Esai Tanggapan II
(Pipin Mukharomah)
Usai dengan tulisan tanggapan pertama dimana kurang lebih membahas sisi pergeseran makna kopi yang bukan hanya sebatas ‘ruang’ dan ‘rasa’ tetapi merujuk pula dengan kelas sosial. Penanggap pertama [Asyifa] juga menambahkan detail mengenai lokasi (aspek keruangan) terkait dengan perbedaan dua kedai kopi. Komentar dan fakta-fakta yang ditambahkan Asyifa menurut saya [Pipin] menambah lengkap informasi pada esai utama yang dirasa masih kurang mengenai aspek keruangan “lokasi” dan pembentukan klasifikasi sosial yang terjadi pada tempat ngopi. Sedangkan, pada bagian ini saya akan mencoba menambahkan beberapa informasi yang dirasa kurang pula yakni mengenai perbedaan antara coffee shop modern dan kedai kopi kaki lima, detail deskripsi kedai kopi kaki lima dan sedikit menambahkan milik Asyifa- terbentukannya golongan kelas sosial melalui kopi.
Apresiasi dan Opini
Selepas membaca esai utama yang dapat saya disimpulkan dari penulis [Ardhi] ialah mengenai deskripsi dua kedai kopi yang coba dikaitkan dengan kelas sosial (dengan melihat pada perbedaan segmen pasar, pengunjung dan tujuan) namun masih belum dapat fokus. Deskripsi yang dituliskan Ardhi dapat dibilang cukup runtut dan tidak membingungkan serta gaya bahasa yang digunakan terkesan santai sehingga mudah dipahami. Terlihat dari bagaimana ia mengambil ilustrasi yang dekat dengan keseharian setiap orang untuk mengawali tulisannya. Seperti julukan yang ia tuturkan mengenai kopi yang erat dengan “minuman bapak-bapak” -menurut saya menjadi hal yang dapat dibayangkan oleh setiap orang pada generasi saya. Bukan tanpa sebab julukan itu ada, tapi memang kenyataannya (dulu) kopi lebih digemari oleh kalangan tua terutama bapak-bapak. Realita mengenai pengenalan kopi pada awal tulisan Ardhi menurut saya sudah cukup untuk mengajak pembaca mengenal bagaimana awal mula masyarakat memulai budaya minum kopi.
Judulnya pula, menurut saya menarik untuk dipahami, konsep Coffeeholic yang dimunculkan oleh Ardhi semacam me-representatif-kan dualisme yang ada. Dimana satu sisi mengarah pada seseorang atau kelompok yang memang sangat menyukai kopi sampai pada julukan “pecinta kopi”. Lain sisi, seseorang atau kelompok yang hanya sebagai penikmat -entah hanya melakukan aktivitas seperti nongkrong atau menikmati pengalaman dan suasana yang ditawarkan.
Pecinta kopi, menikmati secangkir kopi merupakan suatu kebutuhan bahkan sudah menjadi kebiasaan yang mungkin dilakukan di waktu senggang dan bahkan direlakan meminumnya dimana saja. Bagi pecinta kopi pula, akan terasa perbedaan antara kopi buatan rumah dan yang ada di kedai kopi. Sedangkan bagi penikmat kopi, yang hanya sekadar merasakan sensasi kafeinnya mulai dari pekerja hingga penjabat sekalipun. Penikmat kopi menganggap bahwa manfaat minum kopi dapat menjadi sumber hiburan dan wawasan. Namun bagi kalangan tertentu minum kopi bukan hanya bagaimana merasakan sensasi manis dan pahit, tetapi muatan (isi) yang menyertai aktivitas itulah yang akan berdampak lebih luas. Akan tetapi, hal tersebut sepertinya melebur dalam artian tidak dipermasalahkan lagi selama tujuan kopi seperti yang disebutkan Ardhi ‘efek kafein’ tidak hilang.
Melalui realitas antara pecinta dan penikmat, kebiasaan kopi masyarakat bukan tidak bisa dipandang sebelah mata. Akan tetapi, menurut saya budaya minum kopi menjadi sebuah gaya hidup masyarakat, kini. Dominasi penikmat “tempat kopi” daripada pecinta “citarasa khas” kopinya terlihat dari maraknya kedai kopi yang menjamur di Yogyakarta. Seperti yang telah dipaparkan Ardhi pula melalui contoh-contoh kedai modern hingga kaki lima tersebut. Kebiasaan masyarakat pula yang telah merubah dan menambah kontribusi dalam perkembangan kopi di Indonesia menjadi meluas hingga ranah pariwisata.
