top of page

Embung Tengah Kota: Si Pojok Hijau Multifungsi

Updated: May 6, 2019

Reza Altamaha, Lowa Satada, Hanna Rahmayani, Okky Chandra B.

Sekelompok orang sedang memancing di salah satu sudut Embung Langensari

Yogyakarta merupakan satu dari sekian banyak kota yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan pesat dan mulai dianggap sebagai salah satu kota penting di Indonesia. Setali tiga uang dengan kota metropolitan di Indonesia, permasalahan sosial dan ekologi turut mengiringi sejalan dengan masifnya pembangunan di kota. Copper dan Griffith (1994) dalam (Ratnasari, 2015) menjelaskan bahwa pertumbuhan kota sering dituduh sebagai penyebab degradasi lingkungan terutama apabila pertumbuhan populasi penduduk kota sudah melebihi kapasitas daya dukung lingkungannya.


Permasalahan lain yang turut timbul adalah kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) akibat dari pembangunan infrastruktur kota dengan tujuan memfasilitasi kebutuhan publik dan berdampak pada berkurangnya ruang hijau di perkotaan (Ratnasari, et al., 2015, p. 197). Berkaca dengan kondis sekarang, Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) UGM, Dwi Ardianta Kurniawan, ST., M.Sc., mengatakan bahwa di wilayah Kota Yogyakarta sangat sulit mendapatkan lahan kosong untuk dijadikan lokasi RTH. Ia mencontohkan penduduk yang bermukim di bantaran sungai seharusnya direlokasi karena daerah tersebut masuk dalam kategori ruang terbuka hijau. Namun, untuk melakukan relokasi tanpa menyiapkan lahan pengganti juga bukan perkara gampang (Universitas Gadjah Mada, 2017).


Kembali pada persoalan ketersediaan RTH, sebenarnya telah termuat regulasi yang mengatur tata kelola keruangan kota khususnya ketersediaan ruang terbuka hijau. Sesuai dengan Undang-Undang no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dimana disyaratkan luas RTH minimum sebesar 30% dari luas wilayah kawasan perkotaan, terbagi menjadi RTH Publik minimal 20% dan RTH Privat minimal 10% (Nugroho, 2015). Pada kenyataannya, terjadi penurunan kuantitas Ruang Terbuka Hijau secara signifikan di kawasan perkotaan menyebabkan penurunan kualitas ruang terbuka publik perkotaan. Masalah ketersediaan RTH di Kota Yogyakarta yang seharusnya mencapai 30% dari keseluruhan ruang nyatanya baru mencapai sekitar 18% (Harian Jogja, 2018). Hingga saat ini alokasi RTH di Kota Yogyakarta sebagian besar digunakan untuk taman interaktif dan ruang terbuka layak anak.


Meski masih kurangnya jumlah ketersediaan RTH di Kota Yogyakarta, sebetulnya kota ini memiliki Ruang Terbuka Hijau yang mudah diakses oleh masyarakat luas. RTH yang dimaksud disini adalah embung. Embung secara singkat dapat dijelaskan sebagai cekungan yang berfungsi untuk mengatur dan menampung suplai aliran air hujan serta untuk meningkatkan kualitas air di badan air yang terkait (Pusat Bendungan Direktorat Sumber Daya Air, 2016). Keberadaan embung ihwalnya terletak di pedesaan guna mewujudkan kedaulatan pangan, bahkan pemerintah menganggarkan sebagian dari dana desa untuk pembangunan embung (Suyatno, 2017).


Diantara berbagai embung di Yogyakarta, pilihan utama jatuh pada Embung Langensari yang berada di wilayah Kota Yogyakarta serta Embung Tambakboyo sebagai perbandingan. Embung Langensari menarik perhatian kami terlebih dengan kehadirannya di tengah kota dan cukup tidak teramati dari keramaian lalu lalang kendaraan. Sebagai sebuah kawasan terbuka hijau yang belum lama ini dibuka untuk umum, kehadiran embung telah menjadi salah satu alternatif bagi penduduk kota untuk berolahraga, memancing, maupun bersantai menikmati suasana lain ditengah hiruk pikuk kota.


