top of page
Writer's pictureDanielle Anastasia D

Fenomena Penggrebekan Hotel Melati di Ruang Kota

Danielle Anastasia D

Hal pertama yang akan muncul di layar gadgetmu apabila mencari ‘hotel’ di mesin pencari daring bukanlah link menuju Wikipedia, melainkan rentetan situs pemesanan kamar hotel secara daring, mulai dari traveloka, tiket.com, booking.com, dan lain sebagainya. Kami harus meluncur sedikit ke bawah untuk menemukan link menuju situs Wikipedia, sehingga membuat kami langsung berasumsi bahwa bisnis perkara hotel ini sudah sangat maju sehingga bisa menjadi paling atas di mesin pencari daring. Lundberg dalam bukunya The Hotel and Restaurant Business menjelaskan bahwa hotel tertua di dunia terletak di Jepang, dengan nama Nishiyama Onsen Keiunkan, yang mana itu merupakan hotel dengan permandian air panas. Nishiyama Onsen Keiunkan dibangun pada tahun 705 dan masih berdiri hingga sekarang. Setelah itu, Lundberg (1994) memaparkan bahwa pendahulu dari hotel yang lebih modern merupakan sebuah inn atau penginapan yang mulai muncul di masa Eropa pertengahan. Penginapan ini diasumsikan berasal dari masa pemerintahan Romawi Kuno. Penginapan ini menyediakan kebutuhan para pelancong, termasuk makanan dan penginapan, kandang kuda dan pakan ternak untuk kuda pengembara dan kuda-kuda yang sehat untuk kereta kuda. Contoh-contoh penginapan terkenal di London termasuk George dan Tabard. Tata letak khas sebuah penginapan memiliki pelataran dalam dengan kamar tidur di kedua sisi, dengan dapur dan ruang tamu di depan dan istal di belakang. Mengutip Jacques Levy-Bonvyn dalam artikelnya yang berjudul Hotels: A Brief History, ia menulis bahwa sejarah hotel terkait erat dengan peradaban. Atau lebih tepatnya, itu adalah bagian dari sejarah itu. Fasilitas yang menawarkan keramahtamahan bagi para tamu sudah terbukti sejak zaman Alkitab awal. Orang-orang Yunani mengembangkan pemandian air panas di desa-desa yang dirancang untuk istirahat dan penyembuhan. Setelah itu, orang-orang Romawi membangun rumah-rumah mewah untuk menyediakan akomodasi bagi para pelancong dalam bisnis pemerintah. Bangsa Romawi adalah yang pertama mengembangkan pemandian air panas di Inggris, Swiss dan Timur Tengah. Hotel kemudian menjadi sebuah bisnis di awal abad ke-15, ketika Prancis mulai mengeluarkan peraturan bagi pemilik hotel dan penginapan untuk membuat pencatatan akan orang yang menginap. Pada zaman itu pun, terdaftar ada sekitar 600 penginapan di Inggris—dengan bentuk dan layanan yang kurang lebih sama.


Sejarah akan hotel kemudian membawa kita ke satu ruang yang lebih besar namun spesifik, yaitu eksistensi hotel di ruang publik. Hingga seakarang, hotel menjadi salah satu arsitektur di ruang publik yang sangat diperhatikan oleh pemerintah, dikarenakan hotel pun menjadi salah satu faktor naik-turunnya angka pariwisata di negara tersebut. Pembangunan hotel terus menerus dilakukan di kota-kota besar sehingga ruang-ruang yang ada semakin banyak. Hotel yang terus dibangun pun beragam, mulai dari hotel budget, hotel yang sifatnya eco-friendly, boutique hotel—hotel kecil non-merek independen yang sering berisi fasilitas skala menengah hingga kelas atas dengan berbagai ukuran dalam pengaturan yang unik atau intim dengan akomodasi layanan penuh, hotel berbintang yang terus berkompetisi untuk memberikan layanan terbaik., hingga hotel-hotel kecil yang seringkali disebut hotel melati-- Jika ditelaah lebih dalam, alasan pembangunan tersebut hanya mengarah pada sektor komersial. Keuntungan finansial menjadi prioritas utama, yang agaknya tanpa mempertimbangkan dampak dari pembangunan yang dilakukan. Ibaratnya, ketika muncul aksi maka tentu timbul pula reaksi. Selain memperburuk sifat konsumtif masyarakat, pembangunan hotel dan penginapan akan mengurangi daerah resapan air bahkan lahan terbuka hijau. Hotel, terutama di kota-kota besar, menjadi identik dengan masyarakat kelas menengah ke atas. Hal ini ditandai dengan kompetisi pembangunan hotel yang mengunggulkan layanan-layanan dan fasilitas yang tersedia. Abidin Kusno (2009) pernah membahas bahwa efek representasi perkotaan pada masa Orde Baru telah menghasilkan ‘kelas menengah’ yang dianggap mewakili bangsa yang ‘modern’. Pun ini juga bersangkutan dengan ide tentang mobilitas ke atas dan keinginan untuk menjauh dari kampung, yang ternyata selama Orde baru telah sering dikonstruksi sebagai tempat ‘penuh masalah’. Namun, ini membuka peluang untuk hotel-hotel kecil—seringkali disebut ‘hotel melati’—untuk melebarkan sayap pamornya.


Media berita Indonesia tidak jarang mengangkat fenomena dan kejadian penggerebekan hotel-hotel melati. Mengutip rubrik salah satu berita di situs inews.id, ditulis bahwa


"Kasi Penegakan dan Penyidikan Satpol PP DIY, Sumantri mengatakan, razia menyasar hotel melati di wilayah Catur Tungal, Depok, Sleman. Dalam razia ini setidaknya ada tiga hotel yang menjadi sasaran penertiban. Hasilnya ada enam pasangan mesum yang terjaring. … Keenam pasangan mesum itu kemudian digelandang ke Kantor Satpol PP DIY untuk proses pemberkasan. Mereka akan dikenai sanksi hukum dengan pelanggaran perda. …“ Gubernur DIY telah menerbitkan surat edaran No no 6 / SE /4/2019 tertanggal 30 April 2019, yang mengamanatkan Satpol PP sebagai penegak Perda untuk melakukan menertibkan tempat hiburan, penertiban hotel, maupun kos eksklusif,” katanya. … Sumantri menegaskan, razia itu menjadi salah satu upaya untuk menekan kasus kriminal dan penyakit masyarakat. Selama bulan puasa, Satpol PP akan terus melakukan razia untuk meminimalisasi praktik prostitusi online. Selain hotel, Satpol PP juga akan melakukan razia di rumah kos dan kos eksklusif.”


Dari kutipan tersebut kemudian bisa diasumsikan bahwa hotel-hotel menjadi tujuan utama Satpol PP melakukan razia, terutama hotel-hotel melati. Sangat jarang untuk Satpol PP dan petugas sipil setempat untuk melakukan razia di hotel-hotel berbintang, sehingga menimbulkan asumsi dan dugaan—yang sudah mulai diamini secara kolektif—bahwa yang terkena razia dan melakukan hubungan seksual di luar nikah adalah masyarakat kelas bawah, atau yang dikutip dari Kusno (2009) adalah masyarakat yang ‘penuh masalah’. Di kota-kota besar, hotel-hotel melati mengambil tempat di balik julang tingginya gedung-gedung pencakar langit, di balik riuh rendahnya kehidupan malam, dan tentu saja larut dan melebur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Biasanya, hotel-hotel melati ramai diisi dengan pasangan muda-mudi yang belum menikah, masih menyandang status mahasiswa malahan, yang tidak—atau belum?—mampu untuk menyewa kamar di hotel berbintang. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan, atas dasar apa sebenarnya Satpol PP melakukan penggrebekan? Untuk apa Satpol PP melakukan razia dan penggrebekan, bukankah tidak ada peraturan tertulis yang mengatur bahwa hubungan seksual hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami-istri? Apakah penggrebekan ini hanya dilakukan berdasarkan konsep zina yang diajarkan di agama?


Pada pasal 284 KUHP yang mengatur tentang tindak perzinahan, dituliskan bahwa yang dianggap melakukan tindak pidana adalah mereka yang sudah terikat perkawinan dan melakukan hubungan seksual tidak dengan pasangan sahnya. Pasal 284 KUHP berbunyi demikian,


“Pelaku tindak pidana perzinahan diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan.”

Ancaman penjara tersebut ditujukan bagi:

- Seorang laki-laki yang telah menikah melakukan tindakan perzinahan dan berlaku pasal 27 BW.

