top of page

Kelakuan Orang Medan di Jalan Raya

Tanggapan 2

Pamerdyatmaja

Saya tidak pernah mencoba untuk menemui dan mengidentifikasi segala macam jenis pengendara hanya untuk didalami tentang perilaku berkendaranya saja. Alih-alih harus mengidentifikasi dengan detail layaknya Harits Arrazie. Pada dasarnya saya sendiri harus membutuhkan konsentrasi, untuk berhati-hati agar tetap waspada di setiap kesempatan ketika berada di jalan. Namun dalam pemantik bacaan yang dikemukakan oleh Harits inilah, sepatutnya kita harus merasa terancam oleh karena tatanan ideal dalam berperilaku di jalanan belumlah menguntungkan baik itu bagi kita tersendiri maupun dengan orang lain. Harits, memang menampilkan sekelumit kecil perjalanan tentang perilaku dalam memanfaatkan sarana transportasi kota bahkan lebih berorientasi pada perilaku dari para pengguna jalanan.


Sebagai bagian dari rangkaian pengalaman tentang cerita dari nestapanya perilaku berkendara dan kontrol atas perilaku dalam dua tulisan sebelum. Serta tentunya informasi dan analisis bagi banyak pihak yang belumlah mengenal Medan secara langsung terkhususnya dengan saya pribadi. Saya mengapresiasi kehadiran tulisan dari Harits maupun komentar Matthew Alexander terkait dengan paparan statistik kependudukan masyarakat di Medan. Beberapa relasi yang dihadirkan dari pengaruh atas kepadatan mobilitas beserta kecelakaan yang dihimpun sebagai upaya menampilkan problematika yang mencerminkan potret tentang kesemrawutan. Sekiranya dapat diselesaikan oleh halnya embel-embel pembenahan infrastruktur sebagai tawaran dari pemerintah. Beberapa tulisan pengalaman tentang kesemrawutan yang sejatinya nampak serupa dengan apa yang baru saja dituliskan oleh Harits. Pun mampu direpresentasikan kembali dalam paparan Arifin, mengenai Jalan Raya Yogyakarta: Potret Masyarakat Beresiko[1] seperti yang sebelumnya juga disadur dalam tulisan pembuka. Dalam rangka menghadirkan tanggapan, pun saya mencoba hadir untuk membicarakan tentang transisi modernitas yang mungkin saja dapat menjadi alasan dibalik kekacauan infrastruktur, atau bahkan perilaku yang sejatinya tidak terlepas dari penggunaan fasilitas secara umum.


Oleh karena penggambaran Harits yang dapat saya ungkapkan cukupnya mengupas tentang persoalan perilaku jalanan dari pengendara di kawasan Medan dari perspektif pribadinya. Sejatinya praktik berkendara yang digambarkan Harits memang lebih mengarah kepada generalisir yang sifatnya dapat berubah-ubah apabila kita dapat telaah lebih jauh dan masih memiliki diversifikasi apabila mengarahkannya pada studi komparasi di berbagai kota di Indonesia. Namun jika kita menjadikan tulisan Harits sebagai patokan dalam melihat masyarakat Medan berkendara, khususnya dalam mengambil setiap pilihan atas hadirnya negara di depan mata atau bahkan yang masyarakat tapaki untuk saat itu. Saya rasa Harits masih memerlukan sedikitnya pendukung yang mampu menjabarkan tentang seberapa pentingnya masyarakat kini harus mematuhi aturan dalam berkendara. Begitu pula dengan Matthew melalui sajian atas angka-angka yang tidak terlepas dari beberapa ketergantungan orang atas betapa mereka terkoneksi dengan kecepatan. Timbulnya korban memang merupakan representasi yang nyata dalam puncak gunung es, mengenai persoalan masifnya pelanggaran yang dapat terjadi dimanapun dan kapanpun tanpa terkecuali.


Dalam ranah kelengkapan inilah, Matthew menghadirkan signifikansi atas data terkait halnya pendukung dari angka kecelakaan yang juga beredar di seputaran Medan. Tentunya hal ini hadir sebagai penguat imajinasi kita, beserta dengan perspektif lintas perilaku yang tentunya dapat dikomparasikan untuk menemukan pola pengendara atau aturan tertentu tentang tertatanya suatu kota. Tulisan Harits memang seolah memberikan tendensi bahwasannya tidak ada yang cukup untuk dikatakan teratur apabila membenturkan persoalan transportasi yang berada di kawasan Medan dengan apa yang dialaminya kini ketika tinggal di Yogyakarta. Namun apakah pengalaman ini dapat dikemukakan secara serupa dalam perspektif orang yang tinggal dalam satu tempat bahkan ruang hidup yang sama? Tentu saja bisa kita usulkan iya maupun tidaknya, tergantung dalam berbagai kepentingan apa yang selanjutnya pengendara di jalanan harus hadir maupun mematuhi setiap aturan yang berlaku. Dalam ulasan Matthew pun perlu disadari tentang sebenarnya siapakah para pengendara yang dapat menjadi entitas dominan selain halnya usia yang sekiranya kini dapat dibicarakan dalam era industri masa kini?


