Oleh Iffah Fitri Annisa
Sederet permasalahan perkotaan memang sangat menarik untuk diperdebatkan. Perkembangan kota yang sangat pesat tidak terlepas dari faktor-faktor lainnya, seperti dinamika penduduk, perubahan sosial ekonomi, serta terjadinya interaksi dengan wilayah lain (Dwihatmojo, 2010) sehingga mengharuskan kota untuk bebenah diri demi mendukung segala aktivitas manusia. Kota sebagai pusat kegiatan harus menyediakan fasilitas untuk mendukung kegiatan sosial, ekonomi, pemerintahan, pendidikan, serta fasilitas pelayanan bagi masyarakat. Semakin berkembangnya suatu kota, pastinya memiliki beberapa konsekuensi, termasuk konsekuensi terhadap aspek lingkungan. Dalam tahap perkembangan kota, pada mulanya sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau (Dwiyanto, 2009). Namun dengan adanya pembangunan wilayah perkotaan untuk memenuhi kebutuhan ruang aktivitas masyarakat, lahan terbuka hijau tersebut mengalami alih fungsi (konversi) menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar lahan berubah menjadi jalan raya, bangunan perkantoran, bangunan permukiman, pusat perbelanjaan, perhotelan, dan lain-lain, yang karakternya sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau (Dwiyanto, 2009). Oleh karenanya ruang terbuka hijau mengalami penurunan kuantitas dan kualitas di area perkotaan, secara khusus esai ini akan membahas ruang terbuka hijau di area Kota Yogyakarta.
Ruang Publik, Ruang Terbuka, dan Ruang Terbuka Hijau
Untuk memahami kondisi Ruang Terbuka Hijau, ada baiknya diperlukan pemahaman soal ruang publik (publik spaces) dan ruang terbuka (open spaces). Ruang publik secara spasial adalah tempat di mana setiap orang mempunyai hak bebas untuk mengakses atau memasukinya tanpa harus membayar uang masuk. Ruang publik dapat ditemukan di mana-mana. Ruang publik menurut Siahaan (2010) meliputi jalan (termasuk pedestrian), tanah perkerasan (pavement), alun-alun kota (town square), dan taman (park). Sedangkan menurut saya yang disebut ruang publik adalah ruang yang dapat dinikmati oleh semua orang, seperti perpustakaan umum dan pusat perbelanjaan. Meskipun menurut Siahaan pusat perbelanjaan atau mall tidak akan pernah menjadi ruang publik yang utuh karena menampilkan wajah yang privat di mana orang yang berada di sana berasal dari kalangan ekonomi tertentu. Ruang terbuka merupakan ruang yang terletak di luar massa bangunan, atau menurut sepemahaman saya adalah ruang yang tidak memiliki pembatas atau penutup serta dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan oleh setiap orang. Dalam hal ini berarti, keduanya diperuntukan untuk kebutuhan sosial karena ruang terbuka dan ruang publik dapat dimanfaatkan dan diakses oleh siapa saja, ia diharapkan dapat menjadi wadah untuk berinteraksi dan berdemokrasi.
Secara umum ruang terbuka hijau (RTH) adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces), bersamaan dengan ruang terbuka non-hijau (RTNH) dan ruang terbuka biru (RTB) (Dwiyanto, 2009). RTH kemudian dibagi berdasarkan sifat kepemilikan yakni privat dan public, yang mana RTH public merupakan tanggung jawab pemerintah sedangkan privat dapat dikelola oleh masyarakat atau institusi tertentu. RTH privat adalah RTH perkarangan, baik itu rumah tinggal atau perkantoran, sedangkan RTH publik adalah taman lingkungan. Terdapat pula taman lingkungan yang merupakan RTH privat dimiliki oleh perseorangan/masyarakat/swasta yang pemanfaatannya untuk kalangan terbatas.
Pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) di setiap kota telah sangat jelas tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Hal ini juga telah disebutkan terlebih dahulu pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang memberikan landasan untuk pengaturan ruang terbuka hijau di setiap wilayah. Sebagaimana tertulis dalam undang-undang, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang ditumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Penyediaan RTH di kawasan perkotaan berdasarkan luas wilayah juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Disebutkan bahwa luas RTH adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat. Sayangnya ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta belum memenuhi 30% dari luas wilayah sebagaimana telah diatur oleh peraturan menteri tersebut.
Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta
Kepala Bidang Keindahan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Indiah Widiningsih (2017) mengatakan kepada bisnis.com bahwa luas ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta saat ini belum mencapai 30%, sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008, lebih tepatnya Kota Yogyakarta memiliki 18,76%. Sebelum adanya perubahan aturan dan kriteria penentuan ruang terbuka hijau, Kota Yogyakarta sempat memiliki luas RTH sebesar 32% dari luas wilayah kota ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 tahun 1996. Menurut Indiah, perubahan terjadi karena pada aturan baru jalan tidak termasuk dalam ruang terbuka hijau, tidak seperti yang tercantum dalam aturan lama sehingga terdapat koreksi luas RTH Kota Yogyakarta. Diketahui bahwa saat ini ruang terbuka hijau yang dimiliki Kota Yogyakarta terdiri dari RTH publik 5,83% dan RTH privat sebesar 12,93%. Meskipun RTH privat sudah memenuhi ketentuan, sayangnya RTH publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah masih belum mencapai target.
Keterbatasan lahan menjadi masalah utama dalam pembangunan RTH di Kota Yogyakarta. Yogyakarta sebagai kota pelajar dan kota wisata tentunya menjadi incaran strategis para investor untuk membangun kota. Mulai dari bangunan apartemen yang digadang untuk para pelajar elit, sampai perhotelan untuk para wisatawan. Padahal dengan maraknya pembangunan gedung tersebut, keberadaan lahan untuk ruang terbuka hijau semakin terancam.
Mungkin kebanyakan kalangan menganggap keberadaan RTH ini belum begitu dibutuhkan oleh perkotaan. Hal ini bisa terjadi ketika perkotaan hanya dilihat dari segi ekonomi saja, dan dilihat dari citra ke ‘wah’ an suatu kota di mana gedung-gedung bertingkat mendominasi. Namun disamping itu kota juga tetap mengambil bagian sebagai tempat tinggal penduduknya. Bila suatu kota hanya memiliki sedikit RTH, ia akan mengganggu kegiatan masyarakat lainnya. Keberadaan RTH di tengah kota tidak hanya sebagai asset lingkungan, tetapi ia juga sebagai penyelaras kehidupan perkotaan. Dengan kesibukan tengah kota, hiruk pikuk kemacetan, yang segalanya harus berjalan terus dengan cepat membuat masyarakat kota rentan stress. Secara psikologis RTH dapat membantu meringankan stress tersebut, RTH dapat dimanfaatkan untuk beristirahat sejenak, melepas penat dari segala keramaian kota.
