top of page
Writer's pictureNur Muhammad Swastika Ardhi

Coffeeholic di Kedai Kopi, Minum Kopi atau Ditemani Kopi? (Bagian 1)

Oleh: Nur Muhammad Swastika Ardhi

 

sumber: www.pexels.com

Eksistensi Kedai Kopi

Kopi di masa sekarang ini semakin melekat dengan kehidupan masyarakat, terlebih lagi masyarakat Indonesia yang merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. Mulai dari kopi yang dihasilkan di Aceh, hingga kopi khas dari Indonesia yang sangat mendunia yakni kopi luwak. Dahulu mungkin ketika kita masih muda, kopi lebih erat kaitannya dengan “minuman bapak-bapak” atau mungkin minuman penahan kantuk untuk para supir truk dan semacamnya. Kopi masih menjadi hal yang belum populer dan belum mengekspresikan sesuatu secara jelas. Kopi yang mulanya hanya dimanfaatkan efek kafeinnya saja, lama kelamaan berubah fungsi menjadi minuman yang ada di tengah-tengah kita ketika berbincang-bincang dengan teman, ketika sedang melakukan meeting, saat lembur mengerjakan skripsi atau semacamnya, dan bahkan menemani kita ketika sedang melakukan kegiatan-kegiatan rekreasi yang tidak sepenuhnya membutuhkan efek dari kafein tersebut.


Keberadaan kopi-kopi ini tentu menyediakan banyak peluang usaha bagi masyarakat menengah ke bawah maupun ke atas. Hal ini ditunjukkan dengan adanya banyak kedai kopi modern atau sering dibilang coffee shop dan kedai kopi kaki lima yang bermunculan di dunia, khususnya Indonesia. Dari laman https://majalah.ottencoffee.co.id, salah satu laman di Indonesia yang membahas tentang kopi, dikatakan bahwa kedai kopi mulanya berkembang pertama kali di Kota Konstantinopel, Turki dengan nama Kiva Han di tahun 1475. Menurut laman tersebut, pada saat itu kopi menjadi salah satu unsur budaya penting di Turki. Kopi di coffee shop tersebut disajikan kuat, hitam, tanpa filter dan dimasak dengan ibrik atau pot ala Turki.


Laman https://majalah.ottencoffee.co.id juga mengatakan bahwa secara tidak langsung, Turki membawa kopi tersebut ke Eropa ketika sedang ada peperangan pada tahun 1592. Di Eropa kopi diminum dengan menyaringnya terlebih dahulu dan menambahkan gula dan susu. Turki juga menyebarkan kopi hingga ke Inggris dan mulai merebak di sana pada tahun 1652. Setelah kopi terkenal di Inggris, kopi semakin terkenal di Italia pada tahun 1654, Paris pada tahun 1672, dan Jerman pada tahun 1673. Kemudian Inggris juga menjadi pengaruh dari persebaran kopi di Amerika pada tahun 1792.


Pada saat itu, kopi masih dihidangkan dengan cara manual dan belum menggunakan alat-alat canggih seperti sekarang ini. Dilansir dari https://majalah.ottencoffee.co.id, dikatakan bahwa mesin pembuat kopi yakni mesin piston espresso ditemukan oleh Gaggia pada tahun 1946 dengan The Gaggia Coffee Bar sebagai coffee shop pertama yang menyediakan kopi dengan alat espresso. Lama kelamaan mulai bermunculan coffee shop yang menggunakan alat-alat canggih semacam itu, hingga akhirnya di tahun 1971 dibukalah gerai pertama coffee shop yang terkenal hingga ke Indonesia yakni Starbucks di Seattle, Amerika Serikat.


Di Indonesia, kopi dan coffee shop juga memiliki sejarah dalam persebarannya. Melalui laman https://coffeeland.co.id, salah satu perusahaan kedai kopi di Indonesia, dikatakan bahwa kedai kopi atau coffee shop di Indonesia mulai berkembang di tahun 1878 yaitu dengan kedai kopi bernama Warung Tinggi Tek Sun Ho di Jakarta. Lalu dari kota lain seperti Belitung yang juga memiliki tradisi minum kopinya, kedai kopi yang tertua adalah Warung Kopi Ake yang didirikan pada tahun 1921. Selanjutnya di Bandung tahun 1930 berdiri Warung Kopi Purnama, menyusul tahun 1946 Warung Kopi Phoenam didirikan di Makasar, dan selanjutnya di Aceh, kedai kopi yang cukup tua adalah Warung Kopi Solong yang berdiri tahun 1974.


Di Indonesia bisa dibilang kopi, dalam hal ini kedai kopi atau coffee shop, berkembang menjadi dua cabang yakni coffee shop modern berupa cafe dan semacamnya, dan kedai kopi kaki lima berupa pedagang kopi (dalam hal ini bukan kopi sachet) yang menjajakan kopinya dengan gerobak, sepeda atau bahkan mobil. Kedua kedai kopi ini sama-sama berkembang dan memiliki peminatnya sendiri-sendiri. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dua macam kedai kopi tadi secara tidak langsung memiliki pengaruh besar terhadap masyarakatnya.


sumber: Chevanon Photography, www.pexels.com

Coffee Shop Modern

Seperti yang kita ketahui, saat ini kopi memiliki makna yang beragam bagi masyarakat Indonesia. Di Yogyakarta sendiri, ada beberapa kedai kopi yang menjajakan kopinya dengan cerita-cerita dari kopi itu sendiri dan ada pula yang menjajakan kopinya dengan filosofi dari kopi itu. Di sisi lain, Yogyakarta yang memiliki banyak populasi manusia, khususnya mahasiswa, juga memiliki beragam kedai kopi baik kedai yang berukuran besar, kecil, di dalam mal, ataupun di pinggiran jalanan Yogyakarta.


