top of page

Dulunya Sesak Kini (Akan Bertambah) Lapang

Updated: Jul 3, 2019

Hanna Rahmayani Wisnuputri, Lowa Satada, Okky Chandra Baskoro

Kawasan Parkir Depan Mall Malioboro sumber: https://elantowow.files.wordpress.com/2007/08/dscf0025.jpg

Nek, aku bebas kabeh (Kalau saya bebas semuanya), kendaraan tak boleh masuk”, Sri Sultan Hamengkubuwono X (tempo.co, 2019a).


Ungkapan Gubernur DIY seperti yang dilansir dalam laman tempo.co mungkin dapat mewakili sebagian besar aspirasi masyarakat dan pengunjung di Yogyakarta. Satu dari tiga kawasan ‘istimewa’ di Indonesia ini memang memiliki daya pikat tersendiri untuk menjaring orang untuk datang. Terhitung sejak April 2016 Pemkot Yogyakarta telah melakukan pembenahaan tata kota di sepanjang jalan Malioboro. Pembenahan tersebut dilakukan karena kawasan Malioboro memiliki peranan penting dalam kehidupan pariwisata dan perekonomian masyarakat di Yogyakarta. Faktor lain sebagai pendorong dari dilakukannya pembenahan tersebut juga tergambar dari kondisi Malioboro saat itu yang sangat ramai, padat, dan cukup sesak. Di mana kondisiersebut dirasakan kurang nyaman untuk dirasakan baik bagi pengunjung maupun masyarakat.


Kawasan Malioboro yang sudah sejak lama menjadi CBD (Central Bussiness District) , memberikan sebuah warna dan memiliki citranya tersendiri bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Berbagai macam aktivitas mulai dari usaha kaki lima dan kios-kios menjadi penanda awal berjalannya kegiatan ekonomi di Malioboro. Beragamnya dinamika kehidupan yang ada dan terjadi di kawasan ini sangat beragam dan memiliki keunikan atau kekhasannya sendiri. Setiap sudut ruang yang berada di Malioboro tidak dapat lepas dari adanya kegiatan manusia seakan menunjukkan pentingnya kawasan ini sebagai ruang interaksi masyarakat. Masifnya intensitas aktivitas manusia didalamnya secara tak langsung telah menghasilkan sebuah bentuk kesemrawutan yang bersifat otentik dan lambat laun dianggap sebagai suatu citra Malioboro.


Terhitung dua hingga tiga tahun terakhir, wajah Malioboro sebagai kawasan yang ramai, padat dan sesak sedikit demi sedikit mulai berubah. Perubahan yang dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta ini berupa pembenahan infrastruktur dan pembuatan kebijakan atas penggunaan ruang di Malioboro. Perubahan konkrit dan secara langsung dapat dirasakan kini adalah terbentuknya kawasan pedestrian yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas penunjang. Perubahan atau transformasi yang sangat lekat dengan perwujudan kawasan ramah pengunjung ini turut berdampak pada kehidupan dan pengalaman masyarakat yang pernah berkunjung ke Malioboro.


Dinamika Wajah Baru Malioboro

Pembenahan yang dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta di Malioboro memberikan dampak secara signifikan dalam merubah citra kawasan ini di mata pengunjung. Pedestrian Malioboro kini dikenal sangat ramah bagi pejalan kaki dengan sudut-sudut instgramable berbeda dengan kondisi sebelumnya. Infrastruktur yang melengkapi di atasnya merupakan bentuk konstruksi pencitraan dari Pemkot Yogyakarta dalam mendukung Malioboro sebagai CBD (Central Bussiness District). Dengan banyaknya fasilitas baru seperti ruas jalan yang dilengkapi dengan poros besi untuk mendukung penyandang disabilitas, stasiun sepeda untuk mendapatkan suasana baru berkeliling Malioboro dengan bersepeda, toilet umum bawah tanah, hingga tenda-tenda baru untuk para pedagang dibangun seunik mungkin dengan bermitra bersama beberapa stakeholder. Keberadaan stasiun sepeda yang dapat di temui shelter Suroto, Taman Pintar, Terang Bulan, Benteng Vredeburg, Kepatihan, Mall Malioboro, Loko Cafe, Gondolayu, Tugu, Hotel Harper, Kedaulatan Rakyat dan Hotel Grand Zury (data shelter sepeda dari aplikasi inabike) semuanya merupakan kerja sama dari Pertamina, Mandiri, PT. WIKA dan lain-lain menunjukkan revitalisasi pedestrian ini sangat didukung oleh perusahaan besar di Indonesia.