Sayangnya sedikit sekali RTH ditemukan di tengah Kota Yogyakarta. Kebanyakan RTH dibangun di dalam area perkampungan. Berdasarkan liputan NET Yogya, Pemerintah Kota Yogyakarta telah membangun 36 RTH dikawasan permukiman warga sejak tahun 2012. Pembangunan ruang terbuka hijau yang terjadi dalam perkampungan agar dapat dimanfaatkan warga sebagai ruang untuk berkumpul dan berinteraksi, tidak hanya orang dewasa tetapi anak-anak dapat bermain di RTH tersebut. Keterbatasan lahan di tengah kota, menjadikan perkampungan sebagai salah satu solusi tempat untuk membanun ruang terbuka hijau. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Yogyakarta, Suyana, Kota Yogyakarta memiliki prinsip bahwa membangun kota berawal dari membangun kampung yang baik.
Ia menuturkan kepada NET Yogya, “Bukan di pinggir kota yang ada toko, ada hotel itu mewah ‘wah’ ya, tetapi di baliknya itu menjadi ‘weh’, tetapi tetap di dalam itu harus ‘wah’. Karena di dalam kampung, orang-orang tidak tahu, tetapi gapapa. Tetapi di kampung itu ‘wah’, tetapi di kota akan dibangun oleh investor-investor”.
Dari penuturan kepala dinas lingkungan hidup, terlihat bahwa pemerintah tidak masalah dengan tengah kota yang terus dibangun oleh para investor dan lebih memilih memfokuskan pembangunan RTH pada perkampungan. Namun bukan berarti hal tersebut tidak mengundang perdebatan, dengan kota yang terus dibangun investor dan pemerintah terlihat tidak mengambil tindakan akan menimbulkan kegeraman di masyarakat, atau bahkan mereka telah geram saat ini.
Jalur hijau Kotabaru: kondisi RTH saat ini?
Ruang terbuka hijau sebagai aset lingkungan perkotaan memiliki fungsi utama ruang yang berkesinambungan dengan sisi ekologis. Menurut peraturan pemerintah fungsi tersebut antara lain adalah sebagai paru-paru kota yang memberikan sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi air dan udara berjalan dengan lancar, peneduh dari sinar matahari, produsen oksigen, penyerap air hujan, sebagai habitat satwa, menyerap polutan media udara, air, dan tanah, serta peredam kebisingan kota juga penahan angin.
Kota bukan hanya sekedar untuk tempat tinggal penduduknya, melainkan ia juga adalah komunitas. Di mana setiap penduduk yang saling berinteraksi menciptakan kehidupan kota. Namun sepertinya semakin berkembangnya suatu kota, interaksi sosial tertentu semakin jarang terlihat. Minimal interaksi yang terlihat adalah berdasarkan motif tertentu misalnya give and take. Keberadaan ruang terbuka hijau sebagai ruang interaksi dan rekreasi masyarakat kota diharapkan dapat memberikan manfaat sosial-budaya, ekonomi, dan estetika. Dengan teduhnya ruang terbuka hijau, dapat digunakan sebagai sarana untuk beristirahat, dan menghilangkan penat kesibukan kota. Ruang terbuka hijau yang memiliki keindahan atau nilai estetika sendiri dapat menjadi daya tarik masyarakat akan kota yang indah tersebut.
Namun dengan berbagai harapan yang disematkan pada ruang terbuka hijau, bukan berarti akan sesuai dengan keinginan. Seperti kondisi ruang terbuka hijau di perkotaan saat ini yang masih belum optimal, membuat masyarakat enggan memanfaatkan RTH tersebut. Banyak ruang terbuka hijau yang rapi, bersih, namun terlihat kosong atau sepi. Apakah kekosongan ruang terbuka hijau sudah sesuai dengan tujuannya sebagai ruang interaksi?
Kotabaru merupakan salah satu kelurahan yang berada di kecamatan Godokusuman, Kota Yogyakarta. Dapat dikatakan Kotabaru merupakan salah satu daerah lumayan teduh untuk ukuran perkotaan karena banyak ditemukan pohon-pohon rindang yang ditanam. Kotabaru sebagai kawasan heritage karena banyak bangunan peninggalan Belanda ditata ulang di tahun 2018 lalu. Penataan ulang ini membuat pedestrian Kotabaru, tepatnya dari simpang empat Gramedia hingga Stadion Kridosono, menjadi mirip dengan kawasan Malioboro.
Pedestrian di Jalan Suroto dapat dikatakan sebagai jalur hijau karena ia ditumbuhi oleh tanaman-tanaman besar sehingga terlihat lebih mirip dengan taman, atau bisa disebut sebagai taman di tengah jalan. Suyana menyebutkan bahwa agak nekat membangun taman di tengah jalan tersebut, meskipun hal ini diinginkan oleh pemerintah agar masyarakat dapat merasakannya, namun secara aturan hal tersebut tidak dibenarkan.
Area pedestrian atau bisa disebut taman Kotabaru dilengkapi berbagai fasilitas pendukung, di antaranya bangu taman, tempat sampah, serta terdapat sepeda yang dapat disewakan secara gratis melalui aplikasi. Keberadaan taman cukup menarik perhatian karena pasalnya ia berada di tengah jalan yang sekitarnya banyak bangunan bergaya indische yang telah dialihfungsikan menjadi perpustakaan kota, toko buku, gedung pameran seni, dan sejumlah kafe sehingga taman menjadi tempat yang strategis untuk dimanfaatkan anak muda sebagai tempat nongkrong (Rudiana, 20018).
Sayangnya sampai saat ini taman tersebut masih terlihat sepi, paling tidak hanya 1-2 orang yang terlihat berlalu-lalang. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan kenapa tidak dimanfaatkan secara optimal padahal lokasi sudah cukup strategis. Apakah keberadaan taman hanya untuk memperindah dan mendukung bangunan di sekitarnya saja?
Ternyata keberdaan taman yang di tengah jalan ini belum dilengkapi kantong parkir. Kendaraan tidak dapat parkir di pinggir jalan karena akan mengganggu pengguna jalan lainnya. Alternatif lain adalah memarkiran kendaraan di jalan-jalan sayap seputar jalan utama, atau para pengunjung dapat pura-pura memasuki area gedung agar dapat memarkirkan kendaraannya di sana kemudian keluar lagi untuk dapat menikmati taman. Keberadaan taman yang di tengah jalan mungkin menjadi faktor lain keengganan masyarakat untuk menggunakan taman. Dengan posisi yang berada di tengah jalan serta dekat dengan lalu lintas kendaraan mengakibatkan taman berada di lingkungan yang berpolusi udara sehingga kurang cocok untuk aktivitas masyarakat dan sedikit membahayakan anak-anak apabila bermain di sana.
Penutup
Keberadaan ruang terbuka hijau sangat dibutuhkan dan senantiasa dinantikan oleh masyarakat Kota Yogyakarta. Ruang terbuka hijau yang sampai saat ini masih belum mencapai target terkendala oleh ketersediaan lahan yang terus menerus digunakan untuk pembangunan lainnya. Permasalahan yang sering dibicarakan pada ruang terbuka hijau masih mengenai luasan atau jumlah yang berhasil dicapai. Padahal keoptimalan ruang terbuka hijau tersebut juga patut diperhatikan. Sampai saat ini belum ada jalan keluar untuk melihat ruang terbuka hijau sebagai satu kesatuan seperti pada pengelolaan dan pemeliharaannya. Pembangunan RTH yang secara utuh akan membuat kenyamanan dan dapat dimanfaatkan para masyarakat kota. Sehingga ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi sosial budaya juga dapat terealisasi, tidak hanya fungsi ekstetikanya saja.
