top of page
Writer's pictureFahmi Rizki F

Geliat Perkembangan dan Transformasi pada Wilayah Perkotaan

Geliat Perkembangan dan Transformasi pada Wilayah Perkotaan: Analisis Terhadap Diskursus Urban Political Ecology

Green City of Freiburg (27/05). Foto oleh: Fahmi Rizki F.

Oleh: Alfian Aulia, Fahmi Rizki, Fathi Mujadidi, dan Leonardo Juan


Urban Political Ecology: Memahami Proses Perubahan Aspek Ekologis Perkotaan

Leonardo Juan C.P. 16/399497/SA/18405


Mempersoalkan permasalahan perkotaan tidak lengkap rasanya apabila kita tidak melihat bagaimana sejatinya ruang perkotaan ternyata memiliki segudang permasalahan lingkungan. Jakarta misalnya, kota metropolitan yang menjadi sentra industri dan pemerintahan Indonesia ini tidak pernah luput dari berbagai macam permasalahan lingkungan—mulai dari kurangnya ruang terbuka hijau, timbunan sampah dimana-mana, sulitnya akses terhadap air bersih, sampai “proyek” tahunan Jakarta yakni banjir kiriman maupun banjir yang disebabkan oleh sumbatan sampah di Kali Ciliwung. Permasalahan lingkungan tentunya menimbulkan konsekuensi nyata terhadap berbagai lapisan kehidupan perkotaan, mulai dari persoalan infrastruktur, sosial-budaya, ekonomi dan politik. Mengingat bahwa hampir separuh penduduk dunia saat ini tinggal di kota—termasuk di Indonesia sendiri, dimana 54% penduduknya tinggal di kawasan perkotaan (Wahyudi 2012)—permasalahan ekologi tentunya harus menjadi fokus perhatian stakeholder perkotaan. Pemerintah, akademisi, serta warga kota harus menaruh perhatian khusus terhadap segala perubahan aspek ekologis yang terjadi di kota untuk mengantisipasi berbagai permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan.


Dalam perkembangan studi antropologi perkotaan, terdapat satu kajian studi yang menarik untuk menganalisis permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan, yang disebut dengan Urban Political Ecology. Anne Rademacer menjabarkan konsep urban political ecology sebagai wadah untuk etnografer untuk mampu melihat, mengobservasi, mengevaluasi, dan memproblematisasi dinamika proses sosio-natural antara manusia dengan aspek biofisikal non-manusia—yang dibangun dari arus kapital, pekerja/buruh, informasi, dan relasi kuasa yang terjadi di perkotaan (Rademacer 2015). Studi political ecology yang selama ini berpusat di daerah pedesaan berusaha didekonstruksi dalam studi urban political ecology—dimana fokus dari diskursus politik ekologi urban adalah menyatakan bahwa sejatinya kawasan perkotaan turut mengalami permasalahan politik lingkungan yang cukup kompleks. Melalui kajian studi urban political ecology, kita mampu melihat dan menganalisis secara mendalam berbagai permasalahan lingkungan di perkotaan yang disebabkan oleh dinamika kehidupan kota yang begitu kompleks.


Esai ini berusaha memberikan deskripsi dan analisis mendalam terkait studi urban political ecology disertai dengan studi kasus terkait polemik kontestasi air bersih yang terjadi antara warga Jalan Kaliurang KM 5 dengan pihak pembangunan Apartemen Uttara yang cukup sering diperbincangkan pada kurun waktu tahun 2015-2016. Rujukan utama dari esai ini adalah tulisan Anne Rademacer yang berjudul Urban Political Ecology (2015) yang bagi saya menjadi salah satu artikel yang memberi pembahasan yang cukup mendalam terkait diskursus politik ekologi urban. Untuk membangun kerangka berpikir yang runut, esai ini akan saya bagi dalam tiga sub-bab utama, yaitu: (1) Perkembangan Studi Urban Political Ecology; (2) Menyikapi Studi Ekologi Politis dalam Melihat Perubahan Aspek Ekologis Perkotaan; (3) Kontestasi Sumber Air Bersih di Yogyakarta: Dampak Nyata Permasalahan Ekologis Perkotaan. Harapannya, esai ini mampu menjadi bahan diskusi yang menarik terkait kajian studi urban political ecology dalam studi antropologi perkotaan.


Perkembangan Studi Politik Ekologi Urban

Sebelum berlanjut kepada pembahasan terkait perkembangan studi urban politcal ecology, ada baiknya kita memahami bersama sejatinya apa itu political ecology dan apa definisi yang tepat untuk menerjemahkan terminologi politcal ecology dalam bahasa Indonesia. Boshman Batubara dalam pengantar Jurnal Transformasi Sosial yang bertajuk Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi, dan Resistensi (2017) memberikan penjelasan yang cukup mendasar dan krusial terkait pendefinisian political ecology. Menurut Batubara, dalam perkembangan studi political ecology terdapat beberapa terjemahan terkait terminologi tersebut yang dikembangkan oleh ahli antropologi ekologi; mulai dari “ekologi politik”, “politik ekologi”, dan “politik-ekologi”. Namun, salah satu terjemahan yang menurut Batubara paling tepat terkait terminologi political ecology adalah “ekologi politis”; dimana Batubara memilih penggunaan “politis”, karena menurutnya politis berarti “sebuah ruang kontestasi dan pertautan antagonistik yang semakin dikoloni oleh ‘politik’” (Batubara 2017). Saya cukup setuju terkait penggunaan definisi dan terjemahan yang dikemukakan oleh Batubara dalam artikel tersebut, karena menurut saya memberikan definisi dan terjemahan yang representatif dan relevan terkait persoalan yang berkembang dalam studi ini. Maka dari itu, selanjutnya saya akan menggunakan istilah “ekologi politis” dan “ekologi politis urban/perkotaan” dalam tulisan ini.


