top of page

Dewi Fortuna Sang Pemberani dalam Perang (Tawuran)

Updated: Dec 9, 2018


Ilustrasi Perempuan dalam Tawuran

Tawuran adalah peristiwa yang sering kita lihat pada remaja sekarang ini. Tawuran menjadi momok menakutkan bagi keberlangsungan norma perilaku siswa-siswi di sekolah. Tawuran adalah kenalakan remaja yang melibatkan beberapa orang dan dapat berdampak pada kerugian baik fisik ataupun materil. Menurut KBBI, tawuran berasal dari kata tawur yang berarti perkelahian massal. Tawuran menjadi hal yang seringkali dikaitkan dengan laki-laki. Tetapi, dalam kenyataannya perempuan turut serta dalam melakukan aksi tersebut. Banyak kasus yang melibatkan perempuan dalam aksinya itu. Beragam faktor in dan out yang mempengaruhi penyebab terjadinya tawuran. Dampak dari tawuran dapat membawa perubahan pada kehidupan sehari-hari. Sebenarnya, apa yang mendasari terjadinya tawuran? Apa kaitannya dengan perempuan? Dan bagaimana pandangan lingkungan sosial terhadap para perempuan ini?


Dasar dari Tawuran

Tawuran disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang paling sering terjadi adalah masalah kesalahpahaman. Hal ini menjadi pemicu rasa solidaritas antar kelompok untuk membela temannya. Terkadang, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh masalah sederhana yang menjadi besar akibat rasa emosi dan sakit hati. Terdapat juga faktor lainnya seperti memperebutkan seseorang, rasa iri terhadap orang lain dan mempertahankan harga diri. Tetapi ada beberapa kasus yang salah satunya akibat tradisi senior sekolah. Maksud dari kalimat tersebut adalah tawuran sudah menjadi kewajiban yang dilakukan turun temurun disekolah tersebut. Berawal dari senior sehingga junior kelas pun mengikuti dan berlanjut sampai sekarang. Publikasi dari web Kemenpppa (Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) menuliskan "Faktor pemancing terjadinya tawuran pun biasanya sepele, mulai dari adanya sebuah pertandingan atau nonton konser, bersenggolan di bis, berebut pacar, bahkan tidak jarang saling menatap antar sesama pelajar mampu mengawali sebuah tindakan tawuran, karena mereka menganggapnya sebagai sebuah tantangan". Selain itu, dasar dari terjadinya tawuran adalah eksistensi mereka untuk mendapat pengakuan publik.


Tulisan ini akan membahas kasus tawuran antar beberapa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Semarang, Jawa Tengah. Tawuran sering kali terjadi karena beberapa sekolah ini musuh bebuyutan sejak lama. Dasar terjadinya pun berubah menjadi perayaan jika salah satu sekolah berulangtahun. Kasus yang baru terjadi yaitu tawuran antar kedua SMK negeri di Semarang. Kedua sekolah ini bertikai didasari oleh perayaan ulang tahun sekolah. Mereka akan menyerang menggunakan benda tajam atau batu. Bahkan, mereka biasanya menghilangkan/mencongkel nama sekolah yang ada dibangunan sekolah. Media online dan cetak pun sudah banyak menuliskan mengenai tawuran antar ketiga SMK ini.

Data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menunjukkan jumlah kasus tawuran pelajar yang terjadi. Tahun 2015, anak yang menjadi pelaku tawuran sebanyak 126 kasus. Terjadi penurunan sekitar 58% yaitu di angka 52 kasus. Sedangkan kasus anak yang menjadi korban tawuran di tahun 2015 sebanyak 96. Hal ini lebih banyak dibandingkan tahun 2016 sebanyak 33 kasus.


