top of page
Writer's pictureCharistya Herandy

Cinta dan Kasta: Anak Perempuan di Bali (Kisah Indira, perempuan Brahmana)


Digambar Oleh Paramitha Maharesmi (Sahabat SMAku)

Menikuk perdebatan demi perdebatan karena cinta dan kasta, pada satu titik, Indira pun bertanya pada ibunya, “Bahkan jika saya menikahinya, saya tetap saya, Bu. Saya bukan orang yang berubah. Akankah engkau tetap mencintaiku?”. Ibunya bahkan tidak bisa menjawabnya secara langsung, malah ia melanjutkan mengatakan hal-hal lain tentang bagaimana orang tua menginginkan hal-hal terbaik untuk anaknya. Dan yang terbaik bagi Indira adalah tidak menikahi seseorang di bawah kasta Brahmana karena Indira tidak akan bahagia.
Bagaimana ini menjadi sangat menyakitkan terjebak dalam keluarga yang membuatnya terdengar seperti orang gila? Bagaimana bisa menyenangkan orangtuanya namun juga merelakan dirinya kehilangan kesempatan untuk hidup dengan pilihannya sendiri?
Apakah ada yang bisa membantu? Dia yakin masih banyak anak perempuan sepertinya terjebak dalam hubungan orang tua-anak yang menyiksa karena cinta dan kasta.
Tapi, lagi-lagi dia juga masih mempertanyakan;

Kisah Indira adalah salah satu dari banyak kisah perempuan-perempuan di Bali yang memiliki siksaan tersendiri karena cinta beda kasta. Postingan di Line, Instagram, dan blog-blog pribadi mengenai curahan hati mereka membawaku untuk merasakan di posisi mereka—minimal membuka hati dan pikiran untuk mendengar. Berawal dari postingan Indira Tjokorda di Line, aku mulai memainkan jariku di google dan mencari kisah-kisah lainnya.


Mencintai orang lain yang berbeda kasta—bagi orang Bali—ternyata tidak sesederhana larangan dan aturan, tidak sesederhana hukuman dan sanksi. Cinta beda kasta menjadi hal kompleks yang kalau aku kerucutkan kepada hubungan orang-tua dan anak, atau minimal keluarga terdekat, menjadi ‘momok’ yang menyeramkan. Memang bukan tentang salah dan benar, orang tua dan anak—bahkan kasta itu sendiri—tidak bisa kuklaim salah ataupun benar. Tetapi toh tulisan ini akan tetap kubuat, bukan untuk menunjukkan kebaikan atau keburukan, salah atau benar. Namun, aku membuatnya lebih kepada apresiasi dan dukunganku kepada mereka yang kisahnya kubaca.


Tulisan ini tidak fokus membahas sistem patrilineal, pernikahan antar kasta atau hukuman di Bali. Melainkan lebih kepada bagaimana relasi orang tua-anak, bagaimana anak perempuan itu dimaknai, dalam konteks anak perempuan yang jatuh cinta beda kasta—yang tentunya terikat dengan nilai-nilai adat, agama, dsb di Bali. It’s all about love.


#1: Orang Bali: Nilai-nilai Hindu dan Kasta

Dalam kitab Manawa Dharmasastra bab III sloka 55 tertulis:

Pitrbhir bhratrbhiç Caitah patibhir dewaraistatha,
Pujya Bhusayita wyaçca Bahu kalyanmipsubhih.

(Wanita harus dihormati dan disayangi oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami dan iparnya yang menghendaki kesejahteraan diri).


Pada bab III sloka 56 tertulis lagi:

Yatra naryastu pujyante Ramante tatra dewata,
Yatraitastu na pujiante Sarwastalah kriyah.

(Dimana wanita dihormati, disanalah para dewa-dewa merasa senang, tetapi dimana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apapun yang berpahala).


