Cinta ditolak, Palawa bertindak!
- Leonardo Juan
- Apr 5, 2019
- 11 min read
Updated: Apr 10, 2019
Oleh: Alfian Aulia, Fahmi Rizki Fahroji, dan Leonardo Juan C.P.

Malam itu, saat langit telah menggelap, kala sepasukan SKKK— petugas keamanan universitas— mulai mengunci tiap-tiap ruangan di kampus, selagi para mahasiswa pejuang skripsi tengah bercinta dengan laptop mereka, pelataran lantai dua gedung C Fakultas Ilmu Budaya malah riuh oleh alunan musik rave dan sorotan kerlap-kerlip lampu disko.
Usut punya usut, keriuhan yang terjadi di atas kantor dekanat kampus kami tersebut merupakan hajatan pesta yang konon katanya sedang digandrungi mahasiswa se-UGM, yaitu Palawa.
Palawa, akronim dari Pesta A la Mahasiswa, merupakan hajatan pesta yang diselenggarakan oleh kakak tingkat kami, Alwan Brillian Yk beserta kolega sejawatnya di kampus. Hajatan party DIY (Do It Yourself) ini berhasil menyulap pelataran lantai 2 gedung C FIB UGM yang konon katanya angker itu menjadi lantai dansa yang meriah, diiringi oleh musik disko dan rave layaknya Djakarta Warehouse Project. Semua orang, entah laki-laki maupun perempuan, barangkali wong sugih atau sobat miskin seperti kami— berbaur jadi satu dalam ingar-bingar pesta dansa malam itu.
Anehnya, mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang-kuliah pulang) macam kami ikut terhipnotis, lantas menyempatkan diri menghadiri gempita tersebut. Singkat cerita, kami semua mendadak menyamar menjadi manusia invisible yang kapan saja bisa bergabung dengan kelompok mana pun.
Fahmi sembari berpura-pura asyik, tanpa ragu bergabung dengan jamaah joget. Sementara, Bapi berdiri di sudut ruangan, memperhatikan tingkah laku orang-orang sekaligus membantu teman-temannya menjajakan minuman nikmat. Yang paling unik adalah Juan, ia berpenampilan layaknya fotografer indoclubbers dengan kamera dan flash yang menyala-nyala; padahal sejatinya ia juga berparas penuh kecurigaan sembari memperhatikan tingkah laku para mahasiswa yang datang ke Palawa.
Hiruk-pikuk lantai dansa seakan membuat lantai ikut bergoyang, dan setiap alunan musik merasuk dalam sendi-sendi tulang kami. Musik-musik yang diputar—kalau ibarat volume paling kencang di aplikasi VLC adalah +200—kedengaran terlampau kencang. Namun, tak ada satu pun yang risau dengan ini. Tak ada satu dari mereka pun yang peduli akan kemeriahan ini, semua nampak cuek, membiarkan tubuh mereka begitu saja bergerak mengikuti setiap irama yang dipimpin Disc Jokey (DJ).
Ciri khas yang paling mencolok adalah tampilan animasi Palawa yang ciamik; animasi yang didesain sedemikian rupa seperti pada bar dan klub malam pada umumnya. Musik yang diputar tidak hanya rave dan music elektronik. Nuansa nostalgia, seperti tembang Galih dan Ratna milik almarhum Chrisye, Dahulu yang dibawakan oleh grup ikonik The Groove, serta lantunan tembang hits 80an sampai 90an lainnya menambah keriuhan pesta dansa malam itu.
Semalam itu, kami terus memperhatikan setiap detik siapa saja yang sebenarnya datang ke tempat ini, namun kami tidak mampu mengenalinya satu sama lain.
Awalnya kami sempat berpikir, ah mungkin Palawa akan ramai oleh mahasiswa FIB saja, atau sebatas anak-anak sosial-humaniora yang parasnya cukup familiar di bonbin. Namun, dari penampilan dan gaya-gayanya yang berbeda, tentu Palawa tidak hanya dihadiri oleh mahasiswa Ilmu Budaya atau sosial-humaniora saja.