Selayang Pandang Langensari

Lawatan menuju Embung Langensari kami lakukan pada 18 April 2019 yang lalu. Sebelum berkunjung kesana, kami sempat mengulik beberapa informasi terkait Embung Langensari terutama lokasinya yang berada di wilayah Klitren, Kecamatan Gondokusuman dan jam beroperasinya yang buka sejak pukul 07.00-18.00 WIB. Diperlukan kejelian untuk mengamati letak embung karena pepohonan disekitarnya cukup lebat seakan menutupi keberadaannya.


Bangunan yang dijadikan ancer-ancer atau patokan untuk menuju ke Embung Langensari adalah Balai Yasa Pengok atau oleh penduduk sekitar sering disebut sebagai Bengkel Sepur. Memasuki kawasan Embung, seperti pengunjung lain, kami harus memarkirkan motor di tempat parkir yang tersedia serta membayarkan retribusi sejumlah dua ribu rupiah. Melongok ke bagian luar sebelum kami memarkirkan motor, selain dihiasi rerimbunan pohon, embung ini juga dilindungi oleh pagar besi yang mengitari sekeliling. Ada juga beberapa kios PKL bertebaran baik di area luar maupun dalam embung. Tak jauh dari pintu masuk terdapat Gedung Edukasi yang sayangnya tidak dibuka sore itu. Usut punya usut, kata seorang pedagang minuman, gedung tepat di sampingnya berdagang ini hanya dibuka ketika ada kunjungan maupun kegiatan edukasi sekolah.


Aktivitas di Langensari

Beranjak dari parkiran, pandangan kami tertuju pada pameran burung kicau yang menjadi pusat perhatian pengunjung pada sore itu. Seorang ibu penjual es memberitahukan bahwa komunitas pecinta burung kicau secara rutin berkumpul di Embung Langensari setiap hari Selasa dan Kamis sore untuk memamerkan burung kicau yang mereka miliki. Setelah mengamati lebih lanjut, orang-orang yang berkumpul di sekitar arena pameran burung tak terbatas di usia dewasa atau tua saja, tetapi terlihat berseliweran anak-anak dan remaja turut menyaksikan gelaran yang sedang berlangsung. Sedari di area parkir, suara kicauan burung-burung tersebut memang mengalihkan perhatian kami dari keberadaan embung, karena tidak mengira akan menemukan komunitas pecinta burung di area embung.


Sekumpulan orang berkumpul memperhatikan kontes burung kicau

Beranjak dari pameran burung kicau, kami mendapati bahwa sore ini Embung Langensari dikunjungi cukup banyak pengunjung. Perhatian kami langsung beralih pada tulisan “Embung Langensari” yang berukuran cukup besar dan nampaknya menjadi penanda tempat ini, karena kami pun tidak menemukan adanya prasasti atau batu penanda yang biasanya didirikan di suatu bangunan atau tempat. Justru tulisan berwarna merah pudar tersebut terkesan agak kontras dan cukup menarik perhatian pengunjung. Sambil duduk memandangi sekitar, kami menjumpai beberapa anak sedang berkejar-kejaran di dekat tulisan tersebut dengan orang tuanya yang mengamati dari jarak yang agak jauh. Selain itu ada juga muda-mudi yang berswafoto dengan latar tulisan yang instagramable tersebut.



Landmark sekaligus panggung terbuka

Embung sebagai infrastruktur utama dilengkapi dengan beberapa fasilitas pendukung bagi pengunjung untuk berolahraga, memancing, atau sekedar menikmati suasana sore hari. Hadirnya jalan kecil yang mengelilingi embung dan cukup rapi karena telah dibangun menggunakan paving block menjadi lintasan jogging, sepeda, dan juga jalur pedestrian bagi pengunjung. Oleh karena itu, orang-orang yang jogging maupun bersepeda lumayan leluasa beraktivitas meskipun jalanannya tidak begitu luas. Bagi yang jogging, kami amati para pelakunya berada di kisaran usia remaja hingga dewasa dan ada sekitar empat sampai enam orang. Di sisi lain, kami jumpai anak-anak bermain atau bersepeda di beberapa sudut. Selain dua olahraga tersebut, ada satu atau dua pengunjung yang meluncur menggunakan sepatu roda di area embung yang dilapisi dengan lantai keramik yang letaknya berada di sekitar tulisan “Embung Langensari”.