Perkembangan kopi juga sebenarnya tidak lepas dari bagaimana awal mula kopi itu sampai di Indonesia khususnya Yogyakarta. Dalam memaparkan mengenai historis kopi, Ardhi terbilang cukup detail dan runtut sehingga memudahkan pembaca yang awam mengenai kopi dapat menerima informasi dengan mudah. Menariknya pula, detail mengenai bagaimana proses kopi hingga alat-alat yang digunakan pada masa dulu juga dipaparkan oleh Ardhi. Bahkan menurut saya, pembaca awam mengenai kopi dapat memperoleh informasi menarik mengenai warung-warung kopi tua di Indonesia yang setelah saya lakukan pencarian masih ada yang eksis pula hingga sekarang.
Mungkin dalam perkembangan kopi di Indonesia, Ardhi seharusnya menambahkan porsi yang lebih banyak bukan hanya berhenti pada perusahan-perusahaan kedai kopi saja. Selain itu, saya merasa bahwa sumber literatur yang digunakan oleh Ardhi dalam menceritakan sejarah kopi masih perlu ditambah. Sebaiknya bisa lebih dari dua, sebab bisa jadi dari sumber-sumber lain dapat ditemukan data mengenai kopi dari segi historis.
Seperti yang saya temukan dalam artikel yang ditulis oleh Farokhah & Wardhana (2017) bahwa kopi itu merupakan produk kapitalis yang diperkenalkan di Indonesia pada era kolonialisme. Mereka memaparkan bahwa pada era tersebut memiliki aturan kewajiban menanam kopi khususnya di Jawa atas perintah VOC. Kewajiban budidaya kopi oleh pihak kolonial bukan hanya membawa dampak buruk tetapi telah mempengaruhi munculnya budaya kopi di Jawa. Namun, tidak seperti bangsawan tentunya penduduk lokal hanya dapat menikmati kopi kualitas buruk serta mengolahnya dengan cara sederhana.
Dikatakan pula, bahwa sejak masa kolonial sudah banyak penduduk lokal telah menikmati secangkir kopi di kedai kopi dan warung. Melalui cerita masa lalu, sudah dapat dilihat bahwa kopi memang diminati dari berbagai kelas sosial. Akan tetapi, sebenarnya alur tulisan yang digunakan Ardhi mulai dari pengenalan, historis kopi di dunia hingga masuk pengenalan kopi menurut saya sudah padat. Hanya saja menurut saya, sumber literaturnya yang digunakan dapat lebih bervariasi terutama pada bagian historis kopi. Sebab, melalui historis dapat dilihat bagaimana awal mula ada stratifikasi sosial yang terjadi di tengah-tengah aktivitas minum kopi.
Murah atau Mewah?
Selesai dengan pengenalan kopi, Ardhi membawa pembacanya pada bagaimana ragam kopi yang ada di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Ia membagi ragam bentuk dagang kopi menjadi dua yakni coffee shop modern berupa cafe dan semacamnya, dan kedai kopi kaki lima berupa pedagang kopi (dalam hal ini bukan kopi sachet) yang menjajakan kopinya dengan gerobak, sepeda atau bahkan mobil.
Kedai kopi memang pada dasarnya merupakan tempat dimana penjual minuman kopi dan pembeli atau sesama pembeli bertemu, bahkan dalam racikannya antara bubuk kopi dan alat seduhnya, maka dari itu kedai kopi telah memperlihatkan perannya sebetulnya. Bukan hanya sekadar mendapatkan segelas kopi akan tetapi ruang dimanapun itu atau lokasinya dapat berhasil menjadi media interaksi antara sesama pengunjung kedai dan penjual minuman kopi. Dalam hal tersebut, menurut saya Ardhi belum terlalu menonjolkan sisi lain dari budaya minum kopi dan barus sebatas pada permukaannya saja.
Dalam menuturkan dua ragam kopi tersebut, menurut saya Ardhi terlihat lebih antusias dalam memaparkan coffee shop modern ketimbang kedai kopi kaki lima sehingga menjadi kurang seimbang porsi tulisannya. Mungkin bisa dibilang Ardhi lebih tertarik dan condong mengunggulkan kedai kopi modern-terlihat dari bagian tulisannya yang begitu luwes memaparkan contoh-contoh kopi modern tersebut. Bahkan dalam bagian “ Kedai Kopi Kaki Lima”, deskripsi mengenai kelebihan kedai tersebut hanya sedikit dan bahkan dibilang lebih banyak menyebutkan kekurangannya.
Sebab, merasa kurangnya data pada bagian kedai kopi kaki lima saya akan coba menambahkan melalui informasi yang saya dapatkan dengan mengambil contoh brand dagang “Kopi Keliling (Koling)”. Walaupun brand dagang tersebut sudah disebutkan oleh Ardhi hanya saja, saya merasa bahwa data mengenai contoh tersebut masih kurang. Sebenarnya, data dan informasi mengenai Koling yang akan saya uraikan ini didapat dari hasil penelitian kecil melalui studi pustaka dan lapangan secara individu. Alasan saya studi kasus mengenai Koling sebab atas dasar ketertarikan pula akan konsep dagang yang ditawarkan oleh kedai tersebut.