Anne Rademacer dalam artikelnya yang bertajuk Urban Political Ecology (2015) merupakan salah satu referensi yang cukup menjelaskan diskursus ekologi politis urban secara komprehensif. Fokus dari argumen Rademacer dalam artikel ini adalah melihat bagaimana sejatinya persoalan ekologi tidak hanya melulu terpusat di daerah pedesaan layaknya kajian studi ekologi politis yang selama ini dikemukakan oleh ahli ilmu sosial lainnya—Rademacer meyakini bahwa perubahan yang terjadi di ruang perkotaan juga menciptakan permasalahan ekologi yang kompleks dan perlu menjadi perhatian stakeholder perkotaan. Rademacer mengawali argumentasinya dengan menelisik perkembangan studi ekologi politis yang menjadi pokok pembahasan peneliti antropologi ekologi pada masa awal studi antropologi. Menurut Rademacer, ilmu sosial sudah mengembangkan berbagai kajian konseptual terkait permasalahan ekologi sejak awal, namun seringkali kajian tersebut mengesampingkan ruang perkotaan sebagai studi kasusnya (Rademacer 2015, 138). Beberapa studi etnografi politik ekologi awal masih terfokus pada studi kasus yang terjadi di wilayah pedesaan dan wilayah agraria, seperti misalnya penelitian Brosius (1999) yang berlokasi di hutan hujan Malaysia dan Tsing (1993) dalam artikelnya yang bertajuk Friction: An Ethnography of Global Connections (Rademacer 2015, 139). Dikotomi wilayah desa dan perkotaan selalu menjadi unsur penting dalam perkembangan studi ekologi politis, dan pada tahap awal perkembangan ilmu antropologi dan sosiologi, studi terhadap wilayah pedesaan memang selalu menjadi fokus utama para antropolog dan sosiolog awal. Rademacer menyatakan bahwa fokus ahli antropologi dan sosiologi ekologi awal masih berfokus pada wilayah pedesaan karena sulitnya mendefinisikan wilayah teritorial perkotaan. Meskipun begitu, Rademacer juga menegaskan bahwa sejatinya sejak awal ahli antropologi dan sosiologi ekologi sejatinya menyadari bahwa entah itu di wilayah perkotaan ataupun pedesaan, persoalan biofisikal dan alam menjadi suatu permasalahan yang terus terjadi karena kedua hal tersebut telah tertanam dalam konsep kebudayaan tiap komunitas masyarakat (Rademacer 2015, 138).


Rademacer kemudian menjelaskan bahwa terdapat perubahan fokus dalam perkembangan studi ekologi politis pada akhir abad keduapuluh, salah satunya adalah ketika studi ekologi politis mulai memberikan atensi terhadap permasalahan relasi kuasa. Perubahan signifikan terjadi ketika Lefebvrian mulai studinya terkait arus kapital yang masif di suatu daerah mengindikasikan daerah tersebut merupakan daerah perkotaan. Melalui pernyataan tersebut, politik ekologi urban dapat dilihat sebagai sebuah kajian politik ekologi yang berfokus pada tiga elemen utama, yaitu adanya arus kapital, pekerja/buruh, informasi, dan kuasa (Rademacer 2015, 141). Studi yang dilakukan oleh Lefebvrian ini kemudian membuka ranah studi kasus baru dalam studi ekologi politis, dimana perkotaan menjadi objek penelitian utama untuk meneliti berbagai permasalahan ekologi.


Kajian perkotaan kemudian berkembang menjadi ketertarikan baru bagi perkembangan studi ekologi politis. Kajian politik ekologi urban kemudian berkembang menjadi studi yang berfokus pada permasalahan ekologi di wilayah perkotaan. Rademacer mengatakan bahwa studi ekologi politis urban ini menciptakan suatu pengalaman etnografi ekologi yang “tidak disengaja” (unintentional nature) yang kemudian diasosiasikan dengan konteks keruangan perkotaan yang berbeda dengan kawasan pedesaan, dikarenakan kondisi alam perkotaan selama ini selalu dianggap berseberangan dengan kondisi alam pedesaan (Rademacer 2015, 143). Rademacer menyebutkan dua ahli ekologi yang menurutnya cukup berpengaruh pada perkembangan studi ekologi politis urban, yaitu Amita Basvikar. Dalam studinya terkait kontestasi air bersih yang terjadi di Delhi, India, Basvikar menyebutkan dua istilah penting dalam perkembangan studi ekologi politis urban, yaitu “bourgeois environmentalism” dan “cultural politics of natural resources”, karena Basvikar menganggap bahwa permasalahan ekologi yang terjadi di perkotaan dilandasi oleh adanya relasi kuasa dan kesenjangan status ekonomi, dimana dalam konteks studinya di Delhi, Basvikar mengamati bahwa privatisasi air bersih pada akhirnya hanya menguntungkan elit dan mendiskreditkan kepentingan masyarakat kecil (Rademacer 2015, 145). Pendapat Basvikar ini kemudian menjadi acuan yang cukup penting pada keberlangsungan studi ekologi politis urban selanjutnya, dimana ahli ekologi mulai menekankan pada permasalahan kesenjangan ekonomi dan relasi kuasa yang terjadi di area perkotaan. Oleh karena itu, banyak ahli ekologi yang kemudian menyasarkan penelitiannya pada konteks kehidupan perkotaan di daerah marjinal, seperti contohnya adalah di daerah pemukiman kumuh dimana ternyata persoalan lingkungan yang terjadi di kawasan tersebut cukup kompleks untuk didalami lebih lanjut lagi.


Rujukan lain yang cukup kontekstual terkait studi ekologi politis urban ditulis oleh Anna Zimmer dengan tajuk Urban Political Ecology: Theoritical concepts, challenges, and suggested future directions (2010). Dalam artikel ini, Zimmer menyatakan suatu konsep menarik terkait diskurus politik ekologi urban, yang ia sebut sebagai “political metabolism” (Zimmer 2010). Zimmer merujuk pada konsep Marx mengenai proses pertukaran yang didasari oleh kebutuhan manusia sebagai pekerja/buruh. Zimmer melihat bahwa manusia secara tidak langsung menciptakan sistem produksi pertukaran terhadap sistem metabolismenya sendiri, yang didasari oleh ketertarikan manusia terhadap hasrat pemenuhan kesehariannya. Dalam sistem produksi pertukaran yang didasari oleh adanya relasi sosial antar manusia, sejatinya yang diuntungkan adalah kalangan elit—dimana dalam suatu moda produksi, elit selalu memperoleh surplus dari produksi tersebut. Zimmer secara tidak langsung memberikan penekanan bahwa relasi kuasa ternyata memiliki pengaruh penting dalam studi ekologi politis urban, dimana dalam konteks perkotaan, status dan kelas sosial menjadi salah satu aspek penting yang terkadang berujung pada konflik dan kontestasi akan pemenuhan kepentingan antar kelas.