Masyarakat Beresiko Hadirnya Tatanan Modernitas


Berkendara pada mulanya bukanlah hal yang lumrah pada transisi masyarakat urban apabila kita kaitkan dengan kebutuhan dasar setiap orang yang tentunya ingin hadir dalam mengupayakan mobilitas. Akses mula-mula yang hadir dalam transportasi umum, justru secara tidak langsung mampu beralih kepada bentuk keinginan masing-masing individu untuk memperoleh privatisasi atas akses mobilitas yang mereka miliki. Dalam perjalanannya, oleh karena intervensi pasar-lah setiap orang berlomba-lomba untuk mendapatkan sarana baru (re: kendaraan pribadi) dalam berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Berpindah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan masalah kelas, apabila persoalan itu hadir dan mengakar bagi kehidupan masyarakat perkotaan.


Dalam mengulas tentang mobilitas dan kelas, Giddens dalam The Consequences of Modernity, memberikan profil resiko dari kehadiran suatu modernitas dalam kelompok masyarakat menengah. Kehadiran masyarakat menengah memang oleh Giddens[2] ditengarai bukanlah menjadi jaminan atas keselamatan hidup dari masing-masing pihak yang dirasa telah mapan. Masyarakat menengah justru pada dasarnya seringkali menghadirkan resiko-resiko yang tidak diduga atas setiap kehidupan mereka yang sebenarnya berdampak bagi masyarakat dengan status yang berada di bawah mereka atau secara jelasnya dianggap lebih rentan. Ancaman dari kelas menengah sejatinya bukanlah kedatangan yang mengupayakan kekacauan untuk terjadi di tengah masyarakat. Namun dalam ketidakteraturan yang terjadi, masyarakat kelas menengah secara tidak sengaja justru menciptakan peluang terjadinya kesemrawutan. Seperti yang telah diungkapkan tulisan Matthew pula mengenai jatuhnya banyak korban yang harus menjadi tumbal dari ganasnya peran infrastruktur berupa jalan.


Tidak ada yang mengetahui secara pasti akan kedepannya rencana pembangunan hadir di tengah masyarakat. Pemerintah seringkali abai dalam memberikan rancangan pembangunan yang seringkali berkelindan sebagai wacana semata. Wacana seperti inilah yang memang pada akhirnya justru terreproduksi sebagai gagasan yang luput untuk dipahami masyarakat perkotaan sebagai informasi yang sejatinya dapat mereka mengerti sebagai batasan dalam mempergunakan sarana publik. Pada perbincangan mengenai transparansi infrastruktur pun Davidson dalam Menaja Jalan[3] memberikan telaah bahwasannya krisis dalam masing-masing rezim pemerintahan memberikan peran bagi abainya mereka untuk sekaligus membangun kesadaran berkendara yang sejatinya diperlukan tidak hanya terfokus pada infrastruktur semata melainkan juga adanya pembenahan dari sumberdaya manusianya (re: suprastruktur). Namun persoalan inilah memang tidak disinggung secara lanjut oleh Davidson, karena fokus persoalan yang memang lebih menyorot pada setiap kajian pembangunan berbasis pada kepentingan nasional. Maka persinggungan dengan aktivitas terkait pembangunan berbasis nasional inilah saya tidak dalami lebih lanjut melainkan pada tataran transisi modernitas-lah kemungkinan pendalaman ini dapat terjadi.


Kecepatan dan Pertambahan Pekerja sebagai Penanda


Sebagai salah satu pengguna kendaraan pribadi, saya merasakan bahwasannya kecepatan memang diperlukan untuk menjadikan pengendara konsisten untuk mencapai tujuan. Namun pertanda dari hadirnya kecepatan secara tidak langsung dihadirkan dengan representasi legitimasi kedewasaan seorang pengendara. Apabila memberikan telaah atas kedewasaan, hadirnya surat tanda resmi berkendara atau surat izin mengemudi. Belum tentu sepenuhnya menjadi salah satu faktor kualifikasi kehandalan seseorang berperilaku atau memiliki perangai yang baik di jalanan. Menurut Rudinger dkk[4] populasi dalam suatu wilayah industri memang memiliki kekuatan untuk mendukung terciptanya daya pacu transportasi baik publik maupun pribadi secara berlebih. Dengan hadirnya surplus[5] pekerja dapat dikatakan kewaspadaan untuk berkendara selebihnya diabaikan oleh karena hadirnya produktivitas sebagai pemantik dari ditekannya masyarakat menengah untuk menghasilkan akumulasi modal terhadap pembangunan di sekitarnya.


