Denyut Beringharjo : Buruh Gendong, Jarik, dan Srumbung
- Pipin Mukharomah
- Dec 7, 2018
- 6 min read
Pipin Mukharomah
Salma Gracia Utomo

Pasar Beringharjo menjadi tempat sebagian orang mencari kehidupan setiap harinya. Roda perekonomian yang terus berputar setiap harinya. Beberapa waktu lalu, kami pernah bercengkrama dengan sebagian pekerja saat mengunjungi pasar tersebut. Bukan seorang pedagang atau pegawai, melainkan dengan kepada para perempuan pembawa beban yang sedang sehari-harinya bekerja sebagai penggendong berkilo-kilo beban setiap harinya.
Mereka adalah wanita-wanita hebat yang berprofesi sebagai seorang buruh gendong, mereka bekerja mengangkut berbagai macam barang dagangan, baik sayur, buah, pakaian, batik, maupun alat kerajian di punggungnya hanya dengan sebuah jarik/selendang.
Siapa Buruh Gendong?
Memasuki kawasan pasar tradisional di Jogjakarta, tidak jarang dapat dijumpai para pekerja pembawa beban dagangan, naik-turun tangga pasar, hilir mudik kesana-kemari. Kebanyakan dari mereka adalah seorang perempuan. Perempuan-perempuan buruh gendong bisa kita jumpai di beberapa pasar, salah satunya adalah Pasar Beringharjo. Jasa yang ditawarkan buruh gendong adalah memberikan pelayanan pengangkutan barang kepada konsumennya.
Buruh gendong dilihat secara harfiah adalah profesi gendong-menggendong barang yang dilakukan oleh seorang perempuan. Dengan kata lain buruh gendong adalah sebutan untuk seorang perempuan yang menyandang selendang jarit lurik (kain yang bermotif lurik) dan ada pula yang menenteng srumbung di punggungnya. Tetapi ada pula yang cuma sekedar menggunakan jarit lurik saja untuk menggendong barang yang besar. Srumbung dipakai untuk membawa barang yang relatif kecil-kecil tetapi dengan jumlah yang banyak (Nur Haryanto, 1998).
Dalam kesehariannya, pekerjaan perempuan (buruh gendong) dianggap sebagai hal yang biasa saja. Tetapi, jika kita pikirkan lebih dalam lagi, peran pekerja perempuan di pasar sangat membantu roda perekonomian pasar sehingga bisa berjalan. Buruh gendong merupakan salah satu alternatif pekerjaan di sektor informal. Dimana dalam ketenagakerjaan, sektor informal mampu menampung tenaga kerja tanpa proses seleksi yang berbelit-belit, dan tidak membutuhkan modal yang besar serta ketrampilan yang tinggi. Akan tetapi, apakah hanya ini alasan yang menyebabkan mereka lebih memilih pekerjaan sebagai buruh gendong dan bertahan untuk tetap menekuninya?
Perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong mempunyai peran yang penting, berperan dalam denyut pasar Beringharjo. Mereka mengangkut berbagai macam barang, mulai dari buah, sayur, sembako mulai dari pedagang menuju ke pelanggan maupun dari pelanggan ke pedagang. Mereka juga termasuk pekerja yang berperan dalam perekonomian pasar. Akan tetapi bagaimana situasi mereka? Sudahkah pekerja seperti mereka dihargai dan mendapat perlindungan untuk situasi pekerjaan dan penghidupan yang layak?
Bercengkrama dengan para buruh gendong, kebanyakan dari mereka bekerja bukan karena menginginkan pekerjaan tersebut, tetapi karena kahanan (keadaan). Banyak buruh gendong yang bekerja di Pasar Beringharjo mengungkapkan bahwa pekerjaan yang mereka geluti adalah pekerjaan yang turun temurun. Bahkan sebagian dari mereka ada yang mempunyai hubungan darah seperti ibu dan anak, kakak dan adik, dan sebagainya. Namun, ada pula yang bekerja karena ajakan teman. Satu dari sekian banyak buruh gendong di Pasar Beringharjo tersebut adalah Ibu Kasmi.
Ibu Kasmi, seorang wanita paruh baya yang lahir pada tahun 1968, beliau berasal dari Kulon Progo datang mencari sumber penghidupan di padatnya kota Jogjakarta. Beliau sudah mengangkat gendongannya sejak bangunan Pasar Beringharjo belum berdiri. Kala itu, beliau masih cukup belia untuk menjadi buruh gendong.