Konsep dagang kopi yang begitu menjamur dewasa ini seperti yang terlihat ketika saya mengunjungi Malioboro. Kopi Keliling yang merupakan akronim dari Koling, menjadi brand dagang kopi yang sangat mudah ditemukan di kawasan tersebut. Berada di titik keramaian membuat Koling memiliki pasar yang berbeda dengan kedai kopi modern. Pengenalan kopinya juga berbeda -ibarat pepatah, Koling adalah sebuah kedai yang menjemput bola dengan sederhana (Simatupang, 2017). Melalui kutipan tersebut, menurut saya Koling hadir di jalanan tanpa memberi batas atau sekat dengan ‘tanpa ada pembatas’ khusus antara pembeli dan peracik kopi. Pengalaman yang didapatkan pula juga menurut saya menjadi lebih menarik ketimbang kedai kopi modern. Kedai kopi dengan konsep gerobak keliling dan produk kopinya pun sangat bisa dibawa berkeliling. Walaupun memang seperti yang dipaparkan Ardhi bahwa jenis kopinya tidak banyak pilihan dan tidak bervariasi.
Sekilas pula, saya akan memaparkan bagaimana awal mula brand dagang Koling sehingga dapat menambah informasi mengenai atas tulisan Ardhi. Saya mendapati bahwa Koling ini sudah populer sejak beberapa tahun lalu, pemilik bisnis Koling yakni Nicholas Deni Firma mengatakan usaha Koling dari sebuah kegemarannya mengelilingi perkebunan kopi dan mempelajari kopi sejak bekerja di sebuah kafe. "Kepikiran pengen buka kedai kopi, cuma waktu itu sewa kedai mahal," ungkapnya (Aragon, 2018).
Dalam penelitian kecil tersebut, saya sempat mendapat kesempatan mengobrol dengan barista Koling bernama Mas Bari (2019). Melalui data wawancara dalam penelitian tersebut, saya mendapat informasi yang dapat ditambahkan di sini mengenai pengenalan Koling ke khalayak umum. Pemiliknya membuka Koling sekitar tahun 2014, mulanya brand dagang mereka bernama Coffee Road 26 -konsep yang digunakan yakni style barista kekinian dan tetap kaki lima. Akan tetapi ternyata konsep monoton barista tersebut tidak berhasil dan pada akhirnya membuat pemilik menerapkan konsep “budaya”. Memasukkan unsur budaya Jawa dalam brand dagang mereka - pakaian barista menggunakan pakaian khas Jawa (sorjan) dan blangkon Jogja. Konsep baru tersebut benar terbukti dapat menarik perhatian masyarakat dan semakin berkembang hingga sekarang.
Implisit memang bagaimana saya memaparkan keunggulan Koling. Namun persoalan variasi jenis biji kopi atau jenis minuman-makanan, kedai kopi kaki lima seperti penuturan Ardhi saya setuju sudah kalah dan tidak bisa dibandingkan. Menurut saya pula, produsen alias pendiri kedai kopi modern dan kedai kopi kaki lima memang dari awal mendirikan usahanya sudah membidik konsumennya. Seperti Koling yang lebih memilih datang ke titik keramaian untuk memperkenalkan kopinya sedangkan kedai modern dimana pengunjunglah yang harus masuk ke dalam lingkaran kelas untuk dapat variasi kopinya.
Masih dalam membahas kaki lima atau warung kecil yang menyediakan kopi “ala kadarnya” (dalam artian secara kemasan bukan jenis kopi sachet). Menurut saya kedai kopi kaki lima (terlepas dari Koling) merupakan tempat dari berbagai lapisan hirarki sosial. Eksistensi kedai tersebut seakan tidak luntur akan maraknya variasi kedai modern yang ada. Terlebih lagi tempat bagi para pendatang, seperti yang dicontohkan Ardhi mengenai Angkringan Kopi Joss yang merupakan kopi kaki lima yang masih populer hingga sekarang. Padahal hanya menjajakan kopi dengan campuran arang dan tanpa atap serta suara-suara bising kendaraan. Namun tetapi saja, peminatnya tetap ada dan dari banyak kalangan. Menurut saya eksistensi tersebut bersumber dan tidak lepas dari stratifikasi sosial yang ada. Ragam kedai dengan label murah hingga mewah berkumpul membalut lapisan sosial tersebut.