Pertumbuhan populasi di Amerika dan Eropa menjadi contoh dari Rudinger dkk sebagai indikator dari kepadatan penggunaan kendaraan pribadi oleh karena meningkatnya pula para pekerja hingga capaian 12%. Disinggung pula oleh Matthew, bahwasannya dominasi dari para pengendara berada pada kisaran usia (17-39) tahun yang di dominasi oleh laki-laki sebagai suatu keunikan terlebih atas agresivitas mereka dalam menggunakan transportasi tunggal yakni motor. Sejalan pula untuk cukup dikatakan telah mapan sebagai pekerja dalam kacamata Rudinger, dkk yang mungkin akan serupa dengan kondisi Indonesia dalam keberadaan bonus demografinya[6] yang kini didengungkan sebagai pertambahan jumlah pekerja yang diperkirakan mampu menambah pendapatan negara, namun disisi lain menambah pula resiko dalam berkendara dan juga mempersoalkan tentang keamanan jalan.


Salip-menyalip memang tidak hanya diungkapkan oleh Harits sebagai tanda payahnya pengendara yang suka melaju secara serampangan. Ketersediaan transportasi publik yang tidak jelas ketentuan regulasinya menjadi indikator dari kurangnya perhatian negara atas kesiapan masyarakatnya untuk berpindah dalam lingkup aktivitas urban. Namun tidak ingin beranjak jauh pada persoalan perilaku dan keteraturan, sebenarnya siapakah yang dihadapi masyarakat disaat mereka berkendara di jalanan?


Sekiranya Kita Berhadapan dengan Negara


Asumsi ini hadir disaat masyarakat memastikan dirinya untuk melakukan demonstrasi, resistensi atas sengketa, maupun hal-hal lain yang melibatkan diri masyarakat dengan negara dalam ranah yang seringkali dianggap luas dan besar cakupannya. Namun sadarkah, dari perilaku berkendara saja, sebenarnya masyarakat sudah menyambangi negara sebagai fasilitator yang mengawasi gerak-gerik masyarakat di dalamnya? Rasanya hal ini yang sering cukup diabaikan dalam persoalan berkendara. Ketakutan dalam berkendara serta pada negara, nyatanya hanya mampu ditekan melalui penggunaan otoritas yang bergerak (re: polisi). Tidak ada kecakapan yang hadir dan mampu termanifestasi, apabila masyarakat menggunakan dirinya sendiri hanya untuk memahami simbol kepatuhan di sekitarnya. Dalam contoh kasus yang terjadi, penggunaan patung polisi yang dipakai di Sidoarjo dikutip melalui Tribunnews menjadikan banyak pengendara yang mencoba untuk memotong penggalan jalan dengan cara memutar balik, mengurungkan niatnya untuk bertindak. Sedangkan disaat mereka mengetahui jikalau patung tersebut adalah rekayasa petugas, mereka kembali melanggar aturan tersebut.[7]


Keberadaan polisi memang seolah menjadi bagian yang harus dihadapi oleh pengendara sebagai pendisiplin perilaku serampangan yang mereka lakukan. Tak ubahnya banyak rambu-rambu yang telah terpasang secara mapan. Ide untuk mencari lajur pintasan seolah menjadi keputusan yang membayang dalam pengendara dengan resistensinya untuk mencari alternatif jalan dikarenakan hiruk pikuk yang tidak terbendung. Dalam peran yang diberikan secara umum oleh Durkheim mengenai solidaritas sosial[8] pun seolah menggambarkan posisi dimana masyarakat atau terutama pengguna jalan menjadi bagian kolektif yang secara serempak bergerak dalam dinamika solidaritas mekanik, yang dengan sengaja berupaya mematahkan peran negara dengan kontrol atas segala fasilitasnya.


Melanggar lampu merah pun, sejatinya menjadi bagian terpenting ketika representasi seorang individu kemudian harus dihadapkan dengan otoritas yang berkuasa. Perilaku dalam berkendara memang masih menjadi tantangan besar dalam menghadapi persoalan transisi masyarakat yang sebelumnya belum menerima konsep atas negara sebagai bagian dari komunitas terbayangnya. Pun erat dalam beberapa persoalan yang ada, kehadiran negara juga tidak terlepas dari akses-akses intervensi pasar seperti yang disorot dengan adanya motor maupun mobil yang tiada kunjung habis memenuhi etalase maupun iklan yang terus menyajikan kenyamanan atas masyarakat yang dirasa tidak puas dengan layanan pemerintah dengan misinya yang seringkali menyejahterakan.


Pertambahan Pintasan Jalan Bukan Pemecah Masalah


Berkaca pada usaha untuk mengatur perilaku pengguna jalan, pun dengan penggunaannya yang seringkali dianggap melebihi kapasitas bagi negara ketika mengatur. Pintasan atau beberapa alternatif pembentukan jalan baru sebenarnya bukanlah merupakan solusi mapan yang memang murni diperuntukkan bagi upaya menata setiap orang yang dianggapnya sebagai obyek. Jalan raya dengan perilaku para penggunanya merupakan entitas yang tidak terlepas dari adanya pemisahan kelas sosial. Pada praktik yang nyata, khususnya dalam melancarkan arus distribusi pun, dengan sengaja pemerintah melepas beberapa tanggung jawab yang sejatinya menjadi persoalan penting yang nyatanya mengarah pada kontrol negara.