Pertama, keluarga merupakan faktor penting dalam membentuk diri. Apa yang diajarkan sejak kecil membawa pengaruh yang besar untuk masa depan anak. Keluarga yang harmonis dan damai akan memberikan contoh pada remaja untuk bertidak sesuai norma dan nilai yang diajarkan keluarga. Dari beberapa kasus tawuran, seseorang ikut tawuran karena ada faktor dari dalam yang mendukungnya untuk berani. Faktor kekerasan dalam keluarga dan orang tua yang berpisah dapat memberikan efek depresi pada anak. Faktor ini dapat menjadikan anak sebagai pelaku tawuran.


Seperti dilansir dari bank data yang ada di website resmi KPAI, kasus kekerasan pada anak dalam kategori Keluarga dan Pengawasan Alternatif mengalami penurunan secara signifikan dari tahun 2011 hingga 2013, yakni 416 kasus di tahun 2011, 633 kasus di tahun 2012, dan 931 kasus di tahun 2014. Angka jumlah kasus tersebut mulai sedikit menurun di tahun 2014 menjadi 921 kasus damengalami penurunan yang cukup besar di tahun 2015 menjadi 822 kasus. Hingga Juli tahun 2016 ini jumlah kasus hanya berjumlah 152 kasus.


Kedua, Lingkungan membentuk karakter seseorang. Lingkungan yang dimaksudkan termasuk kedalam lingkungan teman, sekolah, dan masyarakat. Pergaulan yang bebas akan menarik seseorang untuk ikut tawuran. Terkadang, harga diri menjadi hal yang diutamakan dalam pergaulan. Banyak kasus anak ikut tawuran karena diajak teman. Hal ini juga untuk mendapatkan eksistensi di publik. Lingkungan sekolah juga berpengaruh dalam terjadinya tawuran. Peraturan yang tidak ketat menyebabkan banyak siswa berani ikut tawuran. Terkadang, guru sebagai panutan juga ikut dalam tawuran. Hal inilah yang menyebabkan siswa leluasa untuk tawuran. Lingkungan masyarakat yang tidak peduli turut memperparah kasus - kasus tawuran. Banyak masyarakat yang "lebih baik menghindar daripada mendapat masalah". Dampaknya, semakin masyarakat acuh maka tawuran akan semakin parah hingga menghilangkan nyawa seseorang.


Rini Fathonah (2017) menuliskan bahwa "Masyarakat masih cenderung apatis terhadap perkembangan permasalahan hukum yang terjadi, akibatnya sebagian masyarakat terkesan diam sehingga tidak mengetahui tindakan awal yang harus dilakukan apabila melihat atau mengetahui adanya aksi tawuran antar pelajar."


Dewi Fortuna dalam Tawuran

Dewi Fortuna dalam Perang (Tawuran)

Tawuran dilakukan tidak hanya oleh lelaki tetapi oleh perempuan. Dewi Fortuna yang dibahas dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai seseorang yang memiliki keberanian dan keberuntungan dalam mengendalikan tawuran. Biasanya perempuan ikut tawuran didasari oleh rasa solidaritas untuk temannya. Perempuan menjadi salah satu hal yang dilindungi dalam artian laki-laki biasanya menjaga perempuan yang ikut tawuran. Perempuan terkadang menjadi salah satu faktor pemicu tawuran. Hal ini karena perselisihan dalam memperebutkannya antara dua laki - laki yang berbeda sekolah. Perempuan yang ikut dalam aksi tawuran akan dianggap hebat dan ditakuti oleh beberapa sekolah. Stigma inilah yang menjadikan banyak perempuan ikut bergabung. Selain itu, perempuan lebih mudah salahpaham dibandingkan laki-laki. Hal ini memicu perempuan untuk menjadi provokator dalam tawuran.


Perempuan dianggap sebagai keberuntungan dalam aksi tawuran. Dalam aksi tawuran, perempuan dianggap sebagai sisi terlemah dari massa. Realitanya, perempuan lebih berani dalam mematikan lawan. Lawan yang biasanya laki-laki tidak akan berani menyerang perempuan. Kelemahan lawan inilah yang digunakan perempuan untuk memberikan serangan balik pada lawannya. Strategi perempuan inilah dianggap memberikan keberuntungan. Perempuan menjadi dewi Fortuna dalam memenangkan tawuran. Perempuan sebagai kebanggaan bagi massa tawuran.