Gambarannya, orang-orang yang datang ke Palawa semuanya adalah mahasiswa tanpa ciri identitas yang dapat ditebak. Beberapa dari mereka mungkin masih bisa terdeteksi dari fakultas mana, dari teman atau temannya teman yang membawa ke Palawa. Beberapa dari mereka juga bisa terdeteksi dari pakaian ataupun bahasa-bahasa yang dilontarkan. Semuanya terlihat sama tanpa ada batasan kelas, gender, maupun agama dan ras.
Lagi-lagi, Palawa sebagai ruang kumpul mahasiswa, baik yang sedang mencari kesenangan atau sekedar menghibur diri dari rutinitas harian, memberikan peluang untuk mewadahi aspirasi mahasiswa yang mencari penghidupan. Panitia Palawa sendiri menyediakan open PO (pre-order) kaos dan menjual beberapa souvenir dan merchandise di tempat—yang sepertinya keuntungannya akan dijadikan modal membuat hajatan Palawa selanjutnya.
Sementara itu, tepat di sebelah kanan setelah tangga naik, gerombolan mahasiswa FIB—yang kami ketahui orang-orangnya—menjual beer kepada masyarakat party malam itu. Agaknya, peletakan lantai dansa ini sudah diatur sedemikian rupa. Yang mana di halaman tengah yang luas dijadikan tempat untuk berdansa, dan tangga arah ke lantai tiga dibuat untuk menyalakan proyektor menyorot gambar ke screen atau tembok di depannya. Yang jelas, tempat berdiri para DJ dengan piringan hitamnya, menjadi pusat perhatian dan titik keramaian dansa itu bermuara.
Musik Disko: Antara Stigma Negatif dan Musik yang Inklusif
Secara garis besar, alunan musik yang dihadirkan dalam Palawa adalah musik disko. Ditarik dari aspek historisnya, perkembangan musik disko dalam skena musik Indonesia maupun global sangat erat kaitannya dengan piringan hitam, DJ, dan klub malam. Berdasarkan tulisan “A Fifth of Beethoven”: Disco, Classical Music, and the Politics of Inclusion” Ken McLeod (2006), menyebutkan bahwa disko merupakan salah satu jenis musik yang secara inklusif mampu menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang, kelas, gender, dan orientasi seksual untuk berdansa di klub-klub malam Amerika Serikat pada era 1970an sampai 1980an (McLeod 2006).
Fenomena inklusifnya musik disko ini semakin diperkuat oleh popularitas film Saturday Night Fever (1977)—yang diperankan oleh the one and only Vincent Vega, yakni John Travolta—yang memperkenalkan musik disko ke kalangan yang lebih luas lagi. Alhasil, musik disko dikenal sebagai musik yang mampu menyatukan berbagai kalangan untuk berdansa; meskipun pada perkembangannya musik ini menjadi semakin variatif sehingga menghasilkan berbagai macam aliran (genre) baru, seperti house music, techno, pop-disco, rave dan lainnya.
Di Indonesia sendiri, perkembangan musik disko diawali oleh maraknya pembangunan klub malam di Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin. Melansir video dokumenter yang dipublikasikan oleh Vice Indonesia, bertajuk Indopop: Disko Tak Pernah Mati di Indonesia, musik disko mulai marak dimainkan di berbagai klub malam pada era 1980an; di saat legenda musik pop Indonesia seperti Chrisye, Yockie Suryo Prayogo, Koes Plus, Guruh Soekarnoputra, dan Fariz RM sedang dalam puncak kejayaannya (Vincent, Tarigan dan RM 2018).
Pada masa itu, Tanumar merupakan diskotik yang menjadi kiblat permusikan disko di Jakarta; dimana pemuda-pemudi dari berbagai kalangan mampu menikmati musik disko di lantai dansa dengan sepenuhnya. Kultur disko di Indonesia berkembang menjadi kultur musik yang inklusif pada masa itu. “Entah kau artis, entah kau supir bis, semua berbaur menjadi satu di sini (Tanumar),” sahut DJ Vincent, seorang DJ yang cukup populer pada era 1980an dalam video tersebut.