Ibu Kasmi bercerita kepada kami mengenai bagaiamana beliau bisa menjadi buruh gendong dan bertahan hingga sekarang ini. Awalnya beliau tinggal bersama satu keluarga yang berasal dari Kalimantan, lama-kelamaan beliau tidak enak hati karena hanya menumpang dalam keluarga tersebut.
Sampai suatu saat, Ibu Kasmi berniat untuk bekerja. Mungkin sebuah keberutungan, ada salah seorang teman yang mengajak beliau bekerja di kota menjadi buruh gendong. Awalnya Ibu Kasmi kurang senang dengan pekerjaannya karena sudah kerja nya seperti lelaki yakni mengangkat beban tetapi upah yang didapat hanya sedikit. Akan tetapi ibu Kasmi tidak menyerah, beliau tetap tekun dan mencoba semangat menjalani pekerjaannya.
Bekerja sebagai buruh gendong menurut Ibu Kasmi adalah pekerjaan pokok. Sebab, beliau hanya menggantungkan penghasilannya sebagai buruh gendong meskipun upahnya sangat tidak tentu. Ia mulai bekerja menggendong barang milik pengunjung pasar atau pelanggan tetapnya terkadang sekitar pukul 1 dini hari atau tepat saat pasar Beringharjo buka dan selesai bekerja saat pasar sudah tutup. Waktu bekerjanya memang sangat tidak menentu. Pagi-pagi buta, Ibu Kasmi sudah harus menggendong berkilo-kilo sayuran, keluar-masuk pasar, naik-turun tangga. Kemudian ketika menjelang siang, beliau menunggu panggilan dari beberapa pelanggan pasar yang baru. Ibu Kasmi baru dapat beristrihat ketika pasar sudah akan tutup atau ketika Isya menjelang.
Waktu itu, Ibu Kasmi bercerita bahwa beliau bangun sekitar pukul 1 dini hari, sebelum memulai aktivitasnya beliau melaksanakan shalat tahajud terlebih dahulu dan mempersiapkan barang-barang yang ia harus bawa. Saat itu, Ibu Kasmi tidak pulang ke rumah melainkan tidur di sekitar Pasar Beringharjo. Alasan pulang ke rumah bukan karena faktor upah, melainkan karena hujan.
Ibu Kasmi sudah memiliki pelanggan tetap, jadi beliau mengatakan sudah ada jadwalnya. Pagi-pagi sekali pelanggannya meminta ia menggendong sayur, buah, atau barang lain menuju ke dalam pasar, pekerjaan dari pelanggan tetapnya itu harus segera tuntas sebelum pasar dibuka. Beliau mengatakan beban yang digendong dipunggungnya bisa lebih dari 15 kilo setiap harinya.
Selesai menggendong barang para pelanggan tetapnya, terkadang beliau akan berkeliling sekitar pasar untuk menawarkan jasanya kepada para pengunjung pasar yang kiranya membutuhkan jasanya. Atau jika pasar sedang sepi, beliau hanya duduk-duduk, ngobrol di belakang pasar bersama teman-temannya. Ketika kami bertanya hal-hal apa saja yang beliau obrolkan dan lakukan bersama teman-temannya. Beliau menjawab hanya bergosip dan ngunjuk teh panas (minum teh pahas) sembari menunggu pelanggan.
Upah yang didapat Ibu Kasmi seperti yang kami bilang sebelumnya, ‘tidak menentu’, Ibu Kasmi tidak pernah mematok besar-kecil upahnya, beliau mengatakan, “Tergantung pelanggan kasihnya berapa”. dengan kata lain, upah yang beliau dapat hanya upah sukarela. Ibu Kasmi senang ketika ada pelanggan baru yang bermurah hati memberinya upah lebih, walaupun beliau juga merasa itu bukan karena hasil kerja nya melainkan karena faktor ‘kasihan’.
Beliau mengatakan terkadang tubuh renta nya sudah minta di istirahatkan sejenak, namun disisi lain perutnya pun juga minta di isi. Ibu Kasmi juga bercerita bahwa suatu ketika beliau pernah hanya satu hari mendapat upah sebesar sepuluh ribu rupiah, padahal hari itu beliau bekerja mengangkut barang mulai dari pukul 12 siang hingga 10 malam. Beliau merasa sakit hati karena hanya diberi upah sedikit padahal sudah bekerja hingga larut malam. Bukan hanya itu, bahkan beliau sampai menahan lapar karena tidak bisa membeli apa-apa pada waktu itu.
Meskipun Ibu Kasmi menekuni pekerjaan yang berat dan sulit, namun beliau tetap semangat, beliau mengakataan karena menjadi buruh gendhong adalah satu-satunya pekerjaan yang dapat beliau lakukan di masa tua nya. Meskipun menjalani pekerjaan yang tidak mudah, beliau mengungkapkan bahwa beliau merasa senang karena mempunyai banyak teman di sekitar Pasar Beringharjo terutama teman sesama buruh gendong.