Contoh kasus lain adalah tawuran antar perempuan. Perselisihan didasari karena rasa emosional yang masih labil. Dalam hal ini, jika salah satu pihak kalah, maka pihak tersebut akan memanggil kelompoknya. Provokasi ini berujung pada tawuran dengan massa yang banyak. Relasi hubungan memberikan pengaruh dalam penyebab terjadinya tawuran. Relasi yang dekat antar perempuan dan teman laki - laki inilah yang menyebabkan massa banyak. Biasanya tawuran terjadi antar kalangan Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Biasanya perempuan - perempuan pemberani ini akan terlihat pada sekolah yang mayoritas adalah laki - laki.

Perempuan - perempuan ini, merupakan perempuan yang terpengaruh lingkungan sekolah. Karena mayoritas murid adalah laki - laki maka mereka terbawa arus pergaulan. Biasanya dalam satu angkatan mereka maksimal 20 orang. Mereka adalah perempuan - perempuan yang tidak takut terluka. Setiap memiliki masalah dengan seseorang baik laki-laki atau perempuan mereka akan berani untuk menghadapi lewat kekerasan.


Dewi Fortuna(perempuan yang ikut tawuran) identik dengan rambut yang lurus panjang, menggunakan makeup kekinian, dan menggunakan seragam dengan rok yang cingkrang (pendek). Relasi mereka dengan sekolah lain biasanya sangat dekat. Mereka sangat dihormati dan dikenal oleh sekolah - sekolah lain. Baik perempuan dan laki - laki akan menghormati mereka. Mereka bagaikan dewi Fortuna bagi sekolah. Dengan relasi yang dekat mereka akan banyak mendapat bantuan dari teman - teman sekitarnya. Pada saat tawuran, sekolah lain tidak berani atau mengurungkan niat untuk tawuran karena mereka adalah teman. Perempuan - perempuan ini juga dapat menjadi pelerai dalam tawuran. Beberapa juga sebagai penggerak dalam tawuran. Jika terdapat masalah mereka tak segan untuk menggunakan fisik sebagai jalan keluar. Mereka tidak takut untuk dilaporkan. Keberanian adalah dewi Fortuna bagi mereka.


Lingkungan Memandang Mereka

Lingkungan merupakan ruang publik dimana setiap orang tubuh dan belajar. Belajar akan norma dan nilai yang diajarkan oleh masyarakat kepada individu. Masyarakat melihat tawuran seperti halnya melihat tindakan yang meresahkan. Di mata masyarakat perempuan yang ikut tawuran merupakan perempuan yang tidak baik. Perempuan tersebut, akan dibicarakan oleh masyarakat. Masyarakat akan memandang bahwa mereka melanggar nilai dan norma yang berlaku. Biasanya perempuan seperti ini, kurang mendapat apresiasi baik dari masyarakat. Pergaulan mereka akan dibicarakan sampai kepada apa yang diajarkan keluarga mereka. Masyarakat akan menilai berdasarkan apa yang mereka lihat. Masyarakat beranggapan bahwa tawuran hal yang merugikan. Latar belakang dari para pelaku tawuran akan tidak disukai oleh masyarakat.


Munculnya kembali gagasan tentang pendidikan budi pekerti, harus diakui berkiatan erat dengan semakin berkembangnya pandangan dalam masyarakat luas, bahwa pendidikan nasional dalam berbagai jenjangnya, khusus jenjang menengah dan tinggi, “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Lebih jauh lagi, banyak peserta didik sering dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan baik di sekolah, di rumah dan lingkungan masyarakat, tetapi juga sering terlibat dalam tindakan kekerasan massal seperti tawuran, dan sebagianya. (Azra, 2000). Dalam tuliasannya Maria (2007), mengatakan dengan memiliki konsep diri yang positif, maka remaja mampu melakukan tuntutan yang diberikan oleh lingkungan, sebaliknya, remaja yang memiliki konsep diri negatif (rendah) sering kali melanggar aturan dan norma yang ada dalam masyarakat yang mengarah pada kenakalan remaja