Coffee Shop Modern juga memiliki berbagai hal yang hanya bisa ditawarkan oleh mereka dan tidak bisa kita temukan di kedai kopi kaki lima. Contohnya adalah tempat duduk yang nyaman, suasana bangunan yang instagramable, tempat nongkrong berjam-jam bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, sajian lain seperti live music atau event tertentu, dan yang tidak kalah penting adalah adanya koneksi internet melalui wifi yang lebih mungkin kita dapatkan di Coffee Shop Modern tersebut. Oleh karena itu, tak jaarang kita menemui kedai kopi jenis ini yang buka hingga tengah malam atau bahkan 24 jam dan masih tetap ramai.


Perlu diketahui, tidak semua coffee shop modern hanya menyediakan kopi yang diolah dengan menggunakan alat-alat canggih seperti espresso saja. Banyak juga coffe shop modern yang memadukan dengan penyeduhan manual atau seringkali disebut manual brewing. Semua jenis olahan kopi yang ada di Coffee Shop Modern memiliki peminatnya sendiri-sendiri. Cara penyediaannya pun berbeda beda, ada yang menggunakan gelas dari kaca dengan bentuk-bentuk yang unik atau ada pula kedai kopi modern yang menggunakan gelas plastik atau bahkan botol plastik untuk menyediakan minuman-minuman mereka. Di sisi lain yang mulanya hanya menjual kopi saja, kedai kopi modern lama kelamaan juga menjual minuman-minuman lain yang tidak mengandung kopi dan bahkan beberapa kedai kopi modern juga menjual makanan-makanan tertentu di kedai mereka.


Di masa kini, kedai kopi modern turut berkolaborasi dengan perkembangan zaman dan teknologi. Belakangan, yang sangat marak digunakan kedai kopi modern dalam rangka mengembangkan usahanya adalah media sosial. Hal ini terbukti dengan banyaknya kedai kopi yang mengedepankan prinsip instagramable bagi produk, suasana, serta pelayanan mereka. Kedai kopi modern yang menggunakan cara ini untuk memasarkan produk-produknya akan membuat foto maupun video yang kemudian di sebarkan melalui instagram mereka serta mengiklankan kedai kopi mereka melalui fitur iklan di media sosial instagram tersebut. Tidak jarang kita menemukan kedai kopi modern yang memberikan syarat pelanggan harus memfollow terlebih dahulu instagram dari kedai kopi modern tersebut untuk mendapatkan reward berupa potongan harga atau gratis minuman tertentu. Banyak juga yang mengharuskan pelanggan untuk memposting foto produk atau apapun yang berhubungan dengan kedai kopi yang bersangkutan jika ingin mendapatkan reward tadi.


Kemudian, tidak hanya terbatas pada instagram saja, kedai kopi modern ini seringkali menggunakan media atau teknologi lain untuk memasarkan atau menyebarkan eksistensi dari kedai kopi mereka. Hal lain yang dilakukan adalah membuat website yang berisi informasi-informasi tertentu yang masih ada hubungannya dengan produk atau target konsumen dari kedai kopi mereka. Contohnya seperti laman yang sudah disebutkan sebelumnya yakni https://coffeeland.co.id yang fokusnya pada bidang coffee shop atau https://majalah.ottencoffee.co.id yang menjual bahan-bahan dan alat dalam pembuatan kopi di kedai kopi.


sumber: www.dpreview.com

Salah satu kedai kopi modern yang terkenal dan memiliki banyak dampak bagi masyarakat umum, Starbucks, memiliki channel Youtube bernama Starbucks Coffee yang isinya berupa video-video pembuatan kopi, cerita tentang kopi, hingga ke hal-hal lain yang tidak berhubungan langsung dengan kopi namun memiliki nilai-nilai positif dan cenderung ke arah memotivasi penontonnya. Meski tidak begitu banyak subscriber yang dimiliki oleh kedai kopi modern yang mendunia ini (sekitar 200.000), beberapa video-video mereka cukup memiliki banyak penonton dan ada salah satu video yang mencapai empat juta penonton yakni video iklan produk terbaru mereka.