Jalan merupakan elemen terpadu sama seperti yang dinyatakan oleh Giddens dalam Palaiologou (2015).[9] Tumpang tindih kepentingan memang sejatinya lebih harus ditilik pada persoalan historis yang seringkali luput untuk diperbincangkan. Beberapa lintas kajian beserta diskusi yang melibatkan pada persoalan pembangunan jalan dan perilaku atasnya memang lebih mengarah kepada tersedianya cetak biru pembangunan maupun perancangan dalam tata kota. Dalam persoalan ini pun, seolah apabila adaptasi perilaku tidak dicantumkan dalam pembentukan fasilitas sedari mula-mula. Dimungkinkan akan terjadi kegagalan proyeksi dari konstruksi masyarakat yang tidak hanya bermodal secara fisik melainkan juga non-fisik.


Hal yang sebenarnya masih abai untuk dicantumkan dalam mengkritisi tulisan Harits maupun Matthew sejatinya masih berada pada tataran latar belakang yang mampu menjadi alasan para pengendara untuk bertingkah seenaknya terlepas dari konsep perilaku yang nampak hadir dari pola berkendara dan jenis kendaraan yang ada. Saya juga menyangsikan untuk memperkirakan bahwasannya pembangunan lintasan manusia di Medan memiliki cetak biru semenjak negara Indonesia hadir menggantikan posisi pemerintah kolonial. Kegagapan yang menjadi latar belakang dalam kebut-kebutan maupun aktivitas yang nyatanya tidak masuk diakal memang terkonsentrasi pada kota-kota besar yang kemudian merembet pada kawasan sub-urban dan bahkan rural sebagai objek yang kemudian dimodifikasi dan dimanipulasi oleh pasar sedemikian hingga.


Untuk memberikan beberapa makna dalam catatan akhir tanggapan ini, saya rasa cukuplah kemudian kesemuanya dirangkum dalam tulisan akhir dari keseluruhan penulisan.



Replay

Galang Dwi Putra


Terkadang perilaku manusia begitu sulit untuk kita tafsirkan. Begitu juga dengan perilaku manusia dalam berkendara. Dengan terus meningkatnya jumlah kecelakaan lalu lintas tidak membuat seseorang terpacu untuk berkendara dengan hati-hati, tidak sedikit berita-berita yang kita temui di koran, televisi dan media lainnya. Kerap kali kecelakaan lalu lintas juga terjadi di depan mata kita, tetapi pertemuan kita dengan maut seseorang tidak membuat efek jera yang permanen. Seperti apa yang disebutkan oleh Harits N. Arrazie bahwa kecelakaan lalu lintas ini salah satunya adalah faktor dari manusia itu sendiri. Human error dapat terjadi kapanpun. Ketidakdisplinan yang dilakukan oleh pengendara ketika berlalulintas juga menjadi salah satu pemicu terjadinya kecelakaan. Menurut Grey et al. (1989), kepribadian, karakteristik sosial, serta motivasi adalah penyebab ketidakdisiplinan pengendara. Sangat disayangkan jika kecelakaan ini terjadi akibat kesalahan manusianya sendiri. Kecerobohan yang dilakukan oleh satu orang dapat menimbulkan masalah untuk banyak orang.


Dilansir oleh Tribun-Medan.com, Tabrakan beruntun di Jalan Juanda, simpang Jalan Khairil Anwar, Medan, melibatkan enam kendaraan roda empat. Keenam kendaraan tersebut merupakan taksi online. Kecelakaan beruntun ini dipicu pengemudi yang gugup mengendarai kendaraan dengan transmisi matic. Selain itu Harits menelaah bahwa habitus atau kebiasaan menjadi fakor penting dalam melihat bahaya orang berkendara. Menurutnya perilaku kolektif nan salah kaprah ini menjadi pemandangan lumrah dan kian membudaya karena jalan raya di kota Medan menjadi ajang bagi para pengguna jalan mempertontonkan perilakunya. Maka, saya kira, perilaku-perilaku yang sangat membahayakan di jalan raya itu telah menjadi habitus bagi banyak pengguna jalan di kota Medan.


Dengan pengalamannya di Medan, Harits berkelakar dengan mencontohi perilaku orang Medan yang lucu juga mengerikan. Menurutnya dari anak sekolah, pramuka, anggota ormas, aparat keamanan, sampai pegawai instansi pemerintah dengan kendaraan berplat merah. Dari yang terkesan kere berbaju dekil dengan bersepeda motor butut, hingga yang parlente lengkap dengan jas-dasi bermobil mewah. Dari pengemudi angkutan umum seperti becak motor, angkutan kota (angkot), sampai bus-bus besar. Dari warga kampung kumuh di tepi sungai hingga warga kampus yang mengaku terpelajar. Juga oleh warga yang masih berwajah imut-imut hingga yang bertampang pikun. Semua perilaku tak beradab dalam berlalu-lintas ini amat mudah ditemukan di setiap ruas jalan Kota Medan.


