top of page

Cerita dari Akhir ‘90

Updated: Jul 3, 2019

Annisa Surya, Bernarda R, dan Chairina Indita

Bu Wiwik saat muda sedang berpose dengan foto Suharto.

Krisis ekonomi dan tragedi-tragedi 1998 telah menjadi momen bersejarah dalam pembentukan Indonesia. Peristiwa tersebut memang tidak dikenang dengan monumen yang khusus sebagai pengingat, tetapi ingatan masyarakat yang melewati masa itu sudah sangat membekas bahkan ada kekhawatiran jika peristiwa itu terulang kembali, bahkan menjadi sebuah hal yang pahit jika diingat. Pasalnya perekonomian sedang sangat jatuh pada masa itu. Menurut Edy Suandi (2017), Krisis Moneter yang dialami oleh Indonesia ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah secara drastis dan disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Dikutip dari kompasiana.com faktor eksternal yang dimaksud adalah defisit transaksi perjalanan Indonesia yang cenderung membesar dari tahun ke tahun, dan yang mendorong terjadinya krisis moneter adalah finansial dari tiga kutub dunia, yaitu Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang pada tahun 1990-an. Krisis moneter yang dialami oleh Indonesia juga tidak dapat diselesaikan oleh negara-negara di Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia dan Thailand karena fundamental yang lemah dan gejolak politik (Kristina: 2018), sehingga Indonesia memerlukan reformasi dalam ekonomi.


Krisis moneter yang berlangsung sangat panjang di Indonesia, menimbulkan keresahan bagi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat dengan perekonomian rendah. Ketika pemerintah terbukti tidak memiliki modal cukup untuk mengatasi krisis yang berkepanjangan ini dan ditandatanganinya Nota Kesepahaman pinjaman Luar Negeri yang diajukan oleh pemerinntah Indonesia yang kemudian disetujui oleh International Moneter Fund (IMF), dengan tujuan untuk menyelamatkan bank-bank yang ada di Indonesia. Menurut Kristina (2008), terdapat kelemahan dari kejadian tersebut, seperti aliran modal berbalik arah dari arus masuk menjadi arus keluar, terjadinya kontraksi PDB yang berasal dari menurunnya permintaan domestik, dan meningkatnya jumlah pengangguran. Dari beberapa hal tersebut membuat kesejahteraan masyarakat menurun terutama bagi masyarakat dengan perekonomian rendah atau menegah kebawah. Dengan menurunnya kesejahteraan masyarakat tersebut mulai timbul keresahan demi keresahan yang mengganggu stabilitas negara. Bermula dari keresahan masyarakat terhadap pemerintah kala itu memicu kerusuhan yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Seperti yang terjadi di Yogyakarta.


Kami (penulis) tidak memiliki ingatan atas peristiwa itu karena pada saat itu kami masih sangat kecil atau bahkan belum lahir. Oleh karena itu, kami mencoba mencari dua orang informan yang memiliki pengalaman terkait dengan peristiwa krisis ekonomi dari 1997-1998 di kota Yogyakarta. Beberapa cerita mampu menjadikan gambaran suasana dan tekanan yang ada pada akhir ‘90an tersebut.


Informan pertama yang kami jumpai adalah Pak Baning yang tinggal di Sleman dan informan kedua adalah Bu Wiwik yang tinggal di Jogja Kota. Pak Baning merupakan kepala keluarga yang bekerja sebagai seorang petani. Di samping itu, Pak Baning juga sering menyempatkan diri untuk berdiskusi beragam hal dengan komunitas-komunitas mahasiswa. Ia memiliki istri dan dua orang anak laki-laki. Meskipun Pak Baning ini tinggal di Sleman, ia ternyata memiliki ingatan-ingatan dan pengalaman menarik mengenai krisis ekonomi 1998 tersebut. Menurut kesaksiannya pada saat itu yang paling terasa adalah harga-harga membumbung tinggi dan banyak demo di sudut-sudut kota Jogja. Sedangkan Bu Wiwik hanya ibu rumah tangga biasa yang mengamati kejadian-kejadian saat krisis moneter berlangsung.