Variasi dalam minuman, lokasi, bentuk kedai kopi, cara pemasaran, dan hal lainnya merupakan faktor-faktor yang akan menentukan siapa saja dan seperti apa saja pengunjung yang memilih kedai kopi tersebut yang kemudian berpengaruh pada gaya hidup mereka. Mudahnya, masyarakat yang senang melihat matahari terbenam, yang saat ini populer disebut “senja”, akan lebih mungkin memilih kedai kopi modern atau kafe yang lokasinya tidak dikelilingi oleh gedung-gedung tinggi sehingga bisa melihat momen-momen sunset tersebut. Semilir angin di sore hari juga menambah kenikmatan bagi para pecinta “senja” ini, ditambah dengan sebungkus rokok dan perbincangan ringan bersama teman dekat kerap kali menciptakan suasana nyaman bagi mereka sehingga momen tersebut diabadikan dan disebarkan melalui media sosial. Penikmat “senja” tentu akan jarang mengunjungi kafe yang berada di dalam mal dan tidak memiliki spot untuk melihat matahari terbenam serta tidak tersedia smoking area. Ditambah lagi suasana mal yang ramai, penuh dengan riuh manusia berjalan ke sana-kemari mencari produk yang dapat memuaskan hati mereka.


Di Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan kota pelajar ini, keberadaan kafe-kafe tadi juga erat dengan perjuangan sekolah maupun perkuliahan mereka. Pelanggan dengan latar belakang pelajar kebanyakan memilih kafe yang tidak hanya memiliki banyak meja-meja besar untuk pengunjung yang datang bersamaan tetapi juga meja untuk satu atau dua orang bagi mereka yang lebih senang sendirian ketika mengerjakan sesuatu. Lalu yang tidak kalah penting adalah bagaimana kafe tersebut menyediakan sumber listrik dan koneksi internet bagi para pengunjung atau mahasiswa ini. Sumber listrik yang lebih private dan dekat dengan meja lebih berpotensi mendatangkan banyak pengunjung dalam kategori ini. Sedangkan koneksi internet sebenarnya tidak hanya diperlukan oleh pelajar atau mahasiswa saja karena di zaman ini semua orang bisa dibilang membutuhkan koneksi internet yang cepat entah untuk apapun itu. Kemudian, kondisi kafe yang tidak terlalu ramai dan tidak ada event yang “berisik” serta memiliki playlist lagu yang mendukung suasana yang diinginkan turut mempengaruhi pengunjung di kategori ini. Kafe-kafe seperti ini biasanya buka 24 jam setiap harinya dan memiliki tempat yang luas, dilengkapi dengan berbagai macam ornamen unik dan fungsional seperti sofa ataupun beanbag, dan ada pula yang menyediakan buku bacaan yang bisa dipinjam di kafe tersebut. Di Yogyakarta sendiri, kedai kopi modern yang ramai dengan pelajar atau mahasiswa antara lain Starbucks, Cafe Brick, Warunk Upnormal, dan Silol.


Beragam pengunjung dengan berbagai tujuan dalam mendatangi sebuah kedai kopi modern membuat perkembangan yang signifikan bagi eksistensi “kedai kopi modern”. Kedai kopi tidak lagi terbatas pada tempat untuk minum kopi. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kedai kopi menjadi tempat untuk menikmati “senja”, belajar, ngobrol, hingga bekerja. Dari sudut pandang budaya, coffee shop sebagian besar berfungsi sebagai pusat interaksi sosial (meeting point) yang menyediakan sebuah tempat untuk berkumpul, berbicara, menulis, membaca, menghibur satu sama lain, atau melewatkan waktu, baik secara individu atau dalam kelompok kecil anggota sosial tersebut (Said, I. 2017: 34). Said juga mengatakan bahwa kafe merupakan fenomena bagi masyarakat urban perkotaan modern. Said, mengutip dari Channey (1996) mengatakan bahwa Chaney menjelaskan gaya hidup sebagai gaya, tata cara atau cara menggunakan barang, tempat dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu, yang sangat bergantung pada bentuk-bentuk kebudayaan, meski budaya merupakan totalitas pengalaman sosial. Dalam hal ini, gaya hidup masyarakat penikmat “kopi” membuat banyak perkembangan bagi eksistensi kedai kopi modern.


Kegiatan masyarakat kaitannya dengan kedai kopi modern lama kelamaan semakin membudaya. Kedai kopi mulai beradaptasi dengan menyediakan makanan dan ruangan khusus bagi para pelanggannya seperti Warunk Upnormal dan Silol yang sudah disebutkan di atas. Akhirnya kedai kopi modern mulai memunculkan kategori baru dalam hal “kafe”. Coworking Space merupakan salah satu bentuk “kafe” yang muncul setelah banyak kafe-kafe sebelumnya dipenuhi orang-orang yang datang karena ingin mengerjakan sesuatu. Mengusung konsep ruang kerja bersama baik untuk pelajar, mahasiswa, ataupun pegawai pada umumnya. Namun hal ini mungkin hanya di Yogyakarta saja. Coworking Space yang seharusnya menjadi “ruang kerja bersama” dalam arti berbagai macam individu bekerja sama atau perusahaan tertentu menyewa coworking space tersebut tidak banyak terjadi di Yogyakarta. Coworking Space justru sama saja dengan kafe-kafe yang sudah ada sebelumnya, menyediakan minuman kopi dan semacamnya, serta makanan-makanan berat di restoran pada umumnya. Hanya saja yang membedakan terletak pada tujuan pengunjung yang datang ke tempat tersebut di mana mayoritasnya mengerjakan pekerjaan tertentu.


sumber: www.pexels.com

Kedai Kopi Kaki Lima

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki kisahnya sehubungan dengan pedagang kaki lima. Saputra (2014) mengutip Nugroho (2003:159) mengatakan bahwa Pedagang Kaki Lima atau disingkat PKL adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang melakukan kegiatan komersial di atas daerah milik jalan (DMJ) yang diperuntukkan untuk pejalan laki (Saputra, 2014: 4). Dalam hal ini, sebutan kaki lima dikatakan muncul dari jumlah kaki dari gerobak pedagang ditambah dengan kaki pedagang itu sendiri. Namun PKL tidak terbatas pada gerobak saja, PKL yang menjual dagangannya bisa saja mendirikan tenda, menggunakan sepeda atau sepeda motor, dan bisa juga menggunakan mobil yang dimodifikasi sebagian rupa.