Aktivitas lain yang dapat ditemui di Embung Langensari adalah memancing. Kami amati ada cukup banyak orang yang sedang memancing di area embung. Terdapat plang yang menjelaskan kalau di embung ini memang sengaja disebar benih ikan, namun bagi para pemancing dilarang memancing dengan beberapa cara, semisal nyantrik, meracuni air, maupun menggunakan alat penyetrum. Menariknya, ada beberapa orang pemancing yang mengelompok di sisi utara embung dekat dengan gedung edukasi. Ada pula yang tersebar di sisi selatan embung. Selain itu kami lihat juga ada yang memancing di luar area embung, yang dibatasi oleh pagar besi.


Beberapa hal unik dari para pemancing disini adalah alat pancing mereka yang ukurannya lebih panjang ketimbang alat pancing yang biasa digunakan untuk memancing, malah terlihat seperti alat pancing yang biasa digunakan untuk memancing di laut. Selain itu ada juga aktivitas unik dari para memancing ketika menunggu umpannya disambar ikan, ada yang sambil bersantai sambil berbaring di kursi kayu yang tersedia di area embung, ada juga yang sambil ngopi maupun bercengkrama dengan pemancing lainnya.


Sayangnya kebersihan embung di beberapa sisi kurang diperhatikan, seperti adanya kotak sampah yang telah penuh dan tidak kunjung dibuang. Ada juga sampah yang berserakan di dekat area tempat duduk depan tulisan Embung Langensari. Beberapa kali kami juga mencium aroma tidak sedap di area embung yang berdampingan dengan rumah warga, di aliran airnya terlihat sampah-sampah terbawa aliran air. Menjelang tutupnya embung, orang-orang masih cukup ramai menikmati sore mereka di embung ini, meski ada sebagian orang tua yang memanggil anak-anaknya yang sedang bermain di sekitaran embung untuk segera pulang.


Berpindah ke Tambakboyo

Beralih dari Langensari yang berada di kawasan tengah kota, Embung Tambakboyo menjadi tujuan kedua kami. Embung yang berada di tengah pemukiman penduduk di kawasan Condongcatur ini namanya sudah cukup dikenal dengan areanya yang cukup luas. Pertumbuhan pemukiman yang semakin tinggi di Daerah Aliran Sungai (DAS) khususnya pada wilayah pertemuan hilir Sungai Tambakboyo dan Sungai Buntung mengakibatkan daerah resapan air menyempit dan volume air tanah berkurang karena sebagian besar masyarakat mengonsumsi air tanah dengan membuat sumur-sumur dangkal. Embung Tambakboyo dibangun sebagai upaya pelestarian air dan meminimalkan risiko bencana seperti banjir dan longsor. Namun fungsi embung ini tak hanya berputar pada mitigasi bencana saja, tetapi juga berfungsi sebagai ruang terbuka hijau yang kemudian digunakan masyarakat sebagai sarana refreshing, peningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat yang tinggal di sekitarnya dan perkembangan potensi wisata di sekitar embung tersebut.



Panorama Embung Tambakboyo

Pembangunan Embung Tambakboyo menurut analisis ekonomi yang dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum (PU) tidak semata-mata dari aspek finansial saja, namun juga mempertimbangkan kebutuhan publik dan pengembangan potensi pariwisata. Kementrian PU setidaknya ada tiga fungsi utama yang terpenuhi dengan adanya Embung Tambakboyo, yaitu fungsi konservasi, wisata lingkungan dan perikanan. Ketiga fungsi tersebut diharapkan dapat melahirkan efek multifier bagi pembangunan wilayah seperti, peningkatan usaha perdagangan, peningkatan pendapatan penduduk, pengurangan pengangguran dan peningkatan pendapatan daerah.