Pekerjaan menata ulang kawasan ini selain dalam bentuk fisik juga dilakukan dalam bentuk aturan. Dahulu Malioboro sebagai daerah pusat ekonomi ini juga dikenal dengan adanya rentetan motor berjejer dipinggir jalan khususnya didekat pertokoan sepanjang jalan. Masalah parkir kendaraan menjadi tantangan utama bagi awal program pembenahan tersebut. Kebutuhan lahan parkir dekat dengan Malioboro dialihkan ke beberapa kawasan khususnya Taman Parkir Abu Bakar Ali (ABA) yang berada dekat dengan rel kereta api dan pintu masuk selatan Stasiun Tugu. Pengalihan lahan parkir atau relokasi ini menuai pro dan kontra dari berbagai pihak khususnya pengunjung atau masyarakat yang bekerja di kawasan Malioboro. Pada awal pemberlakuan kebijakan tersebut muncul berbagai aksi protes seperti pelarangan pengunjung untuk parkir di sisi Timur Jalan Malioboro dilakuakn oleh juru parkir sebagai bentuk penolakan atas relokasi (republika.co.id, 2016). Diluar dari pro-kontra relokasi parkir, terdapat dampak positif maupun negatif bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar. Sisi positifnya adalah kawasan Malioboro lebih rapi, tertata, dan enak dipandang dibanding sebelumnya dimana motor maupun mobil bebas parkir di kanan kiri jalan serta kemacetan yang dahulu menjadi ciri Malioboro menjadi sedikit berkurang. Tetapi disisi lain ada beberapa pihak yang merasa dirugikan dengan relokasi yang berjalan, misalnya para pedagang kaki lima yang terpaksa harus menaati peraturan untuk tidak berjualan disembarang jalan atau harus menurut kepada penempatan yang diberikan oleh pemerintah lewat UPT (Unit Pelaksana Teknis) Malioboro dan terancamnya profesi juru parkir diawal pemberlakuan kebijakan ini.


Pemerintah tentunya mempertimbangkan terkait pihak-pihak yang pasti akan terpengaruh dengan diadakannya relokasi tersebut. Malioboro yang merupakan salah satu destinasi wisata utama di kota Yogyakarta tentunya memiliki pengunjung yang sangat banyak. Dengan banyaknya pengunjung serta faktor tempat wisata biaya parkir sebagai salah satu bentuk retribusi tentunya sedikit lebih mahal dari biasanya, sehingga banyak warga setempat yang memanfaatkan kondisi dengan menjadi juru parkir. Lalu bagaimana dengan kondisi saat ini dimana semua wisatawan dianjurkan untuk memarkirkan kendaraannya di Taman Parkir ABA? Dalam menanggulangi permasalahan yang mungkin muncul dari kebijakan ini, pemkot telah menghimbau para juru parkir ini untuk pindah ke Taman Parkir ABA. Meski awalnya himbauan ini ditaati oleh beberapa orang, lambat laun mulai muncul bentuk penolakan atau jikalau mereka awalnya menerima banyak yang kemudian pergi atau mencari pekerjaan lain.


Kami kemudian disini mewawancarai beberapa orang yang bekerja sebagai juru parkir di kawasan Malioboro untuk mengetahui bagaimana pengalaman mereka sebelum relokasi, saat relokasi, maupun setelah relokasi berlangsung. Informan kami yang pertama bernama Bapak Sardi yang merupakan seorang juru parkir di daerah Ketandan, tepatnya lewat gapura masuk kampung Ketandan (sebelah Pusat Perbelanjaan Ramayana) kita lurus ke Timur dan letak kantong parkirnya berada disisi kiri sebelum perempatan kecil disana. Lahan parkiran yang digunakan ini adalah kepemilikan pribadi tidak terikat dengan dinas pemerintah setempat. Disini terdapat 3 orang petugas parkir yang bekerja dengan sistem shift pagi yang dimulai dari pukul 06.00 hingga 15.00 wib dan shift sore dimulai pukul 15.00 hingga 23.00 wib. Dahulu sekitar tahun 2000an Pak Sardi menjadi juru parkir di samping mal Ramayana dan saat itu lahan parkir yang digunakannya sekarang itu disewa oleh pihak Ramayana yang digunakan sebagai tempat parkir para karyawannya. Tetapi karena harga sewa yang terus meningkat maka kontrak diputuskan dan selanjutnya oleh Pak Sardi digunakan untuk membuka tempat parkir umum milik pribadi.



