Masa-masa SMA seringkali dirasakan sebagai masa-masa paling indah yang pernah dilalui seseorang. anyak lagu-lagu yang menceritakan kisah-kisah di masa SMA tentang apapun itu. Jika masa SMA tidak sebegitu terkenang, maka band legendaris Koes Plus tidak akan menciptakan lagu “Bis Sekolah” (1984), Chrisye tidak menyanyikan lagu “Anak Sekolah” (1986), Obbie Messakh tidak melantunkan lagu “Kisah Kasih di Sekolah” (1987), Sheila on 7 tidak akan menghiasi kehidupan kita dengan lagu “Sahabat Sejati”maupun “Sebuah Kisah Klasik” (2000), Nidji tidak terkenal dengan lagu “Arti Sahabat” (2008) dan lagu “Ingatlah Hari Ini” (2011) karya project pop tidak akan dinyanyikan di hari perpisahan SMA. Hampir semua orang pernah mendengar atau menyanyikan lagu itu. Melihat tahun diciptakannya lagu-lagu tersebut terbukti bahwa sudah sejak lama masa SMA menjadi masa yang paling dikenang oleh seseorang.
Saat ini, tidak hanya lagu dari Indonesia saja yang menjadi lagu kenangan saat SMA. Lagu-lagu barat seperti “See You Again” Wiz Khalifa maupun “When We Were Young” Adele yang bisa dibilang sering didengar oleh anak-anak generasi baru, sering digunakan sebagai lagu untuk mengingat pertemanan atau persahabatan semasa SMA. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa anak-anak diluar generasi 90-an pernah mendengar lagu-lagu lama dari Indonesia tadi.
Lalu kenapa hanya SMA saja? Mengapa ketika seseorang baru pertama kali masuk sekolah di Playgroup atau TK, mulai belajar banyak mata pelajaran di SD, dan mengenal aljabar di SMP tidak menjadi hal yang sebegitu “terkenang”nya di hati seseorang? Jika kita kerucutkan jawaban tersebut, kemungkinan akan muncul perbedaan yang kontras pada “relasi sosial” yang terbentuk pada setiap jenjang pendidikan.
Ketika Playgroup/TK maupun SD, kita sangat bergantung pada orang tua dalam membentuk sebuah relasi sosial. Biasanya kita akan lebih mudah akrab dengan orang lain ketika orang tua kita lebih dulu akrab dengan orang tua mereka. Ketika di SMP, orang tua masih memiliki andil dalam menentukan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan. Seperti saat orang tua memaksa untuk belajar, mengikuti lembaga bimbingan belajar tertentu dan persetujuan dalam mengikuti ekstrakurikuler tertentu. Hal inilah yang kemudian semakin berkurang atau luntur ketika memasuki masa SMA.
Memasuki jenjang SMA, anak merasa bahwa masuk SMA = sudah dewasa. Siswa atau anak mendapatkan mindset yang berasal dari pengamatan mereka dan cerita-cerita pengalaman anak yang sudah SMA sebelumnya bahwa ia sudah dewasa dan merasa harus memaksakan diri untuk menjadi dewasa demi mencapai stereotype tersebut. Disinilah seseorang mulai melakukan tindakan diluar “kuasa” orang tua mereka. Keberanian untuk melawan dan menentukan mana yang baik mana yang buruk menurut mereka, mulai menguat dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Masa SMA menjadi titik balik bagaimana seseorang akan membentuk “relasi sosial” mereka.
Relasi sosial di SMA ini terus berkembang dengan maraknya event-event di kalangan siswa SMA, baik yang diadakan oleh mereka sendiri maupun oleh event organizer. Tidak seperti TK, SD maupun SMP yang tidak ada eventnya, event atau kegiatan di luar kegiatan sekolah merupakan output dari apapun yang dilakukan siswa SMA baik dalam akademis maupun non akademis. Jika siswa aktif mengikuti organisasi maka ikutlah mereka event forum-forum pelajar. Apabila senang dengan sepakbola, basket, voli dan sebagainya maka muncul event kompetisi olahraga antar sekolah. Lalu ketika sangat berprestasi di bidang akademis maka akan ikut olimpiade-olimpiade regional, nasional dan seterusnya. Begitu pula dengan kegiatan lain yang dilakukan siswa, pasti akan ada event yang mewadahi ketertarikan siswa tersebut. Relasi sosial yang didapat dari event dengan non-event (contohnya hanya belajar di berbagai lembaga bimbingan belajar tanpa mengikuti organisasi atau event) tentunya akan berbeda.