Latihan bersama kuda, pemandangan yang dapat dijumpai di Tambakboyo

Kawasan Tambakboyo jauh dari hiruk pikuk kendaraan dan area yang lebih luas dibandingkan dengan Langensari mempunyai daya tarik tersendiri bagi pengunjung maupun masyarakat sekitar.

Pada kunjungan kami sore itu, Sabtu 20 April 2019 nampak kawasan ini cukup ramai dikunjungi masyarakat. Pada kesempatan itu, kami banyak menemukan pengunjung melakukan lari (jogging) mengelilingi embung, memancing, berpiknik, bahkan mencari sudut-sudut instagramable untuk berswafoto. Beberapa muda mudi berkumpul di salah satu sudut Embung Tambakboyo yang memiliki kesan pemandangan seperti resort wisata--dikelilingi hutan hijau, kantor pusat kost eksklusif D'Paragon, dan sekolah khusus penerbangan yang dinaungi oleh Cambridge International College for Aviation (CICFA). Selain itu, pada tahun 2017 dibukanya D’Paragon Horse Riding Club yang menawarkan paket wisata berkuda semakin menambah daya tarik pariwisata Embung Tambakboyo.


Alternatif Wisata Baru

Kehadiran embung yang secara teknis difungsikan sebagai tadah air kini mulai dimaknai sebagai sebuah potensi wisata alternatif di tengah keramaian kota. Embung pada dasarnya dibangun atas dasar kepentingan konservasi air, tetapi terkadang bagi masyarakat sekitar ia lebih dimaknai sebagai alternatif wisata, khususnya wisata murah atau biasa disebut low cost tourism. Keduanya baik embung Tambakboyo maupun Langensari yang letaknya di tengah kota sangat kontras jika disandingkan dengan tempat-tempat hiburan khas perkotaan seperti mal, kafe, bioskop, dan semacamnya.


Embung hadir di tengah kota untuk mengimbangi hiburan-hiburan berbayar mahal atau ekslusif yang biasanya hanya bisa dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, atau lebih tepatnya bisa kita anggap hadir untuk memenuhi kebutuhan wisata yang “merakyat” di mana semua kalangan bisa menikmatinya.Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Wibowo (2012) dalam perencanaan pengembangan Embung Tambakboyo memiliki minimal tiga fungsi yang menonjol yaitu konservasi, wisata, dan perikanan.


Mengetahui jika masyarakat membutuhkan tempat murah untuk berekreasi maka pemerintah daerah lewat pembangunan embung ini sekaligus memikirkan bagaimana caranya agar embung bukan sekedar kubangan besar berisi air tetapi juga dibangun sarana-sarana pendukung lainnya seperti jogging track. Seperti pada Minggu pagi 21 April 2019 lalu ketika kami melakukan kunjungan ke Embung Tambakboyo, mayoritas pengunjung datang ke embung sebagian besar datang untuk jogging atau bersepeda, dan ketika itu kami melihat ada pula sekumpulan anak-anak yang sedang berlatih bela diri di tempat tersebut. Berbagai contoh olahraga di atas merupakan jenis olahraga yang tidak membutuhkan banyak biaya dan lewat embung ini pemerintah secara tidak langsung juga menyediakan tempat dan mendukung masyarakat untuk hidup sehat lewat olahraga-olahraga murah.


Aktivitas rekreasi yang bertujuan untuk menghilangkan kepenatan dari aktivitas sehari-hari seperti bekerja, bersekolah, dan sebagainya tentunya bukan sekedar menikmati pemandangan embung saja atau sekedar berjalan-jalan saja. Salah satu aktivitas untuk refreshing lainnya yang selalu ada di embung Tambakboyo maupun Langensari adalah memancing. Memancing sendiri juga merupakan aktivitas yang cenderung murah karena hanya membutuhkan alat pancing dan umpan yang biasanya mudah dicari disekitar rumah tanpa harus membayar.