Menyikapi Studi Ekologi Politis Urban sebagai Cara Melihat Perubahan di Perkotaan: Studi Kasus Konflik Perebutan Akses Air Bersih di Yogyakarta

Studi ekologi politis urban ini menjadi salah satu kajian studi yang saya rasa cukup penting dalam melihat berbagai lapisan persoalan lingkungan perkotaan. Melalui kacamata studi ekologi politis, kita dapat melihat secara mendalam berbagai permasalahan lingkungan di kawasan perkotaan—yang sejatinya dikonstruksi secara sosioalamiah oleh perubahan dan pergerakan yang terjadi di kota (Batubara 2017, 7). Salah satu permasalahan lingkungan yang dalam hemat saya cukup krusial dalam beberapa waktu belakangan ini adalah krisis air bersih. Di Yogyakarta, permasalahan ini cukup sering kita dengar dan perbincangkan dalam berbagai diskusi, khususnya terkait konflik perebutan sumber air bersih antara warga pemukiman dengan pihak pembangun hotel dan apartemen. Salah satu kasus yang cukup menjadi perhatian terkait permasalahn tersebut adalah konflik perebutan air bersih yang terjadi antara masyarakat Jalan Kaliurang KM 5 dengan pihak pembangun apartemen Uttara pada tahun 2017 silam. Masyarakat RT 01 Karangwuni, Jalan Kaliurang KM 5 yang berlokasi tepat di sekitar wilayah pembangunan apartemen Uttara dengan tegas menolak pembangunan apartemen tersebut, salah satunya dikarenakan pembangunan apartemen tersebut tentunya akan menguras sumber air bersih masyarakat setempat.


Permasalahan tersebut semakin memanas ketika masyarakat berbondong-bondong mendemo pembangunan apartemen Uttara pada Desember 2014. Melansir dari liputan Tirto.id dalam artikel Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen, konflik antar warga dengan pihak pembangun apartemen Uttara disebabkan oleh masalah perizinan. Izin yang dimiliki Apartemen Uttara dianggap melanggar perundang-undangan (Putsanara 2017). Melansir dari artikel tersebut, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dimiliki pihak pembangun tidak dilengkapi dengan dokumen lingkungan. Hal ini disebabkan oleh perda yang dimiliki Kabupaten Sleman belum ada yang mengatur terkait Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Padahal, peraturan Rencana Tata Ruang Provinsi DIY sudah menetapkan kabupaten Sleman sebagai daerah konservasi dan cadangan resapan air di Yogyakarta—namun kenyataannya, para elit dan pejabat daerah justru terus menerus membuka keran investasi pada pihak pembangunan gedung komersial seperti hotel dan apartemen.


Berkaca dari permasalahan ini, dapat kita lihat bahwa seiring berkembangnya zaman, wilayah perkotaan semakin tergerus oleh permasalahan lingkungan yang cukup kompleks. Persoalan konflik perebutan sumber air bersih yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pembangun apartemen Uttara menjadi salah satu bukti nyata akan hal tersebut. Permasalahan yang terjadi sejatinya berakar dari relasi kuasa yang terjalin antara elit dengan masyarakat setempat, dimana elit masih memegang teguh kepentingan pribadinya untuk meraih keuntungan dari investor daripada memperhatikan persoalan akar rumput yang terjadi di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berbagai permasalahan ekologi di perkotaan, aspek-aspek politis seringkali menjadi momok yang memiliki dampak sosio-kultural yang besar bagi pihak-pihak yang terlibat.


Kesimpulan

Studi ekologi politis urban ini menjadi sebuah kajian yang menarik untuk memperdalam khasanah kita terhadap berbagai persoalan lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan. Dalam perkembangan studi ekologi politis, persoalan perkotaan menjadi daya tarik baru bagi peneliti sosial karena dirasa cukup relevan dengan permasalahan sehari-hari yang terjadi saat ini. Permasalahan kontestasi air bersih yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pembangun apartemen Uttara menjadi salah satu contoh nyata dari perkembangan studi ekologi politis urban dewasa ini. Seperti yang diutarakan oleh Batubara, tiga elemen penting dalam kajian ekologi politis terkait krisis air yaitu akses, eksklusi, dan resistensi (Batubara 2017) tampak nyata dalam konflik yang terjadi antara masyarakat dengan pihak pembangun apartemen Uttara. Relasi kuasa dan kepentingan elit menjadi akar yang paling mendasar dari permasalahan ini. Melalui perspektif ekologi politis urban, permasalahan krisis air yang terjadi di Yogyakarta ini menjadi suatu kajian yang menarik untuk ditelusuri lebih mendalam—khususnya terkait bagaimana sejatinya permasalahan lingkungan di perkotaan ini ditengarai oleh konstruksi sosioalamiah yang dibangun sendiri oleh warga kota melalui perubahan dan pergerakan yang terjadi tiap harinya. Studi ekologi politis urban ini sudah selayaknya menjadi perhatian khusus bagi pembelajar maupun peneliti ekologi untuk mengembangkannya dalam berbagai penelitian dan kajian mendatang.


Memahami Implikasi Diskursus Urban Political Ecology Secara Material dan Sosial

Alfian Aulia 16/399482/SA/18390


Dalam perkembangan diskursus ini yang sangat exist era 90-an di Indonesia khususnya, kota telah berkembang dan dimanifestasikan menjadi elemen kunci dalam sistem administrasi nasional yang membentuk penampilan masa depan di bumi ini. Melanjutkan sejarah mengenai perkembangan diskursus ini, dikatakan bahwasanya tahun penting dalam urbanisasi dunia adalah 2008 ketika dicatat untuk pertama kalinya dalam sejarah bahwa lebih dari setengah populasi total dunia tinggal di kota-kota. Selain itu, populasi urban pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 70% (UNFPA, 2007). Pengembangan megapolis ini menjadi lonjakan konsumsi sumber daya yang berdampak negatif bagi lingkungan. Perencanaan kota memiliki dampak utama pada kehidupan ekonomi dan sosial kemudian, hal itu menentukan keadaan dan prospek untuk pengembangan lingkungan. Maka dari itu, munculnya permasalahan mengenai krisis air dan implikasi pembangunan infrastruktur kerap menjadi isu yang banyak didiskusikan oleh para kalangan masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup luas atau sebut saja para akademisi dan organisasi sosial yang memang secara khusus mengkritisi permasalahan ini. Perubahan secara signifikan kemudian berkembang pesat awal 2000-an seperti konsep green city yang berakibat timbulnya perubahan iklim dalam kota.


Dalam penulisannya esai tanggapan ini akan membahas 3 hal yaitu fenomena segregasi sosial yang ditimbulkan dari munculnya konsep green city, kemudian membahas mengenai konsep kota pintar yang mengawali implikasi segregasi sosial tersebut dan terakhir mengenai perubahan iklim yang ditimbulkan oleh kebijakan-kebijakan dari stakeholder. Kemudian, selanjutnya saya akan melanjutkan implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh diskursus ini secara material dan sosial, harapannya tulisan ini mampu menjadi bahan diskusi lanjutan dalam mengawal diskursus ini.