Keberadaan RTH pun bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab para warga masyarakat perkotaan. Warga kota dapat mulai memanfaatkan ruang hijau yang berada di sekitar lingkungan rumah mereka. Warga kota dapat mengembangkan kebun atau taman di rumah masing-masing. Namun hal ini harus dilakukan dengan serius dan bersama-sama, serta berawal dari dorongan dan dukungan pemerintah agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam membangun dan memanfaatkan ruang terbuka hijau agar dapat dinikmati bersama.
Tanggapan 1
Oleh Halimah
Menanggapi dari apa yang sudah ditulis di essay sebelumnya, penulis sudah cukup baik dalam memperkenalkan pada kita semua apa itu definisi Ruang Publik, Ruang Terbuka, dan Ruang Terbuka Hijau, kemudian memberikan data-data terkait bagaimana pemenuhan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta, dan terakhir memberikan satu gambaran permasalahan yang terjadi terkait pengadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di tengah Kota Yogyakarta yaitu mengenai RTH Pedestrian di Kotabaru yang termasuk ke dalam RTH Jalur hijau.Menurut Kementerian Pekerjaan Umum (2008) jalur hijau jalan adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lansekap lainnya yang terletak di dalam ruang milik jalan maupun di dalam ruang pengawasan jalan. Sering disebut jalur hijau karena dominasi elemen lansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau. RTH jalur hijau jalan dapat berupa pulau jalan maupun median jalan yang selain berfungsi sebagai RTH juga pembentuk arsitektur jalan. Meskipun urgensi mengenai permasalahan RTH jalur hijau Kotabaru yang belum dapat dimaksimalkan ini memang cukup penting, namun kota Yogyakarta masih memiliki sekian banyak masalah terkait Ruang Terbuka Hijau dari berbagai jenis RTH, tidak hanya terkait oleh RTH jalur hijau saja. Oleh karena itu, esaay kali ini akan melengkapi data permasalahan RTH di kota Yogyakarta. Salah satunya adalah mengenai sangat-kurangnya penyediaan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau Publik ketimbang Ruang Terbuka Hijau Privat yang akan dibahas secara lebih mendalam di essay ini.
RTH: Ruang untuk Bernafas di Tengah Kota
Perkembangan perkotaan selain menghasilkan dampak positif ternyata juga menghasilkan dampak negatif, salah satunya adalah terhadap aspek lingkungan kota. Masalah lingkungan seperti pencemaran udara oleh material berbahaya yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor, asap pabrik dan peningkatan suhu udara, adalah dampak negatif yang dialami oleh penduduk kota (Tursilowati, 2007), sehingga perencana kota seharusnya merancang ruang terbuka hijau (RTH) yang ideal bagi warga kota agar dapat memberikan kenyamanan dalam beraktivitas. Konsep Green City atau Kota Hijau muncul dan berkembang seiring dengan perhatian yang mendalam terhadap aspek ekologi dalam pembangunan. Konsep “hijau”dalam konteks lingkungan diawali dengan green politics yang merupakan penolakan terhadap politik tradisional dengan keinginan untuk mengubah struktur masyarakat dan penekanan terhadap kebutuhan sosial dan kualitas lingkungan di atas motif keuntungan ekonomi (Pepper, 1996).Pertumbuhan ekonomi dan penduduk juga akan meningkatkan kebutuhan lahan untuk pembangunan sentra ekonomi dan pemukiman, yang pada akhirnya mendorong terjadinya perubahan tata guna lahan terutama menurunnya ruang terbuka hijau (RTH).
Ruang terbuka hijau adalah suatu lapangan yang ditumbuhi dengan berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu). Ruang terbuka hijau juga didefenisikan sebagai sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang didalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants) dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan dan tumbuhan penutup tanah lainnya) sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan.
Kota selalu identik dengan jumlah kendaraan yang sangat padat disebabkan kebutuhan mobilitas dan asap-asap pabrik berpolusi yang membuat kualitas udara di kota jauh lebih buruk ketimbang di pedesaan. Kebutuhan akan lingkungan yang hijau harus disadari sebagai kebutuhan bersama oleh penduduk kota. Penduduk kota membutuhkan ruang-ruang terbuka untuk bernafas di udara yang lebih baik.Oleh karena itu, Ruang Terbuka Hijau memiliki peranan penting sebagai pemasok oksigen penduduk kota untuk membantu peningkatan kualitas udara di area perkotaan.Pembangunan Ruang Terbuka Hijau di tengah kota memiliki banyak sekali manfaat bagi kehidupan warganya. Konsep RTH dapat berfungsi sebagai penyaring / filter udara kotor, penyegar, dan penyeimbang ekosistem sehingga udara bersih yang dibutuhkan bagi paru-par kita tetap tersedia.
Ruang terbuka meski hanya sedikit terdapat tetumbuhan jika mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun, sangat berfungsi sebagai paru-paru kota . Tanpa ruang terbuka atau ruang terbuka hijau, maka lingkungan kota akan menjadi hutan beton yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island), yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi dan tak layak huni.Ruang terbuka yang disebut taman kota, yang berada di luar atau diantara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah di kawasan perkotaan. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota.
Kota Yogyakarta yang saat ini mulai banyak pembangunan disana-sini, memerlukan ruang-ruang untuk menjadi paru-paru bersama. Meski kota ini sempat mengalami penurunan jumlah RTH,Suyuti (2012) mengemukakan bahwa untuk menekan laju penurunan RTH, Pemkot Yogyakarta memulai membangun RTH dari perkampungan melalui gerakan penghijuan di setiap kampung di Yogyakarta.
KetersediaanRuang Terbuka Hijau Publik di Kota Yogyakarta
Meski di essay sebelumnya sudah disebutkan bahwa luas RTH adalah sebesar 30% dari luas wilayah kota, yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat, sedangkan ruang terbuka hijau di Kota Yogyakarta belum memenuhi 30% dari luas wilayah sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, akan tetapi Muhammad (2012) mengatakan bahwa ruang terbuka hijau privat di Kota Yogyakarta sudah melebihi target nasional, yaitu 14,4% dari target 10%. Namun, untuk ruang terbuka hijau publik masih belum memenuhi target karena baru mencapai 17,7% dari target 20%.