Dalam ajaran Hindu sendiri, wanita—termasuk anak perempuan—bukan menjadi orang yang tidak dihargai, justru malah sebaliknya. Bila dilihat dari nilai-nilai Hindu yang ada (yang mana ini hanya sekelumit), relasi keluarga termasuk orang tua-anak—bisa juga ayah-anak perempuan—menjadi hal yang baik. Anak perempuan disayangi sebagai cara untuk menyenangkan para dewa dan mendapat kesejahteraan. Dari membaca dua sloka di atas, aku bisa membayangkan keteduhan dan rasa sayang yang seharusnya ada dalam relasi keluarga.


Tapi, toh bukan hanya nilai-nilai ajaran Hindu yang ada di kehidupan orang-orang Bali. Sistem kasta—dalam artian status sosial—juga masih ada dan sangat eksisten di masyarakat Bali. Kasta merupakan golongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna (dalam agama Hindu) yang gelar dan atribut nama seseorang diturunkan dan diwariskan ke generasi berikutnya. Dari kasta inilah aku mengajak kalian untuk mengingat lagi kisah Indira.


Secara singkat, Brahmana adalah kasta paling tinggi, selanjutnya Ksatriya, Waisya, dan paling rendah adalah Sudra. Perbedaan kasta ini bukan sekedar nama namun juga dimaknai dalam segala hal menyangkut batas sosial. Misalnya, mereka yang berkasta rendah atau lebih rendah harus menggunakan bahasa yang halus dan sopan (berbeda tingkat kehalusan) bila berbicara dengan mereka yang lebih tinggi kastanya.


#2: Pernikahan Beda Kasta dan Hukumannya

Dalam kisah Indira, orang tuanya melarang keras dia untuk menikahi lelaki yang kastanya lebih rendah—bahkan untuk mencintai lelaki itupun tidak boleh. Secara adat, pelarangan pernikahan beda kasta memiliki sejarah yang cukup panjang dan berpengaruh kuat pada keluarga-keluarga Bali, salah satunya orang tua Indira. Namun, secara singkat, orang tua Indira mengatakan bahwa dia tidak akan bahagia bila menikah dengan lelaki berkasta rendah. Hal ini dapat aku sedikit pahami dari Widia Diantari yang menulis di blog pribadinya, begini:

Beberapa keluarga biasanya memberikan kebanggaan tersendiri bagi keluarga perempuan jika berhasil mendapatkan laki-laki dari kasta yang lebih tinggi. Secara otomatis kasta Aku juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi Aku harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya banten (sesajen) untuk mempelai wanita diletakkan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah yang masih sangat kental budayanya, istri harus rela melayani/ mengabdikan diri untuk para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun sekarang hal tersebut telah jarang ditemukan, namun masih ada beberapa orang yang menegakkan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kastanya.
Lain halnya jika Aku menikah dengan kasta yang lebih rendah dari suaminya, maka akan ada pernikahan secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai “ngemaling” atau kawin lari. Kemudian Aku akan turun kasta mengikuti kasta suami dan orang-orang akan berbicara dengan Bahasa yang berbeda tingkat kehalusannya kepada Aku, yang disebut dengan istilah “nyerod”. (Diantari,2017)

Dari membaca tulisan Diantari—bagiku—memang bisa dijadikan salah satu indikasi atas apa yang dikatakan orang tua Indira “tidak akan bahagia”. Tapi tetap tidak bisa dipastikan, dan tidak bisa kuklaim secara asal-asalan. Salah satu hal yang membuatku lebih yakin tentang “tidak akan bahagia” adalah hukuman, pernikahan beda kasta mempunyai hukuman yang mengikutinya. Secara sosial, hukuman bagi perempuan yang menikah dengan pria dari kasta yang lebih rendah: (1) mereka tidak diizinkan untuk pulang ke rumah di mana mereka berasal, (2) akan berbahasa halus pada orang tua dan keluarganya di Bali, (3) tidak diizinkan untuk berdoa di kuil dan adat istiadat lokal lainnya yang ditentukan. Akan lebih menarik lagi bila juga dibahas perihal hukuman namun untuk laki-laki, sayangnya bukan di tulisan kali ini ya!