Perkembangan Kota dengan Memakai Sudut Pandang Urban Political Ecology: Studi Kasus Konsep Green City dan Implikasi Segregasi Sosial

Green City adalah istilah yang baru-baru ini memperoleh peningkatan mata uang dalam literatur. Namun latar belakang gagasan ini jauh lebih tua dan dapat dilacak pada gagasan tentang perkembangan kota selama dua abad terakhir. Ketika kota abad kesembilan belas mulai kehilangan cangkang (city walls) dan menyebar ke pedesaan di sekitarnya, hubungan dekat penduduk kota dengan lingkungan hijau (landscapes) mulai menghilang. Rekoneksi yang semula bersifat mengikat, menjadi pudar. Oleh karena itu diperlukan dalam bentuk taman umum. Sistematika ruang terbuka terlihat dalam berbagai perencanaan kota dan model teoretis periode itu. Tema kontinuitas dan hubungan hijau ruang terbuka perkotaan, misalnya, harus dilihat dalam rencana Haussmann untuk kota Paris, dalam rencana Wagner untuk Wina, di taman koridor Olmstead, dalam model Howard tentang "The Garden City", di Ide Eberstadt, Möhring dan Peterson untuk pengembangan Berlin (introduction of green wedges), serta sabuk hijau dan rencana jari hijau dari pertengahan abad ke-20 (Hrdalo, 2013).


Mendefinisikan infrastruktur hijau sebagai jaringan ruang hijau, habitat dan ekosistem dalam wilayah geografis yang ditentukan, yang dapat berkisar dari satu negara ke lingkungan dan mencakup lingkungan liar, semi-liar dan maju (dari lahan basah ke taman kota). Fungsinya mulai dari menyediakan layanan ekosistem hingga meningkatkan kualitas hidup manusia (Komisi Eropa, 2013). Tetapi para peneliti telah menafsirkan istilah ini dengan cara yang berbeda. Mell (2012) mengatakan bahwa infrastruktur hijau telah didefinisikan secara luas dalam literatur yang berarti investasi dalam ruang hijau atau sebagai infrastruktur dengan tujuan berkelanjutan. Roe dan Mell (2013) mendefinisikannya sebagai "bentang alam disengaja" yang sangat dimodifikasi atau direkayasa, yang tidak ditutupi oleh vegetasi spontan. Byrne et al. (2015) melampaui Roe dan Mell dalam menekankan modifikasi manusia dan jasa ekosistem dalam infrastruktur hijau (pemurnian air, pengurangan panas), yang merupakan ruang yang dirancang dengan sengaja. Kemudian, banyaknya fenomena perumahan yang muncul dengan alih-alih pembangunan kota yang ter-integritas dan rapih namun, hal itu menimbulkan segregasi sosial.


Segregasi adalah fenomena sosial yang diteliti dan dikenal luas yang dapat melibatkan berbagai kelompok sosial berdasarkan ras, etnis, agama, identitas seksual atau faktor-faktor lain, dan memiliki berbagai manifestasi, dari pendidikan hingga pemisahan pekerjaan dan perumahan. (White, 1983; Massey & Denton, 1993; Clark & Ware, 1997; Marcuse, 1997; Bjorvatn & Cappelen, 2001; Charles, 2003; Musterd, 2003; Zhang, 2006; Logan & Stults, 2011). Fenomena perumahan adalah fenomena yang menentukan perkembangan historis permukiman perkotaan, dan hasil nya menunjukkan bahwa itu masih ada dalam kehidupan perkotaan mereka. Ini tidak mencolok seperti di kota-kota besar. Sama seperti dalam kasus kemiskinan kota dan kemiskinan pedesaan, tetapi ini adalah masalah penting untuk dipecahkan untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan. “Pada tingkat umum, konsep perumahan adalah tingkat di mana dua atau lebih kelompok hidup terpisah satu sama lain, di berbagai bagian lingkungan perkotaan” (Massey & Denton, 1988: 282). Namun, pada tingkat realitas yang berbeda, segregasi (Pararel dengan polarisasi dan pengucilan) adalah proses yang sangat beragam, dan konsekuensinya membentuk berbagai pola spasial (Park et al., 1925; Burgess, 1928; Duncan & Duncan, 1955a, 1955b; Glazer & Moynihan, 1963; Lieberson, 1963; Taeuber & Taeuber, 1965; Morgan & Norbury, 1981; Hamnett, 2005, 2010).


Konsep perumahan atau sosial-spasial biasanya disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini dapat menjadi faktor umum seperti perubahan ekonomi, atau faktor lokal seperti pengembangan wilayah perkotaan dan infrastruktur, tetapi beberapa penulis menyatakan bahwa pembagian ras atau etnis masyarakat adalah salah satu yang paling kuat di antara faktor-faktor ini. Selain itu, konsep perumahan ini sangat terkait dengan ketidaksetaraan pendapatan antara kelompok sosial atau etnis dalam masyarakat. Saya menganggap hipotesis ini bahwa "segregasi perumahan adalah konstruksi global" dan bahwa perbedaan sosial memiliki bentuk spasial. “Ketimpangan sosial dan hasil spasialnya, diferensiasi atau segregasi tempat tinggal, ada di semua masyarakat maju” (Vaattovaara, 2002: 108). Sebagai contoh kasus, banyak warga asli Betawi pada awal 2000-an meninggalkan Jakarta karena mereka tereleminasi oleh tuntutan kota yang semakin banyak. Permasalahan ekonomi dan politik yang menuntut mereka untuk menjual tanah karena adanya kepentingan dari petinggi perusahaan maupun pemerintah. Banyaknya orang desa yang ke kota juga menambah fenomena segregasi ini semakin nyata.