- Seorang perempuan yang telah menikah melakukan tindakan perzinahan dan berlaku pasal 27 BW.

- Seorang laki-laki yang ikut serta melakukan perbuatan perzinahan, padahal diketahuinya bahwa yang bersalah telah menikah.

- Seorang wanita tidak menikah yang ikut serta melakukan perbuatan perzinahan padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah menikah dan pasal 27 BW berlaku baginya.


Dalam pasal 284 KUHP tersebut unsur-unsur yang harus dipenuhi antara lain :

- Merusak kesopanan atau kesusilaan (bersetubuh)

- Salah satu/kedua duanya telah beristri/bersuami.

- Salah satu berlaku pasal 27 KUHP Perdata.”


Dari rincian pasal 284 KUHP, tertera bahwa yang dianggap tindak pidana atas perzinahan adalah apabila salah satu dari pelaku sudah terikat pernikahan, dengan sepenuhnya sadar akan apa yang dilakukan. Dengan demikian, maka wajarlah menurut saya apabila Satpol PP selalu meminta surat identitas, toh itu untuk semata-mata memastikan bahwa pelaku sudah menikah dan merupakan pasangan masing-masing. Namun, apa yang terjadi apabila ternyata kedua pelaku belum menikah? Bukankah sah-sah saja secara hukum? Bukankah tidak ada hukum yang mengatur hal tersebut? Berdasarkan pasal 284 KUHP, berarti perzinaan tanpa terikat perkawinan atau hubungan seksual di luar pernikahan tak dapat dipidana, sebab dalam tindakan tersebut tidak terdapat unsur korban. Pelaku baru bisa dikenakan tindak pidana pemerkosaan apabila terdapat pemaksaan, selama tindakan dilakukan atas dasar suka sama suka, maka hal tersebut tidak bisa dimasukkan ke ranah hukum. Hal ini menjadi penting ketika kita kemudian membicarakan fakta bahwa hubungan seksual merupakan ranah yang sangat personal dan privat, sehingga tidak etis rasanya untuk dimasuki dan dicampuri oleh orang lain—terlebih lagi negara, selama tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat setempat dan tidak melanggar aturan negara yang berlaku. Razia yang dilakukan Satpol PP pun menurut saya terlalu subjektif, di mana yang menjadi target razia hanyalah hotel-hotel melati, yang harganya biasanya tidak lebih dari dua ratus ribu per malam, yang kalau dibagi dua orang—biasanya mahasiswa kan gitu—hanyalah seratus ribu per orang. Yah, jatah jajan dua hari ditabung untuk akhir pekan, kan tidak apa-apa? Mengulang lagi yang sudah saya ungkit sebelumnya, bahwa hal ini secara implisit menunjukkan bahwa target razia dari Satpol PP merupakan pasangan muda-mudi dari kelas menengah ke bawah.


Selanjutnya, bagaimana hal ini dilihat dari sudut pandang perkotaan, dan mungkin agamanya? Mudahnya, mari kita umpamakan sebuah kota sebagai sebuah mangkok yang terus panas. Semakin besar mangkoknya dan semakin banyak unsur dan komponen sebuah kota yang masuk dalam mangkok tersebut, maka akan semakin kompleks juga isinya. Fenomena ini sering disebut fenomena melting pot, bahwa kota-kota besar melelehkan komponen-komponen di dalamnya menjadi satu. Yogyakarta, sebagai ‘kota pelajar’, menjadi salah satu kota melting pot di Indonesia—dengan mahasiswa yang merantau dari seluruh penjuru Indonesia. Dari situ pula maka meleburlah semua latar belakang, paham, dan ideologi yang berbeda-beda. Salah satunya adalah paham akan zina, dengan latar belakang agama. Zina, menurut agama islam, merupakan aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki atau perempuan yang telah menikah dengan lelaki atau perempuan yang bukan suami atau istri sahnya. Dalam Al-Quran pun tertulis, tepatnya pada kitab Al-Isra 17:32, bahwa “….dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." Tidak hanya agama islam, agama-agama besar di Indonesia hampir semua memiliki aturan mengenai perzinahan, dengan garis besar bahwa perzinahan merupakan dosa dan dilarang.


Lalu, sebenarnya apa hubungannya dengan penggerebekan muda-mudi di hotel-hotel melati yang tadi sudah dibahas ngalor ngidul? Ada tiga poin yang berusaha dibawa di sini, sebagai pemantik untuk membahas lebih dalam lagi. Poin pertama adalah sejarah dari hotel, sebagai pengantar bagaimana hotel bisa menjadi tempat berlibur sekaligus beristirahat. Meskipun pada awalnya hotel didirikan untuk menjadi tempat peristirahatan para pelancong di masa pertengahan Eropa, namun sekarang hotel tidak hanya mengutamakan kenyamanan untuk beristirahat bagi para pengunjungnya. Hotel sekarang berusaha menghadirkan segala fasilitas yang dianggap menjadi tujuan utama dan kesenangan banyak pihak—terutama target dari hotel itu sendiri—agar orang-orang tidak perlu keluar dari hotel untuk menikmati fasilitas tersebut. Misalnya, kolam renang, ruang olahraga atau gym, taman bermain untuk anak-anak, restoran yang buka 24 jam dan menyediakan makanan di tiga waktu besar, hingga ruang-ruang tertutup untuk rapat para pebisnis setempat. Dengan demikian, hotel di abad 21 ini tidak hanya menjadi tempat beristirahat, namun juga menjadi tempat rekreasi dan tujuan utama orang-orang berlibur. Meski begitu, hotel-hotel di kota besar tetap berusaha memberikan suasana ‘rumah’, yang nyaman dan aman, sehingga dengan suasana tersebut dan fasilitas yang lengkap, orang-orang yang menginap pun betah. Namun, kita seringkali lupa bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak memerlukan fasilitas selengkap itu. Di sinilah ada permainan peran, sehingga muncul hotel-hotel budget, penginapan-penginapan kecil untuk para backpacker, sampai hotel-hotel melati.


Poin yang kedua adalah bahwa penggerebekan muda-mudi di kota-kota besar hampir selalu dilakukan di hotel-hotel melati, dengan asumsi bahwa yang melakukan perbuatan zina itu selalu masyarakat kelas menengah ke bawah secara ekonomi, masyarakat yang ‘penuh masalah’, dan masyarakat yang tidak paham akan hukum. Sangat jarang dilakukan penggerebekan di hotel-hotel berbintang, dikarenakan hotel-hotel berbintang memiliki rate harga yang jauh lebih mahal, dengan layanan dan fasilitas yang lebih berkelas dan lengkap pula. Hotel-hotel melati yang notabene hanya menyediakan kasur dan kamar mandi pun semakin memperkuat opini bahwa orang-orang yang menginap atau menyewa kamar di hotel melati hanya memiliki sedikit—atau bahkan satu—tujuan dan kepentingan, yaitu berhubungan seksual.

Poin ketiga adalah peran agama dan ruang publik di fenomena penggerebekan ini. Satpol PP sebagai petugas sipil setempat seharusnya menggunakan dasar hukum dalam melakukan penggerebekan hotel-hotel melati. Namun, sebagaimana yang sering terjadi, satpol PP cenderung menggunakan dasar moral dan agama untuk melakukan penggrebekan tersebut, bahwa di agama diajarkan bahwa berhubungan seksual merupakan perbuatan zina. Saya sendiri tidak setuju dengan hal itu, karena agama dan moral seseorang merupakan hal yang sifatnya privat dan personal. Selama hal itu tidak menciptakan keresahan, mengganggu ketertiban, dan menyebabkan kericuhan di daerah setempat, seharusnya itu tidak diganggu oleh pihak luar, apalagi oleh aturan negara.


Tiga poin di atas berperan sebagai pemantik sekaligus opini dasar akan fenomena penggrebekan ini. Dengan adanya tiga poin tersebut, maka esai selanjutnya bisa semakin fokus dan spesifik dalam menjawab pertanyaan yang ada.