Carmona (2003) menyatakan bahwa ruang publik terbagi menjadi beberapa tipologi antara lain; (1) external public space yang merupakan ruang publik yang berbentuk ruang luar dan dapat di akses oleh publik seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan lain sebagainya; (2) internal public space yang merupakan ruang publik hasil kelola pemerintah dan dapat diakses oleh warga secara bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi, rumah sakit dan pusat pelayanan warga lainnya; (3) external and internal “quasi” public space yang merupakan fasilitas umum namun biasanya dikelola oleh sektor privat dan memiliki batasan atau peraturan yang harus dipatuhi warga seperti mall, diskotik, restoran dan lain sebagainya.Sigit Kusumawijaya (2013) sendiri menambahkan bahwa ruang publik di perkotaan merupakan ruang yang secara tidak langsung dapat mendorong seseorang untuk menjaga dan mengembangkan kotanya sendiri. Karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga masyarakat sangat penting dalam menjaga dan meningkatkan kualitas kawasan perkotaan. Ruang publik di Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis secara hukum yaitu dengan ditetapkannya Undang Undang No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
Dalam Undang-Undang Tentang Penataan Ruang juga ditegaskan pentingnya ruang terbuka, baik RTH maupun RTNH yang dijadikan sebagai salah satu muatan RTRW Kota. Kita tahu bahwa RTH dan RTNH memuat 2 (dua) komponen yaitu RTH dan RTNH Publik dan Privat. RTH Publik dan RTNH Publik menjadi bagian utama yang penting disediakan untuk menjamin keberlangsungan tersedianya ruang publik di kota-kota di Indonesia.RTH Publik diharapkan memiliki dua aspek penting, yaitu aspek estetika dan aspek kenyamanan. Aspek estetika suatu RTH Publik yaitu sebagai sarana penunjang keindahan kota dan sarana pembingkai pemandangan untuk melembutkan kesan kaku dari bangunan kota. Aspek kenyaman pada RTH Publik adalah mampu memperbaiki iklim mikro kota sehingga masyarakat nyaman untuk beraktivitas di dalam maupun di sekitar taman public (Gunawan, 2005).
Pentingnya peningkatan pembangunan RTH Publik menjadi masalah yang cukup serius di Kota Yogyakarta. Ketersediaan RTH Publik yang belum memenuhi target dibanding RTH Privat harus kembali di highlight dari berbagai macam persoalan kota. Ketersediaan RTH yang bersifat privat ini tidak bisa dinikmati oleh berbagai kalangan yang pemanfaatannya terbatas pada perseorangan atau kelompok/institusi tertentu. Sedangkan RTH Publik memiliki fungsi yang dapat menampung berbagai aktivitas warga yang tidak mempunyai penutup secara fisik seperti taman kota atau alun-alun.
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Risty (2017) menunjukkan bahwa ruang terbuka hijau publik di kota Yogyakarta belum sesuai dengan Pasal 29 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Yang artinya, selain kekurangan ketersedian RTH Publik, RTH Pubik yang tersedia di Kota Yogyakarta pun masih tidak sesuai dengan standar yang sudah ada.
Pemanfaatan Alun-alun sebagai RTH Publik
Alun-alun pada dasarnya merupakan suatu lapangan yang luas dan berumput dan dikelilingi jalan. jika melihat dari sisi historis, alun-alun biasanya merupakan halaman depan rumah namun dalam ukuran yang sangat luas. Di berbagai tempat, alun-alun biasanya merupakan halaman depan keraton termasuk pula di kota Yogyakarta. Alun-alun biasanya dimanfaatkan oleh Pemerintah Daerah sebagai ruang publik yang menghadirkan ruang rekreasi sekaligus menjadi Ruang Terbuka Hijau Publik milik kota.
Yogyakarta memiliki dua tempat yang berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai RTH Publik yaitu Alun-alun Utara/Lor dan Alun-alun Selatan/Kidul. Alun-alun utara kota Yogyakarta yang sebenarnya merupakan halaman depan Kraton Yogyakarta memiliki sejarah dimana pada zaman dahulu, alun-alun Lor adalah wilayah sakral yang tidak sembarang orang dapat memasukinya dan terdapat beberapa aturan yang harus dipatuhi jika memasukinya sebagai bentuk penghormatan terhadap Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Akan tetapi saat ini Alun-alun Lor sudah beralih fungsi menjadi ruang publik kota yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja dan menjadi tempat dimana beberapa tradisi seperti grebeg, festival sekaten dan upacara keratin diadakan. Alun-alun Utara memiliki luas sekitar 150x150 meter persegi dengan letak yang sangat strategis dengan pusat kota –malioboro dan titik nol kilometer. Meski begitu, alun-alun Lor tidak seramai Alun-alun Kidul yang padat oleh pedagang makanan.
Baru-baru ini, Alun-alun Utara yang selama bertahun-tahun sebelum ini terlihat gersang melakukan penghijauan rumput lapangan. Hal ini patut diapresiasi sebagai bentuk usaha pembangunan RTH Publik di tengah Kota Yogyakarta. Alun-alur lor memiliki struktur tanah berpasir yang membuat rumput-rumput ini tidak akan cepat tumbuh subur. Pohon-pohon ditanami hanya di luar lapangan kecuali sepasang beringin di tengah lapangan sehingga menguatkan kesan gersangnya. Meski sudah kembali dihijaukan dengan menanam rumput di dalam lapangan, setiap tahun muncul kekhawatiran akan rusaknya rumput-rumput tersebut yang diakibatkan oleh diadakannya festival sekaten setiap akhir tahun. Biasanya rumput-rumput yang terlalu tinggi akan dibabati, sisanya rusak ditimpa alat berat berbagai wahana. Sampah-sampah yang dibuang sembarangan oleh para pengunjung pun akan memperparah lingkungan, sehingga usaha penghijauan rumput disini menjadi terdengar seperti sia-sia.
Mari kita sedikit menilik Alun-alun di beberapa daerah lain. Alun-alun Wonosobo yang kerap mendapat penghargaaan alun-alun terbaik se-Jawa Tengah misalnya. Alun-alun ini betul-betul memaksimalkan lapangan ini sebagai RTH publik. Hal ini dibuktikan dengan rindangnya pepohonan yang mengelilingi lapangan dari berbagai sisi, dan rumput yang selalu terawat sepanjang tahun. Baik pagi, siang, sore maupun malam, alun-alun dipadati oleh penduduk kota yang berolahraga, berjalan-jalan dengan keluarga sekedar menghirup udara segar, tempat berkumpul berbagai komunitas –terutama komunitas olahraga, hingga tempat mencari makan di sepanjang jalan seberang alun-alun. Pemerintah Daerah mereka sangat tegas dalam membuat aturan dimana tidak boleh ada festival dan semacamnya di tengah lapangan agar Alun-alun terkondisikan tidak rusak dan dapat terus nyaman digunakan sebagai fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota. Jika mengkomparasikan dengan bagaimana kota Yogyakarta memanfaatkan Alun-alun sebagai RTH Publik, tentu kita dapat menilai bahwa Alun-alun kota ini masih jauh dari kata cukup baik.