Nyatanya pemerintah sendiri sangat mendukung maraknya aktivitas memancing ini, seperti dengan menebarkan benih-benih ikan di dalam embung dan masyarakat bebas memancing sesuka hati. Menurut berita yang dilansir dari Poskota News (21 Oktober 2017) menyebutkan jika pemerintah sejalan dengan proyek pembangunan embung di desa-desa juga menggalakkan Gerakan Makan Ikan Nasional. Di sini pemerintah memberikan sumber protein hewani yang murah lewat ikan-ikan yang disebar ke embung-embung tadi dengan tujuan agar masyarakat khususnya penduduk berpenghasilan rendah dapat meningkatkan konsumsi akan protein hewani dan juga untuk menurunkan angka stunting nasional.


Untuk di Embung Langensari sendiri, setiap sore hari juga kita akan menjumpai banyak remaja atau bapak-bapak yang selain memancing juga membawa burung peliharan mereka untuk sekedar dipamerkan kepada sesama pecinta burung disana ataupun hanya untuk menemani dirinya sembari menikmati suasana sore hari di embung tersebut yang pastinya murah meriah karena pengunjung hanya dipungut uang parkir saja jika ingin berkunjung disini. Sedangkan dari kubu ibu-ibu, biasanya banyak yang menghabiskan waktunya disini untuk “momong” atau mengasuh anaknya sambil berjalan-jalan atau bermain-main bersama.


Lewat studi tentang embung ini kemudian kami menyadari jika kota tidak selalu seperti yang dibayangkan oleh banyak orang di mana hanya akan ada banyak mal-mal besar, kafe, bioskop, kemacetan, dan semacamnya tanpa ada space hijau didalamnya, tetapi ternyata pemerintah kemudian berusaha membangun ruang-ruang hijau seperti itu seperti lewat pembangunan taman-taman kota atau lewat embung seperti ini. Meskipun demikian, hal ini tidak menampik kenyataan bahwa tempat seperti Embung Langensari atau Tambakboyo memang tidak lebih menarik dari suasana mewah yang ditawarkan oleh hiburan-hiburan kelas menengah atas tadi, sehingga embung memang lebih condong sebagai referensi orang kelas menengah ke bawah untuk berekreasi.


Sisi Lain dan Refleksi

Setelah kami melakukan kunjungan ke dua embung yang cukup populer di Yogyakarta ini, terdapat beberapa aspek menarik berkaitan dengan keberadaan embung. Sebagai kawasan terbuka dan dengan mudah dapat diakses secara publik, embung dapat dikatakan sebagai sebuah public space yang selain berfungsi untuk menjaga ketersediaan air juga menjadi pusat aktivitas warga di tengah kurangnya ketersediaan ruang terbuka. Kehadiran embung seakan jadi opsi utama dalam melihat kembali ‘alam’ di tengah hiruk pikuk keramaian kota dengan berbagai aktivitas khususnya olahraga, kumpul komunitas hingga ekonomi melalui munculnya pedagang kaki lima (PKL) di sekitaran kedua embung.


Dari aspek manusia, kegiatan masyarakat yang dilakukan di sekitaran embung tidak terbatas pada masyarakat sekitar, tapi juga turut menarik kehadiran masyarakat di luar kawasan embung. Daya tarik embung dengan pemandangan dan suasana yang sangat kontras dengan keramaian kota pada umumnya. Tersedianya jogging track yang mengelilingi area sekitar menarik minat pengunjung untuk berolahraga atau sengaja sekedar mencari keringat. Di samping fasilitas utama yang jadi atraksi utama di kedua embung yang kami kunjungi, kehadiran sebuah landmark atau fasilitas pendukung lain seperti gedung dalam area embung, pojok komunitas, landmark, dan munculnya spot khusus untuk swafoto untuk di unggah ke media sosial.