Tidak pandang rupa sebenarnya konsumen kopi tersebut, menurut saya Ardhi masih kurang bisa eksplisit dan tajam dalam memaparkan perbedaan pengunjung terkait lapisan sosial yang terjadi di antaranya. Saya melihat bahwa perkembangan budaya kopi dari kalangan tua hingga muda, dari mulai pekerja bahkan pengusaha, kelas menengah atau ke bawah, dan dengan berbagai tujuan yang berbeda dapat saling membangun interaksi sebagai sebuah relasi kesetaraan. Ardhi mungkin belum sempat mengkaji mengenai bagaimana secangkir kopi dapat memunculkan interaksi yang berujung pada realisasi kesetaran dan “tanpa sekat”. Mengambil konsep dari kedai kopi kaki lima, sebenarnya konsep dagang tersebut sudah menerapkan sistem “tanpa sekat” bagi konsumennya sehingga tidak nampak kalangan dari kelas menengah maupun bawah -semua dapat menikmati kopi dengan label yang sama.
Mencoba mengulik lebih dalam bahwa kedai kopi juga bisa jadi bagian dari sub-kultur yang mempertemukan berbagai budaya dan identitas baru. Bukan sekadar realisasi kesetaraan dan “tanpa sekat”, dalam budaya minum kopi tersebut jika diperhatikan kerap terjadi pertukaran informasi, narasi, wacana, wawasan bahkan yang paling sering hiburan (tukar cerita maupun guyon). Minum kopi memang pada awalnya hanya sebatas aktivitas pengisi waktu luang dan minuman pelepas kepenatan. Dewasa ini, kedai kopi menjadi sebuah tempat yang penting bagi seseorang yang menganggapnya sebagai hobi bahkan kebutuhan. Terlepas dari itu semua, kedai kopi merupakan tempat dari berbagai golongan (suku,identitas) yang berbeda. Dimana kedai kopi mempunyai peran bagi ruang bagi hiburan, diskusi, dan perdebatan kecil di dalamnya. Aktivitas kedai kopi, membentuk kultur dan kebiasaan baru dalam berbagai sektor kehidupan (ekonomi dan sosial). Singkatnya, kedai kopi dapat menjadi potensi kultural pula yang dapat menggiring masyarakat kepada pembauran sosial “tanpa sekat” tadi.
Sependapat dengan penanggap pertama, saya juga merasa bahwa penulis utama belum dapat memfokuskan diri pada topik yang ingin dipaparkan sehingga menimbulkan berat sebelah dan tidak seimbang. Penulis seakan lebih antusias dan condong dalam memaparkan studi kasus kedai kopi modern ketimbang kaki lima. Bagian yang masih perlu ditambahkan pula ialah pada uraian lapisan sosial yang justru terlihat begitu implisit. Sisi eksplisit justru sebatas pada pengenalan permukaan dua kedai kopi dan mungkin masih perlu diperdalam. Korelasi antara topik dan isi tulisan menurut saya juga seharusnya masih perlu perbaikan entah perlu diganti atau bahkan dihilangkan. Namun, usai membaca tulisan utama penulis, saya dapat memahami tujuan dari esai tersebut.
Essai Reply
(Lia Sukma Catartika)
Essai ini merupakan essai replay penulis atas dua essai tanggapan yang akan melihat bagaimana komentar daripada dua tanggapan mengenai essai utama dan terkait keselarasan mengenai isi dari komentar dengan isi essai utama. Essai replay ini melihat dari berbagai poin yang terdapat pada essai utama dan kedua essai tanggapan dengan ditambah beberapa kritik dan saran yang sekiranya berasal dari sudut pandang lain guna menambah kelengkapan isi dari essai dengan topik kedai kopi.
Sebelum saya akan membahas mengenai bagaimana kedua tanggapan penulis terkait dengan essai utama, pertama-tama saya akan mengapresiasi bagaimana penulis essai utama sudah dengan sangat runtut berusaha menuliskan perkembangan kopi bedasarkan acuan laman https://majalah.ottencoffee.co.id. Adapun tambahan yang diberikan oleh penanggap pertama [Asyifa] lebih terfokus pada bagaimana penyampaian pergeseran makna daripada kopi secara garis besar. Sedangkan pada penanggap kedua [Pipin] lebih menambahkan mengenai bagaimana kopi dari aspek keruangan beserta contoh terkait dengan jenis coffee shop yang dirasa kurang disebutkan pada essai utama.