DJ Vincent juga menyebutkan bahwa kebebasan merupakan identitas paling fundamental bagi anak muda era tersebut—sebagai perwujudan ekspresi anak muda setelah adanya peralihan dari era 1960an sampai 1970an yang sangat kaku. David Tarigan, seorang sejarawan musik juga menyatakan bahwa hal-hal seperti seks bebas, alkohol, obat-obatan terlarang menjadi topik yang lumrah diperbincangkan di lantai dansa.
Menurut Tarigan, fenomena tersebut terjadi karena adanya culture shock akan kebebasan yang diperoleh anak muda masa itu, sehingga membawa topik-topik tersebut dalam obrolan menjadi sesuatu yang dianggap keren. Hal tersebutlah yang kemudian menciptakan stigma-stigma negatif disematkan secara masif kepada kultur musik disko di Indonesia hingga saat ini.
Membawa skema musik disko ke dalam kampus bagi kami bukanlah hal yang mudah. Lekatnya musik disko dengan stigma-stigma negatif tentunya merupakan tatangan terbesar untuk menyelanggarakan acara semacam Palawa di sebuah institusi pendidikan.
Namun, kami menilai bahwa tantangan tersebut tidak begitu relevan dan signifikan, karena menurut kami apa yang dibawakan oleh Palawa kepada para mahasiswa adalah bagaimana membuat musik disko “ramah” di telinga mahasiswa—sama seperti semangat Diskoria Selekta mempopulerkan kembali musik pop Indonesia era 1980an ke atas lantai dansa.
Diskoria Selekta, duo Disc Jockey yang terdiri dari Merdi dan Aat mampu menjadikan lagu-lagu pop Indonesia era 1980an menjadi tren musik disko dalam beberapa tahun terakhir ini. Melansir wawancara yang dilakukan oleh whiteboardjournal dengan Diskoria Selekta dalam artikel Mengenal Musik Pop dan Disko Indonesia bersama Diskoria, Merdi dan Aat berpendapat bahwa semangat mempopulerkan lagi musik pop Indonesia ke dalam kultur disko Indonesia merupakan reaksi mereka terhadap larangan untuk memutar lagu berbahasa Indonesia di beberapa klub di Jakarta (Veneralda 2018).
Diskoria ingin membuktikan bahwa musik pop Indonesia tidak kalah bagusnya dengan musik pop luar negeri. Alasan tersebutlah yang memicu Diskoria untuk mendemokratisasikan lagu-lagu pop Indonesia dalam kultur disko Indonesia saat ini—dan semangat yang sama kami rasa juga dibawa Alwan dan teman-temannya saat menghelat Palawa, yakni untuk mendekatkan musik disko kepada mahasiswa. Semangat tersebut yang menurut kami membangkitkan kembali ruh musik disko sebagai musik yang inklusif dan terbuka untuk semua kalangan.
Alkohol, Rokok, dan Korelasinya dengan Musik Disko
Satu hal cukup menarik yang kami saksikan dalam hajatan Palawa kemarin adalah beberapa kawan kami nampak menjajakan minuman ‘penghangat’ suasana lantai dansa, di atas kantor dekanat yang dianggap sakral itu. Terbesit pertanyaan tidak penting dalam benak kami, “emangnya perlu banget ya ajojing sambil minum bir?”

Singkat cerita, tanpa berpikir panjang, kami malah ikutan memesan tiga botol bir yang dipindahkan dalam gelas plastik berukuran 12oz—karena mungkin kawan kami yang jual bir tidak berani terang-terangan menjual bir di lingkungan kampus. Bahkan, Bapi dengan sigap membantu kawan-kawannya menuang bir ke dalam gelas plastik karena yang membeli cukup banyak. Dengan dalih melarisi dagangan teman—padahal sih sebenarnya emang pengen minum aja—kami menikmati lantunan musik disko sembari menenggak bir Bintang Radler yang kami beli.