Fenomena banjir di Jakarta juga menjadi permasalahan yang muncul dari adanya pembangunan kota berdasarkan kepentingan ini. Banyak masalah lingkungan yang berhubungan dengan perubahan iklim telah terjadi. Air badai telah menyebabkan banjir yang mengganggu kehidupan kota normal. Banjir berkaitan dengan kekurangan permukaan serap di dalam wilayah perkotaan (green zone). Zona hijau telah menghilang dalam proses yang cepat dan, dari sudut pandang ekologis, penyebaran perkotaan yang tidak strategis. Pada saat yang sama, hilangnya hutan (konstruksi perkotaan, kebakaran) memperburuk erosi tanah di daerah curam dalam zona perkotaan (Topić et al., 2006). Hilangnya zona hijau dan pertumbuhan zona abu-abu telah menyebabkan panas perkotaan, sangat ditandai di iklim panas dan kering (Otellé et al., 2011, dikutip dalam Northon et al., 2015). Ruang hijau dalam batas kota sangat terfragmentasi. Ini menunjukkan nilai ekologis yang memburuk di dalam wilayah perkotaan. Perkembangan tata ruang kota telah berubah secara dramatis selama abad yang lalu, dengan fragmentasi ruang hijau berkembang lebih intensif dalam beberapa tahun terakhir. Kemudian, dalam perkembangan green city ini menimbulkan suatu konsep tambahan yaitu konsep smart city yang membuat perkotaan menjadi semakin modern dengan dukungan teknologi informasi nya dan juga peng-upgrade-an sumber daya manusia yang tidak gaptek dan bisa memanfaatkan peluang itu agar perkotaan semakin berintegritas.


Perkembangan Konsep Kota Pintar

Konsep “kota pintar” adalah sebuah inovasi yang dimunculkan oleh pendekatan antropologis yang menangani masalah pembangunan kota yang berkelanjutan. Ini melibatkan implementasi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pengelolaan aset perkotaan untuk penggunaan sumber daya yang efektif dan meningkatkan kualitas layanan dan standar hidup yang diberikan kepada warga negara (Albinov et al., 2015). Para ilmuwan secara aktif mempelajari aspek teoritis dan praktis terkait dengan fungsi dan pengembangan kota pintar. Konsep ini memiliki pendukung dan lawan. Yang pertama menyetujui bahwa kota-kota pintar memerlukan perubahan sosial positif melalui pengenalan TIK, meningkatkan manajemen dan mengembangkan sumber daya manusia. Yang terakhir menekankan konsekuensi negatif dari inovasi karena titik buta dalam perencanaan dan pengenalan inovasi. Evolusi konsep kota cerdas dari asal-usulnya ke pandangan paling modern diperkenalkan di Eremia et al (2017). Para penulis percaya bahwa konsep ini berakar dari munculnya istilah "urbanisme" pada tahun 1898. Para pelopor konsep kota pintar adalah semua ilmuwan yang bekerja di bidang urbanistik. Istilah "kota berkelanjutan" muncul pada 1950-an, konsep "kota digital" menjadi populer di akhir 1990-an, tetapi istilah "kota pintar" telah banyak digunakan sejak 2009. Konsep kota pintar didasarkan pada prinsip-prinsip kompetisi dan pengembangan berkelanjutan yang bertujuan untuk memastikan kualitas hidup yang lebih tinggi.


Analisis aspek kunci dari pengembangan kota pintar menunjukkan bahwa setiap kota menggunakan instrumen yang menyebabkan kemajuan yang berbeda. Dalam kemajuan ini, ada beberapa identifikasi permasalahan yang terjadi seperti, konflik kepentingan otoritas kota, warga negara dan bisnis; masalah keamanan informasi (otomatisasi perkotaan sistem mengarah pada peningkatan risiko serangan oleh peretas dan pencurian data). Dengan demikian, setiap kota pintar dalam proses pembangunan menghadapi, baik pendorong dan hambatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Faktor umum yang berkontribusi terhadap peningkatan kota adalah infrastruktur yang dikembangkan, meluasnya penggunaan TIK, keterlibatan warga dalam pengembangan kota, serta kemitraan publik-swasta. Jika melihat Jakarta, persiapan yang dilakukan untuk menjadikan nya sebagai kota pintar sudah sampai ditahap pengumpulan informasi dari warga dan SKPD yang sangat sudah kuat, dengan mengubah data itu menjadi actionable insights sudah menjadi tahapan yang sukses untuk menjadi kota pintar. Konsep yang sudah dilakukan dikota-kota di Indonesia ini bertujuan agar terjadinya transparansi yang jelas oleh pemerintah ke masyarakat agar integritas perkotaan ini semakin kuat dan terbentuklah kota pintar yang diinginkan.


Kesimpulan & Komentar Kritis

Fenomena green city, smart city, dan climate changes yang terjadi ini menjadikan poin penting yang menarik untuk dibahas ketika melihat implikasi yang di hasilkan dari urban political ecology dalam perkotaan. Karena setiap kota memiliki kondisi dan situasi setempat sendiri, fleksibilitas terkait infrastruktur hijau perkotaan sangat penting. Essai ini diharapkan dapat menyajikan, membenarkan, dan memancing diskusi dalam pembahasan penerapan infrastruktur hijau perkotaan tetapi dengan batasan tertentu. Banyak pekerjaan yang perlu dilakukan dalam mengidentifikasi makna baru dan kemungkinan untuk infrastruktur hijau perkotaan di setiap situasi dan lokasi baru. Namun demikian, ada informasi dan data yang cukup untuk kota untuk mengatasi efek negatif dari perubahan iklim dengan menerapkan prinsip infrastruktur perkotaan yang relevan dengan kondisi nya masing-masing.


Kepengaturan dan Gejolak Aktivisme pada Ruang-ruang Bioregional Perkotaan

Fahmi Rizki Fahroji 16/399488/SA/18396


Apa yang telah dituliskan Juan—sebagai kerangka pemikiran—mengenai Urban Political Ecology bercerita tentang perubahan aspek ekologis perkotaan. Sejatinya, Juan mengembangkan kajian perkotaan ini melalui satu kerangka konseptual dari Anne Rademacher (2015). Melalui Anne, Juan merangka pikir bahwa imaji ekologi kota memiliki banyak komplikasi di dalam praktik dan teorinya. Salah satu yang menjadi rujukan Anne, melalui Juan, adalah konsep political metabolism-nya Anna Zimmer. Dalam penerawangannya itu, dijelaskan bahwa Zimmer melihat perkotaan sebagai situs moda produksi antara buruh dan elitnya yang berkelindan. Keterkaitan (interdependence) dua pihak tersebut tak jarang menjadikan kota sebagai lahan/arena kontestasi antara pemilik kepentingan. Alih-alih kontestasi yang merunut pada perubahan lingkungan perkotaan, ternyata telah menyiratkan dimensi yang menyokong terjadinya perubahan aspek ekologis perkotaan, yaitu Neoliberalisme (ekonomi neoliberal). Dimensi ini mengaitkan ruang kota sebagai sarana akumulasi kapital pasar global. Namun, Juan sama sekali tidak mengontekstualisasikan paham tersebut dalam studi kasusnya yang mana menjadi ‘penggantungan’ suatu diskursus.