Krisis moneter ini sesungguhnya sudah dimulai sejak 1997 dan puncaknya pada 1998. Krisis ini telah memicu banyak demonstrasi yang menuntut penurunan harga dan pelengseran Soeharto. Demo-demo tersebut banyak dilakukan oleh mahasiswa-mahasiswa di Yogyakarta. Saat peristiwa itu, Pak Baning sudah berkeluarga dan istrinya sedang mengandung anak pertamanya. Oleh karena itu, Pak Baning dan istrinya tidak terlalu terlibat dalam aksi-aksi demo. Namun mereka terkadang ikut menjadi penonton terutama ketika demo di bunderan UGM. Begitu pula dengan Bu Wiwik, sebagai Ibu rumah tangga ia sangat merasakan dampak ekonomi yang terjadi kala itu. Mengingat anak-anaknya masih balita dan butuh asupan tambahan dari susu formula yang harga perboxnya melambung sangat tinggi.



Bu Wiwik dan anak petamanya pada 1995.

Tidak hanya Bu Wiwik yang terbebani dengan krisis, tetapi begitu juga dengan keluarga Pak Baning yang saat itu sedang bersiap untuk kelahiran anak pertamanya. Harga-harga yang membumbung itu lah yang cukup membebani. Apalagi kebutuhan yang harus disiapkan keluarga sangat banyak sementara harga-harga sedang tidak terkendali. Pak Baning juga mengatakan bahwa beritan tentang sosial politik saat itu juga membuat tidak nyaman. Sehingga Pak Baning dan keluarga harus berjaga-jaga. Walaupun menurut Pak Baning kondisi sesungguhnya di Yogyakarta ini biasa-biasa saja kecuali mengenai harga dan demonstrasi.


Pak Baning dan anak pertamanya yanng diambil 3-4 tahun setelah krisis 1998.


Berita-berita sosial politik yang Pak Baning maksud ini terkait berita ketidakpastian politik, kekerasan aparat, dan lain-lain. Sedangkan mengenai kenaikan harga-harga, Pak Baning tidak terlalu ingat pastinya. Namun ia menimang-menimang kembali bahwa saat itu harga beras bisa naik dua kali lipat dari sekitar harga Rp 3.000,00 menjadi Rp 6.000,00 - Rp 7.000,00. Krisis ini memang telah memicu banyak demo-demo dan Pak Baning memiliki salah satu pengalaman terkait dengan demo yang terjadi di Gejayan, Yogyakarta.


Ketika demo di Gejayan ini berlangsung, Pak Baning tidak banyak terlibat selain menjadi penonton. Ia mengetahui waktu dan tempat demo dilaksanakan karena ia sempat diajak oleh mahasiswa-mahasiswa yang sering berdiskusi dengannya. Mahasiswa yang sering berdikusi ini berasal dari berbagai perguruan tinggi seperti UIN, UAJ, USD, UGM, dan juga UPN. Salah satu kelompok mahasiswa yang Pak Baning ingat kalau tidak salah yaitu FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia. Saat itu Pak Baning menyempatkan diri untuk datang karena teman-teman mahasiswa tersebut mengundangnya untuk demo.


Sekitar pukul 15.00 WIB Pak Baning sampai di Gejayan dan bertemu dengan teman-teman mahasiswa. Seingatnya, demo masih berjalan seperti biasa yang berisi orasi-orasi. Kemudian Pak Baning pamit sekitar pukul 17.00 WIB sembari mengingatkan para mahasiswa untuk segera bubar karena aparat sudah siap membubarkan dengan kekerasan. Keesokan harinya Pak Baning baru mengetahui kerusuhan benar-benar terjadi hingga memakan korban jiwa setelah ia pamit pulang. Moses gatutkaca merupakan korban pada peristiwa tersebut yang saat ini kita kenal sebagai salah satu nama jalan di Yogyakarta.


