top of page

[EA#4] Malioboro dengan Kebijakannya

Paskalia Gracia, Nandito Jodi, Safira Adi


Kota Yogyakarta, menjadi salah satu destinasi tujuan yang sering dikunjungi oleh para pelancong domestik maupun luar domestik. Kota ini juga berhasil menyabet gelar sebagai Kota gudeg, Kota pelajar, Kota budaya, Kota pendidikan, dan masih banyak lagi. Selain itu, Kota ini juga mempunyai banyak destinasi pariwisata yang mampu menarik banyak perhatian, tidak hanya destinasi pariwisata kuliner saja, tetapi juga destinasi pariwisata belanja dan budaya nya, salah satu destinasi nya adalah Malioboro. Destinasi Malioboro terletak di jantung kota pelajar ini atau yang lebih dikenal dengan titik nol kilometer nya Yogyakarta. Deretan Malioboro pun penuh dengan para pedagang kaki lima dan sekaligus menjadi saksi sejarah dalam perubahann sosial dan kebijakan daerah Malioboro. Tidak hanya para pedagang saja, salah satu Kampung Tionghoa bernama Kampung Ketandan juga menjadi saksi sejarah dalam perubahan di Malioboro. Semakin malam semakin ramai, romantisme Malioboro semakin dipertunjukkan dengan hiasan cahaya lampu kendaraan dan lampu jalan, berjejer jejer toko dan mondar mandir para pendatang maupun penetap di Yogyakarta.

Selain itu juga, Malioboro juga menjadi salah satu saksi transmigrasi pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan nya, seperti salah satu Ibu yang berjualan jamu di depan teras Mall Malioboro sebut saja Ibu Partinah yang sehari hari berjualan Jamu di tempat tersebut. Ibu Partinah asli dari Klaten dan menetap di kontrakan daerah Pingit. Ibu Partinah mempunyai 3 anak dengan masing masing sudah ada yang berkeluarga, bersekolah dan bekerja. Beliau menceritakan terkadang jika bahan bahan untuk membuat jamu di daerah Yogyakarta habis, beliau harus pulang ke Klaten untuk membeli bahan bahan tersebut. Sementara, rumah kontrakan hanya tempat untuk beristirahat saja, sehari harinya beliau di Klaten. Beliau tidak hanya bekerja sebagai penjual jamu saja, terkadang waktu tertentu ibunya memilih untuk mengurus sawahnya. Disaat saya dan teman mewawancarai, beliau merasa agak risih jikalau mulai muncul petugas Jogoboro mulai beraksi dan mau tidak mau Ibu Partinah harus beralih ke tempat lain, waktu itu jam menunjukkan pukul 11.45

Begitupun juga dengan seorang bapak bernama pak Kirman, beliau seorang pelukis siluet. Selain itu, beliau juga seorang guru ekstrakulikuler Seni lukis SD Negeri 3 Sedayu. Beliau mempunyai 3 anak, 2 anaknya sudah bekerja dan 1 nya masih bersekolah di tingkat SMA. Sementara, dari salah satu anaknya yang bekerja sudah ada yang menikah dan calon mertua nya adalah lulusan pertanian UGM. Alhamdulillah, beliau sudah mempunyai penghasilan yang cukup dari pekerjaannya tersebut, dari tamu tamu yang dilukis oleh beliau termasuk tamu tamu terkenal seperti Anies Baswedan- dll dan juga pernah mendapatkan pesanan dari pejabat salah satunya bapak presiden Jokowi, serta juga mempunyai channel di Youtube. Selain itu, beliau menanggapi mengenai pengusiran yang dilakukan oleh Jogoboro dan tanggapannya adalah ya sudah biasa mba diusir oleh Jogoboro (mungkin lebih alusnya nya disuruh pindah) dan mau tidak mau harus berpindah dan beliau tidak hanya di Malioboro saja, tetapi juga di tempat lain.

Melihat wawancara tersebut, Malioboro seakan akan mempunyai ‘privatisasi’ ruang publik seperti hal nya pelataran depan Malioboro dan sekitarnya. Dampak ‘privatisasi’ tersebut mengakibatkan para PKL ini harus bergabung dengan paguyuban yang mengurusi perijinan pedagang. Kebijakan tersebut sebenarnya sudah terencana saat Haryadi Suyuti menjadi Wakil Walkot dengan Herry Zudianto dan secara tidak langsung para pedagang yang mendaftar ke paguyuban yang dimaksud sudah terikat ‘kontrak politik’ dengan Haryadi. Tidak hanya kebijakan tersebut saja yang diterapkan, tetapi sudah banyak kebijakan kebijakan lainnya seperti wacana pemindahan para PKL ini dan itupun ternyata tidak terealisasikan.

23 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page