Balik lagi, pada hukuman pernikahan beda kasta untuk perempuan, Ida Ayu Sadnyini dalam artikelnya mengatakan:

“Dalam Hukum Adat Bali, Brahmana Wanita (Ida Ayu) menikah dengan pria dari berbagai kasta; Kshatriya, Wesia, dan Shudra adalah perkawinan campuran dalam hal hukum adat, biasa disebut asupundung. Hukuman untuk perkawinan semacam itu, antara lain: melompat ke dalam api, tenggelam ke laut dengan batu diikat kaki, diasingkan, upacara penurunan, tidak diizinkan pulang ke rumah, berbicara halus.” (Sadnyini, 2016:546)

Meskipun selanjutnya, Ida Ayu Sadnyini membahas mengenai penghapusan hukuman adat tersebut, dan tidak adanya hal semacam itu lagi—aku sendiri tidak berani berpendapat lebih mengenai penghapusannya—karena sependek pencarianku, perempuan-perempuan di Bali masih berusaha mempertahankan keputusannya di tengah orang tua yang mengancam hubungan beda kasta. Ancaman dari orang tua tersebut lebih dikarenakan Hukuman sosial yang masih ada. Oleh karena itu, bagi mereka yang tidak sengaja ‘jatuh cinta beda kasta’ masih harus berjuang dalam pergulatan batin yang seperti menaiki roller coaster.


#3: Relasi orang tua-anak: dalam ‘payung’ adat

Bali di mata orang-orang luar, merupakan tempat yang sangat indah—ibarat surga dunia. Bukan hanya tempatnya, tetapi juga suasananya. Suasana yang terbangun ketika melihat pura-pura di halaman rumah, lalu ada juga perempuan-perempuan berbaju kebaya sederhana bali yang membawa persembahan (sesajen) sedang berjalan di pinggir jalan. Belum lagi pohon-pohon yang dibelitkan kain poleng, jalanannya yang dipenuhi pendatang, dan setiap sunset yang di pantai—semuanya begitu melegakan. Tiap tarian dan upacara adat yang ada semakin menunjukan keindahan Bali dan orang Bali itu sendiri. Hanya saja, konteks ini dilihat dari kacamata orang luar Bali. Bukan berarti semuanya itu tipuan, pura-pura, atau pencitraan semata. Apa yang aku sebutkan di atas itu benar adanya. Orang-orang Bali adalah orang-orang yang ramah dan indah.


Tetapi tetap saja, segala sesuatunya memiliki banyak sisi, dalam konteks ini kalau kugabungkan dengan pembahasan di dua subbab yang ada, sampailah pada sisi lain orang-orang Bali. Sisi lain yang bukan mengenai keindahan dan keramahan orang Bali—seperti yang dilihat menurut kacamata orang luar Bali, bukan juga mengenai suasana teduh di Bali—namun, lebih kepada apa yang ada di dalam hidup orang Bali di bawah payung adat tertentu.


Ya, adat menjadi sangat penting, ini berarti pelarangan hubungan beda kasta juga menjadi masalah penting. Larangan itu bukan sebatas peraturan lisan ataupun tertulis, namun di dalamnya menyangkut harga diri dan status sosial yang mati-matian dipertahankan—bisa karena keluarga itu sendiri bisa juga karena lingkungan sekitar yang mendesak. Kalau boleh jujur, sependek-pendeknya pikiranku, sampai pada pertanyaan “memangnya jatuh cinta bisa diatur dan dikontrol? Memangnya kita bisa sepenuhnya memilih orang yang akan kita cintai?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Tetapi kembali lagi, dalam tulisan ini tentu itu saja tidak ada apa-apanya. Lebih daripada cinta itu sendiri, orang tua memiliki pandangannya sendiri pada masa depan anak perempuannya—pandangan yang berada dalam ‘payung’ adat. Cinta beda kasta, pernikahan beda kasta—sederhananya—ada di luar ‘payung’ itu. Tidak bisa diterima begitu saja, masih banyak yang lebih –ada harga diri, pride, gengsi, ketidaknyamanan, ancaman sosial, desakan, dsb. Apakah selalu buruk ? sayangnya sejauh tulisan ini berjalan, iya.