Meskipun begitu, kami tetap melihat beberapa orang lainnya yang asyik berjoget tanpa segelas bir ataupun sebatang rokok di tangannya. Kami melihat bagaimana para peminum ataupun perokok, yang selama ini selalu disematkan stigma negatif oleh masyarakat secara umum, mampu berbaur dengan kerumumunan lainnya yang tidak minum dan merokok di lantai dansa. Stigma-stigma yang selama ini negatif melekat pada peminum dan perokok pada acara itu pudar dalam kerumunan massa—satu sama lainnya saling menghormati dan menjaga agar lantai dansa tetap nyaman untuk semua kalangan.
Sejatinya, fenomena budaya minum dan merokok seperti ini sudah tidak asing lagi kami temui di lingkungan kampus. Entah untuk dianggap keren atau tidak, dalam perspektif kami, perilaku seperti itu tidak ada kaitannya dengan moralitas seseorang—hanya saja pengaruhnya besar dengan kesehatan pelakunya.
Meskipun begitu, kami juga merasa bahwa adanya rokok dan minum merupakan salah satu cara untuk turut terlihat “keren” dan fit in dengan kerumumunan massa di Palawa. Kami teringat satu tulisan yang cukup menarik mengenai bagaimana melihat definisi keren jika dikorelasikan dengan budaya minum alkohol yang ditulis oleh Stephen P. Hogan dkk (2014) bertajuk Identifying the Key Sociocultural Influences on Drinking Behavior in High and Moderate Binge-Drinking Countries and the Public Policy Implications.
Di situ, Hogan dkk mengutip argument Lyman dan Scott yang menyatakan bahwa sulit sekali mendefinisikan “keren” secara seutuhnya, meskipun perilaku keren ini memiliki satu pola yang sama; karakter berperilaku yang halus dan disadari atas kendali individu (Hogan, Perks and Rebekah 2014).
Dalam tulisan tersebut, Hogan dkk juga menyatakan bahwa kebiasaan meminum alkohol secara sosial dibangun seseorang untuk memperoleh pengakuan dari komunitasnya—kembali lagi, untuk memperoleh pengakuan sebagai individu yang keren. Meskipun begitu, Hogan dkk juga tidak menampik bahwa perilaku konsumsi alkohol secara psikologis mampu mengubah karakter keren seseorang menjadi “tidak keren”, ketika seseorang menenggak alkohol berlebihan dan akhirnya melakukan perilaku yang memalukan—mendeme elek.
Setidaknya, dari pengamatan yang kami lihat selama Palawa kemarin, tidak ada kegaduhan yang terjadi akibat alkohol. Mungkin karena yang dijual hanya bir dan gin, para peminum yang kami temukan masih terlihat bijak dalam berdansa. Orang-orang yang datang pun tidak ada yang mempermasalahkan adanya orang yang menenggak bir ataupun menghisap rokok.
Semuanya berdansa tanpa lelah, dan sekali lagi anggapan kami bahwa alkohol dan rokok tidak ada korelasinya dengan musik disko ternyata benar.
Pesta Semua Kalangan

Oleh karena Palawa tidak terbatas kelas dan golongan tertentu, banyak mahasiswa yang datang yang sebenarnya memiliki identifikasi masing-masing. Namun hal itu tidak terlihat karena semua membaur bersama di atas lantai dansa. Tak ada perbedaan kelas untuk pesta dansa ini.
Pesta semacam ini pada umumnya jika ditemui di klub-klub malam ternama Yogyakarta sudah pasti hanya bisa diakses oleh kelas menengah ngehe—dimana kamu harus bayar Free Drink Charge (FDC) sejumlah sekian ratus ribu rupiah untuk ber-ajojing-ria. Namun, kami melihat bermacam purwa rupa dalam hajatan pesta ini; entah kawan kami yang beli rokok ketengan aja masih ngutang temannya, ataupun mahasiswa-mahasiswi fakultas seberang yang tentu bentukannya lebih layak untuk datang ke acara semacam ini.
Lantas, mengapa sih Palawa mampu menggabungkan semua kalangan, entah kawan kami yang kerenya kebangetan ataupun mas/mbak fakultas seberang yang kece-kece?