Mengenai relokasi lahan parkir yang telah terjadi awalnya tidak pernah ada sosialisasi dalam bentuk apapun yang dilakukan pemerintah setempat untuk membicarakan rencana tersebut serta nasib para juru parkir setempat. Beliau mengaku mengetahui rencana tersebut melalui surat kabar seperti koran, berita di tv, maupun radio. Kemudian ketika relokasi akan segera dilakukan para juru parkir ini ditawarkan untuk ikut berpindah ke Taman Parkir ABA. Beliau mengaku hampir semua orang menerima penawaran tersebut dan berpindah ke Taman Parkir ABA. Tetapi seiring berjalannya waktu mereka sadar jika penghasilan mereka di tempat parkir yang baru tidak sebanyak dahulu ketika menjadi juru parkir di sepanjang jalan Malioboro. Taman Parkir ABA cenderung sepi karena jaraknya sendiri jauh dari Malioboro dan pengunjung cenderung enggan berjalan jauh. “ABA itu nggak payu (laku), karena kejauhan . Orang-orang pasti tidak mau berjalan jauh sampai sini” kata Bapak Sardi. Dimulai dari situ lalu muncullah kantong-kantong parkir di gang-gang sempit di sekitar Malioboro seperti yang ia bangun ini.


Kawan-kawan Bapak Sardi yang dahulunya ikut pemerintah untuk ditempatkan di Taman Parkir ABA beberapa bertahan tetapi sebagian besar membuka kantong parkir seperti dirinya atau ada pula yang beralih profesi menjadi pedagang misalnya. Biaya parkir di kantong-kantong parkir kecil ini memang cenderung mahal apalagi mendekati Hari Raya Lebaran seperti saat ini. Untuk Motor bisa kisaran Rp. 4.000 hingga Rp. 5.000 dan untuk mobil bisa mencapai Rp. 20.000. Beberapa kantong parkir di gang-gang ini juga menyewakan jasa parkir dengan jangka waktu bulanan. Di tempat Bapak Sardi ini harga sewa jasa parkir untuk motor sebulannya sebesar Rp.60.000, sedangkan untuk mobil ia tidak membuka sewa dan hanya menerima parkir harian biasa karena tempatnya tidak akan memadai jika terlalu banyak mobil yang menempati. Mengenai biaya parkir yang mahal ini menurut beliau adalah wajar mengingat sangat sulitnya mencari tempat parkir di Malioboro pasca relokasi, meskipun demikian masih banyak pengunjung yang protes denggan tarif tinggi yang diminta. Tetapi untuk tiap keluhan pengunjung ini Pak Sardi hanya menjawab “Ra gelem yowes, wong aku ra mekso”. Biaya parkir yang tinggi ini menurutnya tidak sebanding dengan lamanya para pengunjung memarkirkan kendaraannya sembari berjalan-jalan di Malioboro.


Bapak Sardi tidak sepenuhnya memandang relokasi yang telah berlangsung memberi dampak negatif bagi dirinya. Bahkan dengan penataan ruang di Malioboro saat ini ia menganggap sangat baik dilakukan. Beliau mengatakan jika “Malioboro saiki luwih padang wong akeh lampu-lampune, sedep di delok, lan ora semrawut motor-motor”. Pak Sardi menilai Malioboro memang menjadi lebih indah saat ini karena lebih terang dengan banyaknya lampu-lampu jalan dan indah dipandang karena tidak seperti dahulu yang sesak oleh motor-motor. Selain itu ia pun juga mengungkapkan jika relokasi ini justru mendatangkan keuntungan bagi gang-gang kecil disekitar Malioboro karena adanya peluang ekonomi berupa menyewakan atau membuka lahan-lahan parkir.


