Co-working Space sebagai Ruang Kerja: Ruang Kerja Coffee and Collaboration
- Danielle Anastasia D
- Apr 7, 2019
- 6 min read
Updated: Apr 10, 2019
Oleh: Sekar Fadhilah Zahra, Danielle Anastasia D, V. Tasha Florika

Awal Mula Co-working Space
Jauh sebelum adanya krisis ekonomi, pekerjaan dengan organisasi terstruktur yang hierarkis, menempatkan para pekerjanya dalam standar kerja selama 40 jam seminggu. Namun, semenjak adanya krisis keuangan dan ekonomi tahun 2007 dan 2008 (Merkel, 2015; Gandini, 2015), sudah mulai ada cara baru yang dilakukan oleh individu, perusahaan kecil dan perusahaan besar (Orel, 2015) dengan munculnya co-working space dalam ruang kota.
Jenis ruang kerja ini dianggap sebagai bentuk baru dari infrastruktur sosial perkotaan yang memungkinkannya kontak serta kolaborasi antara orang, ide, dan tempat. Yang mana ruang-ruang kerja baru bersama kolaboratif ini menyebar di kota-kota seluruh dunia dengan Deskmag (jurnal online) sendiri yang mengklaim bahwa ada lebih dari 2500 ruang di seluruh dunia pada penghujung tahun 2012.
Dari situ, fenomena kemunculan co-working space berkembang di kota-kota yang tidak hanya terbatas pada Eropa dan Amerika saja, namun juga muncul di Asia hingga Amerika Selatan (Merkel, 2015), yang mana di Asia sendiri, bentuk ruang kerja bersama dan model bisnis ini meningkat di negara-negara Asia karena budaya yakni kolektivisme dan komunikasi konteks tinggi, serta konteks kelembagaan yakni Mega-Cities dan digitalisasi yang kuat di Asia (Bouncken et al, 2016).
Sebelumnya, istilah co-working sebenarnya bisa dilihat dari dua sudut pandang, yang pertama berarti bekerja bersama secara berdampingan, dan yang kedua adalah gabungan dari dua kata yaitu communication dan work. Kami kemudian menyimpulkan bahwa co-working merupakan gabungan dari keduanya, di mana bekerja berdampingan tentu harus disandingi dengan komunikasi yang lancar.
Pada artikel Neue Orte für Neues Arbeiten: Co-working Spaces:, penulisnya mengatakan bahwa co-working space hadir untuk memberi ruang dan pengalaman yang baru, di mana tempatnya terbuka dan tidak terkungkung seperti di bilik-bilik kantor, namun bisa digabungkan dengan coffee shop atau bahkan restoran. Dengan demikian, ide-ide kreatif dan segar pun semakin mudah untuk diasah dan diolah. Hal tersebut dilakukan di satu ruang yang sama, bahkan terkadang di meja yang sama, tanpa benar-benar mengenal orang di sekitar kita, namun tetap bisa bekerja dengan baik.
Penyebaran bentuk ruang kerja ini, mengubah 'kerja sama' menjadi kata kunci dengan harapan yang semakin tinggi untuk perbaikan kondisi sosial ekonomi pekerja, yang dikatakan oleh Richard Florida sebagai ‘Kebangkitan kelas kreatif’ atau rise of creative class, yang ia prediksi menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di awal tahun 2000-an. San Fransisco sendiri menjadi awal mula gerakan ini muncul (Gandini, 2015; Spinuzzi, 2012; Capdevila, 2013) yang mengonstruksi gagasan bekerja bersama dengan cepat yang pada akhirnya menyebar menjadi 'topik trendi'.
Hal ini menjadi upaya negosiasi ulang perkotaan dalam proses negosiasi ruang, sumber daya, dan nilai bersama yang sekaligus menantang politik neoliberal individualisasi (Merkel, 2015). Johns dan Gratton kemudian mendefinisikan rekan kerja sebagai 'gelombang ketiga dari pekerjaan virtual' yang berupaya memulihkan 'colocation' dalam mode digitalisasi produksi di mana tugas dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Dari situ, inisiatif proliferasi dan usaha rekan kerja dapat disaksikan terjadi di berbagai kota di seluruh dunia untuk memproklamirkan diri sebagai ‘gerakan rekan kerja’ yang sekarang selaras dengan konsep ‘trendi’ yang serupa lainnya yang berkembang di ekonomi pasca-krisis, seperti 'startups', 'sosial inovasi' atau 'berbagi ekonomi’ (Gandini, 2015).