Dilansir dari tribunjogja.com, kematian Moses ini cukup mengenaskan dan sampai saat ini tidak diketahui ia terlibat atau tidak dalam demo tersebut. Namun beberapa saksi mengatakan bahwa demo terjadi, Moses sedang mencari makan malam di daerah tempat demo dilaksanakan. Moses yang dikira demonstran tersebut lalu dipukuli hingga nyawa menghilang. Kematian dan kerusuhan demo di Gejayan tersebut memberikan tekanan besar dan ketakutan pada pada warga sekitar. Mereka memilih berada di dalam rumah hingga kondisi kondusif. Hal ini dikarenakan mereka takut terjadi salah sasaran oleh aparat. Akibat peristiwa tersebut, nama Moses kemudian dikenang menjadi nama jalan. Rektor USD bernama Eka Priyatma berharap nama jalan tersebut sebagai penanda dimana tempat tersebut pernah terjadi perjuangan demokrasi.


Kemudian Pak Baning menambahkan ketika mahasiswa melakukan demo biasanya diisi dengan berbagai orasi, yel-yel, dan aktivitas yang mereka sukai yaitu memprovokasi para aparat yang akhirnya berakibat bentrok. Awalnya bentrok dimulai dengan dorong-dorangan lalu saling lempar batu dan muncul temabakan serta gas airmata dan watercanon. Ada pernyataan menarik dari cerita bentrok ini. Pak Baning mengatakan,”Mahasiswa suka memprovokasi aparat sehingga terjadi bentrok dan itu mengapa saya mengingatkan untuk bubar. Tapi mereka nggak mau karena belum saatnya dorong-dorongan dengan aparat. Kan heroik itu hehehe..”.


Kami juga tidak lupa menanyakan suasana dan kondisi Jogja ketika peristiwa itu. Menurut ingatan Pak Baning, sebenarnya kondisi Jogja biasa-biasa saja. Memang banyak demo dan harga memumbung. Tetapi masyarakat tetap bekerja dan bersekolah seperti biasa. Pak Baning dan keluarga juga mengaku tidak takut untuk keluar rumah karena isu-isu yang diibawa mahasiswa juga menyuarakan nasib mereka. Sehingga menurutnya menonton juga merupakan bentuk keterlibatan. Isu-isu yang diangkat mahasiswa tersebut ialah mengenai turunkan harga-harga, KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dan meminta Suharto turun jabatan.


Demonstrasi ini memuncak pada 20 Mei 1998 yang dikenal dengan pisowanan agung. Hari itu sepanjang Malioboro dan Mangkubumi dipenuhi oleh orang-orang yang tidak hanya mahasiswa yang katanya mencapai satu juta orang. Semua orang berkumpul dan duduk mendengarkan orasi. Selain itu, hal yang terpenting adalah ada pernyataan dari Sultan yang telah mendukung gerakan mahasiswa. Pernyataan itu merupakan pernyataan resmi setelah melihat perkembangan terakhir di Jogja. Pak Baning mengaku tidak terlalu ingat reaksi orang-orang setelah pernyataan tersebut, tetapi yang jelas Malioboro, alun-alun, dan Mangkubumi penuh dengan orang.


Tepat sehari setelah pisowanan agung, Suharto akhirnya lengser. Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan merayakan lengsernya Suharto. Menurut Pak Baning, pergantian kepemimpinan ini memberikan perubahan situasi politik yang secara mendasar memberi harapan yang lebih baik. Sedangkan perubahan ekonomi tidak terjadi serta merta. Pak Baning juga mengkritisi perubahan-perubahan tersebut yang terkait pula dengan kondisi saat ini.

“Ekonomi mungkin relatif lebih baik, pemerintah lebih demokratis, pelayanan publik lebih baik, pemberantasan korupsi juga berjalan jauh lebih baik dibandingkan jaman orde baru. Tetapi disisi lain multikulturailsme berjalan mundur. Demokrasi sakgeleme dhewe, semakin bising. Contohnya dulu nggak ada tuh sikap ekslusif kost untuk agama atau ras tertentu”, tutur Pak Baning. Pernyataan tersebut mengacu pada menurunnya sikap menghargai keanekaragaman agama, etnis, dan kebudayaan yang terlihat dari banyaknya kasus intoleransi di Jogja akhir-akhir ini. Lalu di akhir ceritanya, Pak Baning juga berpendapat bahwa, “Selain banyak hal baik, reformasi 1998 juga seperti kotak pandora yang terbuka mengeluarkan semua hal yang buruk yang dulu ditekan secara represif.”