Sekar Fadhilah Zahra

Undang-Undang Mengenai Perizinan Hotel dan Penginapan

Melalui penjelasan sebelumnya, pemerintah juga mengajukan persyaratan untuk membangun tempat penginapan. Dalam pasal 20 (2002) dijelaskan bahwa


Syarat-syarat permohonan Izin Usaha Hotel:

a. bukti diri yang sah;

b. melampirkan Izin Mendirikan Bangun-bangunan (IMBB);

c. melampirkan Izin Gangguan;

d. melampirkan rencana tapak dan studi kelayakan;

e. melampirkan Akte Pendirian Perusahaan, kecuali untuk usaha perorangan;

f. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD);

Melalui penjelasan ini, seseorang yang ingin membangun sebuah penginapan harus bisa melengkapi persyaratan yang sudah tertulis oleh negara. Selain mengenai persyaratan juga tertera Kewajiban sekelompok atau seorang pengusaha dalam bidang perhotelan atau penginapan.


Dalam pasal 21 (2002) dijelaskan bahwa Pimpinan Hotel, Penginapan Remaja dan Pondok Wisata dalam menjalankan usahanya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk:

a. memberi perlindungan kepada tamu;

b. tidak menggunakan Usaha Hotel, Penginapan Remaja dan Produk Wisata untuk perjudian, penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan zat aditif lainnya (NAPZA), kegiatan-kegiatan yang melanggar kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum;

c. mencatat, menyimpan barang-barang milik tamu yang tertinggal di lingkungan usaha dan mencatat nama yang menemukan, waktu dan tempat barang tersebut ditemukan serta menyimpan barang tamu tersebut sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan;

d. menyediakan tempat penyimpanan barang-barnag berharga secara khusus untuk usaha hotel dan memberitahukan kepada tamu hotel untuk menyimpan barang-barang berharganya di tempat penyimpanan barang berharga yang disediakan;

e. menjamin terpenuhinya kewajiban atas pungutan negara dan pungutan daerah yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

f. menyelenggarakan pembukuan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g. menyampaikan laporan berkala kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk.

Melalui penjabaran pasal ini disimpulkan bahwa untuk menyediakan jasa tempat penginapan sendiri tidak diperbolehkan untuk menggunakan Usaha Hotel sebagai tempat perjudian, penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), kegiatan-kegiatan yang melanggar kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum. Jika memang pihak kepolisian melakukan penggerebekan terhadap hotel melati yang biasanya terletak di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, muncul ambigu terhadap masyarakat mengenai keberadaan hotel yang terletak jauh dari tempat keramaian kota. Oleh karena itu pemerintah mengambil tindakan dengan adanya pasal-pasal dan undang-undang secara tertulis dan berlaku di Yogyakarta.


Hotel Melati

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Hotel Melati merupakan hotel dengan tarif sederhana: biaya penginapan di – melati terjangkau oleh masyarakat ekonomi lemah. Melalui KBBI ini, memang tujuan dibangunnya Hotel Melati untuk masyarakat kelas menengah kebawah, dikarenakan sesuai anggaran, akses yang mudah (ada beberapa hotel melati yang tidak menggunkan beragam persyaratan untuk bisa menginap), dan fasilitasnya hampir memiliki kesamaan dengan hotel-hotel pada umumnya. Dan khusus di kota-kota besar sendiri hotel melati terletak di beragam tempat. Mulai dari tempat yang sangat dalam dan akses jalan yang kecil, tempat-tempat wisata, hingga ke pinggir-pinggir kota atau perbatasan kota dengan tujuan demi keamanan dan kenyamanan bersama. Hal ini yang menjadikan beberapa orang memilih menginap di hotel melati karena akses yang mudah untuk bisa mendapatkan kamar dan juga ekonomis atau sesuai anggaran termasuk dengan pasangan lelaki dan wanita yang tidak memiliki status yang ‘jelas’. Mengenai hotel melati sendiri terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, hal ini tertera dalam undang-undang no. 2 tahun 2002 mengenai Perizinan Hotel Dan Penginapan. Melalui UU No. 2 Pasal 11, 2002, terdapat tiga kriteria hotel melati, tergantung piagam atau bintang yang didapat oleh hotel tersebut. Hotel dengan golongan kelas tertinggi dinyatakan dengan tanda 3 (tiga) bunga melati, golongan kelas menengah dinyatakan dengan tanda 2 (dua) bunga melati dan golongan kelas terendah dinyatakan dengan tanda 1(satu) bunga melati dan penentuan penggolonggan kelas hotel melati menurut tanda bunga melati dinyatakan dengan piagam oleh Walikota atau Pejabat yang di tunjuk. Melalui penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa mengenai Hotel Melati sendiri memiliki pembagian kelas tersendiri tergantung pengunjung ingin memilih hotel dengan melati tiga hingga satu semakin banyak bintang atau tanda melati maka semakin aman hotel tersebut.


Dalam website indodestinasi(dot)com (2018) dijelaskan ada beberapa ciri yang dapat dikategorikan sebagai hotel melati melalui beragam aspek, yang pertama murah. Harga yang murah merupakan alasan utama orang memilih jenis hotel satu ini. Biasanya target dari Hotel Melati adalah mereka yang ingin bermalam namun dengan budget yang minim. Lalu dari segi Fasilitas, fasilitas di Hotel Melati terbatas, standar dan sederhana. Biasanya hanya ada tempat tidur dan kamar mandi dalam. Beberapa diantaranya dilengkapi juga dengan AC atau kipas angin, tergantung klasifikasi kelas Hotel Melati tersebut. Dan selanjutnya dari umlah kamar, melalui jumlah kamar yang disediakan oleh pihak hotel bisa menandakan apakah hotel tersebut berbintang maupun berkelas Melati. Bahkan, Hotel Melati pun memiliki tingkatan yang dihitung dari jumlah kamar yang di sediakan. Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa hotel melati merupakan tempat penginapan yang paling dicari oleh banyak orang ketika mengunjungi suatu kota, selain karena anggaran dan lebih ekonomis, hotel melati menjadi tempat tujuan penginapan dikarenakan akses yang mudah untuk mendapatkan kamar. Dikarenakan hal ini, banyak orang yang juga salah menggunakan hotel melati ini menjadi tempat untuk prostitusi dan tempat pasangan ‘tanpa status’ memadu kasih. Melalui hal ini, banyak masyarakat yang melihat hotel melati sebagai hotel yang buruk dan meresahkan. Maka dari itu ada pihak kepolisian yang sering mengadakan razia untuk memastikan tindakan ini tidak meresahkan masyarakat sekitar.


Media merepresentasikan hotel melati dalam studi kasus 86

Dikarenakan banyak penyalahgunaan hotel melati sebagai tempat prostitusi , seperti yang dijelaskan sebelumnya pihak kepolisian mengambil tindak langsung dengan media “penggrebekan” ke setiap hotel yang biasanya dicurigai sebagai tempat untuk prostitusi atau ditinggalkan oleh pasangan yang tidak memiliki status yang “jelas”. Jika mencari tahu mengenai hotel melati di media internet, banyak sekali muncul berita penggrebekan yang terjadi di hotel melati. Mulai dari berita hingga stasiun TV atau Youtube yang memperlihatkan proses penggrebekan disetiap hotel yang diidentifikasi sebagai hotel melati atau bisa dibilang dengan hotel “remang”. Salah satu media yang memperlihatkan proses penggrebekan adalah salah satu acara TV yang bernama 86 (delapan enam). Dalam website netmediatama dan youtube channel 86 sendiri, acara ini merupakan adalah program acara realitas yang diproduksi secara kerjasama antara NET dan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai keseharian beberapa anggota polisi. Nama program ini sendiri berasal dari kode sandi POLRI yang berarti dimengerti atau roger that dalam bahasa Inggris. Dalam program ini, penonton akan diajak bersama melihat keseharian beberapa anggota polisi yang memacu adrenalin, mulai dari menertibkan pelanggar lalu lintas, penggerebekan (seperti penipuan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain), hingga pengungkapan sindikat narkoba dan miras. Namun selain soal tugas mereka, akan dibahas juga sisi humanis dari seorang polisi yang tentunya merupakan seorang manusia biasa juga, terutama pengaturan prioritas tugas yang menuntut kesiagaan setiap saat dengan keluarga yang menunggu di rumah. Diharapkan dari program ini, penonton dapat menghargai kerja polisi dalam menertibkan lingkungan dengan menaati hukum yang berlaku tanpa ditegur dahulu. Salah satu yang diunggahnya dalam media sosial Youtube mengenai penggrebekan pasangan yang tidak memiliki status ‘suami-istri’ dan menginap di hotel “remang” atau hotel melati.