Jalan raya digambarkan seperti arena bermain, terdapat orang-orang yang berlomba untuk mengemudi dengan kecepatan yang tinggi tidak tahu apakah memang mereka sedang dikejar oleh waktu atau ia hanya menunjukan kelihaiyannya dalam berkendara seperti apa yang diungkapkan oleh oleh Mathhew Alexander mengutip Susilo, Joewono dan Vandebona (2015) Anak muda, khususnya laki-laki kerap mengemudikan motornya dengan kecepatan tinggi hanya untuk mendapatkan perhatian, bahkan ingin diakui oleh sesama pengguna jalan lainnya. Lebih lanjut, memacu dengan kecepatan tinggi kadang menjadi cara pemuda untuk mencari sensasi berkendara seperti pembalap, ataupun alternatif bagi mereka untuk meluapkan emosi.


Jika Harits mengungkapkan bahwa kebiasaan buruk adalah penyakit berkendara maka Matthew melihat ini seperti konsep planned behaviour, dimana perilaku tersebut muncul dari niat individu semata, yang dipengaruhi oleh sikap (attitude), norma subyektif (subjective norms), serta kontrol atas diri sendiri (perceived behavioural control) dalam melakukan suatu hal. Niat dan pilihan atas tindakan yang dilakukan tidak dengan sendirinya, melainkan dibentuk terlebih dulu secara sosial oleh nilai, norma, dan keyakinan yang berkembang di dalam masyarakat. Selain itu menurut Pamerdyatmaja gambaran yang telah Harits berikan memerlukan sedikitnya pendukung yang mampu menjabarkan tentang seberapa pentingnya masyarakat kini harus mematuhi aturan dalam berkendara. Beserta dengan perspektif lintas perilaku yang tentunya dapat dikomparasikan untuk menemukan pola pengendara atau aturan tertentu tentang tertatanya suatu kota. Tetapi setidaknya ketiga penulis ini setuju bahwa kecelakaan lalu lintas ini disebabkan oleh faktor manusianya.


Selain perilaku manusia, Harits juga menyebutkan bahwa jalan raya dan berbagai pendukungnya seperti rambu lalu lintas dan trotoar di berfungsi seperti sebagai mestinya. Rambu lalu lintas hanya pajangan semata, jika kita lihat di kota Yogyakarta, larangan untuk memutar jalur sering diabaikan, juga seperti larangan belok kiri mengikuti lampu apil pun sering diabaikan oleh para pengemudi. Trotoar yang seharunya menjadi tempat untuk pejalan kaki malah berubah menjadi lalu lintas para pengemudi motor, hal ini pun tidak hanya terjadi di Medan, tetapi banyak terjadi di kota-kota yang mengalami kemacetan. Kemacetan menjadi simbol bahwa negara sedang terpuruk. Tidak jarang kita menemui jalanan berlobang ataupun tambalan aspal yang asal-asalan dan permukaanya tidak merata. Permasalahan kemacetan ini adalah masalah besar. Tentunya ini dapat membuat pengendara tidak nyaman.


Selain berdampak pada kemacetan, kerusakan jalan menjadi ancaman mengerikan bagi pengendara. Human error sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh rsuaknya jalan. Jalanan berlobang dapat membahayakan pengendara yang tidak fokus dalam berkendara. Sering kali pengendara mengantuk dan tidak melihat lobang dari jalanan tersebut. Negara dalam hal ini berperan besar untuk menyelamatkan pengendara dengan menyediakan fasilitas yang aman. Menurut Harits untuk memecahkan persoalan bersama ini, mutlak diperlukan kerjasama dari bermacam pihak. Negara dituntut mampu memenuhi kewajibannya menyediakan transportasi umum yang aman buat warga kota. Untuk warga kota sendiri, kesadaran yang bijak saat berkendara merupakan kunci untuk memecahkan masalah. Para pengguna jalan –baik yang miskin hingga yang kaya, yang tak berpendidikan hingga berpendidikan, yang lemah hingga berkuasa, yang kurang beriman hingga sangat beriman— dituntut memiliki pemahaman bahwa ihwal jalan raya sesungguhnya berkaitan dengan kepentingan publik, kepentingan banyak orang.


Kecelakaan lalu lintas dapat kita temui dimanapun. Contohnya Medan, daerah yang memiliki 14,64 juta jiwa ini masih harus mengalami pembenahan dalam halnya berkendara. Matthew dalam tulisannya telah memberikan data-data yang menunjukan bahwa masih banyak jumlah kecelakaan lalu lintas yang ada di Medan. Sependapat dengan Harits, Matthew menyebutkan bahwa selain kecelakaan, kemacetan tentu menjadi dampak dari padatnya kendaraan yang tersebar di ruang perkotaan. Kemacetan, tidak lepas dari peran negara dalam memberlakukan kebijakan. Selain memperbaiki kualitas jalan dan juga memberlakukan aturan dalam berkendara, pemerintah juga melakukan inovasinya dalam membuat transportasi publik yang lebih baik. Sayangnya, selama ini transportasi publik hanya sekedar “ada” tetapi tidak dipikirkan apa saja yang harus dibenahi agar masyarakat dapat nyaman dalam menggunakannya sebagai sarana untuk menghindari kemacetan . Dengan buruknya fasilitas transportasi publik, mengakibatkan masyarakat lebih memilih untuk membeli kendaraan pribadi ketimbang memilih menggunakan transportasi publik.