Kami menelisik salah satu artikel dari jurnalis Agregasi Solopos (2019) yang menceritakan ruang hiburan bagi masyarakat umum di Sociëteit di Kota Solo. Pada tahun 1874, terdapat salah satu gedung yang difungsikan sebagai tempat para bangsawan dan orang Eropa bermain kartu, pesta topeng, pesta minum, dan dansa mulai terbuka untuk pribumi, yaitu Sociëteit Harmonie.
Gedung ini bertransformasi menjadi ruang yang inklusif, karena hiburan ini juga dibangun di atas tanah masyarakat Solo, dan seiring berjalannya waktu kegunaannya pun mulai bergeser menjadi sarana pendidikan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa kata Sociëteit dalam bahasa Belanda berarti masyarakat. Sesuai dengan arti katanya, Societeit menjadi pusat berkumpulnya masyarakat Solo.
Masyarakat Solo pada zaman dulu kerap menyebutnya ngesus dari kata soos. Dalam konteks Palawa, tak heran jika gedung C FIB UGM yang sebenarnya berfungsi sebagai sarana transfer ilmu pengetahuan, mampu disulap menjadi sarana transfer ‘kesenangan’, yang dibungkus dalam sebuah pesta dansa ala mahasiswa. Maka, baik di Solo atau pun di kampus, ruang inklusif semacam ini dapat menjadi institusi sosial baru yang melahirkan kultur-kultur hiburan tanpa memandang perbedaan kelas.
Satu hal yang menarik, Palawa juga menyatukan insan terlepas dari gender apa pun. Kami perhatikan beberapa orang datang berpasang-pasangan, yang membuat kami berprasangka sekaligus teriris hati—yang sebenarnya sakit tak berdarah, mereka—berdansa dan bertamasya di antara kerumunan manusia. Jika tidak berpasangan, mahasiswa datang secara gerombolan, yang banyak kami lihat ini adalah para perempuan. Tidak ada dari penglihatan kami perempuan datang sendiri.
Melihat ini, kami ingat dengan tulisan Tracy Webster (2010) tentang “The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia”, yang membahas fenomena dugem di klub-klub malam di Yogyakarta. Dari sudut pandang Webster, ia melihat bahwa ada beragam alasan perempuan datang ke ‘dance party’—mulai dari keinginan untuk diakui di lingkungan pertemanan, atau hanya sekadar mencari kesenangan semata.
Webster menyatakan bahwa perempuan cenderung datang ke tempat dugem ketika ada yang mau membayarinya masuk, bahkan beberapa enggan datang jika sendiri. Selain itu, ada pula yang menerima ajakan dari laki-laki atau temannya supaya tidak kalah gaul atau dianggap kuper (kurang pergaulan).
Kemudian, konsep “power of feminity” Harriot Beazley (2008) pun menjawab kecurigaan kami pada gerombolan perempuan-perempuan ini. Tentu konseptualisasi tersebut berangkat dari isu gender yang ganas yang marak terjadi. Alih-alih, fenomena sosial semacam dugem bagi para perempuan muda juga erat kaitannya dengan persoalan relasi kuasa yang terwujud dari ketimpangan akses perempuan dalam menegosiasikan ruang sosial yang didominasi laki-laki—sehingga terkadang perempuan yang datang ke tempat dugem acapkali dilabeli perempuan nakal, pelacur, atau pegawai seks.
Anggapan-anggapan semacam itu yang menempatkan posisi perempuan sebagai jenis kelamin yang “salah” di tempat yang “salah”. Lantas, pendobrakan stigma melalui partisipasi perempuan dalam hal ini juga menjadi kekuatan bagi mereka sendiri, terlepas mereka datang sendiri, berpasangan, atau pun gerombolan.
Cinta ditolak, Palawa bertindak!
Palawa bagi kami suatu fenomena yang aneh namun unik, dimana dalam satu malam, ratusan mahasiswa dari berbagai fakultas di UGM dapat berkumpul dan bersenang-senang bersama dalam alunan musik disko. Satu hal yang kami apresiasi dari Palawa adalah hajatan ini mampu menyediakan ruangan pesta yang nyaman dana man untuk semua kalangan mahasiswa—entah mereka kuliah di UGM atau tidak, entah mereka laki-laki atau perempuan, entah mereka sobat miskin ataupun mas/mbak kece—semua orang larut dalam kerumunan yang sama.