Salah satu contohnya seperti dalam salah satu video di channel Youtube 86 yang melakukan penggrebekan di setiap hotel bintang satu dan hotel melati di sekitar kota Depok. Tim Srikadi selaku tim petugas mendatangi hotel-hotel yang menjadi tempat pengecekan dan penggrebekan setiap bulan. Pengecekean dan penggrebekan yang dilakukan diharapkan dapat meminimalisir terjadinya tindakan prostitusi hingga tindakan lainnya seperti peredaran obat terlarang dan adanya pekerja seks dibawah umur. Melalui tindakan yang dilakukan di salah satu hotel di depok. Ditemukan ada sepasang lelaki dan wanita yang hanya berstatus nikah siri. Tetapi ketika ditanya apakah dari pihak laki-laki masih memiliki istri, pihak laki-laki tersebut berkata “iya” dan salah satu pihak dari Tim Srikandi juga menanyakan apakah istri dari pihak lelaki ini mengetahui ternyata lelaki tersebut mengatakan “tidak..” lalu Tim Srikandi itu menemukan si pihak wanita dan memberi arahan atau ‘ceramah’ ke pihak wanitanya “mbaknya tau kalo bapaknya sudah punya istri?.. kalo istrinya tau gimana?..” “yaa saya siap.. saya sayang sama dia, maka saya berani untuk tanggungjawab” lalu setelah itu salah satu kelompok dari Tim Srikandi memberi arahan untuk para penonton yang sedang melihat video ini bahwa sepasang lelaki dan wanita dalam satu kamar adalah tindakan yang tidak baik apalagi bila ada satu pihak yang tidak mengetahui hal ini. Dan juga ditemukan salah satu video yang tertulis judul dari video youtube tersebut kata “perzinaan” dalam judul tersebut. Dan ketika ditanya statusnya ada beberapa dari mereka yang baru lulus kuliah hingga ada beberapa yang bekerja supir ataupun pengangguran yang biasa menunggu wanita-wanita panggilan. Ketika di grebek, ada beberapa yang kooperatif tetapi ada pula yang menentang pihak kepolisian. Tetapi dalam video tersebut, acara ini selalu menyelingi kata-kata ‘ceramah’ atau suatu pembenaran ke penonton video tersebut.


Lalu di dalam video ini tertulis juga bahwa Tim kepolisian melakukan “operasi penyakit masyarakat”. Terlihat penggambaran media bahwa orang-orang yang terpergok menginap tanpa status yang jelas dan dari kelompok masyarakat yang rata-rata dari kelas menengah kebawah dikatakan sebagai “penyakit masyarakat”. Media merepresentasikan tempat penginapan dan orang-orang didalamnya sebagai tempat dan orang-orang yang menjadi “penyakit masyarakat”. Tim kelompok pihak kepolisian ini melakukan penggerebekan berlandaskan 28 (4) KUHP berjudul Perzinaan. Ketika sampai di salah satu penginapan terlihat ada pasangan yang tidak memiliki status ‘suami-istri’ menginap dalam satu kamar, tim kepolisian sudah terbiasa dengan pelaku yang panik dan menanyakan dengan kekhawatiran seperti “ada apa?..” tetapi, pihak kepolisian langsung memberikan surat tertulis mengenai KUHP itu kepada pelaku. Dan ketika ditanyakan status ternyata benar adanya bahwa mereka tidak berstatus ‘suami-istri’, pihak kepolisian tidak langsung menceramahi mereka, tetapi menanyakan apakah tindakan seperti ini wajar dan boleh? Dikarenakan pihak kepolisian juga memahami bahwa pelaku seharusnya tau bahwa tindakan ini tidak seharusnya ada dan wajar. Ketika disidak oleh pihak kepolisian, pihak kepolisian menanyakan alasan mengapa melakukan tindakan yang dianggap “penyakit masyarakat” ini. Setiap orang memiliki alasan mereka masing-masing, ada beberapa yang dikarenakan faktor ekonomi hingga permasalahan internal atau keluarga yang tidak dapat diselesaikan. Lalu pihak kepolisian menanyakan seperti “ibu kan tau kalau itu tindakan yang salah, bagaimana dengan anak ibu kalau tahu seperti ini?” pertanyaan-pertanyaan ini menggambarkan bagaimana pihak kepolisian memberikan pertanyaan moral yang juga mengarahkan pelaku kepada jalan yang benar sesuai yang diatur oleh agama dan negara.


Contoh lainnya, kembali Tim kepolisian yang bernama Tim Srikandi melakukan penggrebekan dan pengecekan di sekiatran kota Depok, Jawa Barat. Kembali ditemukan pasangan yang diyakini hanya berstatus ‘nikah siri’. Ketika ingin dipergok sang penyewa kamar tidak memperbolehkan tim kepolisian memasuki kamar tersebut. Akhirnya pihak polisi secara paksa meminta masuk dan menanyakan identitas dari sepasang tersebut. Dan kembali seperti kejadian yang sebelumnya bahwa pihak ketiga atau istri dari pasangan tersebut tidak mengetahui mengenai kejadian dan status tersebut. Lalu pihak kepolisian menjelaskan bahwa pasangan lelaki dan perempuan walaupun sudah menikah secara agama tapi tidak tertera secara hukum terutama tersurat, maka pasangan tersebut masuk kedalam larangan pasal perzinahan. Lalu pelaku kembali mengangkat argumennya bahwa yang penting sudah menikah secara agama lalu pihak kepolisian, namun pihak kepolisian tetap menekankan “ya memang pak!.. tapi secara hukum bapak belum menikah, bapak ya memang satu kampong, tetapi di hukum namanya tindak pidana perzinahan, pasalnya 28 (4) KUHP” dan ada beberapa pihak kepolisian juga mendekatkan pelaku melalui moral “nanti kalo istrinya tahu bagaimana?.. gak kasihan?.. anaknya berapa pak/bu?.. nanti kalo anaknya tahu gimana?.. liat ibunya seperti ini..” kembali lagi pihak kepolisian mulai memberikan arahan moral kepada pelaku agar bisa berpikir panjang dengan apa yang mereka lakukan sebelumnya, dengan harapan mengurangi “penyakit masyarakat” dan meminimalisir terjadi tindak pidana.


Memang, sebelumnya tim kepolisian melakukan tindakan tersebut dengan ada alasan dan laporan dari masyarakat sekitar. Melalui hal ini terlihat bagaimana media ikut serta dalam penggrebekan dan mengaburkan muka pelaku agar tidak berdampak bagi pelaku dan keluarga pelaku di masyarakat. Melalui tayangan ini pihak media juga merepresentasikan hotel melati sebagai tempat banyaknya kelas menengah kebawah yang memiliki latar belakang masalah yang beragam dan mereka tersmasuk kedalam “penyakit masyarakat” yang memang harus dihindarkan dengan harapan tidak terjadi hal-hal yang melanggar tindak pidana demikian, juga diharapkan media ingin memberi gambaran bahwa hal tersebut sudah tertera dalam undang-undang dan pasal mengenai perizinan hotel hingga menyangkut tindak pidana perzinahan walaupun hanya berstatus nikah secara agama atau bisa dibilang dengan nikah siri. Tetapi kembali lagi, melalui media ini masyarakat yang berasal dari kelas menengah kebawah dan juga di kota memperlihatkan bagaimana kota mencoba menggambarkan masyarakat kelas menengah sebagai masyarakat yang dikatakan sebelumnya sebagai kelas yang “penuh dengan maslah” juga kelas masyarakat yang juga dilabelkan sebagai “penyakit masyarakat” terlihat ketika di introgasi rata-rata masyarakatnya berasal dari kelas menengah kebawah.

(INDONESIADESTINASI, 2018)


Charistya Herandy

Pada esai sebelumnya—yang ditulis oleh Sekar—rasanya sudah cukup banyak merangkum mengenai representasi media atas masyarakat kelas menengah bawah. Sekar juga memberikan gambaran yang jelas melalui kalimat-kalimat yang ia temukan dalam kasus “penggrebekan”. Melalui hal tersebut, bahasan mengenai “penggrebekan” mulai mengerucut pada beberapa hal, seperti posisi aparat, penggunaan agama, pembahasan etika (moral), juga Sekar menyinggungkan hukum untuk memberikan beberapa sisi yang agaknya lebih seimbang. Saya lalu menemukan beberapa hal yang menarik dalam esai Sekar, misalnya saja mengenai “penggrebekan” yang mengatasnamakan kecurigaan namun pada prosesnya malah cenderung menghakimi dan tidak fokus dalam penjelasan hukum. Di sisi lain, penggunaan kata-kata yang sangat “menilai” juga menjadi judul dari beragam media tulis maupun tontonan. Sebenarnya, dari segi hukum, tindakan razia hotel adalah hal yang benar terutama apabila ada kesalahan izin maupun mengganggu warga. Hanya saja, hal tersebut menjadi berbeda bila yang digaungkan adalah “penggrebekan” juga bersamaan dengan “perzinahan”, “nikah siri”, dsb. Lalu agar bahasan ini tidak mengabur apalagi mengambang, perlu adanya pemecahan dan penjabaran melalui beberapa bagian untuk melihat lebih utuh tentang bawah permukaan dari fenomena “penggrebekan”. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan diisi oleh penambahann maupun tanggapan mengenai asumsi-asumsi dalam esai Sekar, yaitu juga bertujuan agar pembahasan ini tidak langsung menghasilkan konklusi tanpa landasan-landasan (dan rekam jejak) yang jelas.