Popularitas embung sebagai opsi lokasi beraktivitas di luar ruangan menunjukkan bahwa ‘dahaga’ akan kebutuhan lahan terbuka seakan mulai terobati. Sebagai kawasan terbuka yang juga menawarkan pemandangan berbeda di tengah kota nyatanya sukses untuk menarik minat masyarakat untuk kembali beraktivitas di luar atau sekedar bercengkrama dengan orang lain--khususnya bagi anak-anak dan pemuda di mana mereka dapat berkumpul, bermain, dan bersosialisasi. Dari segi ekonomi, masyarakat sekitar turut mendapatkan dampak positif melalui pemasukan retribusi, parkir, maupun transaksi yang terjadi di dalam embung.


Di luar dari dampak positif yang dirasakan dengan hadirnya, permasalahan sampah masih menjadi persoalan utama yang kami temui. Kebersihan embung di beberapa sisi kurang diperhatikan, seperti adanya kotak sampah yang telah penuh dan tidak kunjung dibuang. Ada juga sampah yang berserakan di dekat area tempat duduk di depan tulisan Embung Langensari. Beberapa kali kami juga mencium aroma tidak sedap di area embung yang berdampingan dengan rumah warga, di aliran airnya terlihat sampah-sampah terbawa air. Selain itu selama di Tambakboyo juga terdapat bangkai hewan yang terbawa aliran sungai di mana cukup menganggu pandangan dan menjadi sebuah pemandangan aneh bagi kami selama disana.



Referensi

1. Harian Jogja, 2018. Pantas Jogja Panas, Kota Ini Kekurangan Ruang Terbuka Hijau. [Online] Available at: https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2018/04/10/510/909494/pantas-jogja-panas-kota-ini-kekurangan-ruang-terbuka-hijau [Accessed 22 April 2019].

2. Nugroho, M. L. E., 2015. Problematika Penyediaan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Semarang, Conference on Urban Studies and Environtment Proceedings.

3. Poskota News. 2017. “Menteri Desa : Pemerintah Bangun 30 Ribu Embung dan Bagi Bibit Ikan”. [Online]. Available at: http://poskotanews.com/2017/10/21/menteri-desa-pemerintah-bangun-30-ribu-embung-dan-bagi-bibit-ikan/ [Accessed April 24, 2019]

4. Pusat Bendungan Direktorat Sumber Daya Air, 2016. Database Danau, Situ dan Embung. [Online] Available at: http://sda.pu.go.id/dse/#prettyPhoto [Accessed 22 April 2019].

5. Ratnasari, A., 2015. Perencanaan Kota Hijau Yogyakarta Berdasarkan Penggunaan Lahan Dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau, Bogor: Institut Pertanian Bogor.

6. Ratnasari, A., Sitorus, S. R. & Tjahjono, B., 2015. PERENCANAAN KOTA HIJAU YOGYAKARTA BERDASARKAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KECUKUPAN RTH. Tata Loka, 17(4), pp. 196-208.

7. Suyatno, 2017. Embung dan Kedaulatan Pangan. [Online] Available at: http://www.koran-jakarta.com/embung-dan-kedaulatan-pangan/ [Accessed 22 April 2019].

8. Universitas Gadjah Mada, 2017. Kota Yogyakarta Darurat Tata Ruang. [Online] Available at: https://www.ugm.ac.id/id/berita/13377-kota.yogyakarta.darurat.tata.ruang [Accessed 22 April 2019].

9. Wibowo, Agus. 2012. “Studi Eksplorasi tentang Harapan Masyarakat terhadap Keberadaan Aset Wisata Embung Tambakboyo Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta” dalam Jurnal Media Wisata , Vol. 7, No. 1, Hal. 31-42.

Recent Posts

See All

Comments


Subscribe

LOGO UGM.jpg
LOGO KEMANT.jpg

Gd. R. Soegondo lt. 5 FIB UGM
Jl. Sosiohumaniora No. 1
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Crafting Ethnography 

Departemen Antropologi FIB-UGM

  • Twitter

©2018 'Crafting Etnography' Creative Team

bottom of page