Sama seperti ingatan milik Pak Baning mengenai Peristiwa Gejayan yang terjadi di Yogyakarta, Bu Wiwik juga sebagai pengamat dan bukan orang yang terlibat langsung dalam peristiwa tersebut. Menurut Bu Wiwik, para demonstran berasal dari kalangan akademisi yang beraksi dengan damai, namun kemudian aksi tersebut menjadi anarki karena massa yang ada provokasi dari pihak yang tidak bertanggungjawab. Hal tersebut menurut Bu Wiwik menjadi awal aksi tersebut tidak dapat dikendalikan dan kerusuhan mulai terjadi. Karena pada saat itu Bu Wiwik tidak mengalami langsung dan bahkan tidak terjun langsung ke lapangan sehingga ia hanya mendengar cerita dari saudaranya yang tinggal di sekitaran terjadinya peristiwa tersebut. Namun ketegangan tetap dirasakan oleh keluarga Bu Wiwik yang tidak tinggal di dekat terjadinya peristiwa tersebut.


Seingat Bu Wiwik, demo terjadi pada pagi hari tanggal 8 Mei 1998 di Kampus Akprind dan STTNAS Yogyakarta. Sedangkan di Universitas Kristen Duta Wacana juga melangsungkan unjuk rasa. Kemudian setelah ibadah solat jumat ribuan mahasiswa UGM melakukan unjuk rasa juga namun bertempat di bundaran kampus dan berlangsung dengan damai. Aksi-aksi tersebut merupakan sebuah bentuk keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi perekonomian yang sedang dilanda krisis moneter dan mendesak agar reformasi segera dilaksanakan (Purwadi: 2015). Disaat yang bersamaan juga terjadi aksi unjuk rasa di Universitas Sanata Dharma dan IKIP (sekarang menjadi Universitas Negeri Yogyakarta) yang mana massa memprotes terjadinya kekerasan oleh aparat pada tanggal 5 Mei 1998. Menurut cerita dari Bu Wiwik, ia tidak begitu mengetahi kenapa bisa sampai terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat. Yang ia tahu dikemudian hari bahwa ada korban jatuh pada bentrok tersebut. Dilansir dari kompas.com bahwa bentrok tersebut terjadi karena massa tersebut ingin bergerak dan ingin menggabungkan diri ke kampus UGM, namun aparat tidak memperbolehkannya dan aparat mulai memaksa para demonstran untuk bubar dengan melakukan penyerbuan yang dimulai dari penyemprotan air dan tembakan gas air mata di depan Hotel Radison (yang saat ini dikenal dengan Jogja Plaza Hotel). Mahasiswa beserta masyarakat pun melawan dengan melempar batu bahkan petasan serta bom molotov.


Tempat tersebut merupakan tempat untuk ajang pertarungan antara pengujuk rasa dengan aparat yang mencegah mereka untuk bergabung ke UGM (Purwadi: 2015). Keadaan semakin mencekam hingga dini hari di daerah tersebut, suara tembakan terdengar dengan hiruk pikuk mahasiswa yang melarikan diri mencari tempat aman untuk berlindung. Hingga ditemukannya tubuh tak berdaya yang diketahui bernama Moses Gatutkaca. Bu wiwik sendiri mendengar kabar tersebut, namun banyak kabar yang simpang siur terkait identitas Moses. Bu Wiwik menyebutkan jika ada kabar bahwa Moses tersebut merupakan mahasiswa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan ada juga berita bahwa Moses tersebut sudah lama lulus dari universitas dan pada saat itu sudah berumur 40 tahun, hingga saat ini Bu Wiwik belum mengetahui kebenaran yang pasti dari identitas Moses Gatutkaca tersebut.