Penggiringan Agama: Persoalan Kewajiban Manusia Sebagai Anggota Publik atau Hamba Tuhan

Agama antara ruang publik dan privat adalah persoalan yang tidak pernah surut dari perdebatan. Kajian-kajian mengenai hal ini, seringkali diawali dengan menyajikan teori-teori antropologi yang dikembangkan oleh Clifford Gertz dalam buku The Religion of Java. Dari sanalah kemudian kajian mengenai Islam dalam konteks keindonesiaan menemukan sumbu dan pandoranya yang merambah dalam demensi keilmuan lainnya seperti sosial, politik, pendidikan, ekonomi dan kebudayaan (Effendy, 2009). Dalam konteks ini, adakalanya doktrin agama menyeburkan diri bahwa maksud diturunkan agama itu sendiri berkaitan dengan etika individual. Namun dalam prosesnya, agama banyak bicara mengenai konteks sosial kemasyarakatan, yang melampaui batas-batas individual. Agama tidak hanya mendakwakan nilai-nilai dalam kesalehan sosial ataupun keselematan individual. Alih-alih agama pasti akan membicarakan hal-hal berkaitan dengan komunitas, suku dan bangsa. Doktrin mengenai negeri gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo (Jawa) atau baldatun toyibatun warrobun ghafur (Islam) merupakan hal yang tidak dapat dipahami secara sepihak sebagai suatu yang berada di ruang publik (Ibid.).


Effendy kemudian melanjutkan dengan berpendapat bahwa pernyataan teologis “tidak ada paksaan dalam agama” meniscayakan adannya suatu yang sangat privat – apakah itu dalam konteks kesadaran individual untuk beriman, atau campur tangan transedental (Tuhan) melalui hidayah. Pada akhirnya, membicarakan posisi agama dalam kehidupan, apakah ruang publik atau privat, tidak dapat didekati begitu saja dengan menggunakan pandangan-pandangan yang bersifat dikotomis – sekulerisasi versus teokratis. Dua pandangan itu jika hanya dipilih salah satu, secara teologis dan sosiologis “salah” atau setidaknya tidak tepat. Di sisi lain, privatisasi dan sekulerisasi merupakan rumusan konseptual kehidupan sosial kemasyarakatan yang sering menimbulkan keraguan penguasa. Artinya apakah agama hanya mengatur urusan dunia privat ataukan juga publik. Dari sinilah perdebatan kaum agama dan sekuler dengan segala argumentasinya ternyata juga tidak menyelesaikan persoalan kewajiban manusia sebagai anggota publik (masyarakat dan negara) atau hanya sebagai hamba Tuhan.


Tulisan ini akan berfokus pada bahasan agama dalam tatanan ruang publik, terutama melalui fenomena “penggrebekan” hotel-hotel kelas melati sekaligus menyingungg mengenai representasi atas kelas menengah (khususnya bawah) di lanskap kota. Agaknya selama ini memang tidak pernah ada batas yang jelas antara agama yang mengatur kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat ataukah sebatas manusia sebagai pengikut suatu agama.


Gaungan Konsep Zinah dan Pengaburan Hukum dalam Fenomena “Penggrebekan”

Sebelum masuk pada bahasan yang lebih mendalam, perlu adanya pembeberan dari konsep dalam agama yang lebih spesifik pada fenomena ini. Salah satu yang sering digaungkan dan digadang-gadang adalah “zinah”. Tasi pada esai pertama sudah sempat menuliskan mengenai zinah baik dari segi salah satu agama dan menyinggung juga dari segi hukum. Hanya saja, dalam pembahasan “penggrebekan” ini bukanlah konsep maupun aturan agama—apalagi agamanya—yang dipermasalahkan, namun ketika konsep tersebut diangkat oleh suatu media dan digunakann oleh sekelompok orang untuk mengusik kemoralan (dan lainnya) yang menyebabkan penggiringan stigma atau representasi tertentu. Pada essay kedua (bagian Sekar), telah dipaparkan mengenai “penggrebekan” yang dilakukan oleh tim-tim kepolisian sekaligus merupakan tayangan masyarakat Indonesia.


Dalam membahas hal tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati. Pertama, polisi (dan seragamnya) seringkali melambangkan hal-hal yang bertema menjaga, mengabdi, mengayomi, dsb dalam konteks negara dan masyarakat. Hal tersebut hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Barker (2013) mengenai potret perawat dan pelaut dipandang bukan hanya pada individunya melainkan juga simbol tertentu dari kehidupan. Kedua, masyarakat yang terkena “penggrebekan” sekaligus penayangan media kebanyakan memiliki status ekonomi bawah—diidentifikasi dari penggunaan hotel melati—yang kemudian sedang melakukan tindakan “kurang terpuji” menurut ajaran agama. Ketiga, tidak jelas batas antara hal hukum dan agama dalam “penggrebekan”, juga kalimat-kalimat dari aparat yang mempertanyakan moral “pelaku” terasa begitu naif.


Pemberian judul pada setiap pemberitaan media juga cenderung menggunakan kata “perzinahan”, “operasi penyakit masyarakat”, dsb. Lalu saya mengkritisi dalam hal ini bahwasannya gaungan-gaungan agama dan hukum melebur dengan batas yang mengabur dalam mempertanyakan moral seseorang.


Representasi dan Diskriminasi Masyarakat Kelas Bawah dalam Ruang Kota

Bahasan di bagian-bagian sebelumnya sebenarnya sebagai pengantar untuk melihat perepresentasian kelas menengah-bawah melalui wacana agama alih-alih melalui hukum—atau mungkin keduanya. Abidin Kusno sempat membahas dalam bukunya, yaitu mengenai masyarakat bawah (dan jalanan) yang direpresentasikan berbahaya, perusuh, dsb pada masa orde baru. Hal tersebut juga bukan berarti menghilang seiring dengan berakhirnya masa orde baru. Sekarang ini, representasi masyarakat bawah juga dapat dilihat dari banyak fenomena, aturan, pelaksanaan tugas aparat negara, dan banyak lagi. Meskipun demikian, rasanya pembahasan ini akan terlalu cepat dan dangkal bila langsung membahas mengenai representasi masyarakat tertentu dalam ruang kota. Maka dari itu, saya mencoba mengulasnya langkah per langkah yang diawali dengan mengidentifikasi status kelas yang ada dalam fenomena “penggrebekan” hotel-hotel melati terutama di kota-kota besar. Sebelumnya, ada baiknya untuk melihat pada golongan kelas seperti apa dan bagaimana hotel melati dan masyarakat yang masuk dalam fenomena “penggrebekan”.


Pada umumnya Hotel Melati digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi tamu menengah ke bawah karena biaya penginapan hotel cukup terjangkau. Secara keseluruhan, kajian maupun tulisan yang berkaitan dengan hotel-hotel “harga terjangkau” ini hampir seragam dan membahas hal-hal yang tidak jauh dari prostitusi, seks bebas, perselingkuhan, dsb. Sumiarni (1999) mengatakan bahwa pada umumnya, para pelacur bekerja secara terorganisir dan diawasi oleh seorang yang disebut dengan germo. Akan tetapi tidak sedikit juga para pelacur yang tidak tergabung dalam lokalisasi atau mereka yang lebih memilih untuk bertebaran di berbagai tempat secara terselubung dalam melakukan prakteknya, seperti di hotel, wisma, musik room, taksi, tempat kost, panti pijat atau tempat lainnya.