“Iya” terutama bagi relasi antara orang tua dan anaknya sendiri. Jatuhnya, masing-masing dari mereka akan saling menguatkan benteng dan membangunnya lebih tinggi. Keadaan terburuknya, seperti kisah Indira, dia harus dapat perlakuan buruk dari ayahnya (verbal dan fisik)—karena mencintai kekasih hatinya yang berkasta rendah.


#4 Anak Perempuan di Posisi Variabel Terikat

Berawal dari kisah Indira, sekarang kita sudah sampai di sub-bab ke empat. Perjalanan singkat mengenai keluarga dan adat, cinta dan kasta. Relasi orang tua dan anak tidak benar-benar bisa murni (kasih sayang tanpa syarat) karena ada adat yang kuat. Tiap nilai dan pandangan orang tua mengenai kehidupan—termasuk anaknya, rupanya selalu menuju pada adat. Dalam kisah ini, menuju pada status sosial.


Pernikahan beda kasta masih ditolak oleh masyarakat Bali, meskipun tidak semuanya. Dalam ranah yang lebih dalam, cinta pada lelaki kasta rendah sudah menjadi hal yang buruk bagi keluarga, terutama keluarga perempuan yang berkasta tinggi. Bukan hanya karena menurunkan derajatnya di keluarga dan masyarakat, tapi juga mengenai harga diri orang tua di lingkungan sosialnya. Hukuman fisik bisa saja tidak lagi ada, tetapi hukuman sosial masih berlaku. Namun, bila dilihat secara lebih personal, ini menjadi hal emosional dan mental yang mendasar. Setiap dari perempuan itu tidak bisa lebih dalam lagi mengerti mengenai kasta, karena mereka ingin bahagia di jalannya. Tetapi, orang tua mereka juga tidak bisa lebih dalam lagi membayangkan bila anak perempuannya harus turun kasta, karena melihat situasi, sangat mungkin untuk tidak bahagia—dipandang masyarakat, diperlakukan keluarga, dsb.


Perempuan bukan tidak dihargai, mereka hanya bertepatan pada posisi sebagai variabel terikat (tergantung) dan bukan tetap, jadi kastanya pun seperti itu. Naik-turun tergantung pada kasta suami. Hal ini yang membuat orang tua-orang tua menjadi lebih tegas menentang anak-anak perempuannya yang mencintai dan akan menikah dengan lelaki kasta rendah. Maka, di paragraf akhir ini, aku bilang bukan orang tua itu tidak mencintai anak, bukan juga cara yang mereka gunakan dapat dibenarkan. Tetapi apa yang sudah ada sejak lama dan dipegang oleh masyarakat tumbuh menjadi patokan akan segala-galanya. Ini bukan hanya tentang kasta, tapi berlaku juga untuk nilai dan sistem lainnya yang telah dijadikan patokan untuk keberhasilan, kebanggaan, ketenangan, dan kebahagiaan;




Refrensi

Artikel:

Sadnyini, I. A. (2016). Punishments Of Brahmin Women Marriage To Men Of Different

Castes In Bali (In The Perspective Of Hindu Values). Mimbar Hukum - Fakultas

Hukum Universitas Gadjah Mada, 28(3), 544. doi:10.22146/jmh.16693

Belo, J. (1936). A Study of a Balinese Family. American Anthropologist, 38(1), 12-31.

doi:10.1525/aa.1936.38.1.02a00030

Website:

https://paduarsana.com/2018/04/03/balada-cinta-beda-kasta/

Postingan Line:

Diedit oleh Indira Tjokorda pada tanggal 13 Agustus 2018.

213 views0 comments

Comments

Couldn’t Load Comments
It looks like there was a technical problem. Try reconnecting or refreshing the page.
bottom of page