Yogyakarta memiliki eksistensi kedai kopi kaki lima atau street coffee shop yang bersaing dengan kedai kopi modern atau kafe-kafe yang kian menjamur. Salah satu kedai kopi kaki lima yang cukup eksis di mata masyarakat Yogyakarta ataupun wisatawan adalah Angkringan Kopi Joss di area Malioboro, Yogyakarta. Kopi ini memadukan arang panas pada hidangan kopinya. Lokasinya berada di pinggir jalan, dengan tenda yang menutup hanya bagian atas angkringan tersebut. Terkadang gelaran tikar di area pejalan kaki terlihat jika angkringan tersebut sedang ramai pengunjung. Angkringan ini kemungkinan besar tidak memiliki koneksi internet, sumber listrik, buku bacaan, sofa atau beanbag dan hiasan-hiasan artistik instagramable yang kebanyakan dimiliki oleh kedai kopi modern atau kafe. Kebanyakan orang mengunjungi angkringan ini karena ingin merasaka kopi yang berbeda dari biasanya dan sudah terkenal di Yogyakarta. Jika ingin menyebarkan ke media sosial pun, produk-produk atau suasana yang ditawarkan angkringan ini tidak begitu menarik jika dibandingkan dengan kafe.


sumber: www.gudeg.net

sumber: www.gudeg.net

Kedai kopi kaki lima lain yang tidak kalah eksis dengan Angkringan Kopi Joss adalah Kedai Kopi Keliling. Sebuah kedai kopi dengan bentuk gerobak sepeda yang lokasinya berpindah-pindah di sekitar Malioboro dan Tugu Yogyakarta. Kedai Kopi Keliling merupakan kedai kopi yang menggunakan manual brew untuk meracik kopinya karena tidak menggunakan mesin dan tidak memiliki sumber listrik sendiri. Kopi yang diracik hampir sama dengan kopi yang ada di kafe-kafe seperti kopi arabica, robusta, dan sebagainya. Sama dengan Angkringan Kopi Joss, tidak banyak hal-hal yang bisa dilakukan di Kedai Kopi Keliling. Selain karena tidak memiliki tempat duduk atau tempat untuk nongkrong, tidak ada ornamen-ornamen menarik yang instagramable di kedai kopi ini. Pengunjung hanya bisa membeli dan menyaksikan pembuatan minuman kopi tersebut. Setelah itu pengunjung bisa mengunjungi tempat lain atau duduk di kursi di sekitar Malioboro maupun di pinggiran jalan Tugu Yogyakarta sembari menikmati hiruk pikuk jalanan kota Yogyakarta. Orang yang ingin mengerjakan pekerjaan tertentu tidak mungkin mengerjakannya di kedai kopi ini. Jika mereka mengunjungi kedai kopi ini, kemungkinan besar hanya akan membelinya dan membawanya pulang.


Kedai kopi kaki lima dirasa kalah bersaing dengan kedai kopi modern. kalah bersaing dalam hal ini adalah kedai kopi kaki lima tidak bisa beradaptasi secara spesifik terhadap perubahan zaman. Tidak mungkin rasanya jika tiba-tiba Angkringan Kopi Joss menjual makanan seperti pasta dan makanan barat lainnya. Angkringan Kopi Joss pasti akan tetap melekat pada sebutan angkringan mereka. Menjual sate ayam, sate usus, sate telur, nasi kucing, tempe, tahu, dan makanan lain yang biasa dijual di angkringan pada umumnya. Di sisi lain, Kedai Kopi Keliling juga tidak mungkin tiba-tiba saja menjual minuman seperti milkshake, ataupun makanan apapun. Hal ini akan menimbulkan nama dari kedai kopi kaki lima ini dipertanyakan. Akhirnya, kedai kopi kaki lima hanya bisa mempertahankan rasa dan pelayanan mereka dari tahun ke tahun.


Meski begitu, baik kedai kopi kaki lima maupun kedai kopi modern, keduanya memiliki ciri khas dan pelanggan setianya masing-masing. Pelanggan kafe pun ada kalanya mengunjungi kedai kopi kaki lima, begitu pula sebaliknya. Meski sasaran konsumen mereka berbeda, di zaman ini, media sosial secara tidak langsung turut membantu perkembangan dua kategori kedai kopi tersebut. Kedai kopi kaki lima masih akan tetap eksis ketika pengunjung puas dengan pelayanan mereka dan menyebarkannya ke dunia maya. Kedai kopi modern pun juga akan bertahan jika sarana-prasarana dan fitur yang mereka berikan tidak berubah dari tahun ke tahun. Baik sebagai tempat untuk “menikmati” kopi atau tempat “menikmati sesuatu” bersama kopi, kedua kategori kedai ini sama-sama menjajakan kopi yang akan tetap terjaga sebagaimana kopi menjaga peminumnya agar tidak “segera tidur”.