Berbeda dengan Bapi, ia menjelaskan perkara perkotaan dengan aspek material dan implikasinya secara sosial. Kritikan Bapi terhadap konsep Urban Political Ecology mendorong kemunculan wawasan baru bahwa sejatinya inklusifitas ruang perkotaan di Jakarta, konsep green city di kota-kota tertentu, dan ruang terbuka hijau (green zone) yang menjadi pengaplikasi konsep ini memiliki kontradiksi. Di dalamnya, kontradiksi ini muncul sebagai bagian dari ketidakmerataannya pembangunan dan ilusi inklusifitas yang sebenarnya hanya meng-eksklusikan kelas-kelas tertentu. Namun, satu hal yang menjadi komentar saya adalah penjelasan Bapi kurang begitu tersampaikan melalui bahasanya. Agaknya, ia terlalu melihat pada aspek kasusnya, namun tidak menyertai konsepsi yang ia pakai untuk mendukung kasus-kasus tersebut.


Terlepas dari kedua tanggapan tadi, saya mengapresiasi kerja para penulis di atas untuk menjelaskan konsep urban political ecology melalui kacamata Antropologi. Meskipun, keduanya belum mampu merepresentasikan konsep Ekologi Politik Perkotaan, setidaknya apa yang disampaikan Juan dan Bapi memunculkan kata kunci baru bagi saya untuk melanjutkan penjelasan, yaitu ruang kota dan keterkaitannya dengan neoliberalisme, konsep ‘green city’, dan identitas kelas. Maka, dalam tulisan ini saya akan menelaah kembali diskursus Urban Political Ecology dan menyelaraskannya dengan konsep urban bioregionalism (Church, 2015) yang melihat kota adalah bagian dari koneksi antara manusia (culture) dan alam (nature). Di dalam menjelaskan gejala Bioregional Perkotaan tersebut, saya mencoba menerawang kembali pada kebijakan-kebijakan dan penatalayanan negara dalam mengatur ruang-ruang kota. Untuk memasyarakatkan konsep ini, aplikasi ruang hijau di Vauban, Freiburg menjadi percontohan dalam konsep urban bioregionalism sebagai aspek kepengaturan negara, serta memaparkan catatan etnografis saya tentang green party dan aktivisme lingkungan di Freiburg sebagai implikasi dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang muncul terkait perkotaan dan lingkungan.


Eksklusi dan Neoliberalisasi Perkotaan: Sebuah Kerangka Kajian Ekologi-Politik

Dalam diskursus ekologi politik perkotaan, kajian neoliberalisme tak bisa dilepaskan dari kungkungan politik. Ia menjelma menjadi ruh dalam pembentukan kota-kota baru—kota-kota global. Diskusi mengenai kontekstualisasi kota global (global city) dengan neoliberalisasi kota telah muncul melalui Saskia Sassen (2007) dalam artikelnya yang berjudul “The Global City”. Global City yang dimaksudkan adalah kota dengan pertumbuhan ekonomi yang sudah di-neoliberalisasi. Kota-kota global adalah pusat pelayanan dan pembiayaan perdagangan internasional, investasi, dan operasi kantor pusat (2007: 171). Di kota global, batas antara pembangunan kota dengan ekonomi transnasional menjadi kabur. Antara kepentingan ekonomi dan pembangunan kota kadang tidak berpadu dalam satu wujud yang pasti. Akibatnya, akses, eksklusi, dan resistensi yang Juan sampaikan tadi menjadi-jadi dalam konteks ini.


Kalau melihat dua tulisan sebelumnya, konteks kasus yang dibangun semuanya berasal dari Asia. Kesenjangan kelas akibat kepentingan-kepentingan tertentu serta pergeseran identitas antara warga asli dengan pendatang menjadi satu pernyataan bahwa ekologi politik perkotaan tidak berjalan mulus di kota-kota di Asia. Namun sebenarnya kita tidak bisa mendiskreditkan kalau mimpi kota impian berupa kota hijau atau kota global itu berkiblat dari dunia bagian utara, negara-negara Eropa. Katakan saja, produk material green zone atau greening dalam kota merupakan wujud dari konsep ekologi politik perkotaan. Namun dalam praktiknya, green zone tersebut tidak bisa diterapkan di negara di kota-kota Asia karena adanya kesenjangan dan ketidaksetaraan antara lanskap yang dihuni kelas menengah atas dan kelas menengah bawah. Akibatnya, beautifikasi kota tidak bisa dicanangkan di kota-kota Asia.


Barangkali artikel Erick Harms (2016) mampu menenggarai kegelisahan terkait kota-kota di Asia yang mengimitasi kota-kota impian di belahan dunia lain. Melalui Friedmann dan Sassen, Erick melihat kalau kota-kota yang mulai mengentaskan masalah ruang dan ikut-mengikut dunia global, kota-kota ini—yang mana kebanyakan kota Asia—telah berpindah dari pinggiran ke pusat sistem global, atau disebut “world cities”. Beautifikasi, yang dalam abad ke-21 ini kerap kita dengar, ternyata sebuah politik perkotaan dalam menata ruang-ruang. Namun, pernggalan kata itu pun memunculkan kontradiksi tersendiri. Ia tak hadir dengan begitu saja untuk menyulap kota dengan bagus. Proses inklusi yang diagung-agungkan dan digaungkan untuk kepentingan manusia, telah merenggut ruang manusia lainnya. Ruang ini biasa kita sebut ruang slum, masyarakat pinggiran, yang masih bergelut dengan kontroversi hak atas kota (right to the city).


Urban Bioregionalism: Aplikasi Ruang Hijau di Vauban, Freiburg

Urban Political Ecology selalu menampikkan narasi-narasi ekologis dalam ruang-ruang di perkotaan. Anne Rademacher (2015) menyebutkan kalau pembingkaian nature-culture dalam ruang perkotaan menjadi wacana para stakeholder untuk membentuk suatu environmental consciousness dan environmental awareness publik terhadap kota. Akibatnya, konsep kota hijau (green city) dan sederet istilah yang environmentalist diimajinasikan sebagai suatu impian daerah di tengah gejolak perubahan iklim yang tidak menyamankan publik di ruang-ruang perkotaan. Dalam hal ini, saya mencontohkan gejala urban bioregionalism karya Church (2015)—sebagai suatu konsep lanskap perkotaan dan sumber daya alam—yang melihat tiga komponen penting penciptaan kota hijau yang berkelanjutan (sustainable living) dengan mengaitkannya pada data penelitian saya tentang satu distrik yang dari 1994 sudah menjadi kawasan hijau perkotaan. Tiga komponen itu antara lain: (1) municipal policies, (2) Neighborhood-oriented stewardship, dan (3) Individual actions.