Merkel (2015) menambahkan, rekan kerja, juga mengacu pada praktik saling bekerja sama dalam pengaturan kerja bersama yang fleksibel di mana meja dapat disewa harian, mingguan atau bulanan. Istilah ruang kerja bersama di sini, menunjuk ruang khusus yang diciptakan untuk memfasilitasi rekan kerja dalam pertemuan, interaksi, dan hasil pertukaran antara beragam pekerjaan, praktik, dan komunitas epistemik dan budaya.
Sehingga, co-working space kerap dinamai dengan kata hubung komunitas, ruang, dan munculnya ide-ide baru untuk menunjukkan orientasi baru, praktik, dan proses dalam menghasilkan pengetahuan yang mempromosikan lima nilai yakni komunitas, kolaborasi, keterbukaan, keanekaragaman, dan keberlanjutan.
Yang Kami Amati
Kami melakukan dua kali observasi: pada Minggu (hari libur) dan Selasa (hari kerja). Pada akhir pekan itu, kami melakukan observasi pada pukul 05.30 sore hingga 09.45 malam. Kami melihat bahwa Ruang Kerja sudah ramai orang-orang yang duduk dan membuka laptop mereka sesambil menggunakan earphone masing-masing. Pengunjungnya rata-rata mahasiswa yang berasal dari kelas menengah ke atas, hal ini kami asumsikan dari harga makanan dan minuman yang cukup mahal untuk kantong mahasiswa.
Konsepnya yang bersifat social setting ini tidak digunakan dengan baik, adanya meja besar yang bisa menampung lebih dari empat orang ini kenyataannya mereka hanya sibuk dengan tugas dan pekerjaan masing-masing yang berarti tidak adanya interaksi sosial di dalamnya walaupun mereka duduk bersebelahan dan mereka berteman.
Bukan hanya pengunjungnya yang rata-rata mahasiswa, pegawai atau pekerja di Ruang Kerja pun dipenuhi oleh mahasiswa yang bekerja paruh-waktu. Terdapat dua area yaitu area indoor yang tidak begitu luas dan outdoor yang agak luas. Kami memutuskan untuk duduk di luar karena bagian indoor-nya cukup kecil dan penuh.
Menjelang malam, semakin banyak orang memenuhi Ruang Kerja dan kami merasakan nongkrong vibes yang mulai terbentuk. Suasana nongkrong ini mulai terasa karena kami mendengar orang-orang yang bertukar cerita dan mengobrol dengan keras. Kami pun berasumsi bahwa mungkin malam hari adalah waktu yang pas untuk orang-orang saling bertemu dan bertukar cerita selepas aktivitas atau bekerja yang begitu melelahkan.
Tetapi, dari pihak Ruang Kerja juga memutar lagu dalam volume kecil agar terkesan nyaman. Untuk indoor-nya kami lebih melihat orang yang benar-benar berdiskusi karena pekerjaan atau tugas kuliah. Orang-orang yang mendatangi Ruang Kerja ini hanya memesan 1 minuman untuk dirinya dan menggunakan wi-fi dengan baik. Alhasil, semakin ramai yang datang, wi-fi akan semakin pelan jaringannya. Di luar, penerangan tidak begitu banyak tetapi cukup untuk mengerjakan tugas atau berdiskusi namun masih tetap terasa intim karena suasananya masih remang-remang.
Kami menyudahi observasi hari itu dengan merasa bingung karena co-working space yang selama ini kami pahami adalah ruang untuk bekerja dan hening, tetapi kami melihat Ruang Kerja ini lebih ke coffee shop dibandingkan co-working space. Oleh karena itu kami memutuskan untuk melakukan observasi kedua di Selasa sore.
Pada Selasa, kami tiba Ruang Kerja pada pukul 11.30 siang hari. kami melihat parkir mobil dan motor sudah memenuhi lahan parkir Ruang Kerja. Kali itu, kami memutuskan untuk duduk di area indoor. Ruang Kerja tidak seramai yang kami kira, mengingat bahwa kedatangan kami saat itu ketika masih jam kuliah dan kerja. Pun alasan penuhnya parkir di Ruang Kerja ternyata ada yang menyewa ruang untuk meeting.