Penutup
Permasalahan mengenai RTH Publik di Kota Yogyakarta ini cukup serius. Tidak hanya terkait jumlah luasan yang belum mencapai target saja, melainkan juga belum maksimalnya Pemerintah Daerah dalam memanfaatkan potensi yang sudah ada. Sebagaimana yang ssudah dikatakan di essay sebelumnya, bahwa Pembangunan RTH yang secara utuh akan membuat kenyamanan dan dapat dimanfaatkan para masyarakat kota sehingga ruang terbuka hijau yang memiliki fungsi sosial budaya juga dapat terealisasi, tidak hanya fungsi ekstetikanya saja. Meski jalan keluar untuk permasalahan ini harus ditanggung bersama antara pemerintah dan warga, diperlukan adanya inisiatifdorongan dan dukungan pemerintah daerah secara tegas mengenai pembangunan RTH Publik ini.
Tanggapan 2
Oleh Ilona Cecilia
Terkait esai Ruang Terbuka Hijau di Tengah Kota Yogyakarta yang telah disajikan sebelumnya, penulis sudah sangat baik menjelaskan berbagai hal tentang Ruang Terbuka Hijau, mulai dari pengertian, hukum yang mendasari, manfaat, sampai kondisi Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta saat ini. Selain itu, penulis juga turut membahas tentang Ruang Publik, Ruang Terbuka, dan Ruang Terbuka Hijau. Namun sayang, penjelasan tentang Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta kurang mendalam karena hanya mencontohkan Ruang Terbuka Hijau di Kotabaru. Beruntung kekurangan tersebut sudah diatasi oleh Tanggapan 1 yang membahas Ruang Terbuka Hijau di alun-alun beserta berbagai masalahnya. Sehingga, pembaca tidak hanya dikenalkan dengan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta, namun juga turut memahami masalah dan kekurangan yang kenyelimutinya. Selain itu, Tanggapan 1 juga sudah cukup banyak menambahkan hal-hal seputar Ruang Terbuka Hijau yang belum dibahas lebih dalam pada esai utama. Contohnya tentang Ruang Terbuka Hijau Publik. Pada Esai Tanggapan 2 ini, akan dipaparkan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta dan hubungannya dengan pembangunan hotel yang merajalela.
Perkembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta
Pada Esai Tanggapan 1 sudah sedikit disinggung bagaimana pertumbuhan ekonomi dan penduduk diiringi dengan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pembangunan sentra ekonomi dan pemukiman, yang akhirnya mendorong terjadinya perubahan tata guna lahan. Dampak utamanya tentu pada menurunnya lahan Ruang Terbuka Hijau. Karena alasan inilah, Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta berubah secara signifikan selama kurang lebih lima puluh tahun terakhir. Budiman et al (2014) melihat pola Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta pada tahun 1972, 2000, dan 2013.
Pada tahun 1972, 44% dari keseluruhan wilayah Kota Yogyarakarta merupakan Ruang Terbuka Hijau. Ruang Terbuka Hijau kala itu terkonsentrasi pada pinggir kota, tepatnya di sebelah barat dan timur. Hal ini disebabkan oleh pusat perkantoran, pemerintahan, dan bisnis yang mendominasi pusat kota. Keadaan kemudian jauh berubah pada tahun 2000. Ruang Terbuka Hijau sangat berkurang menjadi 33% dari keseluruhan wilayah dan pesebarannya memecah secara acak dari selatan ke utara. Perubahan drastis ini karena pesatnya pertumbuhan penduduk dan wisatawan. Lahan Ruang Terbuka Hijau banyak beralih fungsi menjadi rumah, hotel, sentra perdagangan, dan objek wisata. Sementara itu, pada 2013 pola Kota Yogyakarta masih sama dengan tahun 2000. Saat itu, Ruang Terbuka Hijau berkurang menjadi 32% namun polanya masih tersebar merata. Selain itu, pada 2013 ada penambahan Ruang Terbuka Hijau pada pusat yang tersebar merata untuk mengimbangi pembangunan yang terus dilakukan. Penambahan Ruang Terbuka Hijau dilakukan di kampung-kampung dengan berbagai program penghijauan seperti menanam dan merawat pohon. Selain itu, dilaksanakan pula Program Pengembangan Titik Ungkit Wilayah yang membuat area bantaran sungai di Kota Yogyakarta rindang.
Pada esai Tanggapan 1, penulis menyorot bagaimana penyediaan lahan bagi Ruang Terbuka Hijau publik sangat kurang dibandingkan dengan Ruang Terbuka Hijau privat. Hal ini ada kaitannya dengan kebijakan pengurusan izin usaha, dimana di Jalan Protokol Kota Yogyakarta tidak boleh dibangun rumah tanpa menyertakan Ruang Terbuka Hijau privat 10% dari luas tanah yang dibangun. Hal ini tentu saja membuat Ruang Terbuka Hijau privat semakin meningkat jumlahnya. Di lain sisi, pembangunan hotel dan sektor usaha tidak diiringi dengan kebijakan serupa menyangkut Ruang Terbuka Hijau. Seperti yang sudah dikatakan penulis di Esai Ruang Terbuka Hijau di Tengah Kota Yogyakarta, pemerintah seakan tidak masalah dengan tengah kota yang terus dibangun oleh para investor, dan lebih memilih memfokuskan pembangunan Ruang Terbuka Hijau di daerah perkampungan. Jadi rasanya pantas saja jika jumlah Ruang Terbuka Hijau publik lebih sedikit dibandingkan dengan Ruang Terbuka Hijau privat.
Pembangunan Hotel Mengikis Ruang Terbuka Hijau
Sitorus et. al (2011) mengungkapkan ada banyak faktor yang mempengaruhi jumlah luas Ruang Terbuka Hijau, diantaranya adalah alokasi Ruang Terbuka Hijau dalam RTRW, fasilitas kesehatan, kepadatan penduduk, fasilitas pendidikan, dan jumlah pendatang. Kota Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia setiap tahunnya tentu banyak didatangi wisatawan. Momen seperti tahun baru dan libur lebaran seringkali jadi ajang Kota Yogyakarta ‘diserbu’ oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Oleh karena itu hotel dibutuhkan untuk menunjang pariwisata. Laman statistikhotel mencatat sampai tahun 2018, ada 513 hotel yang beroperasi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan mayoritas berada di daerah Kota Yogyakarta. Dari jumlah tersebut, 82.26% merupakan hotel tidak berbintang, 3.10% hotel bintang 1, 3.99% hotel bintang 2, 5.32% hotel bintang 3, 3.77% hotel bintang 4, dan 1.55% hotel bintang 5.
Ledakan pengunjung yang datang setiap tahunnya ke Daerah Istimewa Yogyakarta tentu harus diiringi dengan fasilitas yang memadai. Pada hal ini, hotel menjadi salah satu yang terpenting. Nadia (2015) memaparkan ada beberapa dampak positif yang dapat diperoleh dengan pembangunan hotel, diantaranya: dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berupa pajak, retribusi ataupun pungutan-pungutan lain; dapat menambah lapangan pekerjaan; mendukung pembangunan Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata; dan meningkatkan kegiatan ekonomi. Namun, pada prosesnya pembangunan hotel seringkali tidak memprehatikan lingkungan, akibatnya banyak dampak negatif yang dihasilkan, seperti kekeringan, gangguan limbah, pencemaran air dan udara, dan kemacetan lalu lintas. Selain itu, Ruang Terbuka Hijau banyak beralih fungsi. Masyarakat khawatir hal ini dapat merusak tatanan lingkungan secara permanen karena berkurangnya Ruang Terbuka Hijau dapat mempengaruhi aspek lain. Drs. Pande Made Kutanegara, M.Si, peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada juga mengatakan hal yang sama. Kepada CCPS UGM ia mengatakan, “Ada tekanan yang cukup tinggi terhadap pemanfaatan ruang kota, misalnya untuk pembangunan berbagai fasilitas seperti perumahan, hotel, pusat perbelanjaan, dan beragam fasilitas lainnya. Ini berdampak pada berkurangnya ruang-ruang terbuka atau open space yang berupa RTH maupun ruang terbuka non hijau.”