Selama bekerja sebagai buruh gendong dari dulu hingga sekarang, beliau mengikuti kelompok atau paguyuban buruh gendong di Pasar Beringharjo. Hal tersebut membuat Ibu Kasmi menjadi lebih semangat karena mempunyai teman seperjuangan.
Jarik dan Srumbung
Aktivitas ekonomi di pasar tidak pernah berhenti, lalu-lalang manusia yang terus mencari sumber penghidupan dan mencoba saling menghidupi ada setiap harinya. Semua memiliki modal dan cara untuk dapat tetap menjalankan roda perekonomian keluarga mereka. Begitu pula dengan Ibu Kasmi, jarik dan srumbung adalah alat dan senjata untuk menghidupi keluarganya. Memikul beban hanya dengan kain panjang dan melewati lantai serta anak tangga pasar yang sama setiap harinya.
Jarik dan srumbung tidak hanya milik ibu Kasmi, seperti yang kami katakan tadi, Ibu Kasmi memiliki banyak teman seperjuangan sesama buruh gendong yang terorganisir dalam sebuah paguyuban. Paguyuban tersebut tidak diberi nama katanya, hanya sebuah kelompok berisi perempuan-perempuan buruh gendong. Setiap bulannya akan diadakan pertemuan, bukan membahas bagaimana susahnya pekerjaan mereka. Tetapi, biasanya akan membahas mengenai bagaimana solusi ketika mereka sedang sepi pelanggan. Ibu Kasmi bercerita bahwa;
“Paguyuban Buruh Gendong Beringharjo menika wonten tabungan, simpan-pinjam, pinjaman modal mbak. Amarga wonten pinjaman wau dadose rencang-rencang kula lan kula nggih semangat sek makarya”. (Paguyuban Buruh Gendong Beringaharjo ada tabungan, simpan pinjam, dan pinjaman modal. Karena ada pinjaman tersebut, jadi teman-teman saya dan saya sendiri jadi lebih semangat bekerjanya).
Paguyuban Buruh Gendong, menurut Ibu Kasmi sangat membantu perekonomian para anggotanya. Sebab, di dalam kelompok tersebut para anggota diajarkan mengenai sistem manajemen cara mengelola uang dan juga Ibu Kasmi dan buruh gendong yang lain tidak merasa khawatir lagi jika upah yang ia dapat sedikit karena mereka bisa meminjam pada kas paguyuban. Saat merasa lelah dan penat, Ibu Kasmi bersyukur mempunyai teman yang sekiranya dapat dijadikan tempat bersandar, berkumpul, dan berkeluh kesah. Selain mendapat semangat berasal dari keuarganya, ia juga mendapat semangat untuk bekerja dari teman-teman sesama buruh gendong.
Ibu Kasmi tidak hanya bercerita keluh kesah tentang pekerjaannya saja, tetapi beliau juga bercerita ada kesenangan dibalik pekerjaan menjadi buruh gendhong. Selain, menjadi punya banyak teman bercengkrama di hari tua nya, ia juga merasa menjadi perempuan yang lebih kuat karena bisa membantu perekonomian keluarga. Beliau juga sudah bersyukur dan bahagia bisa menyekolahkan anaknya hingga sekarang ini.
Harapan Ibu Kasmi
Pada akhir obrolan kami, Ibu Kasmi bercerita tentang keluh kesahnya, nasib buruh gendong yang tidak pernah dilihat oleh pemerintah setempat. Kadang jika Ibu Kasmi dan teman-temannya tidak pulang, mereka tidur di pelataran bangunan dekat Bank BRI area Pasar Beringharjo atau kadang berpindah-pindah tempat tergantung sedang hujan atau tidak.
Pernah sekali, Ibu Kasmi dan teman-temannya tidak bisa tidur karena dipelataran tersebut tidak ada terpal atau kardus untuk digunakan sebagai alas tidur. Beliau hanya meminta perlindungan dan sedikit perhatian dari pemerintah untuk memberi mereka tempat istirahat. Serta Ibu Kasmi dan teman-teman nya juga berharap agar pemerintah lebih memperhatikan nasib dan kesejahteraan para buruh gendong.
Referensi
Hidayah, Nur. (2009). Eksistensi Buruh Gendong Sebagai Pilihan Pekerjaan Di Sektor Informal. Dimensia: Jurnal Kajian Sosiologi, 3 (1).
Comments