Lantas, apakah siswa SMA selalu menjadi peserta dari sebuah event? Jawabannya tentu tidak. Semua itu kembali pada bagaimana cara anak tersebut menerima pengaruh dari relasi sosial dan orang tua. Hal ini yang menjadi titik balik anak dalam melakukan tindakan sesuai dengan yang mereka inginkan atau merupakan saat-saat penting dimana anak menjadi seseorang yang bisa disebut dewasa bagi diri mereka sendiri maupun orang lain. Banyak anak SMA yang mengadakan event mereka sendiri baik untuk eksternal maupun internal. Namun tentu masih ada anak SMA yang tidak mengikuti event sama sekali.
Mengapa Event diadakan?
Selama pengalaman saya di SMA, event di SMA biasanya berupa event penggalangan dana atau donor darah, event seni, kuliner,olimpiade, kompetisi olahraga dan sebagainya sama seperti event-event yang diadakan oleh pihak lain. Event di SMA dapat dibedakan menjadi event internal dan eksternal. Event internal adalah kegiatan yang ditujukan untuk seluruh warga SMA tersebut sedangkan eksternal ditujukan pada masyarakat umum.
Tujuan event-event itu diadakan bagi siswa adalah selain untuk menunjukkan bakat-bakat siswa dan tidak semata-mata untuk mencari profit, event ini juga diadakan untuk melatih kepemimpinan (leadership), time management dan mengasah kemampuan dalam membentuk relasi sosial di dalam dan di luar lingkungan sekolah. Seperti yang kita ketahui, pelajaran di SMA tidak ada yang fokus pada bagaimana cara berperilaku yang baik. Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan tidak cukup kuat dalam membentuk karakter siswa SMA. Oleh karena itu event menjadi lapangan bagi siswa untuk berproses menjadi seseorang yang dianggap “dewasa”
Sedangkan tujuan event-event diadakan bagi guru atau orang tua tidak terlalu spesifik. Menurut mereka yang penting adalah anaknya atau siswanya melakukakn kegiatan yang baik dan tidak melanggar aturan. Tujuan event seperti untuk bakti sosial, pentas seni atau sebagainya, tidak terlalu dipermasalahkan.
Lalu menurut saya yang bisa dikatakan tujuan event di SMA yang sebenarnya ialah proses “pemaksaan” diri untuk menjadi dewasa dapat memunculkan sifat empati pada saat penyelenggaraan event-event tersebut. Ada pesan tersirat dibalik setiap event yang mereka adakan dan tidak terbatas pada tagline atau slogan yang mereka gunakan saja. Ketika menjadi anggota panitia dari event tersebut, banyak interaksi yang dilakukan berpedoman pada “pesan” yang ingin mereka sampaikan. Contohnya, ada sebuah event yang menitikberatkan pada “empati terhadap sesama manusia”. Empati tadi menjadi dasar dari apa saja yang mereka lakukan dalam proses pengadaan event ini. Baik itu ketika survey perlengkapan, survey lokasi, menyiapkan dekoarasi, dan sebagainya. Secara tidak langsung, kegiatan ini bisa mempengaruhi pikiran mereka dengan anggapan “Jika ingin mengajarkan seseorang tentang sesuatu maka harus benar-benar paham lebih dulu tentang sesuatu tersebut”. “Pesan” yang ingin disampaikan mereka pada akhirnya tidak hanya sampai ke orang lain melainkan juga pada diri mereka sendiri.
Misalnya event pentas teater di SMA. Dalam pementasan teater menggunakan naskah yang sudah pasti memiliki pesan-pesan yang dapat dipetik oleh pembaca naskahnya. Tujuan pentas teater adalah menyampaikan pesan tersebut pada orang lain atau orang yang menonton, maka untuk bisa melakukan hal itu mereka harus paham terlebih dahulu pesan dari naskah tersebut. Proses ini dapat diklasifikasikan pada tiga tahapan. Pertama, pesan tersebut akan berputar pada lingkup panitia event pada saat persiapan membuat event selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Setelah lingkup tersebut pemahamannya semakin menguat, sampai pada tahap kedua di mana lama kelamaan lingkup SMA non panitia menjadi paham akan pesan tersebut. Tahap terakhir adalah penyebaran pesan pada lingkup masyarakat umum melalui diselenggarakannya event pada hari – H.