Dengan pembangunan hotel, fasilitas publik terpaksa diambil untuk kepentingan privat. Disebut privat karena hanya golongan tertentu saja yang dapat menikmati segala fasilitas di hotel, selain itu hotel memang dasarnya diperutukkan bagi wisatawan bukan masyarakat setempat. Terambilnya fasilitas publik untuk kepentingan privat ini tentu mengundang kemarahan masyarakat. Terkait hal ini, Triyastuti Setianingrum, M.Sc., peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada juga mengungkapkan bahwa selama ini banyak orang yang mengeluhkan tentang maraknya pembangunan hotel daripada sarana penunjang publik lainnya. Ia juga merasa proporsi bagi RTH dinilai masih minim. Kota Yogyakarta yang tadinya memiliki slogan “Jogja Berhati Nyaman”, oleh masyarakat yang geram berubah menjadi “Jogja Berhenti Nyaman”.
Kebijakan Pengendalian Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta
Nadia (2015) mengungkapkan bahwa untuk memperbaiki tata ruang, menjaga kualitas pelayanan wisata serta mengurangi dampak negatif dari pembangunan hotel, pemerintah mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Dengan peraturan ini, Pemerintah Kota Yogyakarta menghentikan sementara izin mendirikan hotel berlaku mulai tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan 31 Desember 2016. Peraturan kemudian diperpanjang sampai tahun 2018 dengan Peraturan Walikota Nomor 100 tahun 2017 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel. Saat itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY justru meminta perpanjangan sampai tahun 2021 karena okupasi hotel di Yogyakarta kurang, hanya 55-57%. Namun, pemberhentian izin mendirikan hotel dicabut sementara selama tahun 2019, dengan turunnya Peraturan Walikota Nomor 85 Tahun 2018 tentang pengendalian pembangunan hotel. Pemberian kembali izin pembangunan hotel kali ini hanya untuk hotel bintang empat, bintang lima, guesthouse, dan penginapan— alasannya karena mereka memiliki kapasitas lebih banyak. Pemberian kembali izin pembangunan hotel juga dilakukan untuk melayani target 1 juta wisatawan dan menyambut bandara New Yogyakarta International Airport yang baru-baru ini dibuka.
Saat peraturan pemberhentian sementara izin membangun hotel diberlakukan, dampak negatif yang dihasilkan dari pembangunan hotel pada lingkungan masih terus berlangsung. Hal ini mungkin karena saat peraturan tersebut berlaku, investor tetap boleh mengembangkan hotel yang telah ada. Dampak negatif ini terus dirasakan oleh masyarakat. Septian (2017) mengungkapkan bahwa masyarakat selama ini memang selalu diajak oleh pemerintah untuk berdiskusi terkait pengambilan keputusan pengeluaran izin pembangunan hotel. Pada Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 58 tentang Bangunan Gedung pun, salah satu syarat administrasi perizinan mendirikan bangunan termasuk hotel adalah formulir permohonan yang diketahui oleh tetangga, Rukun Tetangga, Rukun Warga, Lurah dan Camat.
Penambahan Proporsi Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta
Ratnasari et. al (2015) memaparkan bahwa berdasarkan luas wilayah Kota Yogyakarta masih memerlukan 390,55 ha Ruang Terbuka Hijau, dan berdasarkan jumlah penduduk masih kurang seluas 220,91 ha. Sementara itu, area berpotensi Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta seluas 30,94 ha. Untuk mengimbangi pembangunan hotel dan bangunan lain, strategi pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta difokuskan untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas Ruang Terbuka Hijau yang ada, menambah area yang belum termanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau publik, dan mengembangkan koridor hijau. Sementara itu, laman jogjapolitan pada 2018 melaporkan bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta berencana membangun Ruang Terbuka Hijau di 3 tempat, diantaranya di daerah Keraton dan Pakualaman. Namun rencana tersebut batal. Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta saat itu juga mengaku sedang melakukan proses pengalihab status tanah di bantaran sungai milik Balai Besar wilayah Sungai Serayu Opak agar bisa dijadikan Ruang Terbuka Hijau milik Pemerintah Kota Yogyakarta. Hal ini sejalan dengan Budiman et. al (2014) yang mengatakan pembangunan Ruang Terbuka Hijau juga difokuskan pada bantaran sungai.
Penutup
Setuju dengan pernyataan penutup esai Tanggapan 1, bahwa permasalah Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta masih cukup serius. Untuk memperbaikinya, butuh kerjasama yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Berbagai upaya sudah dilakukan, dengan pemerintah yang memberlakukan pemberhentian izin pembangunan hotel sementara, investor yang sudah menaati peraturan, juga masyarakat yang sudah berupaya semaksimal mungkin turut andil dalam pembangunan Ruang Terbuka Hijau privat. Namun, permasalahan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta memang masih akan menemui jalan yang panjang untuk keluar dari segala permasalahan yang menyelimuti. Seperti yang sudah dikatakan di esai pertama, bahwa Ruang Terbuka Hijau tidak melulu soal keindahan, namun banyak fungsi penting yang ia pegang. Sekarang tugas kita semua untuk lebih peka dengan lingkungan dan berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuat keadaan semakin buruk.
Tulisan Replay atas Esai
Dari pemaparan Esai Utama, Tanggapan 1, dan Tanggapan 2, rasanya sudah jelas bahwa permasalahan RTH di Kota Yogyakarta merupakan masalah serius dan patut untuk diberikan perhatian lebih. RTH di Kota Yogyakarta belum memenuhi luas standar yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, hal ini disebabkan oleh banyak alasan antara lain pengelolaan RTH publik yang belum maksimal seperti yang sudah dijelaskan oleh Halimah pada Esai Tanggapan 1 dan maraknya pembangunan hotel yang dipaparkan oleh Ilona di Esai Tanggapan 2. Kedua Esai Tanggapan sudah cukup baik dalam melengkapi Esai Utama, dengan menambahkan hal-hal yang kurang dari esai utama dan memaparkan yang belum tersampaikan dengan baik. Namun, ada beberapa hal yang perlu diluruskan terkait Esai Tanggapan 1 dan 2.
