top of page

Dr. Tuti Gunawan : Kekerasan Terhadap Wanita di Sumba

Oleh Priyanca Minerva Charillane Soselisa dan Michael Don Lopulalan.


Tenang dan ke-ibu-an, adalah gambaran awal yang saya dan teman dapatkan ketika melihat sosok Dr. Tuti Gunawan. Dengan tubuh yang sudah agak bungkuk, beliau memasuki ruangan panel. Rambut yang dikuncir dan senyum yang menghiasi bibir, menyapa semua peserta yang hadir. Baju dengan kain tenun khas Sumba dikenakannya, merepresentasikan penelitian beliau selama bertahun-tahun, cukup lama untuk akhirnya membeli rumah untuk sekedar liburan bersama suami yang merupakan pria asal Australia. Penampilan yang sungguh meneduhkan bagi semua anak rantau yang merindukan sosok seorang ibu.

Ketika beliau masuk ke ruangan, dengan kecepatan dibawah rata-rata, dan kemudian beliau mulai berbicara, telah nampak kesungguhan beliau akan penelitian beliau. Kesungguhan sepanjang perjalanan beliau meneliti nampak pada penguasaan terhadap materi yang disampaikan. Beliau bahkan msampai sudah menghafal bahasa Sumba dan telah mendalami maknanya tanpa ada jeda. Walaupun beliau telah menjadi Dosen di Australia, terlihat bahwa beliau tidak melupakan penelitian beliau selama bertahun-tahun dan nampaknya penelitian itu cukup konsisten dan serius.


Harga Perempuan di Sumba

‘Kekerasan Terhadap Para Perempuan di Sumba’ merupakan topik yang dipilih beliau. Sebagai early warning, bagian dari artikel ini akan lebih menjelaskan tentang materi yang dipaparkan oleh beliau. Dengan pengalaman yang telah beliau dapatkan dari penelitian di Sumba, membuat kami cukup takjub dengan fakta-fakta yang baru kami ketahui. Memulai presentasi dengan menjelaskan sistem kekerabatan yang ada di Sumba, membuka pemikiran awal kami tentang Sumba, karena panel ini ialah panel pertama yang kami ikuti dengan keinginan sendiri. Berdasarkan penelitian beliau, sistem kekerabatan di Sumba berupa multi unilineal, karena ada sistem martilinial serta patrilinial. Martilinial karena garis keturunan dari ibu sangatlah penting karena menurunkan ‘darah’ (ra). Patrilinial, lanjut beliau, keanggotaan dalam suatu ‘suku’ (kabihu) atau ‘rumah besar’ (uma) ditentukan oleh garis keturunan bapak. Sistem perkawinan yang ada di Sumba juga melibatkan tiga pihak, yaitu pihak pemberi perempuan (yera), pihak kita sendiri (ego), dan pihak anak perempuan kita dikawinkan (dama). Ditekankan oleh beliau bahwa ada dua poin penting. Pertama, perkawinan terdekat yang bisa dilaksanakan ialah laki-laki dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya atau disebuat dengan anak oom, atau bisa disebut mother’s brother’s daughter. Kedua, perkawinan tidak boleh timbal balik. Poin menarik lain yang saya tangkap dari presentasi beliau ialah sebelum masuknya agama Kristen atau Khatolik, tidak ada stigma di Sumba. Bahkan, anak yang lahir diluar ikatan pernikahan akan masuk ke keluarga ibunya (uma), dan disebut sebagai ‘ana oka ana gallo’ atau artinya ‘anak dari halaman kita’. Sangat menarik poin ini, karena dapat dilihat bertapa drastis perbedaannya jika dibandingkan setelah masuknya agama. Stigma entah kenapa lebih kuat karena berbagai aturan yang dibuat, misalnya seperti larangan seks diluar nikah, penganjuran suami dan istri setia satu sama lain, terjadi perbedaan kualitatif antara kesetiaan isteri dan kesetiaan suami, dan muncullah pandangan bahwa orang tua sebaiknya tidak mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya. Larangan seks diluar nikah, seperti yang telah diajarkan menurut agama Kristen dan Khatolik, sangat dikecam, mengingat ‘berzinah’ masuk dalam salah satu hukum yaitu Sepuluh Hukum Taurat. Hal ini membuat berbagai anak-anak yang dilahirkan dari hubungan luar ikatan pernikahan dianggap anak haram. Menurut beliau juga, dengan munculnya agama, kedudukan perempuan dan laki-laki, yang pada awalnya setara dibuktikan dengan penyebutan upu ama (upu adalah ayah, ama adalah ibu), menjadi isteri yang harus patuh kepada suami dan suami harus mengasihi isteri. Diajarkan dalam agama yang masuk di Sumba juga, adanya ajaran bahwa orang tua tidak boleh mencampuri urusan rumah tangga anak-anaknya, hal ini memang adanya dikatakan di dalam Alkitab. Dijelaskan di dalam Alkitab, orang yang akan berkeluarga harus meninggalkan keluarganya dan memulai keluarga baru, hal ini memuat para orang tua merasa jauh, karena dengan jelas ada penekanan kata ‘meninggalkan’. Setelah penjelasan dasar mengenai kebudayaan Sumba, Dr. Gunawan mulai menjelaskan tentang ini presentasinya kali ini, yaitu kekerasan kepada perempuan di Sumba. Menurutnya, kekerasan dapat terjadi dalam keluarga bukan hanya karena relasi kuasa yang timpang atas basis perbedaan gender ataupun jenis kelamin. Akan tetapi kekerasan dapat terjadi juga karena relasi kuasa yang timpang atas basis status sosial dan perbedaan usia.