Tulisan lainnya memaparkan bahwa dalam menjalankan aktivitasnya para PSK dan jaringannya cenderung menggunakan tempat-tempat seperti: (1). Hotel; biasanya hotel yang mereka pilih tergantung kesepakatan dengan lelaki hidung belang sebagai konsumen, seringkali mereka melaksanakan transaksi seksual di hotel kelas melati seperti Sons & Sons, Prima dan Takana Juo, sebenarnya kegiatan prostitusi di hotel berbintang lebih aman karena tidak terjamah oleh Satpol PP, Tim SK-4 dan Polisi karena hotel berbintang dilindungi oleh undang-undang PHRI, konsekuensinya aparat tidak dapat menembus aktivitas prostitusi di tempat ini. (2) Wisma; para pelaku sering melakukan aktifitasnya di wisma-wisma yang meraka pandang lebih aman dari razia aparat penegak hukum, untuk itu wisma milik TNI menjadi pilihan seperti Puri Wedari di Jalan Sudirman. Satpol PP dan Tim SK-4 biasanya menghindari razia ke tempat tersebut dengan alasan supaya tidak terjadi konflik kepentingan dengan pihak TNI, kondisi inilah yang digunakan oleh PSK sebagai jalan untuk mengamankan pula aktifitas mereka (Yandra dkk, 2015).


Pada penjelajahan lainnya di internet, surat-surat kabar online juga cukup banyak membahas perihal tersebut. Misalnya berita surat kabar Padang Haluan (2012) yang menyatakan “kegiatan razia Penyakit Masyarakat (Pekat) dibeberapa Hotel Melati Kota Padang, sekitar enam pasang muda-mudi tanpa ada status pernikahan yang jelas terjaring razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Padang bersama beberapa personil tentara (TNI). Selain pasangan tersebut juga turut dibawa enam wanita lainnya yang tidak bisa menunjukkan kartu identitas diri kepada petugas saat melakukan razia Pekat”. Nining (2017) juga agaknya menulis bahwa berita dari berbagai media informasi seperti media cetak dan media elektronik, menampilkan peristiwa penggerebekan di hotel-hotel, losmen ataupun penginapan, terdapat razia-razia yang dilakukan oleh Satpol PP atau ormas ormas tertentu dan mendapatkan fakta bahwa terdapat pengunjung hotel yang melakukan tindakan yang melanggar hukum maupun norma-norma seperti prostitusi, perselingkuhan, pesta narkoba, mabuk-mabukan bahkan tindakan kriminal dan peristiwa lain yang membuat prihatin. Secara lebih lanjut, ia membahas bahwa peristiwa-peristiwa tersebut mengkhawatirkan dan sangat mengganggu kenyamanan serta membuat resah terutama warga masyarakat sekitar. Singkat cerita, akhirnya maraklah hotel-hotel syariah yang berpegang dan berkonsep norma agama. Hal tersebut dipandangnya sebagai hotel yang mementingkan kenyamanan dan bebas dari tindakan asusila.


Paparan pernyataan-pernyataan di atas sebenarnya bukan bermaksud untuk mengaburkan bahasan yang sedikit panjang ini, namun lebih kepada menunjukkan gambaran maupun stigma yang berkembang mengenai hotel melati yang merujuk pada perilaku maupun “kesalahan” dari pengunjung di dalamnya—yang mana telah dikatakan pada awal bagian ini diidentifikasi kelas menengah ke bawah. Lalu saya sedikit bertanya-tanya mengenai “tindakan asusila” yang terus digaungkan dalam fenomena-fenomena “penggrebekan” yang ada. Putri dan Suandy (2015) juga menuliskan bahwa manajemen hotel wajib memberikan perlindungan kepada para tamu, menjaga martabat, serta mencegah penggunaan hotel untuk 7 perjudian, penggunaan obat bius, kegiatan-kegiatan yang melanggar kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum. Dalam konteks ini, tindakan-tindakan tersebut—terkhusus asusila—merujuk pada perbuatan zinah pasangan belum menikah, selingkuh, dan prostitusi yang mana menurut saya masih sangat mengabur baik dalam tatanan hukum maupun agama (dan moral yang digadang dalam agama).

Di sisi lain, Prasasti (2017) kemudian membahas mengenai keberadaan hotel melati yang sedang gencar dirazia oleh pihak pemerintah demi mengoptimalkan dinas sosial untuk wanita, namun lebih pada mengkritisi tindakan pemerintah yang seolah mendiskriminasi hotel-hotel murah. Ia mengatakan bahwa yang menjadi permasalahan adalah perbedaan dalam penangangan prostitusi. Pemerintah (satpol PP dan dinas sosial) gencar sekali mengadakan razia PSK di jalanan, warung remang – remang, cafe karaoke, dan hotel – hotel kelas melati untuk membina PSK yang terjaring ke balai rehabilitasi sosial. Akan tetapi hal ini tidak berlaku untuk PSK high class ketika terjaring razia.


Jadi, dapat dikatakan bahwa hotel melati pada umumnya digunakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, juga sepanjang sejarah penulisan yang ada, hotel melati banyak berkaitan dengan hal-hal tidak baik menurut hukum dan agama (atau lainnya). Hal tersebut—langsung maupun tidak langsung—juga merujuk pada masyarakat kelas tertentu yang diidentifikasi “pelaku”. Meskipun, dalam faktanya seperti yang sempat saya bahas; mengabur.


Berbahaya, Penyakit Masyarakat, dan Tidak Bermoral

Setelah perjalanan yang sedikit panjang, dapat dikatakan bahwa fenomena “penggrebekan” ini—kebanyakan di ruang kota—menunjukkan jauh lebih dalam dari sekedar aturan hukum dan pekerjaan aparat negara. Banyak sekali hal-hal tersembunyi di dalamnya yang bahkan selama ini tidak disadari walau sebagian masyarakat melihatnya (menontonnya). Gaungan-gaungan zinah dan penyakit masyarakat dalam pengaburan hukum dan agama rupanya membuat masyarakat di dalamnya terepresentasi buruk, berbahaya, tidak bermoral, dsb. Lalu saya mengamini apa yang Daniel Ziv berusaha sampaikan dalam film “Jalanan”; bahwa ada generalisir dari aparat (juga pemerintah) pada masyarakat bawah. Di sisi lain, saya juga tidak selalu membenarkan keberadaan hotel melati yang mungkin bermasalah secara pajak maupun izin dengan hukum. Akan tetapi, kasus tersebut menjadi berbeda bila dilihat dari kacamata lain, misalnya saja tentang fenomena “penggrebekan” ini.


Melalui bahasan ini, mungkin ada banyak hal yang dapat direfleksikan. Pertama, agama dan hukum yang mengabur dalam tugas kepolisian—secara khusus, polisi 86. Kedua, masyarakat kelas menengah ke bawah dengan embel-embel perzinahan, penyakit masyarakat, dsb, juga generalisir yang dilakukan kepada mereka. Ketiga, penggambaran masyarakat tersebut beserta fenomena “penggrebekan” ini di ruang kota—yang mana menjadi timpang dikarenakan juga banyak perbuatan semacam itu oleh masyarakat kelas atas.


Yolita Andindya Alifa

Topik yang kami angkat cukup menarik mengingat pembahasan mengenai perkotaan memang cukup luas dan sangat kuat isu-isunya. Penggrebekkan hotel kelas menengah kebawah pada dasarnya menjadi sasaran para aparat kepolisian dan jajarannya untuk menciptakan ketertiban umum. Sasaran kelas menengah kebawah dan terjadi di kota-kota besar menjadi salah satu pertanyaan kami dalam tulisan ini. Cukup baik tulisan esai dan tanggapan diatas, sekiranya sudah cukup lengkap dalam mengulik tentang penggrebekkan hotel-hotel kelas menengah kebawah dan terjadi di kota-kota besar tersebut. Tiga tulisan diatas mencoba membahas mulai dari esai pertama yang ditulis oleh Tasi sebagai pemantik dengan bahasannya yang mengangkat mulai dari sejarah hingga hotel pada zaman sekarang untuk dua tanggapan setelahnya dan dua tanggapan yang pembahasannya semakin mengerucut dan mengangkat soal agama dan hukum yang dibawa oleh Sekar dan Rista. Dalam esai reply ini, saya hanya mengapresiasi dan mengulas kembali apa yang telah dibahas dan ditulis oleh tiga teman saya diatas. Agaknya saya juga akan memperkuat dengan artikel-artikel tambahan dan beberapa fenomena yang pernah saya dengar langsung dari kerabat dekat saya.