Pada esai utama penulis telah memperkenalkan kondisi Ruang Terbuka Hijau Kota Yogyakarta berdasarkan pada definisi ruang publik, ruang terbuka dan ruang terbuka hijau sesuai regulasi yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Melalui dasar-dasar tersebut kita dapat memetakan dan memahami permasalahan ruang terbuka hijau yang terjadi pada Kota Yogyakarta. Lebih tepatnya penulis mendukung dengan data terbaru yang dapat dikatakan lebih up to date dan sesuai dengan peraturan tertulis yang dikeluarkan oleh berbagai instansi negara seakan penulis ingin menunjukkan dan menguatkan bahwa permasalahan ruang terbuka hijau belum sepenuhnya ditangani secara berkelanjutan oleh pemerintah. Meskipun target ruang terbuka hijau publik dan privat yang harus dipenuhi sebanyak 30% tidak dibatasi oleh waktu tertentu, Kota Yogyakarta sampai tahun 2017 baru memiliki 5,83% RTH publik dan 12,93% RTH privat sebagaimana disebutkan oleh Kepala Bidang Keindahan, Dinas Lingkunan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Indiah Widiningsih. Kemudian pemanfaatan yang belum optimal juga menjadi kendala dari keberadaan ruang terbuka hijau itu sendiri.
Penanggap pertama telah cukup baik dalam memaparkan apa yang telah dibuat pada esai utama. Ia juga memiliki kesepemahaman antara topik yang dibawakan pada esai “Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta”. Ia juga dapat memberikan contoh lain seperti alun-alun Lor dan alun-alun Kidul yang berada di tengah kota. Namun kekurangan yang dimiliki penanggap pertama adalah apakah ia benar-benar mengetahui dan mengerti keberadaan alun-alun tersebut sengaja diperuntukan untuk ruang terbuka hijau atau bukan. Karena jika melihat dari sejarahnya alun-alun tersebut merupakan bagian dari kawasan keraton, bukan sebagai ruang terbuka hijau. Penanggap pertama bisa saja memberikan contoh lain RTH yang berada di Kota Yogyakarta seperti RTH Ngampilan misalnya.
Yang menjadi penekanan utama oleh penanggap pertama adalah mengenai Ruang Terbuka Hijau Publik. Hal ini disorot dengan latar belakang yang kuat yaitu data yang menujukkan bahwa ketersediaan RTH Publik masih belum memenuhi target karena baru mencapai 17,7% dari target 20% sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, Edy Muhammad di tahun 2012. Namun, data RTH publik yang diberikan cukup berbeda dari data pada esai utama, dapat dikatakan mengalami penurunan drastis dari 17,7% menjadi 5,83% di tahun 2017. Memang tidak salah ketika pembangunan RTH Publik di Yogyakarta menjadi masalah yang sangat patut disorot ketika membicarakan isu terkait RTH di kota ini. Sayangnya, penanggap pertama belum memberikan contoh RTH yang sengaja dibuat untuk memenuhi kekurangan RTH tersebut dan lebih terlihat seperti memaparkan ulang penjelasan dari esai utama karena keduanya memiliki pembahasan yang hampir sama tanpa adanya kritikan untuk esai utama.
Padahal penanggap pertama dapat memberikan solusi dan pandangannya tentang apa yang harus dilakukan kedepannya terhadap permasalahan RTH di Kota Yogyakarta misalnya dengan menyinggung RTH privat yang dapat dilakukan oleh masyarakat. Minimnya pembahasan mengenai RTH privat oleh penanggap pertama mengakibatkan pembaca tidak dapat melihat komparasi ketersediaan RTH keduanya secara seimbang.
Meski dalam beberapa hal RTH privat jelas tidak dapat memenuhi syarat seperti fungsi ruang publik di dalam sebuah kota, RTH privat cukup untuk memenuhi syarat penghijauan kota. Pekarangan di tiap-tiap rumah penduduk misalnya, dikategorikan sebagai RTH privat. Akan tetapi jika setiap satu rumah menyumbangkan beberapa tanaman dan melakukan gerakan penghijauan, tentunya pekarangan nemiliki peranan yang lumayan besar secara fisik meliputi manfaat kesehatan sebab lingkungan yang rindang dapat mengendapkan CO2, memproduksi O2, sehingga dapat membersihkan udara sekitarnya. Pembangunan RTH privat oleh pengusaha maupun instansi juga terus didorong melalui kebijakan pengurusan izin usaha (HO) yang mengatur bahwa tidak diizinkan pembangunan rumah terutama di jalan protokol di Kota Yogyakarta tanpa menyertakan pembangunan RTH privat 10% dari luas tanah yang akan dibangun.
Sebagaimana yang sudah disebutkan dalam esai tanggapan pertama tersebut, Pemkot Yogyakarta membangun gerakan penghijauan yang dimulai dari setiap perkampungan dengan mengajak warga untuk bersama-sama menanam dan merawat pohon yang ada sebagai bagian dari RTH tersebut. Penghijauan juga dilakukan bersama masyarakat di pinggir bantaran sungai. Melalui program pengembangan titik ungkit wilayah, area bantaran sungai di Kota Yogyakarta saat ini sudah banyak yang rindang. Bukan hanya sekedar taman tetapi penghijauan dengan pohon-pohon perindang. RTH privat menjadi salah satu opsi penghijauan di kota yang semakin sedikitnya ruang lapang yang dapat dimanfaatkan sebagai RTH publik.
Pada esai tanggapan 2, penanggap telah sangat baik dalam menjelaskan permasalahan lain yang menjadi akar masalah RTH kota. Namun penanggap terlihat terlalu fokus dengan pembangunan hotel sebagai salah satu alasan kurangnya lahan RTH di Kota Yogyakarta sehingga hal ini membuat persoalan yang ingin dibawakan mengenai RTH dan pembangunan hotel menjadi tidak sejalan. Memang benar adanya, dengan pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta yang maju, mau tidak mau lahan terus dipakai untuk membangun berbagai fasilitas penunjang. Pemerintah juga tampaknya sudah sadar jika pembangunan hotel yang tidak terkendali berdampak buruk bagi lingkungan, terutama RTH yang terpaksa beralih fungsi menjadi bangunan-bangunan. Namun sayangnya penanggap kedua tidak memberikan contoh pembangunan hotel mana yang berdampak langsung pada pembuatan RTH di Kota Yogyakarta sehingga menjadi sangat membingungkan apakah benar dengan pembangunan hotel berpengaruh langsung pada keberadaan RTH atau tidak.