Berdasarkan hasil visum yang dimuat pada artikel milik purwadi (2015), Moses mengalami pendarahan telinga dan mulut dan diduga mengalami retak tulang dalam dasar tengkorak, yang berasal dari pukulan benda tumpul di area kepala. Berdasarkan hal tersebut, Bu Wiwik bercerita bahwa dengan kejadian tersebut Jalan Colombo yang berada di sebelah Hotel Radison (yang sekrang menjadi Jogja Plaza Hotel) diubah namanya menjadi Jalan Moses Gatutkaca sebagai bentuk penghormatan atas meninggalnya Moses. Hal tersebut yang diingat oleh Bu Wiwik ketika terjadinya krisis moneter yang membuat nama jalan di Kota Yogyakarta berubah menjadi nama seseorang untuk mengenang dan memberi penghormatan pada masyarakat yang gugur kala itu. Kemudian ingatan Bu Wiwik untuk Pisowanan Ageng sama seperti ingatan milik Pak Baning. Masyarakat berbondong-bondong untuk menuju Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta untuk acara tersebut. Pisowanan Ageng ini merupakan sebuah ritual pertemuan antara rakyat dengan raja dalam tradisi keraton. Namun banyak pihak yang mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan gerakan rakyat Yogyakarta, yang mana terlihat peran rakyat yang amat nyata dalam aksi satu juta orang menjelang runtuhnya Suharto di Yogyakarta (Saptono: 2008).


Krisis moneter yang kerap kami dengar selama ini memang terdengar mengganggu –tidak sepenuhnya kami rasakan, namun vibe dari semua kejadian perekonomian yang membuat kami takjub berda di masa itu. Ketika semua kebutuhan menjadi naik harganya dalam waktu yang singkat, sementara penghasilan tidak berubah nomenialnya, merupakan sebuah ketakutan nyata dalam setiap kehidupan berumah tangga bahkan bermasyarakat. Krisis yang diawali pada tahun 1997 hingga 1999 ini menjadi semakin buruk pada tahun 1998. Rupiah terhadap Dollar tertekan disebabkan pasokan barang yang menurun dengan tajam karena kegitan produksi berkurang dan jalur distribusi terganggu karena rusaknya sentra-sentra perdagangan karena kerusuhan Mei 1998. Sebagai konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan demikian, ‘kepasrahan’ Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999. (3:1999)


Menurut Tarmidi (1999), krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya. Selain itu, juga terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan yang lemah. Tarmidi juga menyatakan bahwa titik permasalahan kemerosotan Rupiah saat itu adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang, dan utang-utang tersebut tidak mampu dibayarkan tepat waktu sehingga mendapatkan bunga yang besar dalam bentuk dollar –yang mana saat itu sedang jauh menguat diatas Rupiah.


Memang krisis moneter dan juga kejadian-kejadian besar di akhir ‘90an merupakan fenomena besar negeri yang tidak bisa sepenuhnya kami pahami seutuhnya secara rasa, namun kami coba untuk pahami dari berbagai cerita mereka yang berada di dalamnya –krisis yang berimbas pada perekonomian, kehidupan sosial, dan juga kelanjutan Indonesia.


Referensi:

1. Mrf. 2016. Mengenang Terbunuhnya Moses Gatutkaca Saat Reformasi Disuarakan. Yogyakarta: Tribun Jogja. Diakses dari

2. Purwadi. 2015. Tragedi Gejayan, Suka Duka Reformasi di Yogyakarta. https://blog.purwadi.web.id/tragedi-gejayan-reformasi-yogyakarta. Diakses pada 28 Mei 2019.

3. Purnomo. 2017. Mengenang Mosez Gatutkaca Korban Tragedi Mei 98 di Yogyakarta. https://m.merdeka.com/amp/peristiwa/mengenang-mozes-gatutkaca-korban-tragedi-mei-98-di-yogyakarta.html. Diakses pada 28 Mei 2019.

4. Saptono. 2008. Keberuntungan Yogyakarta Punya Rakyat yang Istimewa. https://amp.kompas.com/nasional/read/2008/10/03/07192665/keberuntungan.yogyakarta.punya.rakyat.yang.istimewa. Diakses pada 28 Mei 2019.

5. Tarmidi, L. T. 1999. Krisis Moneter Indonesia : Sebab, Dampak, Peran Imf dan Saran.

35 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page