Esai Tanggapan I

(Asyifa Nadia Jasmine)


Essai ini adalah essai tanggapan yang akan menilai, mengkrtik serta memberi tambahan poin yang harus dipaparkan dalam essai tambahan. Essai tanggapan ini tetap berfokus pada poin yang sama, namun ada beberapa hal yang menurut saya perlu ditambahkan serta ada beberapa rgumen yang saya kurang menyetujuinya karena saya dan penulis agaknya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam studi kasus kedai kopi ini.


A. Eksistensi Kedai Kopi

Kalimat pembuka dalam bagian ini menurut saya cukup bagus karena membicarakan bagaimana tema besar yang akan diangkat. Namun, pergesaran makna kopi hakikatnya bisa dijabarkan lebih luas lagi. Pergeseran makna kopi sebenarnya bukan hanya terkonteks pada konsumsinya tapi lebih pada mengapa konsumsi kopi menjadi penting di era sekarang. Agaknya kedai kopi menjadi ruang baru untuk masyarakat terutama kalangan muda untuk melakukan aktivitas sosial. Dalam hal ini pergeseran makna konsumsi menjadi hal yang patut digarisbawahi. Sementara itu, kenyataan tentang kedai kopi sebagai gaya hidup ini makin dipertegas dengan kebutuhan modernisasi, kedai kopi kini sebagai tempat proses pergaulan sosial, tempat nongkrong anak-anak muda, sebagai tempat rapat yang nyaman, sebagai tempat sarapan dengan makanan cepat saji (Solikatun, dkk, 2015). Menjamurnya kedai kopi menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi pergeseran budaya ngopi. Kopi pada awalnya hanya dikonsumsi untuk menghilangkan rasa kantuk, meningkatkan kesadaran mental, pikiran, fokus dan respon. Namun semenjak kedai kopi menjamur, agaknya konsumsi kopi bukan lagi sekedar menahan kantuk.


Kedai kopi yang menjamur di setiap sudut perkotaan mendorong masyarakat untuk menghabiskan waktu luang ngopi berjam-jam di kedai kopi. Entah hanya sekedar nongkrong, bertemu teman, membaca buku, pencitraan, menaikkan kelas ososial atau benar-benar ingin mencicipi kopi. Untuk itulah konsep cofeeholic agaknya menghadirkan dualisme. Pertama, cofeeholic merujuk pada mereka yang sangat mencitai kopi bahkan dari aromanya saja. Kedua, merujuk kepada mereka yang suka nongkrong di cofeeshop bukan bermaksud mencicipi kopinya namun lebih kepada suasana/ruang yang diciptakan cofeeshop. Penulis perlu menyertakan pendefinisian konsep coffeeholic secara tegas. Atau setidaknya memaparkan diawal.


Melihat bagaimana kedai kopi, budaya ngopi dan pergeseran makna kopi menjadi isu yang menarik untuk dibahas. Konsumsi kopi kini menjadi hal yang krusial dan menjual oleh beberapa pihak. Seiring berkembangnya perubahan fisik juga tampak pada berdirinya warkop-warkop yang bernuansa modern yang lebih banyak menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang publik untuk menarik pengunjung. Warung kopi yang bernuansa modern memberikan berbagai fasilitas baik dari segi menu maupun sarana dan prasarana yang berbeda dengan warung kopi pada umumnya. Dan perbedaan yang paling menonjol adalah dari segi harga minuman kopi yang jauh lebih mahal dibandingkan menu kopi di warung kopi biasa (Huraera, 2015). Kehadiran kedai kopi sebagai “bentuk baru mengonsumsi kopi” diikuti dengan menjamurnya coffeeshop yang menyediakan fasilitas dan olahan kopi yang beragam. Menjamurnya cofeeshop tidak bisa dipungkiri juga karena perubahan gaya hidup masyarakat yang kini membutuhkan ruang untuk berinteraksi sosial. Sedangkan, kopi kaki lima, kedai kopi yang sudah ada sejak dulu kini masih eksis dengan cara dan kekhasannya sendiri.


Sehingga dari sini kita bisa melihat korelasi kedai kopi, budaya ngopi dan pergeseran makna kopi. Pada dasarnya kedai kopi bisa semakin menjamur tidak lain karena budaya ngopi yang sejak dulu ada. Kemunginan besar kini kedai kopi haidr untuk mempeluas makna ngopi bukan sebatas aktivitas konsumsi namun pada aktivitas sosial seperti interaksi, kerja, relasi dan menenangkan diri. Alangkah lebih baik penulis sedari awal menjelaskan konsep “cofeeholic” dan pergeseran makna kedai kopi dari waktu ke waktu lalu bisa menambahkan persebaran dan makna kedai kopi di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk lebih memfokuskan apa maksud dan isu yang diangkat dalam artikel ini dan menegaskan mengapa isu ini menjadi menarik untuk dikaji. Seperti yang saya katakan di awal, bahwa menggambarkan isu diawal kalimat menarik. Lalu, membahas isu secara general dan makin mengerucut atau spesifik. Karena esensi dari poin satu essai utama menurut saya adalah sebatas eksistensi dan historis “kopi” bukan “kedai kopi”nya.