Bioregionalisme perkotaan atau Urban Bioregionalism dirasa cocok untuk menjadi kerangka konseptual karena mengacu pada prinsip-prinsip perubahan katalis untuk menciptakan kerangka pragmatis di dalam kota-kota yang memang memiliki tujuan untuk menjadi green city. Hal ini mendorong akses manusia ke alam serta menciptakan peluang untuk terlibat dengan alam baik secara individu maupun dalam komunitas. Meskipun model ini mungkin tampak sederhana dalam hal realitas perencanaan kota, politik, dan ekonomi, Church melihat kalau ini dapat memberikan jalan bagi perencana dan pembuat keputusan untuk mempertimbangkan hubungan manusia-lingkungan sebagai bagian dari pembuatan kebijakan dan pengembangan program. Potensi perubahan inkremental ke daerah perkotaan dapat dilihat melalui dampak kumulatif proyek-proyek bioregional seperti restorasi ekologis, alam atau lingkungan hijau sebagai tulang punggung infrastruktur, dan kebijakan bioregional lainnya, bersama dengan komitmen menuju dialog terbuka dan populasi yang aktif dan terinformasi (2015: 8).


Vauban, salah satu distrik di Freiburg, Germany, telah menjadi distrik ‘hijau’ sejak 1994. Saat itu, impian kota Freiburg menjadi green city mulai terbangun akibat kebijakan pemerintah yang solid dan peran serta aksi masyarakat dalam mewujudkannya. Urutan ini yang menciptakan terwujudnya municipal policies (1) dalam komponen urban bioregionalism. Lalu, Pengalaman saya tinggal di Merzhausen, satu distrik ke selatan setelah Vauban, membuat saya selalu memperhatikan ruang-ruang publik di sana. Ruang-ruang itu dipenuhi oleh gedung-gedung yang dipasangi solar panel, solar garage sebagai tempat parkir berbayar untuk kendaraan bermotor, dan kesepakatan masyarakatnya dengan mobilitas ekologi yang sangat tinggi.


Cerita serupa juga muncul dari Heather Rogers (2010), seorang Jurnalis asal Amerika yang juga sempat bertandang ke Vauban, dengan ceriteranya dalam buku Green Gone Wrong. Ia begitu terkejut ketika hampir semua penduduk berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan transportasi publik (tram) untuk mobilitas sehari-hari. Menurutnya, distrik hijau Vauban terbangun atas konsep eco-architect­-nya Selbstorganisierte Unabhängige Siedlungs-Initiative (SUSI). Ide-idenya muncul untuk memasyarakatkan konsep self-government dan environmental sustainable. Maka, ketika itu terbentuk, Forum Vauban yang disponsori juga oleh The Stadtteilverein Vauban e.V. menyepakati ruang-ruang di daerah ini untuk dibentuk dan dikawinkan dengan ecological awareness supaya menjadi lingkungan yang berkelanjutan (sustainable environment). Ini menjadi komponen kedua dalam konsep bio-regional perkotaan, yaitu penataan berbasis lingkungan (2). Lantas, perubahan pada lanskap perkotaan semacam ini memunculkan skema baru dalam relasi sosial dan budaya konsumsi pada masyarakat urban di Vauban, yang menjadi pembentuk kompenen ketiga, yaitu tindakan individu mengindahkan environmental consciousness.


Gambaran Vauban sebagai distrik hijau tentu tak lepas dari peran pemerintah sebagai pengatur yang menjalani “governmentality” daerahnya dengan kebijakan-kebijakan green. Konsep kepengaturan atau kepenertiban (governmentality), dipopulerkan oleh Foucault (1991). Ia melihat bagaimana suatu kuasa tertentu mampu memperbaiki dan menata satu peraturan untuk mencapai cita-cita yang diimpikannya. Dalam hal ini, urban bioregionalism menjadi suatu kesepakatan Freiburg dalam mewujudkan mimpi green city melalui kepengaturan negara melalui tata layanan ruang hijau di distrik-distrik tertentu, salah satunya Vauban. Maka kiranya pernyataan Rogers di bawah ini menyimpulkan sub-bab pengaplikasian ruang hijau di Vauban:

What you see in term of planning in Vauban is the result of social planning and a different consciousness, a self-organization of the people. Instead of just complaining about it, people have do something.” (2010: 79).


Kemunculan Partai Politik dan Aktivisme Lingkungan dalam Diskursus Urban Political Ecology

Demand yang tinggi terhadap lingkungan membentuk perhatian publik dalam melihat isu-isu lingkungan baik dalam tataran global dan lokal mencuat tinggi. Akibatnya, muncul lah aktivisme-aktivisme lingkungan berbasis kedaerahan yang menyuarakan isu-isu global. Dalam Deep Democracy: Urban Governmentality and The Horizon of Politics-nya Arjun Appadurai (2001), ada dua poin terkait demokrasi mendalam (deep democracy). Pertama, Appadurai ingin mengajak kita mengkritisi praktik politik pemerintahan, hal ini juga menjadi wadah kritisi untuk wujud kota dalam urban political ecology. Kemudian yang kedua, deep democracy juga menciptakan gerakan-gerakan baru: gerakan akar rumput. Yang mungkin relevan dalam hal ini adalah aktivisme lingkungan dikatakan bagian dari deep democracy di tengah kesepakatan ruang-ruang perkotaan. Aktivisme di sini berarti mereka yang menyuarakan (advokasi) persoalan lingkungan dengan melakukan demonstrasi kepada pemerintah untuk menyelesaikan senarai permasalahan. Namun, perhatian kepada lingkungan yang lain dapat tersalurkan juga dengan menggunakan hak-hak pilihnya dalam pemilihan Europa di tahun 2019 ini. Salah satu partai politik yang juga menuntut hak-hak lingkungan baik di perkotaan maupun dalam lingkup global adalah Grüne (the green party). Grüne atau partai hijau yang identik dengan paham kiri yang memiliki suara untuk menyuarakan isu lingkungan. Pada tahun politik Eropa 2019 ini, green party menempati urutan pertama di kota Freiburg dengan perolehan hasil 38.5% (Sumber: The Federal Returning Officer, Wiesbaden 2019)

Sumber: https://www.bundeswahlleiter.de/en/europawahlen/2019/ergebnisse/bund-99/land-8/kreis-8311.html

Menurut Rogers (2010: 85), The Green Party sejak pertama kemunculannya di Freiburg pada tahun 1970an, menjadi generasi partai yang kuat dan menempati urutan ketiga setelah Social Democratic Party (SDU) dan Christian Democratic Party (CDU). Saya sendiri tidak terkejut dengan perolehan nilai atau posisi green party dalam hasil Pemilihan Parlemen Eropa di Freiburg. Masalahnya, “kepengaturan” kebijakan-kebijakan dan sistem pemerintahan yang environmentalist turut mengikutsertakan peran masyarakat dalam melihat cita-cita kota, sebagai green city. Freiburg memang sudah jelas mencanangkan environmental consciousness melalui kebijakan-kebijakannya, dan tak heran apabila kali ini green party menang di kota hijau tersebut. Apalagi, kemunculan generasi muda baru yang memicu kepedulian terhadap lingkungan menjadi tinggi.