Replay Essai Tanggapan
Essai tanggapan pertama kurang lebih sudah menyebutkan kekurangan pada essai utama dari segi makna pengembangan topik terkait dengan pembahasan kedai kopi. Meskipun terfokus pada bagaimana pergeseran makna dari kedai kopi secara luas akan tetapi pada essai tanggapan pertama menambahkan banyak deskripsi dari sudut pandang lain terkait dengan apa yang melatarbelakangi seseorang dalam pemilihan coffee shop—lebih spesifik pada kopi kaki lima. Pada penanggap pertama secara runtun menyebutkan sesuai dengan isi dari sub-bab essai utama dan ditambahkan adanya referensi-referensi lain mengenai tambahan informasi sesuai dengan sub-bab tersebut.
Meski saya [Sukma] melihat dari sub-bab pertama—Eksistensi Kedai Kopi—lebih menjelaskan mengenai perkembangan dari sudut pandang historis tentang kopi secara luas dan mendunia akan tetapi penanggap pertama menambahkan mengenai essai utama dari sudut pergeseran makna. Pada penulisan essai utama berisi data yang menggunakan metode sejarah akan tetapi penulis [Ardhi] tidak menyebutkan secara khusus mengenai bagaimana tehnik pengumpulan data terkait dengan data yang didapatkan. Meskipun begitu baik penanggap pertama [Asyifa] maupun kedua [Pipin] tidak begitu mempermasalahkan hal tersebut. Adapun melihat dari data dan penulisan essai utama memperlihatkan bahwa penulis essai utama [Ardhi]—bedasarkan tulisan dan data dalam tulisan tersebut—menggunakan metode studi kepustakaan (library research) dan juga studi lapangan (field research) dengan observasi. Selain itu baik pada essai utama maupun penanggap pertama dan kedua sama-sama menggunakan tata bahasa yang sesuai dengan aturan ejaan atau EBI yang sesuai.
Utamanya tulisan essai utama membahas mengenai bagaimana eksistensi coffee shop yang makin marak berkembang di Indonesia khususnya di Kota Yogyakarta. Pada penanggap utama menekankan pada korelasi antara kedai kopi, budaya ngopi dengan pergeseran makna. Namun penanggap pertama kurang menjelaskan pada awal sub-bab tulisannya mengenai kejelasan pergeseran makna yang dimaksud dalam konteks apa. Selain itu pada tulisan penanggap pertama menambahkan perlunya pendefinisian konsep coffee holic pada sub-bab essai utama. Perlunya pendefinisian tersebut dirasa perlu karena sesuai dengan sub-judul yang digunakan pada bab tersebut mengenai bagaimana sebuah eksistensi kopi dalam suatu lokasi tertentu digemari oleh para orang-orang yang gemar menikmati kopi. Para penikmat kopi tersebut seakan memiliki sapaan tersendiri bagi penanggap pertama [Asyifa] sehingga perlunya kelengkapan daripada penikmat kopi yang sedang dibicarakan.
Pada essai utama secara implisit menjelaskan mengenai adanya pengaruh globalisasi terkait dengan kemunculan coffee shop yang semakin membanjiri kalangan pemuda di Indonesia. Piliang, 2010 (dalam Solikatun, 2015:61) menjelaskan bahwa globalisasi merupakan proses meluasnya pengaruh kapitalisme dan sistem demokrasi liberal yang menggiring kea rah hagemoni budaya yang menyebabkan setiap tempat menjadi sama, baik bentuk arsitektur, fashion, gadget, dan lain-lain. Perkembangan globalisasi dalam konteks kedai kopi pada essai ini bukan merupakan hal buruk atau mengarah pada hal negative. Justru seiring dengan berkembangnya zaman terkait dengan budaya minum kopi yang sudah ada sejak dahulu kini semakin berkembang dan penuh dengan inovasi-invoasi terbaru pada pengembangan kedai kopi itu sendiri. Dalam sejarah perkembangan kopi yang dituliskan pada essai utama membantu mengingat kembali bagaimana eksistensi kopi pada masa-masa tertentu seseuai dengan sejarah dari tahun ke tahun. Selain itu globalisasi yang disinggung secara implisit menjadi salah satu pengaruh yang menimbulkan berbagai macam bahasan baik dari coffee shop modern maupun adanya kedai kopi kaki lima yang masih eksis hingga saat ini.