Perputaran berbagai macam pesan dari event ini dilakukan terus-menerus dan berubah-ubah selama masih di jenjang pendidikan SMA. Pesan yang berasal dari event, kakak kelas, alumni, guru, dan relasi-relasi sosial lain yang terjadi selama event tersebut diadakan. Perputaran melalui komunikasi antar generasi atau angkatan SMA (yang sama) yang turun-temurun, menyebabkan pesan itu terus mengalir selama event di SMA itu masih ada. Perlu diperhatikan bahwa event tersebut bukan hanya satu macam saja, tetapi berbagai macam event yang masih memiliki korelasi antara event satu dengan event lainnya.
Anggapan Orang Tua Terhadap Event SMA
Orang tua tentu lahir di zaman yang berbeda, di situasi yang berbeda pada generasi yang berbeda. Perkembangan dan perubahan SMA secara umum tidak terjadi semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses yang lama untuk bagi suatu SMA untuk mengubah ciri khas SMA tersebut. Seperti julukan “SMA Event”, “SMA Teladan”, “SMA Borjuis”, sebagainya. Di sisi lain, perubahan kehidupan seseorang dapat terjadi lebih mudah dibanding perubahan sebuah SMA. Kemudahan seseorang untuk berubah ini berdampak pada keturunan-keturunan mereka.
Tidak semua orang tua pernah sekolah di SMA yang sama dengan anaknya. Terkadang, orang tua masih terbawa kebiasaan “mengatur” anak sama seperti saat playgroup/TK, SD dan SMP. Beberapa kasus teman saya saat SMA dulu dipaksa untuk ikut les tertentu, harus menjadi nomor satu di sekolah, harus menjadi dokter, dan lainnya. Padahal seharusnya orang tua bukan lagi mengatur namun mengarahkan dan memberikan pendapat mengenai yang dilakukan anaknya agar mereka berproses menjadi dewasa. Contohnya ketika anak bingung dalam menentukan dua hal, bisa dengan menyarankan mana yang menjadi sesuatu yang paling urgent bagi mereka. Sehingga mereka diberi kesempatan untuk berpikir dan mereka juga bisa bertanggung jawab dengan apa yang mereka pilih. Karena orang tua menyikapi dengan bermacam-macam sehingga berdampak pula pada perbedaan anggapan mengenai event SMA di kalangan orang tua.
Orang tua yang tidak mebuka pikiran terhadap perbedaan SMA anaknya dengan SMAnya dulu serta tidak membuka pikiran terhadap perbedaan generasinya dengan generasi anaknya akan menganggap event hanyalah kegiatan yang mengganggu jam belajar anaknya. Bagi orang tua yang masih terbawa kebiasaan “mengatur”, masih ada anggapan bahwa pendidikan nomor satu. Kenyataannya kini pendidikan tidak hanya melulu soal akademik saja namun non akademik juga merupakan pendidikan yang penting bagi masa depan.
Sedangkan bagi orang tua yang membuka pikiran terhadap perbedaan generasi dan sadar akan perubahan zaman, event di SMA menjadi kegiatan penting bagi anaknya untuk menjadi pemimpin di masa depan. Biasanya orang tua yang sudah membuka pikiran ditandai dengan tidak ada lagi keinginan untuk anaknya menjadi seorang dokter, guru dan profesi-profesi idaman orang tua lainnya. Mereka menginginkan anaknya untuk menjadi orang yang sukses sesuai dengan passion mereka.
Di sisi lain, event ketika orang Tua mereka SMA kemungkinan besar akan berbeda dengan event yang dialami anak mereka ketika SMA. Walupun SMAnya sama, bisa saja eventnya berbeda, atau minimal “pesan” dari event tersebut berbeda karena semakin berkembang.