Tulisan mengenai fenomena penggrebekkan hotel kepada muda-mudi di kota-kota besar ini benar adanya. Saya setuju dengan apa yang sudah ditulis oleh ketiga teman saya. Hanya saja contoh kasus yang diangkat berkutat pada media YouTube yang memang menayangkan penggrebekkan muda mudi di hotel yang disebut hotel melati. Sebenarnya ada kalanya hotel-hotel berbintang dilakukan penggrebekkan. Hanya saja yang terkena penggrebekkan itu pasti juga orang-orang kelas atas dan rata-rata tersidak kasus narkotika. Esai yang ditulis dalam platform mojok.co mengatakan bahwa kenapa penggrebekkan hanya stuck di hotel melati saja? Kemudian penulis beropini atau berasumsi bahwa para aparat kepolisian atau keamanan hanya menggrebek hotel-hotel melati dan pasangan muda-mudi yang letak hotelnya di gang sempit atau pinggir jalan, atau villa-villa di gunung hanya karena takut bertemu atasan yang lebih berwenang sedang di hotel berbintang? Atau bahkan aparat keamanan itu sendiri atau kepolisian itu sendiri tidak ada aturan untuk melakukan penggrebekkan di hotel-hotel berbintang?


Berdasarkan pernyataan dari Said Faisal, Kabid Penegak Perda Satpol PP kota Jambi, tidak memandang hotel berbintang berapapun, razia terhadap pasangan yang menginap di hotel bukan sepasang suami istri memang menjadi tanggung jawab satpol PP atau aparat keamanan lainnya. Lantas, mengapa yang ditayangkan hanya penggrebekkan hotel melati yang juga sasarannya muda mudi? Selanjutnya, saya akan mengulas kembali dan membahas mengenai tiga tulisan di atas. Singkatnya mencoba untuk merangkum dan menangkap kesimpulan pembahasan yang sudah kami angkat.


Esai pertama yang ditulis oleh Tasi berperan sebagai pemantik mengenai fenomena penggrebekkan pasangan muda-mudi di hotel. Pada esai tersebut, Tasi membahas mulai dari sejarah bangunan hotel itu sendiri hingga hotel sebagai faktor naik turunnya angka pariwisata dan sasaran bagi para pekerja-pekerja seks di kota-kota besar. Tasi mengatakan bahwa munculnya hotel pertama kali bertujuan untuk pelancong-pelancong di era pemerintahan Eropa. Seiring berjalannya waktu, hotel-hotel tersebut berlomba-lomba memberikan pelayanan terbaik, tidak hanya untuk para pelancong. Namun, sudah menyentuh masyarakat kelas atas. Tasi tidak hanya membahas mengenai sejarah, ia juga membahas mengenai hotel dalam perspektif perkotaan. Kota-kota besar yang menjadi para pengunjung, artis dalam maupun luar negeri berlomba-lomba membangun hotel-hotel yang jenisnya berbagai macam. Seperti yang disebutkan Tasi, mulai dari hotel budget, hotel yang sifatnya eco-friendly, boutique hotel—hotel kecil non-merek.


Kemudian dalam esai Tasi juga membahas asumsi-asumsi yang seperti dibahas pada esai mojok.co sebelumnya mengenai satpol PP atau aparat keamanan lainnya hanya menggrebek hotel-hotel melati saja. Dalam hal ini, Tasi mengutip dari Abidin Kusno untuk memperkuat asumsinya, bahwa aparat keamanan hanya menggrebek hotel-hotel melati saja apakah karena seperti yang Abidin Kusno katakan masyarakat ‘penuh masalah’ atau menengah kebawah. Dalam kutipan tersebut, Abidin Kusno mengatakan bahwa masyarakat menengah kebawah menjadi representasi perkotaan yang dianggap mewakili bangsa yang ‘modern’. Lewat asumsi Tasi tersebut semakin banyak asumsi-asumsi lain yang mengulik mengenai penggrebekkan hotel-hotel di perkotaan yang sasarannya masyarakat menengah kebawah.

Dalam esainya, Tasi juga membawa kami dan pembaca tentunya untuk lebih dalam lagi mengenai razia hotel di Indonesia. Membahas mengenai hukum, pasal dan undang-undang tentunya sudah menjadi persoalan yang penting. Peraturan bahwa dilarangnya pasangan muda mudi dalam satu kamar padahal belum ada status pernikahan memang dalam undang-undang dan agama pun sudah diaut. Dalam undang-undang dikatakan dapat merusak moral bangsa, mengganggu kenyamanan lingkungan, dan lain sebagainya. Jika menurut agama, agama manapun tentu melarang umatnya untuk berzina sebelum adanya ikatan pernikahan. Tasi dalam esainya mengutip surat Al-Isra yang menangkat soal perzinaan.


Mengerucut lebih dalam, dilanjut dengan esai yang ditanggapi oleh Sekar. Dalam tulisannya, ia lebih membahas mengenai peraturan, undang-undang, dan media sebagai penayangan fenomena penggrebekkan hotel melati. Membahas mengenai perizinan menginap di hotel dan aturan-aturan mengenai perhotelan dapat diasumsikan bahwa dari pihak hotel sendiri sebenarnya sudah ada peraturan yang juga diatur oleh undang-undang dan peraturan daerah setempat. Sekar dalam esainya berasumsi bahwa hotel tidak boleh dipergunakan untuk hal-hal yang melanggar asusila. Penggrebekkan yang dilakukan aparat keamanan terhadap hotel-hotel melati atau hotel non-merek dapat memunculkan ambigu, oleh karenanya dibuat peraturan dan undang-undang. Dalam hal ini saya setuju dengan asumsi yang Sekar berikan. Karena seperti bahasan di pengantar pada esai reply ini juga telah memunculkan asumsi yang tidak hanya keluar dari diri saya namun ada tulisan-tulisan keresahan dari masyarakat lain yang tertuang dalam platform media sosial.


Selanjutnya mengenai hotel melati itu sendiri, Sekar berasumsi bahwa masyarakat memilih hotel melati karena faktor harga yang lebih ekonomis, akses mudah karena beberapa tidak ada peraturan yang merepotkan pelanggan dan fasilitasnya juga hampir sama dengan hotel-hotel berbintang. Hal ini dikarenakan meningkatnya atau tingginya angka permintaan pelanggan terhadap tingkat fasilitas hotel. Oleh karenanya, manajemen atau pihak hotel semakin diuntungkan dengan tidak adanya peraturan yang merepotkan, contoh tidak boleh menginap kecuali pasangan sah. Hotel melati ini sendiri memang memanjakan pelanggannya dengan fasilitas yang tidak kalah samanya dengan hotel berbintang. Terdapat kasur, kamar mandi dalam, AC atau kipas angin, bagi pelanggan tertentu yang bertujuan hanya untuk menginap semalam dirasa sudah cukup.

Selanjutnya, bahasan yang menurut saya menarik dalam esai tanggapan yang ditulis oleh Sekar mengenai media sebagai representasi penggrebekkan hotel melati. Dalam tulisan ini, Sekar meangkat studi kasus channel YouTube Net 86, dimana channel itu menguak mengenai penggrebekkan atau kasus kriminalitas lainnya. Yang menjadi sorotan kami, terutama dalam esai Sekar, dalam channel itu adalah mengenai penggrebekkan muda mudi di hotel maupun di kos-kosan yang mencurigakan. Channel itu dikatakan oleh Sekar memang sudah bekerja sama dengan Kepolisian Negara Republik Negara Indonesia. Dalam tulisannya banyak asumsi-asumsi yang dikeluarkan mengenai tujuan channel tersebut. Net 86 rata-rata menampilkan masyarakat menengah kebawah yang di grebek sedang melakukan sesuatu atau terlibat tindak kriminal. Hal ini menimbulkan asumsi bahwa untuk menaikkan pamor atau rating dari channel tersebut, mereka menggrebek ke suatu tempat yang diduga di salahgunakan oleh muda-mudi atau oknum tertentu. Penggrebekkan dilakukan dengan cara langsung membuka pintu atau mengetok dengan keras, seperti yang bisa dibayangkan, bertanya-tanya hal-hal yang sebenarnya sudah tahu jawabannya kemudian meminta identitas si pelaku tersebut. Jika mereka terbukti bersalah, mereka akan dijadikan bahan olok-olokkan dan itu yang membuat rating channel tersebut naik. Jika mereka merupakan pasangan sah atau tidak bersalah, mereka juga tetap masuk kamera dan justru diserang dengan pertanyaan yang sebenarnya tidak penting dan membawa soal agama.