B. Cofeeshop Modern atau Kopi Kaki Lima

1. Cofeeshop Modern

Pada essai poin kedua penulis membahas bagaimana cofeeshop modern hadir dengan perubahan yang berbeda, cofeeshop modern oleh penulis disebut sebagai tempat yang menghadirkan tempat duduk yang nyaman, suasana bangunan yang instagramable, tempat nongkrong berjam-jam bagi mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, sajian lain seperti live music atau event tertentu, dan yang tidak kalah penting adalah adanya koneksi internet melalui wifi yang lebih mungkin dibandingkan kopi kedai lima. Penulis hanya menyoroti dari sudut pandang ekonomis dan pasar (fasilitas dan media). Penulis essai utama menggambarkan perkembangan coffeshop sebagai ruang baru untuk berinterasi sosial, namun agaknya ada sudut pandang lain yang menganggap cofeeshop modern menghadirkan bias kelas, identifikasi kelas dan identitas simbolik.


Beberapa studi dan penelitian bahkan (Afdholy,2019; Solikatun, 2018; Herlyana, 2014) mejelaskan bahwa menjamurnya cofeeshop meningkatkan budaya konsumtif, utamanya kalangan mahasiswa yang kini memandang “kedai kopi” lebih dari sekedar tempat ngopi. Agaknya argumen Anrical (2015) lebih mampu mewakili penggambaran “coffeeshop”, ia menyatakan bahwa warung kopi telah berkembang menjadi media dalam mengekspresikan gaya hidup dan identitas kelas. Mengunjungi warung kopi telah berubah menjadi kode simbolik kalangan tertentu dalam mengaktualisasikan keberadaannya dalam kelompok sosial. Hal ini terlihat dari pengunjung warung kopi yang kini bukan hanya kaum pria, tapi juga sudah mulai diminati kaum wanita. Perubahan pola dan perilaku minum kopi tersebut semakin berkembang seiring dengan globalisasi yang dipertegas oleh ekspansi media.


Pada essai utama penulis memberikan deskripsi mengenai fasilitas kedai kopi dan apa yang didapatkan di coffeeshop. Namun menurut pandangan saya itu bukan merupakan sebuah “kelebihan” atau “perubahan’. Menurut saya itu adalah sebuah “ciri khas yang membedakan cofeeshop dan kedai kopi”. Anrical (2015) menyatakan bahwa warung kopi di era yang semakin kompleks tidak hanya menjual kopi sebagai menu utamanya, tetapi juga menjual Susana yang mampu membuat konsumen merasa nyaman, diantaranya dengan memberikan beberapa fasilitas seperti menyediakan tv cable, home band, dan hot spot. Warung kopi yang dimaksud Anrical merujuk pada coffeeshop. Coffeeshop sejauh ini menurut saya tidak benar-benar menggambarkan budaya ngopi yang sebenarnya, karena tidak semua orang benar-benar akan ngopi ke tempat tersebut. Ada beberapa macam motif konsumsi masyarakat ke cofeeshop, bahkan ada yang sekedar mencari view, background, desain interior, keestetikan cofeeshop. Hal ini dimanfaatkan oleh produsen dan pemasar untuk memasarkan bisnisnya, seperti fenomena bergesernya fungsi coffee shop yang kini tidak hanya menyediakan kopi, tetapi juga menjual gaya hidup yang digemari oleh kaum muda (Herlyana, 2014). Lucunya terkadang orang datang ke cofeeshop tidak benar-benar untuk membeli kopi namun mereka lebih pada membeli suasana dan tampilan cofeeshop. Essai utama kurang menyoroti dan menganalisa bagian ini,padahal menurut saya itu sebuah kontradiktif mengenai pemaknaan cofeeshop itu sendiri.


Essai utama tidak memberikan contoh realistis dari cofeeshop yang sedang menjamur di Indonesia. oleh karena itu saya akan membahas setidaknya 4 cofeeshop yang terkenal di kalangan mahasiswa Jogja yaitu Starbucks dan The Excelso. Starbucks sebagai cofeeshop kelas atas merupakan sebuah jaringan kedai kopi dari Amerika Serikat yang bermarkas di Seattle, Washington. Starbucks adalah perusahaan kedai kopi terbesar di dunia, dengan 15.012 kedai di 44 negara. The Excelso, Tahun 1991, dimana coffee shop belum sebanyak sekarang dan jaringan coffee shop internasional belum masuk, Excelso sudah berdiri sebagai coffee shop lokal pertama yang menyajikan kopi berkualitas. Sebagai bagian dari Kapal Api Group, Excelso berusaha memperkenalkan definisi kopi berkualitas menurut mereka ke masyarakat Indonesia. Starbucks dan The Excelso adalah cofeeshop yang saling bersaing untuk menjadi urutan pertama di Indonesia. baik dari segi rasa, kualitas, fasilitas keduanya memiliki keunggulan dan identitas yang berbeda. Oleh sebab itu keduanya sangat iconic sebagai representasi cofeeshop.


