai mie, mengulangi prosesnya lagi, sampai-sampai beliau juga sempat mengusap keringat di dahinya tanpa sadar.
Dengan gaya hidup yang sederhana, beliau tidak pernah bosan melakukan hal yang sama setiap harinya. Bangun jam 4 pagi untuk belanja bahan-bahan di pasar, kemudian menyiapkan bumbu-bumbu, lalu menuju SMA N 3 bersama istrinya, Mbak Yanti, untuk menjual mie ayam dari pukul 7 hingga pulang pukul 4 sore atau lebih. Tidak jarang beliau juga mendapat pesanan dari siswa SMA N 3 untuk konsumsi event mereka. Beliau juga sempat menjadi salah satu penjual di aplikasi Go-Food meski hanya dalam beberapa minggu saja, itupun karena ada tawaran dari alumni SMA N 3.
Meskipun beliau hanya seorang penjual mie ayam di kantin SMA biasa, beliau sangat memberikan pengaruh pada pribadi siswa-siswa SMA N 3 ini. Beliau yang selalu berbicara dengan bahasa Jawa membuat siapapun yang berdialog dengannya, mau tidak mau, harus paham dengan bahasa Jawa. Bukan karena beliau tidak fasih dalam berbahasa Indonesia, melainkan bagi beliau menggunakan bahasa Jawa bisa menyebabkan orang-orang akrab dengan lebih cepat. Lalu, beliau yang berkepala dingin menyebabkan siswa-siswa yang sering curhat atau cerita kepada beliau menjadi lebih mudah dalam menemukan solusi (berdasarkan wawancara singkat pada siswa dan alumni SMA N 3).
Beliau ramah terhadap seluruh warga SMA N 3. Beberapa kali beliau ikut bermain voli dengan siswa, olahraga malam bulutangkis di gedung argabagya SMA N 3 bersama guru, siswa, dan pedagang di kantin lainnya, hingga datang ke seluruh event yang diselenggarakan SMA N 3 baik untuk eksternal maupun internal. Karena keaktifan beliau dan lamanya beliau berdagang di SMA N 3, beliau memiliki banyak sekali cerita tentang semua hal yang berhubungan dengan SMA N 3.
Mulai dari kegiatan dan masalah yang dialami SMA N 3 selama bertahun-tahun, hingga permasalahan internal siswa dari generasi ke generasi. Ibaratnya, Cak Kasno merupakan informan kunci bagi siapapun yang mencari informasi mengenai sejarah perkembangan SMA N 3. Mengapa demikian? Guru-guru di SMA N 3 sudah banyak yang berganti, sehingga hanya beberapa guru saja yang mengerti betul sejarah perkembangan SMA N 3. Kemudian, tidak semua guru peka terhadap siswa mereka karena dianggap killer atau ada hal-hal lain yang menyebabkan siswa tidak dekat terhadap guru. Cak Kasno sebagai orang kantin tidak memiliki batasan apapun terhadap siswa bahkan hingga ke alumni SMA N 3 karena memang banyak alumni yang beranggapan bahwa jika ingin memahami sifat-sifat, karakteristik, dan pribadi siswa SMA N 3 yang terbaru, harus bertanya pada Cak Kasno.
Cak Kasno terkadang merasa khawatir dengan kondisi siswa-siswa SMA N 3. “Sok-sok nek pas aku ning lapangan basket kae, ndang-ndang ono sing ngomong dewe karo aku. Jarene bocah-bocah saiki soyo angel diandani, ibarat e nek njaluk tulung yo tak tulungi, nek ora yo uwes. Kui jarene cah kelas telu”. “Terkadang ketika saya sedang di lapangan basket itu, tiba-tiba ada yang berbicara pada saya. Katanya anak-anak sekarang semakin susah diberi tahu, ibaratnya jika minta tolong ya aku tolong, kalau tidak ya sudah. Itu kata siswa kelas tiga”. Ketika menceritakan hal itu, Cak Kasno mengungkapkan perasaannya bahwa memang karena zaman yang sudah semakin berbeda, baik siswa maupun alumni antar angkatan semakin sulit untuk “terhubung” satu sama lain. Menurut Cak Kasno, perlu ada sesuatu hal yang bisa menghubungkan mereka. Bagi Cak Kasno, hal itu adalah perasaan saling memahami. Karena tidak jarang, perbedaan generasi dan masa-masa yang dilewati menyebabkan orang-orang semakin susah untuk saling memahami.
Beliau orang yang sangat terbuka terhadap kritik dan saran yang ditujukan pada beliau. Suatu saat, ada alumni SMA N 3 yang ingin Cak Kasno membuka cabang mie ayamnya di luar sekolah (gedung SMA N 3), sampai-sampai ada juga alumni yang ingin Cak Kasno berjualan di Jakarta dengan modal dan tempat yang sudah disediakan oleh alumni itu. Namun Cak Kasno tetap menolak. Selain karena beliau memikirkan modal dan sebagainya, beliau selalu merasa berat untuk meninggalkan kantin SMA N 3 ini.
“Nek iki (kantin) tak tinggal, njuk mengko sing ngehubungke alumni karo bocah-bocah yo sopo?” kata Cak Kasno. Artinya, “Jika nanti kantin saya tinggal, lalu yang menghubungkan alumni dengan siswa-siswa (baru) ya siapa?”. Kecintaan beliau terhadap SMA N 3 memang sangat dalam. Bisa dibilang, beliau secara tidak langsung sudah dilantik dan dikukuhkan sebagai keluarga SMA N 3 Yogyakarta. Seolah-olah, solusi permasalahan antar generasi bisa saja ditemukan melalui Cak Kasno sebagai “jembatan” antar generasi.
Sebegitu concernnya Cak Kasno terhadap keluarga-keluarga SMA N 3, atau yang biasa disebut dengan Padmanaba. Cak Kasno yang sudah lama menetap di “Padmanaba” menurut kami merupakan salah satu tonggak bagi Padmanaba itu sendiri. Karena untuk membangun pondasi yang kuat, tidak hanya batu-batu besar saja yang diperlukan melainkan juga batu-batu kecil yang seringkali kita lupakan.
Sosok Pak Giat, yang secara tidak langsung menjadi figur panutan bagi Cak Kasno, kini telah membuat Cak Kasno itu sendiri menjadi figur panutan bagi banyak warga SMA N 3. Terkadang tidak hanya presiden, jendral, pengusaha sukses, atau orang-orang terkenal lainnya yang memiliki cerita kehidupan yang penuh makna. Orang-orang yang ada di sekitar kita juga memiliki cerita-cerita membangun milik mereka sendiri. Empati dan kepekaan rasa merupakan kunci untuk menemukan makna dibalik cerita-cerita tersebut.
Comments