“Dulu peperangan antar suku sering terjadi di Sumba”, begitu katanya. Kekerasan yang dimaksud oleh Dr. Gunawan ialah kekerasan dalam pergaulan, kekerasan dalam mendidik anak, kekerasan terhadap perempuan dalam ranah domestik (KDRT), dan kekerasan terhadap perempuan di luar ranah domestik (penculikan, penjualan perempuan) atau dalam bahasa Sumba sering disebut appa mawini. Ia terbatuk, menyeruput teh miliknya, meminta maaf atas kesehatannya yang terganggu pada saat itu, kemudian melanjutkan presentasinya. Pada masyarakat adat Indonesia, ada nilai-nilai dalam adat yang masih berlaku secara signifikan. Akan tetapi seiring dengan perkembangan dalam masyarakat, nilai-nilai tersebut juga dimaknai ulang oleh anggota masyarakat tersebut. Pemaknaan ulang tersebut memberikan dampak yang beragam. Salah satu contohnya adalah pemaknaan ulang yang dilakukan oleh anggota masyarakat adat di Sumba terhadap ‘belis’. Di Nusa Tenggara Timur, dikenal sistem belis dalam meminang. Belis, diumpamakan sebagai mahar. Bentuk belis yang ditetapkan itu terdiri dari mata uang logam (terbuat dari emas, perak, maupun tembaga), ternak (kerbau dan babi), kain tenun. Pada praktik selanjutnya, akibat dari perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat, sistem belis ini kemudian diberi makna berbeda. Belis, justru menempatkan perempuan tidak ubahnya komoditas dagang. Perempuan yang akan dinikahi, seolah-olah diberi harga tertentu oleh keluarganya. Harga tersebut harus dibayar oleh pihak laki-laki.


Dalam proses perkawinan di Sumba Timur terdapat prosesi yang dinamakan acara ‘ambil orang’. Esensi dari acara ini adalah acara lamaran. Pada acara tersebut pihak keluarga laki-laki datang kepada keluarga perempuan memberikan belis dalam bentuk kerbau, kuda dan emas yang berbentuk vagina (mamuli). Di samping itu ada belis pendamping yaitu sapi. Sebaliknya pihak perempuan juga diwajibkan memberi balasan berupa kain kombu, sarung tenun dan babi. Jumlahnya harus seimbang. Maksud dari balasan belis tersebut ialah supaya keluarga laki-laki dan perempuan saling menghargai. Kalau belis tidak dibalas dengan seimbang akan menyebabkan pihak keluarga suami kurang menghargai pihak keluarga istri, bahkan dapat berdampak pada terjadinya konflik di dalam rumah tangga. Beberapa tingkatan belis yang dikenal: belis putus (luhuliu purutana), belis kemoto, dan belis belum selesai.


Belis putus yang paling lazim terjadi di Sumba Timur. Dalam Belis putus, setelah belis dibayarkan secara tunai, perempuan harus keluar dari marganya dan masuk marga suaminya. Sebagai akibatnya perempuan lepas dari hak dan kewajibannya terhadap keluarga asalnya, dan dirinya menjadi hak dari keluarga suami. Apabila suami meninggal, isteri sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab dari kerabat dan keluarga suami (termasuk juga anak-anak).

Pada belis belum selesai, belis dibayarkan oleh keluarga laki-laki namun belum lunas. Keluarga perempuan masih punya hak 50% jika suami meninggal sehingga dapat mengambil kembali si perempuan. Belis kemoto juga mirip dengan belis belum lunas. Perempuan dapat diambil lagi oleh keluarganya apabila suami meninggal. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembicaraan adat antara keluarga perempuan dan keluarga almarhum laki-laki.