Coffee Shop Modern dan Kaki Lima
Pengkategorian modern dan kaki lima dalam konteks kedai kopi ini masih kurang mendalam meski dalam essai utama sudah dijelaskan mengenai tingkat modernitas yang mengacu pada bagaiman lokasi kedai kopi beserta desain interior yang instagramable ditambah dengan definisi secara gamblang mengenai kaki lima. Keduanya sudah cukup memberi pemahaman mengenai adanya perbedaan antara kedua kedai kopi tersebut namun akan lebih eksplisit dan deskriptif dijelaskan supaya pembaca tidak perlu mengira-ngira antara perbedaan jenis kedua kedai kopi tersebut. Dalam penanggap essai pertama [Asyifa] tidak menambahkan mengenai definisi dari kedua jenis kedai kopi tersebut. Sedangkan penanggap kedua [Pipin] menjelaskan mendetail mengenai pendefinisian mengenai perbedaan antar kedua kedai kopi yang dijelaskan. Perbedaan yang mencolok dari segi harga tentu berakibat dari perbedaan biji kopi ataupun jenis kopi yang digunakan oleh masing-masing kedai kopi. Terlebih pada essai utama [Ardhi] menyebutkan bahwa kedai kaki lima lebih cenderung menggunakan kopi sachet dalam memproduksi kopi bikinannya. Fluktuasi harga biji kopi yang terjadi tentu ada kaitannya dengan produsen dan juga ekspor-impor dalam negeri.
Kustiari (2016) menyebutkan bahwa harga semua jenis kopi tampak menurun dan mencapai harga terendah pada tahun 2001 disebabkan oleh produk kopi di Brasilia (kopi arabika) dan Vietnam (kopi robusta) mengalami peningkatan yang drastis sebagai dampak pada keberhasilan program-program peningkatan produktivitas di kedua negara tersebut. Kustiari (2016) menambahkan harga yang turun drastic ini diduga sebagai akibat dari permainan pembeli-pembeli kelas dunia (roasters dan pengimpor) atau perusahaan multinasional yang melakukan pembelian melalui perwakilan yang tersebar di sentra-sentra produksi kopi negara produsen, seperti Nestlé di Lampung. Dalam konteks ini kaitannya dengan kedai kopi modern maupun kaki lima memiliki pengaruh dalam bahan baku yang mereka gunakan. Penggunaan bahan baku akan berpengaruh pada pemasukan dan pengeluaran pada kedai tersebut beserta marketing yang akan dilakukan pada masing-masing kedai kopi. Kaitannya dengan perbedaan golongan kelas sosial bagi penikmat kopi tentu sangat berpengaruh. Mengingat bahwa cita rasa dari kopi yang dicari para pecinta kopi yang berkorelasi dengan kelas sosial tersebut.
Pada essai tanggapan pertama disebutkan bahwa perilaku konsumtif menjadi salah satu pengaruh dari menjamurnya coffee shop. Penanggap pertama [Asyifa] menambahkan terkait dengan perilaku tersebut yang cenderung dilakukan oleh mahasiswa yang cenderung memandang coffee shop sekadar tempat ngopi. Selain itu penanggap pertama menambahkan terkait pengaruh perilaku konsumtif dengan adanya kelas sosial yang berada di kedai kopi. Hal ini menjelaskan bahwa identitas seseorang terlihat ketika keputusan para mahasiswa dalam memilih kedai kopi yang hendak disambangi tentu berkaitan dengan baik dari segi interior kedai maupun harga secangkir kopi tersebut. Solikatun (2015:61) menyebutkan bahwa modernisasi ini yang mengubah gaya hidup menjadi lebih seirama dengan gaya hidup barat bahkan terkadang dengan menanggalkan nilai-nilai budaya lama. Negara-negara barat dipandang sebagai kiblat perkembangan zaman. Sementara itu, industrialisasi berkaitan dengan melimpahruahnya barang-barang produksi yang menawarkan serba kemewahan dan instan menjadikan masyarakat berperilaku konsumtif. Selain itu penanggap pertama juga menambahkan bahwa adanya perkembangan dari segi pengunjung yang tidak lagi kopi hanya dapat dinikmati oleh kaum pria.
Veeger, 1990 (dalam Solikatun, 2015:64) menyebutkan bahwa kelompok the leisure class untuk memperlihatkan dan membedakan mereka dengan kelas sosial lainnya, maka mereka akan berperilaku konsumtif yang cenderung berlebihan dan boros yang menjadi gaya hidup untuk menunjukkan simbol status mereka. Perilaku-perilaku konsumtif menjadi contoh bahwa munculnya kelas sosial dalam kedai kopi menjadi salah satu bentuk nyata akibat dari gaya hidup konsumtif. Kelas sosial yang terjadi pada lingkup konsumsi kopi memiliki latar belakang dalam pemilihan kedai kopi. Pada essai penanggap pertama menjelaskan secara rinci menggunakn poin-poin yang memudahkan pembaca dalam memahami apa saja yang melatarbelakangi seseorang dalam memilih kedai kopi pilihan. Dalam Solikatun (2015) menambahkan bahwa The leisure class menghabiskan waktu dengan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mengonsumsi kopi. Solikatun menambahkan jadi, bisa dikatakan bahwa kelompok yang dimasukkan dalam leisure class ini menjadikan gaya hidup merupakan bagian dari diri peminum kopi. Konsumsi yang dilakukan tidak hanya untuk kepuasan sendiri tetapi untuk membuat orang lain iri dan bertujuan untuk meningkatkan status sosial.