Kawasan Malioboro selain dikunjungi oleh wisatawan, tidak menampik adanya kunjungan warga lokal Yogyakarta atau disekitarnya untuk mengunjunginya. Menurut Nia, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga, selama 6 tahun ia menghabiskan masa sekolah menengahnya di madrasah yang tidak jauh dari Malioboro. Ketika mendapatkan hari libur, ia biasanya jalan-jalan bersama teman-temannya di Malioboro, sekedar refreshing dari aktivitas madrasah dan asrama. Menurutnya, sebelum direvitalisasi kawasan pedestrian Malioboro terkesan sangat penuh dengan parkiran motor, sehingga menyusahkan pejalan kaki untuk lewat dengan leluasa. Hanya di beberapa bagian pedestrian saja yang dapat digunakan secara leluasa oleh pejalan kaki seperti pada kawasan pedestrian di depan istana negara dan Museum Vredeburg yang tertata luang dan mempunyai fasilitas yang memadai seperti tempat duduk dan berteduh. Pedestrian dari pelataran Pasar Beringharjo hingga Mall Malioboro dipenuhi oleh motor, becak dan andong yang parkir. Karena tidak teraturnya parkiran dan pedagang kaki lima di pedestrian tersebut, kesan yang ditampilkan Malioboro terlihat kumuh dan tidak teratur. Karena yang datang ke Malioboro bukan hanya pedagang dan wisatawan saja, namun juga warga Yogyakarta baik sekedar berbelanja atau berjalan-jalan di kawasan sekitar.


Menuju Lapang

Langkah pembenahan tata ruang di Malioboro memang dapat dikatakan cukup berhasil dan kini dapat dirasakan secara langsung keberadaannya bagi masyarakat. Dijadikannya Malioboro sebagai kawasan pedestrian ini merupakan sebuah langkah berani yang ditempuh pemkot. Disamping pembangunan dan pemanfaatan fasilitas pendukung Malioboro sebagai kawasan wisata, baru-baru ini muncul kebijakan baru untuk mendukung kawasan ini sebagai pedestrian seutuhnya. Dilansir dari beberapa media daring, akan mulai diberlakukan pembatasan lalu lintas hingga tidak diperbolehkannya lagi kendaraan bermotor untuk masuk ke Malioboro (tempo.co, 2019b). Wacana pembatasan bahkan pelarangan kendaraan untuk masuk kawasan ini rencananya akan dilaksanakan pada minggu kedua Juli atau setelah masa libur Lebaran berakhir. Wacana kebijakan ini yang disampaikan sendiri oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X dan disetujui oleh Kapolda DIY (tribunnews.com, 2019) seakan memberikan sebuah bentuk keseriusan pemerintah untuk mewujudkan Malioboro sebagai kawasan pedestrian. Hal tersebut juga didukung dengan mulai dirancangnya rekayasa lalu lintas oleh Polda DIY untuk melaksanakan kebijakan ini sewaktu-waktu jika dibutuhkan.


Dengan santernya wacana pembatasan kendaraan hingga pelarangan kendaraan masuk kawasan Malioboro menunjukkan adanya dahaga pemkot untuk menata ulang kota Yogyakarta yang banyak dianggap masyarakat sangat semrawut. Kawasan Malioboro sebagai ikon wisata sekaligus patokan utama dalam membentuk citra Yogyakarta memiliki urgensi untuk ditata. Kebijakan pembenahan tata ruang kota yang dimulai dengan penataan Malioboro cukup ambisius untuk dilakukan oleh pemkot. Hal ini dapat dipahami sebagai sebuah bentuk keseriusan dalam penataan kota dan me-refresh kembali citra Kota Yogyakarta sebagai tempat yang nyaman. Meski begitu pemberlakuan kebijakan demi kebijakan pembenahan ruang khususnya di Malioboro dirasa kurang tepat sasaran. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Sardi di mana setiap kebijakan yang diberlakukan terkesan sangat buru-buru karena kurang menyebarnya informasi secara merata kepada masyarakat sekitar. Padahal masyarakat yang tinggal disekitar kawasan ini khususnya para juru parkir secara tak langsung akan menjadi paling terdampak. Kehilangan mata pencaharian mungkin banyak dianggap sebagai sebuah tantangan terbesar bagi para juru parkir meskipun hal ini bukanlah masalah utama. Perlu adanya adaptasi menjadi sebuah permasalahan yang secara tak langsung harus bisa ditemukan solusinya oleh mereka sendiri.


Disisi lain pengunjung sebagai orang yang paling diuntungkan dari kebijakan ini juga mengalami perubahan persepsi tentang Malioboro. Seperti yang disampaikan oleh Nia, pengalamannya tentang Malioboro menjadi berubah sebelum dan sesudah penataan dilakukan. Kesan padat, sesak dan kurang nyaman kini mulai tergantikan dengan kesan lapang dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Ditambah dengan munculnya fasilitas-fasilitas publik yang dapat ditemui sepanjang jalan telah memunculkan kesan baru terhadap kawasan wisata dan bersejarah ini.