Upaya Penyelesaian

Pertama, sebaiknya pemerintah menegaskan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 59 tentang Perlindungan Anak dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial. Tujuannya agar latar belakang dari para pelaku tawuran ini dapat diatasi. Kesan traumatik yang membekas didalam pribadi setiap individu akan memicu tindakan yang agresif sehingga perlu adanya penanganan untuk anak - anak yang berasal dari keluarga broken home dan keluarga yang menggunakan kekerasan dalam mendidik anak. Pemerintah sebaiknya memberikan sanksi tegas bagi para pelaku tawuran. Selain itu, pembinaan melalui program anti tawuran dapat menjadi hal yang efektif dalam mengurangi angka kenakalan remaja.


Kedua, sebaiknya sekolah memberikan aturan yang tegas mengenai tawuran. Sekolah sebagai rumah kedua bagi siswa seharusnya memberikan bimbingan dan mengajarkan siswa untuk menjauhi tawuran. Sekolah menjadi jembatan siswa untuk memiliki hubungan baik dengan sekolah lain lewat prestasi. Seharusnya sekolah mengembangkan ekstrakulikuler yang dapat menumbuhkan prestasi dan mengurangi kenakalan remaja.


Ketiga, masyarakat sebaiknya memberikan proses belajar yang baik bagi remaja. Sebaiknya masyarakat membantu remaja dalam melatih emosi dan membentuk nilai dan norma yang baik. Masyarakat diharapkan dapat mendidik setiap individu untuk dapat bersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. Sosialisasi komunikasi akan memberikan pelajaran yang patut untuk ditiru remaja.Keluarga menjadi bagian penting dalam pembentukan karakter. Sebaiknya keluarga mengajarkan sejak dini mengenai kejujuran dan kasih antar sesama. Keluarga dianjurkan untuk mendidik anak dengan perhatian bukan kekerasan. Keluarga yang penuh perhatian dan mengajarkan tanggungjawab akan membentuk mental anak yang jauh dari tawuran. Anak akan takut untuk berbuat kekerasan.


Keempat, sebagai seorang individu, setiap orang dianjurkan untuk menguatkan iman. Artinya taat dalam beribadah dan menjauhi hal - hal yang mengarah kepada kekerasan. Setiap individu disarankan untuk menerapkan nilai - nilai pancasila dan nasionalisme didalam kehidupan sehari - hari. Dengan mengikuti tata norma dan nilai yang sda dengan baik maka karakter akan terbentuk dengan baik. Remaja juga disarankan untuk memilih pergaulan yang baik serta memilah milah trend atau mode kekinian yang ada untuk digunakan didalam kehidupan.


Daftar Pustaka

Azra, A. (2000). Pendidikan akhlak dan budi pekerti: Membangun kembali anak bangsa. Makalah dalam Konvensi Nasional Pendidikan Tahun.

Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia Tahun 2011 - 2016

Fathonah, R. (2018). Kebijakan integral terhadap penanggulangan tawuran antar pelajar (Studi kasus pada wilayah hokum Kota Bandar Lampung). Jurnal Poenale, 5(4).

Maria, U. 2007. Peran persepsi keharmonisan keluarga dan konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. Tesis. (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Pascasarjana Fakultas Psikologi UGM.


Sumber Online

https://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1405/tawuran-bentuk-kesalahan-remaja-dalam-bereksistensi&ved=2ahUKEwiX3s3v4NvdAhUER48KHWCbD54QFjACegQIBxAB&usg=AOvVaw2emE-VJMnMZxbhEf7XamtJ. Diaskes pada 27 September 2018

Web Publikasi Kemenpppa (Kementrian Permberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak)

Web Publikasi KPAI https://www.kpai.go.id/. Diakses pada 28 September 2018.

Kommentare


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page