2. Kopi Kaki Lima

Pada poin ini penulis sangat deskriptif dan kompleks meskipun ada beberapa pernyataan yang perlu ditambahkan. Pada poin ini penulis tidak menyebutkan apa yang ditawarkan oleh kopi kaki lima. Penulis tidak menyebutkan ciri khas yang membuat kopi kaki lima berbeda dengan Cofeeshop. Ada argumen yang menganggu saya di paragraf terakhir dimana penulis mengatakan bahwa “Kedai kopi kaki lima dirasa kalah bersaing dengan kedai kopi modern. kalah bersaing dalam hal ini adalah kedai kopi kaki lima tidak bisa beradaptasi secara spesifik terhadap perubahan zaman”. Karena menurut saya kedai kopi kaki lima disini bukan karena tidak mampu bersaing dan beradaptasi dalam mengikuti perkembangan zaman. Karena sejatinya kedai kopi lima dan cofeeshop adalah dua ruang yang berbeda dalam tatanan perkotaan. Kedai kopi kaki lima menawarkan ruang kopi sebagai tempat berinteraksi dalam konteks yang lebih santai, sederhana, dan khas jaman dulu. Menurut saya kedai kopi kaki lima unik karena mereka mampu membangun relasi yang dekat antara penjual kopi dan pembeli kopi. Agaknya jika para kedai kopi lima menaikkan standarnya untuk mampu menyaingi cofeeshop¸ masyarakat akan sulit mengakses “ruang kopinya” karena terpatok pada harga dan tempat.


Kopi kaki lima memiliki strategi survival sendiri untuk mempertahankan eksistensinya dan para pelanggannya. Ketika cofeeshop menawarkan suasana, interior dan ras kopi yang beraneka ragam. Warung kopi kaki lima menghadirkan suasana obrolan hangat antara penjual dan pembeli. Warung kopi kaki lima menyatukan semua pembeli dalam satu tempat yang sama, sehingga menyatukan relasi antara pembeli yang tidak saling mengenal. Kopi kaki lima menghadirkan susasna hangat dan kekeluargaan khas masyarakat. mereka yang pergi ke warung kopi lima umumnya benar-benar ingin menikmati kopi dan obrolan hangat bersama penjual serta pembeli lainnya. Tidak ada maksud atau pencitraan kelas sosial. Atau menunjukkan identitas simbolik kelasnya melalui kopi yang dikonsumsi. Warung kopi lima bisa dikatakan menjadi tempat yang hangat untuk ngopi.


C. Cofeeshop atau Kopi Kaki Lima?

Pada essai utama tidak diberikan penjelasan secara rinci jadi apa bedanya cofeeshop atau kopi kaki lima? Serta menurut saya apa yang sudah dijelaskan oleh essai utama kurang menjawab apa yang mendasari essai ini. oleh karena itu, saya merasa ada perlu penambahan satu poin lagi yang lebih mengerucutkan apa sebenarnya esensi kopi dan mengapa kedai kopi kini menjadi media yang penting untuk menggambarkan budaya ngopi dan interkasi. Menyoal pergeseran makna kopi, hakikatnya kopi sejak dulu merupakan media untuk berinteraksi. Kopi merupakan minuman yang selalu menjadi identik dengan “nongkrong, guyub rukun, ngeronda”. Agaknya kopi bukan lagi mengalami pergeseran makna namun pergeseran ruang/tempat. Kopi yang pada umumnya disajikan dalam bentuk warung-warung kecil di kampung, kini menjadi konsumsi masyarakat perkotaan yang dikemas dengan tempat yang lebih artistik, bergaya modern dan mahal. Namun apakah esensi dan rasa kopi masih menjadi asli ketika dinikmati di ruang yang berbeda, mungkin akan lebih menarik jika penulis menyertakan argumen mengenai ini (saya memberikan argumen saya di poin akhir)


Pada Bagian ini penulis bisa menggambarkan perbedaan yang lebih spesifik antara cofeeshop dan kopi kaki lima mungkin bisa menyertakan berbgai aspek dari segi sosial, ekonomi dan budaya. Saya menawarkan 4 aspek yaitu: Lokasi, Harga, Rasa dan Makna. Lokasi, maksudnya adalah penulis bisa memberikan deskripsi analisis mengenai bagaimana lokasi/tempat/ruang yang membedakan kedua kedai kopi dalam tatanan perkotaan. Harga, penulis bisa menyoroti harga-harga kopi dan membandingkan dengan fasilitas serta ruang yang ditawarkan. Rasa, penulis mungkin bisa menganalisis bagaimana perbedaan rasa kopi disini, antara kopi yang diseduh dengan mesin, kopi yang diseduh tanpa mesin, dari rasa kopi, biasanya memunculkan kenyamanan dan aroma-aroma yang berbeda. Dari segi makna, ini lebih kompleksitas karena “makna” yang saya maksud disini bagaimana dan apa yang mereka rasakan saat mengonsumsi kopi di kaki lima dan cofeeshop? Serta apa yang melatarbelakangi mereka lebih memilih di cofeeshop atau kaki lima.