Pada hari itu, kami merasakan suasana yang sangat santai dan lebih untuk bekerja. Dikarenakan hanya ada satu meja besar untuk berdiskusi, ada beberapa orang yang menarik kursi dan meja untuk digabungkan menjadi satu agar bisa berdiskusi bersama-sama. Padahal, orang-orang yang duduk di meja besar itu tidak mengenal satu sama lain. Karena kami datang di siang hari, kebanyakan orang-orang mulai memesan makanan juga sambil tetap fokus mengerjakan pekerjaannya masing-masing.
Menjelang sore hari, area di luar sudah mulai diisi oleh kelompok yang sedang berdiskusi mengenai pekerjaan atau tugas perkuliahan dan ada juga sekelompok pekerja yang baru saja selesai dari bekerja dan melanjutkan berdiskusi di Ruang Kerja. Lalu, lagu mulai diputar di sore hari. Meja besarnya mulai dipakai untuk bersama-sama dari berbagai kelompok pekerja atau mahasiswa.
***
Sempat kebingungan akan fungsi dan guna co-working space yang sebenarnya, kami mencoba untuk melihat Ruang Kerja sebagaimana ia disajikan. Meski desain interior dan suasana yang dibangun benar menawarkan ruang-ruang kerja, namun tidak bisa dipungkiri bahwa pengunjungnya tidak selalu menggunakan ruang-ruang kerja tersebut sebagaimana mestinya.
Letak meja dan kursi serta penataan area baik di dalam maupun di luar ruangan memberikan alternatif lain bagi para pengunjung, sehingga tidak selalu terasa seperti ruang kerja. Ruang Kerja sebagai ruang kerja memang benar adanya, namun hal itu tidak berarti bahwa Ruang Kerja tidak bisa dilihat sebagai tempat nongkrong dan ngobrol ala kadarnya. []
Referensi
Bouncken, R. B., Clauss, T., & Reuschl, A. J. (2016). Coworking-Spaces in Asia: A Business Model Design Perspective. In Conference: Strategic Management Society Special Conference, Contextualizing Strategic Management in Asia: Institutions, Innovation and Internationalization.
Capdevila, I. (2013). Knowledge Dynamics in Localized Communities: Coworking Spaces as Microclusters.
Gandini, A. (2015). The rise of coworking spaces: A literature review. ephemera, 15(1), 193.
King, D., & Porter, M. (2012). Outside In: Create a Library "Tech Shop". American Libraries, 43(3/4), 57-57.
Kirana. 2017. Ekologi: Kedai Kopi dengan Co-Working Space Pertama di Yogya!. http://wargajogja.net/bisnis/ekologi-kedai-kopi-dengan-co-working-space-pertama-di-yogya.html. (Diakses pada tanggal 3 April 2019 pukul 13.00)
Lange, B., & Wellmann, I. (2009). „Neue Orte für neues Arbeiten“: Co-working Spaces. In Lange B., Wellmann I., Kalandides A., & Stöber B. (Eds.), Governance der Kreativwirtschaft: Diagnosen und Handlungsoptionen (pp. 145-152). Bielefeld: Transcript Verlag.
Merkel, J. (2015). Coworking in the City. Ephemera, 15(2), 121-139.
Rus, A., & Orel, M. (2015). Coworking: a community of work. Teorija in Praksa, 52(6), 1017-1038.
Soerjoatmodjo, G. W. L. (2015). Perilaku Berbagi Pengetahuan antar Pelaku Wirausaha di Ruang Kerja Bersama. WIDYAKALA JOURNAL, 2(1).
Spinuzzi, C. (2012). Working alone together: Coworking as emergent collaborative activity. Journal of Business and Technical Communication, 26(4), 399-441.
Vim. 2018. Ruang Kerja Coffee Shop Hadirkan Konsep Co-Working Space Pertama di Jogja. http://jogja.tribunnews.com/2018/05/11/ruang-kerja-coffee-shop-hadirkan-konsep-co-working-space-pertama-di-jogja. (Diakses pada tanggal 3 April 2019 pukul 12.45)
"Orang-orang yang mendatangi Ruang Kerja ini hanya memesan satu minuman untuk dirinya dan menggunakan wi-fi dengan baik." Hahahaha Baik! :)