Sejauh pantauan kami, tidak ada kegaduhan ataupun kekerasan seksual yang terjadi; padahal, menurut artikel yang dimuat di Tirto.id bertajuk Festival Musik: Neraka Kekerasan Seksual bagi Perempuan, acara semacam Coachella saja rawan sekali dengan tindak kekerasan seksual (Khalika 2018). Palawa tidak pernah diawasi oleh aparat berseragam layaknya di klub malam—palingan hanya SKKK yang mengusir kerumunan massa secara perlahan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam—meskipun begitu, semua orang tetap bijak dan saling menghormati satu sama lain di lantai dansa.
Menurut kami, Palawa berhasil menginstitusikan kesenangan bagi seluruh mahasiswa seantero UGM. Layaknya hajatan dangdutan di kampungnya Fahmi di Subang, Jawa Barat, Palawa berhasil menyatukan semua insan untuk melakukan satu kegiatan yang sama, yaitu bersenang-senang.
Semua orang yang datang ke Palawa larut dalam kesenangan yang sama, entah itu karena alunan musik disko yang up-beat banget, bertemu dengan kawan-kawan lama, ataupun karena bisa cuci mata dan mencuri kesempatan untuk berkenalan dengan mas/mbak mahasiswa fakultas sebelah.
Palawa mampu menjadi pelarian yang asyik untuk kalian yang sedang stress skripsi yang tak kunjung rampung, mumet dengan tumpukan tugas review dan paper yang tak kunjung usai, ataupun untuk kalian yang sedang pupus harapan karena mas/mbak cem-ceman online di WhatsApp namun pesanmu tak kunjung dibalas. Cinta, skripsi, tugas, atau apapun masalahmu ditolak—Palawa bertindak!
Referensi
Beazley, Harriet. (2008, October 18). I love Dugem: Young women’s participation in the Indonesian dance party scene. Intersections: Gender and Sexuality in Asia and the Pacific.
Hogan, Stephen P., Keith J. Perks, dan Russell-Bennet Rebekah. 2014. “Identifying the Key Sociocultural Influences on Drinking Behavior in High and Moderate Binge-Drinking Countries and the Public Policy Implications.” Journal for Public Policy & Marketing 93-107.
McLeod, Ken. 2006. ""A Fifth Beethoven":Disco, Classical Music, and the Politics of Inclusion." American Music 347-363.
Webster, Tracy W. 2010. The Glittering World: Female Youth and Nocturnal Dugem Space in Yogyakarta, Indonesia. Asian Institute of Technology: SAGE Publications.
Artikel Media Massa
Agregasi Solopos. 2019. Mengenal Societeit, Tempat Dansa dan Pesta Elite di Masa Kolonial. Februari 24. Accessed April 3, 2019. https://news.okezone.com/read/2019/02/24/512/2022125/mengenal-societeit-tempat-dansa-dan-pesta-elite-solo-di-masa-kolonial
Veneralda, Livina. 2018. Mengenal Musik Pop dan Disko Indonesia bersama Diskoria. April 21. Accessed April 3, 2019. https://www.whiteboardjournal.com/ideas/mengenal-musik-pop-dan-disko-indonesia-bersama-diskoria/.
Khalika, Nindias Nur. 2018. “Festival Musik: Neraka Kekerasan Seksual bagi Perempuan.” Tirto.id. 29 April. Diakses April 3, 2019. https://tirto.id/festival-musik-neraka-kekerasan-seksual-bagi-perempuan-cJpm.
Video Dokumenter
2018. Indopop: Disko Tak Pernah Mati di Indonesia. Directed by Arman Dzidzovic and Rizky Rahadianto. Performed by Vincent, David Tarigan and Fariz RM.
Hahaha betul! Keterpura-puraan adalah skill yang harus dimiliki.
"Fahmi sembari berpura-pura asyik, tanpa ragu bergabung dengan jamaah joget."
Keterpura-puraan adalah skill yang dibutuhkan untuk para etnografer! :))
Keren sih, jadi pengen parrrrrty.
Yahuud!!!