Refleksi

Upaya pembenahan dan pembaruan di Malioboro telah menjadi sebuah fenomena menarik untuk diperhatikan saat ini. Perubahan fisik kota yang diasosiasikan dengan perubahan sosial masyarakatnya memang telah banyak disinggung oleh peneliti sosial dalam studi perkotaan. Upaya pemkot untuk melakukan pembenahan Malioboro secara tak langsung juga sebagai bentuk re-branding Yogyakarta kepada masyarakat dan pengunjung. Citra Malioboro dengan narasi romantis yang banyak ditemui dalam berbagai situs promo wisata seakan membekas dalam benak masyarakat dan wisatawan saat berkunjung ke Malioboro. Kesemrawutan seakan menjadi komponen utama yang membentuk citra otentik ini jadi dimaklumi oleh pengunjung (Afifah Nur, 2015).


Konstruksi citra yang terjadi di Malioboro ini sangat bergantung pada interaksi yang terjadi didalamnya. Menurut Riomandha (1998) terbentuknya sebuah persepsi dan pemahaman akan Malioboro bukan hanya dibentuk oleh individu atau kalangan tertentu saja, tetapi dilihat dari hasil negosiasi yang terjalin diantara berbagai aktor yang ada. Bentuk negosiasi antar aktor yang terjadi dalam kasus ini turut dipengaruhi dengan berubahnya lingkungan tempat aktivitas manusia terjadi. Adanya adaptasi terhadap lingkungan baru menjadi sebuah kunci untuk melihat bagaimana perubahan ruang fisik dapat mempengaruhi sikap masyarakat.


Kesan atau citra Malioboro yang perlahan coba diubah oleh pemkot agar sesuai dengan bentuk ideal dari tempat wisata memang memberikan sebuah perubahan persepsi bagi pengunjung. Kawasan Malioboro yang dulunya sangat lekat dengan kemacetan, padat, sesak, dan kurang nyaman kini mulai coba dirubah dengan penataan untuk melahirkan kenyamanan. Berubahnya persepsi terhadap Malioboro menjadi penanda adanya pergeseran konstruksi citra yang terbangun dalam benak pengunjung dan masyarakat. Perubahan ini yang juga didukung dengan ekspose media terhadap perubahan secara tak langsung turut mempengaruhi terbentuknya konstruksi citra yang baru. Dengan berjalan dan langgengnya konstruksi citra baru Malioboro menjadi sebuah komponen baru pembentuk autentisitas kawasan ini. Dengan terbentuknya citra baru Malioboro telah membawa dampak baik secara positif maupun negatif dan seakan hal ini tidak dapat dihindari seiring dengan terus terjadinya perubahan.


Daftar Pustaka

1. (Skripsi) Afifah Nur, Ika. 2015. Semrawut: Sebuah Eksplorasi Autentisitas Malioboro.Yogyakarta

2. (Skripsi) Riomandha, Transpiosa. 1998. Malioboro dan Frontierisme: Sebuah Dunia Kaki Lima. Yogyakarta


Sumber Media

1. tempo.co, 2019a. Sultan HB X Setuju Kawasan Malioboro Bebas Kendaraan Bermotor [Online]

Available at: https://nasional.tempo.co/read/1210143/sultan-hb-x-setuju-kawasan-maloboro-bebas-kendaraan-bermotor/full?view=ok (Accessed 30 Mei 2019)

2. tempo.co, 2019b. Dilarang Pakai Kendaraan Bermotor ke Malioboro Usai Libur Lebaran [Online]

Available at: https://travel.tempo.co/read/1210034/dilarang-pakai-kendaraan-bermotor-ke-malioboro-usai-libur-lebaran (Accessed 30 Mei 2019)

3. Republika.co.id, 2016. Jukir Kawasan Malioboro Protes Relokasi Lahan Parkir [Online]

Available at: https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/o4j0io382/jukir-kawasan-malioboro-protes-relokasi-lahan-parkir (Accessed 1 Juni 2019)

4. TribunJogja.com, 2019. Kapolda dan Gubernur DIY Dukung Uji Coba Pedestrian Malioboro [Online]

Available at: http://jogja.tribunnews.com/2019/05/29/kapolda-dan-gubernur-diy-dukung-uji-coba-pedestrian-malioboro?page=2 (Accessed 1 Juni 2019)

35 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page