Bicara soal agama dalam fenomena ini, esai tanggapan kedua yang ditulis oleh Rista. Ada apa sehingga agama pun dibawa ke persoalan ini? Tanpa kita sadari, negara kita sekarang sedang marak membicarakan soal agama. Dalam fenomena ini, dilihat dari agama tentu saja ada. Seperti di pembahasan sebelumnya, Tasi mengungkit mengenai pandangan agama terhadap perilaku zina yang dilakukan di hotel-hotel penggrebekkan. Hal ini juga bersambung ke pertanyaan aparat keamanan yang menggrebek hotel tersebut. Pastilah pertanyaan mereka meliputi singgungan moral dan agama. Rista dalam tanggapannya lebih fokus kepada agama dalam tatanan ruang publik yang agaknya menyelimuti fenomena penggrebekkan ini. Dalam tanggapannya, Rista mengeluarkan asumsi-asumsi yang cukup kritis menurut saya. Asumsinya yang menyangkut mengenai gaungan agama dalam fenomena penggrebekkan oleh aparat keamanan ini agaknya mengabur. Menurutnya, kata-kata atau bicara aparat keamanan kepada pelaku penggrebekkan terlalu naif dengan membawa-bawa persoalan agama dan moral.

Tidak hanya mempersoalkan mengenai agama, tanggapan yang ditulis oleh Rista cukup runtut karena ia berusaha untuk mengulasnya langkah demi langkah. Pertama ia membahas mengenai fungsi dari hotel melati yang sebenarnya hingga menguak ternyata ada kasus lain didalamnya. Kemudian ia lanjut ke pembahasan mengenai kriteria tempat yang digunakan PSK atau muda mudi yang ingin melakukan seks bebas yang nantinya menimbulkan asumsi dan muncullah penggrebekkan. Selanjutnya, ia menuliskan mengenai pandangan masyarakat atau sebutan masyarakat terhadap perilaku seks bebas di hotel ini sebagai ‘penyakit masyarakat’. Dan tentunya yang menjadi sasaran adalah masyarakat kelas menengah kebawah. Hal itu dikarenakan banyaknya media dari televisi, media sosial, surat kabar dan lainnya yang menguak mengenai berita penggrebekkan di hotel, kos, atau tempat-tempat sejenis lainnya yang mana ditemukan kalau tidak mahasiswa atau pelajar. Hal itu menimbulkan stigma dalam masyarakat bahwa anak-anak, remaja merupakan penyakit masyarakat.


Dari tiga esai dan tanggapan diatas saya coba mengulas kembali secara inti, dapat disimpulkan bahwa fenomena penggrebekkan hotel yang sasarannya merupakan muda mudi dan hotel yang non-merek memang menjadi pertanyaan banyak khalayak. Fokus kami dalam esai ini memang penggrebekkan hotel muda mudi kelas menengah bawah yang juga mengangkat agama didalamnya. Karena tidak dapat dipungkiri, persoalan agama sedang sering diangkat dalam hal apapun. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tanggapan Rista, bicara agama dan moral, menurutnya memberikan kesan naif.


Setelah bicara panjang lebar mengenai fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa, masyarakat menengah kebawah memang sudah mempunyai stigma sebagai ‘penyakit masyarakat’ seperti yang dikatakan Abidin Kusno (2009) dalam bukunya. Hal itu menimbulkan seringnya terjadi kesenjangan sosial antar kalangan atas dan bawah. Kalangan bawah tentunya merasa tidak adil dengan stigma ini. Namun, tidak membantah fakta, bahwa kalangan bawahlah memang yang sering kedapatan melakukan hal-hal yang melanggar asusila atau peraturan negara, agama, maupun hukum. Hal ini juga dapat di kulik lagi faktor-faktornya. Pertama, jika bicara soal tindak asusila seperti seks bebas, masyarakat kalangan bawah cenderung kurang mendapat ilmu tentang edukasi seks atau pengetahuan mengenai seks. Namun, tidak dipungkiri masyarakat kalangan atas ada yang melakukan hal seperti itu. Karena stigma itu tadi, aparat kepolisian atau keamanan setempat membuat sasaran razia atau penggrebekkan hotel khususnya yang menengah kebawah. Kedua, soal faktor ekonomi. Pekerja Seks Komersial (PSK) yang pada umumnya bekerja di hotel yang non-merek menjadi salah satu incaran aparat keamanan. Hal itu dikarenakan meresahkan lingkungan dan warga sekitar. Kemudian, jika membawa agama, lingkungan dan warga di sekitar tempat zina itu akan terkena dosanya juga. Selain PSK, pasangan yang tidak mampu membayar hotel berbintang, memilih untuk ngamar di hotel yang memang tarifnya terjangkau.


Fenomena ini dapat ditemukan di kota-kota besar. Salah satunya Yogyakarta, yang merupakan kota pelajar dan kota dengan pariwisatanya yang sedang berkembang. Dalam esai pertama yang ditulis oleh Tasi, ia menyebutkan bahwa Yogyakarta menjadi melting pot dimana pelajar-pelajar, pendatang yang latar belakang, ideologi, kepercayaannya berbeda-beda melebur menjadi satu. Hal ini membuat Yogyakarta banyak menyediakan kos-kosan untuk mahasiswa/I rantau dan hotel tentunya. Kos-kosan ini juga berbagai macam jenisnya, yang menjadi perbincangan tentunya kos campur atau kos eksklusif. Lagi-lagi membicarakan kelas sosial. Kos-kosan juga menjadi hal yang krusial jika disambungkan dengan razia. Rata-rata kosan yang non-eksklusif tertentu yang sering terjadi razia. Kemudian, banyak hotel-hotel bertarif terjangkau yang fasilitasnya hampir sama dengan hotel berbintang. Banyaknya pendatang dari dalam maupun luar Jawa, luar maupun dalam negeri, membuat Yogyakarta membangun banyak bangunan susun untuk memenuhi permintaan masyarakat. Tidak hanya itu, mengingat Yogyakarta kota wisata, utara terdapat gunung dan selatan pantai, tentunya banyak villa atau penginapan yang ditujukan untuk pengujung destinasi wisata tersebut. Namun, beberapa kali saya berbicang mengenai penginapan di Kaliurang maupun di Parangtritis seringkali disalah gunakan oleh muda mudi yang ingin memadu kasih atau berhubungan seksual. Saya sempat bertanya, sering ada razia atau tidak, dalam waktu dekat ini sudah agak jarang. Dan jika ada razia dan aturan-aturan seperti itu, pastinya akan di tutup oleh pemerintah usaha villa atau penginapan dan menghambat ekonomi penduduk sekitar. Memang serba salah jika mengungkit fenomena dan membahas mengenai persoalan seperti ini.


Daftar Pustaka

Barker, J., Harms, E., & Lindquist, J. (2013). Introduction to special issue: figuring the transforming city. City & Society, 25(2), 159-172.

Effendy, B. (2009). Agama Publik dan Privat: Pengalaman Islam Indonesia. KERUKUNAN DAN PLURALITAS DALAM TANTANGAN, 207.

Munan, Yosephin Anggun. 2018. Melihat Aksi Grebek yang Cuma Mentok di Hotel Melati.https://mojok.co/yam/esai/melihat-aksi-gerebek-cuma-mentok-di-hotel-melati/ diakses pada tanggal 27 Juni 2019 pukul 21.03

Nining, W. (2017). URGENSI HOTEL SYARIAH UNTUK MENUNJANG PARIWISATA DI KOTA CIREBON.

Peraturan Daerah Yogyakarta. 2002. Undang-Undang Daerah No. 2 Tahun 2002 Tentang Perizinan Usaha Hotel dan Penginapan. Seri. C. Berita Resmi. DI Yogyakarta.

PRASASTI, S. (2017, August). DISKRIMINASI PENANGANAN DAN PENGGUNA PEKERJA SEKS KOMERSIAL. In PROSIDING SEMINAR NASIONAL PROGRAM STUDI BIMBINGAN KONSELING (No. 1).

Putri, C. P. R., & Suandy, E. (2015). Analisis Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pengetahuan Perpajakan, Sosialisasi Perpajakan dan Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Hotel Melati di Kota Yogyakarta. E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta,(3), 1-14.

Yandra, Y., Yuliana, Y., & Pramudia, H. (2015). Persepsi Masyarakat Tentang Citra Hotel Melati di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. E-Journal Home Economic and Tourism, 10(3).

51 views0 comments

Comments


bottom of page