Banyak kasus kemudian terjadi di tengah masyarakat akibat dari pemberlakuan belis ini, Pertama, anggota masyarakat yang menghindari penebusan belis melakukan kawin lari dan keluar dari kampungnya. Mereka melakukan hal tersebut disebabkan tingginya belis yang ditetapkan oleh adat. Akibat kedua, kehidupan perempuan yang menikah di luar wilayah adat menjadi amat rentan. Mereka sering menjadi korban kekerasan karena pada umumnya suami menganggap telah lepas dari kewajiban adat dan merasa bebas dan berhak melakukan kekerasan pada istrinya tanpa diberatkan oleh sanksi adat.


Di sisi lain, perempuan yang menikah secara adat dan tetap tinggal di dalam lingkup masyarakat adatnya juga rentan terhadap kekerasan. Kerentanan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, suami yang membayarkan belis merasa telah membayar lunas untuk memperoleh istrinya. Akibatnya suami sering bertindak semena-mena terhadap istri, termasuk juga melakukan kekerasan. Kedua, dari aspek masyarakat adat sendiri, ada hal justru melestarikan tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan. Tidak jarang sanksi adat yang dijatuhkan oleh tetua adat juga tidak menghiraukan kepentingan perempuan yang menjadi korban. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual berbentuk pemerkosaan, seringkali perempuan korban pemerkosaan dinikahkan dengan pelaku. Pada kasus kekerasan terhadap perempuan, apabila korban ataupun keluarga korban memilih mekanisme penyelesaian secara adat, ada beberapa bentuk yang berbeda. Untuk kekerasan fisik, denda adatnya berupa sopi, ternak babi dan kain tenun. Maknanya adalah pelaku memohon maaf atas tindakan tersebut. Tidak hanya permintaan maaf, pemberian kain tenun merupakan simbolisasi dari adanya harapan supaya ikatan kekeluargaan yang rusak dapat dipulihkan kembali.


Berbeda halnya pada kasus kekerasan psikologis. Denda yang sama yaitu sopi, ternak babi dan kain tenun dimaksudkan sebagai permintaan maaf dan pemulih. Pemberian benda-benda itu juga bermakna bahwa korban akan mendapatkan kembali kepercayaan dirinya. Pelaku kekerasan penelantaran atau kekerasan ekonomi akan mendapat ganjaran yang sama juga berupa sopi, tenun dan ternak babi hanya saja jumlahnya berbeda dengan denda yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan fisik maupun psikologis. Makna dari denda ini adalah pelaku insyaf dan akan berkumpul lagi bersama keluarganya. Paling menarik adalah hukuman yang dikenakan terhadap pelaku kekerasan seksual. Pelaku justru akan dinikahkan dengan korban atau apabila korban menolak maka kasus ini akan dibiarkan menggantung. Penyelesaian macam ini tentu saja merugikan korban. Akibatnya, kekerasan bentuk ini jarang diselesaikan secara adat. Korban memilih untuk pergi ke jalur hukum negara. Akan tetapi pilihan korban untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dihadapinya tidak luput dari dorongan pihak keluarga.


Penutup dan Ucapan Terima Kasih

Pemaparan yang disampaikan oleh Dr. Tuti Gunawan memang agak terbatas karena mengingat kondisi fisik beliau yang tidak terlalu prima. Akan tetapi, penjelasan dan kesan yang diberikan beliau cukup membuka mata kami atas realita yang terjadi di Sumba. Kami cukup terkesan. Pengalaman yang berbicara, pikir kami. Sosok beliau yang begitu mendalami dan memfokuskan diri terhadap masalah yang merupakan kebudayaan di Sumba.


Dalam konteks kasus kekerasan terhadap perempuan pada masyarakat yang ikatan kekeluargaan masih kuat dan juga nilai-nilai sosial budaya masih dianggap mengikat, sesungguhnya masih dapat dikatakan ada opsi yang sangat variatif untuk memperoleh penyelesaian atas kasus tersebut. Dalam penyelesaian kasus dapat saja untuk tindak pidananya, kasus diselesaikan dengan melalui mekanisme hukum Negara melalui cara melapor kepada polisi. Akan tetapi untuk aspek pemulihan hubungan antara keluarga pelaku dengan keluarga korban ataupun dengan masyarakat setempat maka mekanisme yang dipilih adalah yang berdasarkan hukum adat.


“Ya, saya rasa hanya itu dari saya” tuturnya dan menutup presentasi pertama pada panel itu. “Menarik”, kata saya dan teman sambil mempersiapkan diri untuk mendengar pembicara selanjutnya sebelum kami putuskan untuk keluar panel tersebut, merokok, dan masuk ke panel yang lain karena begitu banyak panel yang mengharuskan kami untuk mengikutinya. Walaupun kami tidak sempat mengobrol banyak dengan beliau, kami mengucapkan terima kasih kepada Dr. Tuti Gunawan karena telah membuka wawasan kami, juga ucapan lekas sembuh dari kami kepada Dr. Tuti Gunawan.

Comentarios


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page