“On the other hand, there are the one-off operations, the independent coffee bars often owned by hipster entrepreneurs with beards and tattoos, usually with very modern furnishings such as walls where the stucco work has been carefully chipped; tables made of raw scaffolding wood; shelves filled with difficult books and funky glossies; and, of course, on the counter an array of muffins, gluten-free brownies and organic soy milk. These are relatively approachable places for certain type of people: students, urban professionals and trendy, creative types that are constantly online via Wi-Fi, communicating with the rest of the world” (Rath&Gelmers, 2016, p. 125). Kutipan tersebut juga menjelaskan mengenai variasi bentuk kedai kopi yang sedang menjamur dan antara pedagang dan pembeli masing-masing memiliki cara dan bentuk dalam menampilkan pemilihan mereka. Bentuk kedai kopi yang bervariasi menjadi bentuk pilihan para masyarakat yang gencar mencari kedai kopi dan secara tidak langsung semakin memunculkan gaya hidup konsumtif. Meski tidak melulu konsep coffee shop menjadi sesuatu yang dinilai mahal namun kedai kopi dengan berbagai pilihan menjadi bentuk simbol bagi kelas-kelas tertentu dalam mengkategorikan individu masing-masing. Baik coffee shop modern maupun kedai kopi kaki lima.
Berkaitan dengan adanya konsep kedai kopi kaki lima, penanggap kedua [Pipin] menjelaskan lebih mendetail beserta contoh Koling atau Kopi Keliling yang menjadi konsep baru pada kedai kopi. Konsep ini dimana kedai kopi yang menjajakan secara keliling menggunakan gerobak pada suatu lokasi tertentu. Dalam konteks ini penulis tanggapan kedua [Pipin] lebih menyoroti pada interaksi antara pedagang dan pembeli yang tidak berjarak dan lebih dekat dengan pengunjung. Hal ini tentu membawa dampak positif karena adanya interaksi yang cukup kuat terjadi dalam menjajakan kopinya sehingga terjalin komunikasi yang baik. Meski konsep kopi keliling ini tergolong dalam kopi kaki lima namun dalam essai tanggapan kedua disebutkan bahwa ia tidak menggunakan kopi sachet seperti yang disebutkan pada essai utama. Jika pada essai utama penulis lebih cenderung menyebutkan bahwa kedai kopi kaki lima kerap menggunakan kopi sachet namun berbeda degan kopi keliling (Koling) yang menggunakan variasi biji-biji kopi dalam menyeduh kopinya. Pada essai tanggapan kedua juga menyebutkan contoh lain yakni kopi joss. [Pipin] menekankan pada konsep kedai kopi tanpa sekat yang menimbulkan kaburnya batas-batas kelas sosial yang biasa terjadi pada kedai kopi modern atau coffee shop modern. Berbagai kalangan dapat menikmati secangkir kopi joss menjadi salah satu contoh yang menunjukkan bahwa tidak semua kedai kopi menjadi pemisah antar kelas sosial dalam menikmati kopi.
“Because coffee is no longer something you can only drink while sitting at a table” (Rath&Gelmers, 2016, p. 124). Kutipan tersebut menyebutkan bahwa maraknya perkembangan kedai kopi saat ini menjadikan para penikmat kopi tidak terpaku pada cara-cara tertentu dalam menikmati kopi. Hal ini berkaitan dengan tulisan penanggap kedua yang menyebutkan mengenai Koling dan kopi joss yang tentu menjadi salah satu bentuk berbeda dalam menikmati kopi. Tanpa adanya sekat pembatas antara para penikmat kopi dan penjual kopi menjadikan salah satu alternatif baru dalam melihat kedai kopi dalam konteks kelas sosial. Perilaku-perilaku para penikmat kopi menjadi salah satu fokus dalam essai ini dikarenakan berkaitan dengan topik yang mengkaitkan dengan korelasi kedai kopi dan kelas sosial.