Dengan meningkatnya jumlah kendaraan pribadi maka kemacetan akan terus terjadi, dengan ditambahnya juga jalanan yang kurang memadai. Sejalan dengan pernyataan Harits bahwa padatnya jalan raya oleh kendaraan pribadi merupakan penanda kuatnya kepentingan individu memperoleh kepuasan. Kepentingan ini kian mudah terwujud karena difasilitasi oleh produsen kendaraan bermotor yang aktif dengan inovasi, sales yang ramah, bujukan cicilan murah, dan iklan kreatif untuk menjaring pelanggan baru. Setiap tahun, muncul berbagai jenis motor dan mobil baru yang terus merayu. Hitungan keberhasilan dilihat dari banyaknya kendaraan yang berhasil dijual dan produksi terus digiatkan secara gila-gilaan. Maka, produsen pun berlomba-lomba menjual produknya dan membanjiri jalan raya. Sayangnya, keberhasilan penjualan ini tak disertai dengan edukasi, upaya pembelajaran terhadap penggunaan kendaraan.


Pemerintah telah memberlakukan banyak peraturan dalam berkendara. Berkendara memiliki izin yang sudah diatur oleh negara lewat undang-undang no. 22 tahun 2019. Dalam pasal 281 telah mengatur penggunaan sim bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak memiliki atau tidak membawa SIM (Surat Izin Mengemudi), akan dipidana dengan pidana kurungan empat bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta. Besaran denda ini terkadang hanya menjadi peraturan semu saja. Acap kali kita melihat atau mendengar sogok-menyogok aparat dalam pelanggaran berkendara. Hal ini bukan jarang terjadi tetapi ini sudah menjadi rahasia umum, bahkan kalian yang membaca ini bisa saja pernah melakukannya.


Sebelumnya ketiga penulis ini menyinggung perilaku manusia yang tidak disiplin dan dan ceroboh. Dan Harits menyatakan bahwa pengendara perlu pendidikan dalam berkendara. Sayangnya pendidikan berkendara menjadi cacat karena budaya sogok-menyogok. Kembali kepada masalah SIM. Polisi adalah yang bertanggung jawab dan memiliki wewenang dalam mengeluarkan SIM. Tetapi prakteknya dikotori oleh oknum-oknum serakah. Sogok-menyogok “sangat” sering terjadi. Sogok-menyogok inilah yang menjadi salah satu penghambat jika kita menginginkan sebuah edukasi bagi pengendara. Persoalan-persoalan yang kecil saja menjadi sulit untuk dirubah apalagi macam masalah anggaran yang menjadi rebutan para elit.


Kembali lagi, bahwa negara berperan besar terhadap apa yang terjadi pada lalu lintas dan pengendaranya dikemudian hari. Pamerdyatmaja mengungkapkan bahwa tidak ada yang mengetahui secara pasti akan kedepannya rencana pembangunan hadir di tengah masyarakat. Pemerintah seringkali abai dalam memberikan rancangan pembangunan yang seringkali berkelindan sebagai wacana semata. Wacana seperti inilah yang memang pada akhirnya justru terreproduksi sebagai gagasan yang luput untuk dipahami masyarakat perkotaan sebagai informasi yang sejatinya dapat mereka mengerti sebagai batasan dalam mempergunakan sarana publik. Sejatinya masyarakat membutuhkan sebuah keterbukaan informasi. Dengan keterbukaan ini masyarakat dapat memahami tujuan dan kenapa infrastruktur terSejatinya masyarakat membutuhkan sebuah keterbukaan informasi. Dengan keterbukaan ini masyarakat dapat memahami tujuan dan kenapa infrastruktur terSejatinya masyarakat membutuhkan sebuah keterbukaan informasi. Dengan keterbukaan ini masyarakat dapat memahami tujuan dan kenapa infrastruktur ini dibangun, tidak hanya menjadi alat legitimasi negara untuk melanggengkan kekuasaan semata.