Sebelum dan Sesudah Siswa Mengikuti Sebuah Event SMA
Event di SMA dapat dikatakan merupakan sebuah jembatan bagi seseorang untuk mencapai kedewasaan. Semakin seringnya interaksi dan kegiatan yang dilakukan dalam kepanitiaan event menjadi kesempatan seseorang untuk sering melakukan trial and error yang bisa dibilang salah satu cara untuk mencapai kedewasaan. Ketika melakukan kesalahan, ada teman yang akan mengingatkan dan memberitahu bagaimana menghindari kesalahan tersebut. Semakin banyak kesalahan yang dilakukan ketika ngi-vent (sebutan siswa SMA yang menjadi panitia event), semakin sering terjadi interaksi dengan orang yang lebih berpengalaman. Bermula dari teman satu angkatan, kakak kelas, guru, alumni, hingga orang-orang lain yang masih ada kaitannya dengan event yang diikuti. Entah itu menjadi divisi acara, festival, dokumentasi, keamanan, perkap, humas maupun divisi-divisi lainnya.
Contoh perubahan yang paling mudah dilihat adalah bagaimana cara seseorang berbicara ketika belum SMA dan sudah sering ngi-vent di SMA. Public speaking akan meningkat sejalan dengan makin banyaknya ilmu akademik dan non akademik yang diperoleh ketika SMA. Siswa yang aktif dalam event lebih percaya diri dan memiliki pembawaan yang lebih dewasa. Tidak hanya public speaking siswa yang menjadi MC atau panitia divisi acara saja, melainkan juga divisi lainnya karena semua pasti memiliki relasi sosial yang kuat.
Menjadi bagian dari sebuah event akan memberikan perkembangan bagi seseorang. “Perkembangan ialah perubahan-perubahan psikofisik sebagi hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi psikis dan fisik pada anak, ditunjang oleh faktor lingkungan dan proses belajar dalam passage waktu tertentu, menuju kedewasaan” (Kartini Kartono, 1990: 20).
Menguntungkan dan Merugikannya Event SMA
Membicarakan menguntungkan dan merugikannya sebuah event di SMA dapat dianalogikan seperti mengendarai sepeda. Keuntungan merupakan pedal sebelah kanan dan kerugian menjadi pedal sebelah kiri. Agar sepeda tersebut dapat terus melaju dengan seimbang maka kedua pedal harus dikayuh secara beriringan. Atau, masih sama dengan analogi sepeda, ketika seorang siswa ingin menjadikan event menguntungkan mereka maka ia harus mengayuh sepeda tersebut dengan kuat agar melaju kencang. Tetapi ketika sepeda tersebut melaju kencang karena kayuhan kuatnya, mereka akan merasa kelelahan walaupun pada akhirnya lebih cepat sampai ke tujuan mereka. Event merupakan kegiatan yang memiliki banyak keuntungan dan kerugian, semua itu tergantung pada individu yang menjalani event tersebut. Ini juga merupakan sebuah proses kedewasaan dimana seseorang harus berpikir sedemikian rupa agar mendapat keuntungan semaksimal mungkin dan kerugian seminimal mungkin. Tiada kemuliaan tanpa sebuah perjuangan dan perjuangan tidak pernah menghianati hasil.
Keuntungan yang menonjol dari ngi-vent adalah relasi sosial yang menguat. Relasi sosial dapat membuka pikiran seseorang pada orang lain yang kemudian meningkatkan perasaan empati yang dianggap sebagai sifat dasar manusia. Dengan bermodal empati tersebut setiap kegiatan yang dilakukan menjadi lebih dewasa.
Berkurangnya waktu untuk belajar di bidang akademik sudah jelas menjadi kerugian dari ngi-vent. Namun hal ini kembali lagi bagaimana mengatur waktu dan menyempatkan diri untuk semaksimal mungkin dapat belajar di bidang akademik. Mereka dianggap dewasa ketika kedua hal tersebut bisa seimbang.
Beragam proses menuju dewasa ini kemudian menjadi salah satu alasan mengapa masa-masa SMA merupakan masa-masa yang paling dikenang dalam kehidupan seseorang karena event adalah satu hal spesial yang booming ketika SMA dan mewadahi kegiatan-kegiatan non akademik secara berkala. Dari memaksa dewasa ketika tahu bahwa masuk SMA = dewasa, titik balik menjadi seseorang yang dewasa dan bertanggung jawab, serta posisi dimana sudah bisa dianggap dewasa menjadi hal yang banyak dialami ketika seseorang mengikuti sebuah event terutama di SMA.
Daftar Pustaka
Kartono, Kartini. 1990. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan). Bandung. Bandar Maju
Comments