- Pengguna dan Aktivitas

Lokasi antara cofeeshop dan warung kopi kaki lima memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Pada umumnya fasilitas kedai kopi tradisional di Indonesia sangat sederhana, hanya terdiri bangku dan meja bambu (jongko), dengan atap terpal atau asbes, dan sekelilingnya ditutup dengan kain bekas spanduk atau spanduk bekas promosi produk tertentu yang terkadang tidak ada hubungannya dengan produk kopi, dan dilengkapi dengan pencahayaan ala kadarnya/remang-remang (Derwentyana, 2011). Sedangkan cofeeshop pada umumnya Konsep ruang yang biasa ditawarkan adalah konsep lounge café, dengan menempatkan sofa-sofa empuk di dalam ruangan atau konsep meja dan kursi taman untuk bagian outdoornya.


- Harga/ Sasaran Konsumen

Harga menjadi perbedaan yang mencolok setelah tempat. Harga dan tempat seakan akan sudah menjelaskan siapa sasaran konsumennya. Masyarakat yang menjadi pengguna warung kopi tradisional ini umumnya adalah masyarakat-masyarakat kebanyakan di Indonesia, seperti kaum lelaki, supir, tukang becak, dll. Aktivitas yang mereka lakukan di kedai kopi tersebut biasanya menghabiskan waktu dengan minum kopi, berbincang-bincang, dan kumpul-kumpul. Hal menarik disini, wanita/ibu-ibu jarang terlibat dalam kumpul-kumpul di sini, dan warung kopi memang identik dengan tempat “hang out”nya para bapak-bapak dan kaum lelaki. Sedangkan masyarakat yang mengonsumsi cofeeshop biasanya adalah masyarakat kelas atas sehingga terkesan eksklusif. Oleh karena harga yang ditawarkan untuk satu cangkir/gelas kopi cukup mahal, maka tidak sembarang orang yang bersedia menukarkan sejumlah uang cukup besar untuk satu cangkir/ gelas kopinya (Derwentyana, 2011).


- Rasa

Pada umumnya rasa yang ditawarkan pada cofeeshop adalah beragam karena mereka menggunakan mesin penyeduh dan memiliki banyak aroma rasa kopi. Mereka sudah menggunakan standar rasa dan menggunakan jasa barista yang cukup handal. Selain menawarkan beragam jenis ramuan kopi, mereka juga menawarkan beberapa jenis makanan pendamping, seperti roti dan pastry (Derwentyana, 2011). Sedangkan kopi kaki lima menawarkan citara rasa kopi buaatan non mesin yang diseduh dengan air hangat. Mereka umumnya hanya menjual kopi serta minuman-minuman sederhana. Ketika menanyakan rasa, antara cofeeshop dan kopi kaki lima memiliki rasa yang tidak bisa dikatakan paling enak yang mana. Ini semua menyangkut selera, kopi bahkan bisa terasa sangat enak jika partner ngopi memiliki obrolan yang menyenangkan atau bagaimana suasana yang terasa saat kita menyantap kopi.


- Makna

Dalam perilaku mengonsumsi kopi ada makna tertentu dari setiap individu.Makna minum kopi sendiri dalam masyarakat sekarang ini tidak lagi menjadi satu-satunya aktivitas untuk memenuhi kebutuhan nilai fungsi, melainkan sebagai pemenuhan kebutuhan nilai simbolik. Dimana pemaknaan minum kopi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, akan tatapi juga sebagai alat untuk mengekspresikan diri (Solikatun, dkk, 2015). Kopi menjadi hal yang berbeda pada akhir-akhir ini. Kopi bukan sekedar aroma, rasa tapi juga ruang ekspresi seseorang. Begitupun Cofeeshop dan kopi kaki lima. Mungkin bagi beberapa orang setiap ruang kedai kopi menciptakan suasana dan ekspresi yang berbeda. Terkadang ada seseorang datang ke kedai kopi kaki lima untuk mendapatkan suasana yang santai dan casual. Mereka ingin ngopi sambi melihat lalu lalang jalan dan kendaraan. Lalu ada juga orang datang ke cofeeshop untuk belajar, bekerja, rapat, berdiskusi atau hanya sekedar pencitraan kelas, menikmati desian interior kafenya bukan kopinya. Ada juga yang butuh ketenangan diri dengan datang ke cofeeshop sendiri dan menikmati kopi favorit. Namun pemaknaan kopi dan ngopi antara cofeeshop dan kopi kaki lima memliki kesamaan yaitu menciptakan ruang untuk masyarakat berinteraksi sosial dan beraktivitas sosial. Meskipun tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keduanya melahirkan dimesional yang ebrbeda mengenai lapisan kelas dan identitas yang terrepresentasikan mealui konsumsi kopi.


Sejauh ini essai utama mampu secara komprehensif memaparkan isu yang terkait cofeeshop dan kopi kaki lima. Namun memang ada beberapa poin yang menurut saya perlu ditambahkan dan dikaji ulang. Karena saya belum bisa melihat fokus isu masalah pada essai utama. Penulis masih menitikberatkan pada salah satu sisi sehingga essai terkesan memihak. Penulis tidak mengkaji secara universal kedua kedia kopi dengan pandnagan yang sama. Namun sejauh ini saya memahami apa yang ingin dismapaikan penulis di essai utama. Meskipun ada beebrapa poin yang lebih baik dihilangkan dan diganti dengan poin lain yang memeiliki korelasi dan kausalitas.


29 views0 comments

Recent Posts

See All

ความคิดเห็น


bottom of page