Kustiari (2017) dalam hal konsumsi kopi domestik, konsumsi kopi di Indonesia masih termasuk rendah dibandingkan dengan negara-negara konsumen kopi, yaitu hanya sebesar 0,6 kg per kapita per tahun. Meski tren gaya hidup yang terus berubah namun budaya ngopi di Indonesia menurut data tersebut tergolong rendah. Banyaknya peminat ngopi yang hanya bedasarkan estetika kedai tanpa mengutamakan cita rasa dari kopi itu sendiri menjadi salah satu penyebab kurangnya peminat dalam konsumsi kopi dalam negeri. Seperti yang disebutkan pada essai tanggapan pertama [Asyifa] menjelaskan ada berbagai macam motif konsumsi masyarakat ke coffee shop. Ketika maraknya social media berkembang kini segala macam aktivitas menjadi sorotan dan utamanya para masyarakat saling mengikuti lifestyle seseorang. Bukan tanpa alasan namun nilai-nilai estetika seseorang menjadi salah satu penyebab maraknya gaya hidup yang mengedepankan konsumsi semacam ini. Bedasarkan kedua essai tanggapan terhadap essai utama sama-sama menyebutkan adanya kekurangan dalam detail penjelasan mengenai fokus topik bahasan. Terlebih mengenai bagaimana kelas sosial yang terjadi dalam kedai kopi yang semakin marak. Ditambah dengan kurangnya data yang disebutkan pada essai pertama terkait dengan perilaku konsumsi dan contoh dari coffee shop dalam pembahasan. Sedangkan tanggapan satu dan dua sudah saling terkorelasi antar bahasan terkait dengan kelengkapan data mengenai topik utama yaitu korelasi kelas sosial dengan berkembangnya kedai kopi di Indonesia.
Referensi :
Afdholy, N. (2019). Perilaku Konsumsi Masyarakat Urban Pada Produk Kopi Ala Starbucks. JURNAL SATWIKA, 3(1), 43-53.
ANRICAL, A. (2018). Warung Kopi Dan Ruang Publik (Studi Pergesaran Ruang Ekspresi Waktu Senggang Ke Ruang Entitas Budaya Populer) (Doctoral dissertation, universitas negeri makassar).
Aragon, H.H.(2018). Brilio.net. Diperoleh dari https://www.brilio.net/ekonomi/koling-kopi-cita-rasa-kafe-dalam-nuasa-kaki-lim a-di-maliboro-180404t.html (diakses dari 26 Juni 2019)
Derwentyana Cherry Dharmawan, R. (2011). Desain Interior Kedai Kopi Dan Gaya Hidup Masyarakat Di Indonesia (Studi Komparatif Gaya Hidup Antara Konsumen Kedai Kopi Tradisional Dan Kedai Kopi Modern). Majalah Ilmiah UNIKOM
Farokhah, F. A., & Wardhana, A. P. S. (2017). Café versus Warkop (Warung Kopi): The Hegemony of Coffee Culture as Trans-Cultural Encounters in Dewi Lestari‟ Filosofi Kopi. Textual Mobilities: Diaspora, Migration, Transnationalism and Multiculturalism, 40.
Herlyana, E. (2014). Fenomena Coffee Shop Sebagai Gejala Gaya Hidup Baru Kaum Muda. THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa, Peradaban dan Informasi Islam, 13(1), 187-204.
Kedai Kopi Pertama di Indonesia. Diperoleh dari: https://coffeeland.co.id/kedai-kopi-pertama-di-indonesia/ (diakses pada 26 Juni 2019).
Kustiari, R. (2016). Perkembangan pasar kopi dunia dan implikasinya bagi Indonesia.
Rath, J., & Gelmers, W. (2016). Trendy coffee shops and urban sociability. In Mamadouh V. & Van Wageningen A. (Eds.), Urban Europe (pp. 123-130). Amsterdam: Amsterdam University Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/j.ctvcszzrh.18
Riswan, A. (2013). Perkembangan Warung Kopi Phoenam 1946-2006.
Said, I. 2017. Warung Kopi dan Gaya Hidup Modern Jurnal Al-Khitabah (3) 1: 33 – 47.
Saputra, R.B. 2014. Profil Pedagang Kaki Lima (PKL) yang Berjualan di Badan Jalan (Studi di
Jalan Teratai dan Jalan Seroja Kecamatan Senapelan). Jom FISIP (1) 2: 1 – 15.
Simatupang, C,G. ( 2017). Kopi Keliling : Teman Keliling di Malioboro. MinumKopi. Diperoleh melalui https://www.minumkopi.com/kopi-keliling-teman-keliling-di-malioboro/ (diakses dari 26 Juni 2019)
Simon, B. (2009). Everything but the Coffee: Learning about America from Starbucks. Berkeley; Los Angeles; London: University of California Press. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/10.1525/j.ctt1pp5hm
Solikatun, S., Kartono, D. T., & Demartoto, A. (2018). Perilaku Konsumsi Kopi Sebagai Budaya Masyarakat Konsumsi (Studi Fenomenologi Pada Peminum Kopi Di Kedai Kopi Kota Semarang). Jurnal Analisa Sosiologi, 4(1).
Yuliandri, M. T. 2015. Evolusi Kedai Kopi. Diperoleh dari: https://majalah.ottencoffee.co.id/evolusi-kedai-kopi/ diakses pada 26 Juni 2019.
Comments