Penutup


Esay pertama itu ditulis berdasarkan beberapa pertimbangan. Pertama, dan ini yang paling utama, esay itu ditulis berdasarkan amatan langsung (empirik). Kondisi lalu-lintas yang saya sajikan dalam esay semuanya adalah kejadian yang benar-benar terjadi di jalan raya kota Medan. Ketika di Medan, hampir setiap hari melintas di jalan raya. Medan menjadi sangat akrab dengan kacaunya lalu-lintas itu. Artinya, topik yang saya tulis sangat dekat dengan saya dan mudah penulis akses (telusuri lebih jauh). Kedua, keterbatasan diri penulis sendiri. Maksudnya, penulis tidak memiliki banyak opsi untuk menuliskan fenomena yang berlangsung di perkotaan. Yang terakhir, apa yang terjadi di jalan raya sejatinya berkaitan dengan banyak orang. Perilaku serampangan ketika berkendara tak hanya berdampak pada diri sendiri, melainkan juga pada pengguna jalan lain. Maksudnya, fenomena yang berlangsung di jalan raya adalah fenomena kolektif, sebab ia berlangsung di ruang publik.


Dalam esay itu, penulis menyebutkan kacaunya kondisi lalu-lintas kota Medan sebagai suatu keunikan. Unik, maksud penulis, karena berlangsung setiap hari, mudah ditemui, dan sangatlah lumrah. Artinya, penggunaan kata ‘unik’ dalam menggambarkan lalu-lintas kota Medan lebih cenderung pada ungkapan sarkastik (sindiran), bukan sebagai upaya untuk mengeksklusifkan kondisi lalu-lintas kota Medan. Kemudian, kondisi lalu-lintas kota Medan itu tidak teratur karena tidak adanya keselarasan antara aturan yang ada dengan perilaku pengguna jalan. Misalnya, lampu merah diterobos begitu saja dan trotoar menjadi jalan pintas bagi pengguna sepeda motor yang tak sabar menunggu kemacetan. Padahal jelas, lampu merah adalah tanda untuk berhenti dan trotoar diperuntukkan buat pejalan kaki.


Selain menggambarkan wujud perilaku mengendara penulis ingin mengenalkan realitas yang terjadi dalam proses terjadinya pola masyarakat Medan dalam berkendara. Kejadian demi kejadian dapat menjadi sebuah acuan untuk dijadikan bahan evaluasi bagi pembaca dan juga orang lain. Cerita yang dipaparkan oleh penulis juga dapat menjadi perbandingan bagi daerah lainnya, pebandingan ini dapat menjadi acuan bagi pembaca. Essay ini menjadi sebuah wujud keresahan bagi penulis, masa demi masa perubahan yang signifikan tidak kunjung terlihat, perilaku masyarakat Medan masih seperti dulu. Salip-menyalip, melanggar rambu lalu lintas, dan juga menggunakan fasilitas pejalan kaki sebagai sarana berkendara sudah menjadi pemandangan yang sering dilihat.


Lalu lintas Medan ataupun daerah lainnya tidak luput dari permasalahan, kecil ataupun besar. Kita bisa bebas dalam hal apapun tetapi tidak menganggu kebebasan orang lain. Begitu juga dengan berkendara, menjadi perhatian kita semua untuk lebih berhati-hati dalam mengemudi, menaati peraturan adalah salah satu jalan agar kita terbebas dari maut.


Referensi

  • Alfathri, A. (2006). Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas. Yogyakarta: Jalasutra.

  • Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Transportasi Darat 2017. Jakarta: Badan Pusat Statistik Republik Indonesia.

  • Coley, Rob. 2019. Street Smarts for Smart Streets: Visualizing the Street. Amsterdam University Press. (2019) Stable URL: https://www.jstor.org/stable/j.ctv9hvqjh.11

  • Davidson, James. 2019. “Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Suatu Persoalan dalam Menaja Jalan : Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia”. Insist Press: Yogyakarta.

  • Elliott, Mark A., Christopher J. Baughan, and Barry F. Sexton. "Errors and violations in relation to motorcyclists' crash risk ." Accident Analysis & Prevention , 2007: 491-499.

  • Giddens, Anthony. 1990. “The Consequences of Modernity”, Politi Press. hal, 124-125.

  • Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980-an. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.

  • Jones, P., Bradbury, L., & Le Boutillier, S. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial dari Teori Fungsionalisme hingga Post-Modernisme, terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

  • Kamil Alfi Arifin, “Jalan Raya Yogyakarta: Potret Masyarakat Beresiko,” Pranala, 5 (2015): 36-42.

  • Larkin, B. (2008). Signal and noise: media, infrastructure, and urban culture in Nigeria. Duke University Press.

  • Lee, D. (2015). Absolute traffic: infrastructural aptitude in urban Indonesia. International Journal of Urban and Regional Research, 39(2), 234-250.

  • Palaiologou, Garyfalia. 2015. High Street Transactions and Interactions: Suburban Urbanities. UCL Press. (2015) Stable URL: https://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z0m.16

  • Raihana, H. (2007). Negara di persimpangan jalan kampusku. Kanisius.

  • Rudinger, Georg. Kieran Donaghy and Stefan Poppelreuter. Societal trends, mobility behaviour and sustainable transport in Europe and North America. EJTIR, 6, no. 1 (2006), pp. 61-76.

  • Steiner, Philippe. 2002. Chapter 8. "Division of Labour and Economis". Dalam Pickering, WSF (ed). Durkheim Today. Oxford: Berghahn Books.