Kesadaran pemerintah akan hal ini terlihat dari dikeluarkannya kebijakan pengendalian pembangunan hotel sejak tahun 2014 yang sayangnya diberhentikan sementara selama tahun ini. Perlu digarisbawahi bahwa pembangunan hotel hanya sebagian dari banyaknya alasan RTH di Kota Yogyakarta yang masih sangat kurang jumlahnya. Banyak alasan lain dibalik permasalahan RTH seperti pertumbuhan penduduk yang tinggi sehingga pemukiman penduduk juga semakin banyak. Selain itu, kurangnya lahan RTH seakan hanya menjadi alasan kecil dari diberlakukannya kebijakan pengendalian pembangunan hotel di Kota Yogyakarta. Hal ini karena saat kebijakan tersebut berlaku, tidak terlihat usaha untuk memperbaiki maupun menambah RTH di Kota Yogyakarta. Sehingga jika tidak ada langkah yang berarti, berlakunya kebijakan tersebut tidak merubah apapun bagi lingkungan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan hotel yang terlampau banyak juga merupakan masalah serius. Apalagi masyarakat sudah terang-terangan menyuarakan ketidaknyamanannya. Meskipun bukan penyebab utama dari kurangnya lahan RTH di Kota Yogyakarta, namun pembangunan hotel bisa dikatakan sebagai akar bagi berbagai permasalahan kota yang berkaitan dengan kepentingan kaum elit dan masyarakat sehingga tetap membutuhkan perhatian khusus. Pada esai tanggapan 2 sudah jelas dipaparkan bahwa pada tahun 2017 saja angka okupasi hotel hanya 55-57%, sehingga nampaknya hotel yang sudah ada masih bisa menampung wisatawan yang datang tanpa perlu membuka hotel-hotel baru. Langkah ini semata-mata untuk melindungi keberadaan RTH yang terancam karena kepentingan elit tertentu. Dengan menghemat pembangunan dan alih fungsi lahan, RTH dapat digunakan semaksimal mungkin untuk menghijaukan Kota Yogyakarta. Atau mungkin dengan solusi lain seperti roof garden di atas bangunan-bangunan yang ada.
Daftar Pustaka
AKBAR, M. (2015). " JOGJA ORA DIDOL" Studi Kasus Implementasi Kebijakan Pengendalian Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Azmi, S. (2018). “Pantas Jogja Panas, Kota Ini Kekurangan Ruang Terbuka Hijau.” Jogjapolitan. Diakses pada 27 Juni 2019. https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/04/10/510/909494/pantas-jogja-panas-kota-ini-kekurangan-ruang-terbuka-hijau
Budiman, A., Sulistyantara, B., & Zain, A. F. (2014). Deteksi perubahan ruang terbuka hijau pada 5 kota besar di Pulau Jawa (Studi kasus: DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Jogjakarta, dan Kota Surabaya). Jurnal Lanskap Indonesia, 6(1), 7-15.
Budiraharjo, I., & Pambudi, A. (2018). “Efektivitas Program Ruang Terbuka Hijau Publik Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta”. Adinegara, 7(8), 1065-1081.
Carmona M., Heath, T., Oc T. & Tiesdell, S. (2003). Public places – Urban spaces: The Dimension of Urban Design. Oxford: Architectural Press.
Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Penataan Ruang. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta: Menteri Pekerjaan Umum.
Dwihatmojo, R. (2010). “Ruang terbuka hijau yang semakin terpinggirkan”. Badan Informasi Geospasial. Diakses pada 22 Juni 2019. http://www.big.go.id/artikel/show/ruang-terbuka-hijau-yang-semakin-terpinggirkan
Dwiyanto, A. (2009). “Kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau di permukiman perkotaan”. Teknik, 30(2), 88-92.
Gunawan, A. (2005). Evaluasi Kualitas Estetika Lanskap Kota Bogor. Jurnal Lanskap Indonesia. 1(1):77-80
Kementerian Pekerjaan Umum. (2008). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 5/PRT/M/ 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. Jakarta.
Kusumawijaya, Sigit. (2013). Realita Angka Ruang Publik Jakarta. Jakarta: Elex Media Komputindo
Media Center PSKK UGM. (2015). “Pengelolaan RTH Kota Yogyakarta Kembali Dievaluasi.” Center For Population and Policy Studies Universitas Gadjah Mada. Diakses pada 27 Juni 2019. https://cpps.ugm.ac.id/en/2015/06/29/pengelolaan-rth-kota-yogyakarta-kembali-dievaluasi/
Muhammad, E. (2012). “Yogyakarta tambah ruang terbuka hijau.” Antaranews. Diakses 26 Juni 2019. https://www.antaranews.com/
Nadia, I., Suharno. (2015). IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERIZINAN PEMBANGUNAN HOTEL DI KOTA YOGYAKARTA. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum 2015.
News Writer. (2017). “Jogja Sulit Wujudkan Aturan 30% Ruang Terbuka Hijau”. Bisnis.com. Diakses 21 Juni 2019. https://semarang.bisnis.com/read/20170730/536/768208/jogja-sulit-wujudkan-aturan-30-ruang-terbuka-hijau-
Pemerintah Indonesia. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 68. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pemerintah Indonesia. (2010). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21. Jakarta: Sekretariat Negara.
Pepper, D. (1996). Modern Environmentalism: An Introduction. Routledge, Chapman & Hall, Inc.
Putsanra, D. (2019). “Inkonsistensi PHRI Soal Moratorium Pembangunan Hotel di Yogyakarta” Tirto. Diakses pada 27 Juni 2019. https://tirto.id/inkonsistensi-phri-soal-moratorium-pembangunan-hotel-di-yogyakarta-ddbG
Ratnasari, Amalia & Sitorus, Santun & Tjahjono, Boedi. (2015). PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KECUKUPAN RTH. TATALOKA. 17. 196. 10.14710/tataloka.17.4.196-208.
Siahaan, J. RUANG PUBLIK : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN.
Rudiana, P. A. (2018). “Kongko di Boulevard Kotabaru, Spot Anyar di Area Heritage Yogya” Tempo.co. Diakses 22 Juni 2019. https://travel.tempo.co/read/1158022/kongko-di-boulevard-kotabaru-spot-anyar-di-area-heritage-yogya/full&view=ok
Septian, R. (2017). Pengendalian Pembangunan Hotel di Kota Yogyakarta Berdasarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 55 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Pengendalian Pembangunan Hotel.
Siahaan, J. (2010). “Ruang Publik: Antara Harapan dan Kenyataan”. Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Diakses pada 13 Juni 2019 http://tataruang.atr-bpn.go.id/Bulletin/upload/data_artikel/edisi4c.pdf
Sistem Informasi Statistik Hotel Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. “Data Statistik Hotel DIY Tahun 2018.” Diakses pada 27 Juni 2019. https://statistikhotel.visitingjogja.com/
Sugiyarto. (2018). “Kawasan Kotabaru Jogja Ditata Ulang, Pedistrian Dibuat Mirip di Malioboro”. Tribunnews.com. Diakses pada 22 Juni 2019. http://www.tribunnews.com/regional/2018/06/26/kawasan-kotabaru-jogja-ditata-ulang-pendistrian-dibuat-mirip-di-malioboro
Suyuti, H. (2012). “Yogyakarta Hijau.” Antaranews. Diakses pada 26 Juni 2019. https://www.antaranews.com/
Tursilowati. (2007). Use of Remote Sensing and GIS to Compute Temperature Humidity Index as Human Comfort Indicator Relate with Land Use Land Cover Change (LULC) in Surabaya. International Journal of Sustainable Humanosphere. 40(2):160-166.
Wijayanto, W. T., & Risyanto, R. (2013). “Kajian ketersediaan ruang terbuka hijau di Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta tahun 2009”. Jurnal Bumi Indonesia, 2(3).
Comments