  • Susilo, Yusak O., Tri Basuki Joewono, and Upali Vandebona. "Reasons underlying behaviour of motorcyclists disregarding traffic regulations in urban areas of Indonesia." Accident Anaysis and Prevention, 2015: 272-284.

  • Susilo, Yusak O., Tri Basuki Joewono, and Wimpy Santosa. "An Exploration of Public Transport Users' Attitudes and Preferences towards Various Policies in Indonesia: Some Preliminary Results ." Journal of The Eastern Asia Society for Transportation Studies, Vol. 8, 2010: 1230-1244.

  • Ulrich Beck. 1992. Risk Society: Toward a New Modernity. Sage Publication.

  • Yazıcı, B. (2013). Towards an anthropology of traffic: A ride through class hierarchies on Istanbul's roadways. Ethnos, 78(4), 515-542.

Artikel Media Massa

  • JPNN.com, “Lihat, Calya dan Innova Tabrakan di Medan, 5 Orang Terluka,” JPNN.com, 17 Juni 2018, https://www.jpnn.com/news/lihat-calya-dan-innova-tabrakan-di-medan-5-orang-terluka?page=1

  • M. Andimaz Kahfi, “Jalan di Medan Sepi pada Hari Pemilu, Warga: Biasanya Sedikit-sedikit Injak Rem,” Tribun-Medan.com, 17 April 2019, https://medan.tribunnews.com/2019/04/17/jalan-di-medan-sepi-pada-hari-pemilu-warga-biasanya-sedikit-sedikit-injak-rem

  • Republika.com, “1.473 Pengguna Jalan Tewas di Sumut Sepanjang 2017,” Republika.com, 1 Januari 2018, https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/01/01/p1v29f348-1473-pengguna-jalan-tewas-di-sumut-sepanjang-2017

  • Ryan Achdiral Juskal, “Solusi Kemacetan Kota Medan, yang Penting Menurut Wakil Wali Kota Medan, Edukasi Kesadaran,” Tribun-Medan.com, 10 Oktober 2017, https://medan.tribunnews.com/2017/10/10/solusi-kemacetan-kota-medan-yang-penting-menurut-wakil-wali-kota-medan-edukasi-kesadaran

  • Sofyan Akbar, “Harapan Kasat Lantas di Situasi Macet, Pengendara Jadilah Polisi bagi Diri Sendiri,” Tribun-Medan.com, 10 April 2017, https://medan.tribunnews.com/2017/10/04/harapan-kasat-lantas-di-situasi-macet-pengendara-jadilah-polisi-bagi-diri-sendiri

  • Sofyan Akbar, “Demo di Kantor Gubernur, Begini Lalu Lintas di jalan Ponegoro dan Kartini,” Tribun-Medan.com, 22 Januari 2018, https://medan.tribunnews.com/2018/01/22/demo-di-kantor-gubernur-begini-lalu-lintas-di-jalan-ponegoro-dan-kartini

  • Sofyan Akbar, “Tabrakan Beruntun Enam Taksi Online Dipicu Pengendara Innova Hantam Mobil yang Antre di Lampu Merah,” Tribun-Medan.com, 5 April 2019, https://medan.tribunnews.com/2019/04/05/tabrakan-beruntun-enam-taksi-online-dipicu-pengendara-innova-hantam-mobil-yang-antre-di-lampu-merah

  • Victory Arrival Hutauruk, “Buat Macet, 20 Pedagang Liar Pusat Pasar Ditertibkan Satpol PP,” Tribun-Medan.com, 25 Januari 2018, https://medan.tribunnews.com/2018/01/25/buat-macet-20-pedagang-liar-pusat-pasar-ditertibkan-satpol-pp

  • Viva Budi Kusnandar, “Jumlah Penduduk di Sumatera pada 2019 Mencapai 58 Juta,” Katadata.co.id, 10 Mei 2019, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/10/jumlah-penduduk-di-sumatera-pada-2019-mencapai-58-juta


[2] Giddens, Anthony. 1990. “The Consequences of Modernity”, Politi Press. hal, 124-125.


[3] Davidson, James. 2019. “Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Suatu Persoalan dalam Menaja Jalan : Ekonomi Politik Pembangunan Infrastruktur Indonesia”. Insist Press: Yogyakarta.


[4] Rudinger, Georg. Kieran Donaghy and Stefan Poppelreuter. Societal trends, mobility behaviour and sustainable transport in Europe and North America. EJTIR, 6, no. 1 (2006), pp. 61-76.


[5] Habibi, Muhtar. 2016. Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980-an. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.




[8] Steiner, Philippe. 2002. Chapter 8. "Division of Labour and Economis". Dalam Pickering, WSF (ed). Durkheim Today. Oxford: Berghahn Books.


[9] Palaiologou, Garyfalia. 2015. High Street Transactions and Interactions: Suburban Urbanities. UCL Press. (2015) Stable URL: https://www.jstor.org/stable/j.ctt1g69z0m.16


52 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page