Kiranya kemunculan generasi muda yang menjadi patok perjuangan baru dalam menyuarakan lingkungan termanifestasi dalam gerakan-gerakan aktivisme. Misal, kemunculan “Friday For Future” di Jerman—seperti dilansir oleh DW—secara umum telah melahirkan wacana politik baru bagi generasi muda. Hal ini justru mendorong anak muda lainnya—yang telah memiliki lisensi memilih—turut berpartisipasi dalam pemilihan parlemen. Namun, tujuannya bukan hanya menumbuhkan kepedulian terhadap politik, tetapi juga motivasi aktivisme itu sendiri hadir karena kohesi sosial yang dibangun atas dampak dari kondisi sosial (atau dalam hal ini lingkungan). Nilan (2015: 62) melihat bahwa menjadi atau tidak menjadi “aktivis” adalah tentang proses subjektivitas (proses penerimaan diri terhadap kondisi). Dampak koheren sosial antara diri individu dan kondisi sosial akan mendorong orang untuk menjadi aktivis. Nilan mengibaratkan gerakan aktivisme itu seperti sebuah rhizome atau tumbuhan menjalar. Kalau dikaitkan, kemunculan aktivisme lingkungan hadir melalui jaringan sosial yang menjalar, yang merebut pergerakan orang untuk terjun ke jalan menyuarakan isu lingkungan.


Barangkali kita bingung dengan apa yang sebenarnya aktivisme ini suarakan. Kalau melihat diskusi sebelumnya, konsep urban political ecology terbentuk atas banyak aspek. Ia tidak hanya sebagai sebuah konsep, tetapi juga termanifestasi dalam sebuah bentuk pembangunan kota, yang tak jarang dan tak luput dari narasi neoliberalisme. Isu-isu yang menjangkit setelahnya seperti, kesenjangan kelas di Asia, marjinalisasi dan eksklusifitas ruang kota serta dampak yang menyertainya terhadap lingkungan menimbulkan sebuah gerakan-gerakan advokasi. Ia menjadi masif manakala di kota di negara maju, seperti Jerman, isu lingkungan menjadi momok penting karena demand yang tinggi (kepengaturan ekologis yang sudah rapih) terhadap lingkungan telah membentuk jiwa-jiwa kepedulian mereka menumbuh—yang juga bepengaruh kepada apa yang mereka suarakan secara global. Maka dari itu, perubahan ecological awareness tidak hanya mewujud di ruang-ruang perkotaan, tetapi juga kemunculan aktivisme secara transnasional mewabah dalam bentuk penyuaraan kontradiksi-kontradiksi atas dampak dari ekologi politik di perkotaan.


Kesimpulan

Pada intinya, konsep urban political ecology tidak se-sempurna yang dibayangkan. Impian kota yang hijau, ruang terbuka kota yang infklusif dan perhatian social­-nature yang tinggi tidak bisa dibayangkan sebagai sebuah elemen tunggal dalam diskursus perkotaan. Ia memiliki sederet permasalahan mulai dari peran elit sebagai pelancang ekonomi neoliberal, elit sebagai pemilik kapital, hingga isu identitas dan kelas di kalangan akar rumput (grass root). Dalam praktik pembangunan ruang-ruang ekologis kota, term “hijau” dan misi menghijaukan (greening) ruang tentu tak luput dari kepengaturan negara sebagai stakeholder. Itu juga kiranya apa yang Anne katakana bahwa “lingkungan kota tidak pernah merupakan konstruksi sosial yang eksklusif. Pengaturan biofisik, termasuk lanskap perkotaan yang padat, tidak dapat ditempa secara tak terbatas, terlepas dari kontrol dari pemerintah dan kuasa atas kota”. Maka, tak jarang implikasi dari kota-kota dengan kepengaturan yang sudh stagnan dengan ruang-ruang hijau nan politis itu memunculkan sebuah skema baru pergerakan akar rumput, yaitu aktivisme. Aktivisme yang menyuarakan isu-isu lingkungan dengan dalih meraih perhatian generasi muda yang dirasa perlu untuk menunjukkan eksistensinya sebagai generasi yang bertanggung jawab. Kiranya juga, ini menjadi apa yang oleh Appadurai sebutkan sebagai demokrasi mendalam (deep democracy). Demikian lah ruang kota disulap tidak hanya untuk menciptakan ruang-ruang yang disepakati para elit, namun juga menjadi arena kontestasi perebutan hak atas kota (right to the city) di antara para masyarakat kelas dua—kelas bawah—dan para aktivis baru generasi muda.


Urban Political-Ecology: Tanggapan Diskusi dan Analisis Diskursus Mendatang

Muhamad Fathi Mujadidi (16/399489/SA18397)


Dalam tulisannya, Juan mengemukakan secara deskriptif mengenai kajian studi ekologi politis ini sebagai sebuah konsep—seperti yang dikemukakan oleh Rademacher (2015), serta memberikan analisis kritis dengan memberikan salah satu studi kasus yang terjadi pada wilayah urban. Melalui hal tersebut, dia mencoba mengungkapkan ‘imaji’ tentang permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dalam lingkungan ekologi di tataran urban dengan memahami apa yang disebut sebagai ‘imaji’ ekologi perkotaan. Di dalamnya, peran urban ecology sebagai sebuah perspektif ternyata memberikan cara pandang yang mampu memberikan pemahaman mengenai kemungkinan transformasi dalam ruang urban, dan kemudian menjawab pertanyaan seputar implikasi dan konsekuensi yang didapatkan ketika melibatkan aspek ekologis pada dinamika wilayah kota.


Elemen serta dimensi yang mampu ditelaah lebih dalam terkait konsep ekologi politik urban ini kemudian menjadi lebih bervariasi ketika Juan mengemukakan perkembangannya dari waktu ke waktu. Namun, ide yang disampaikan melalui studi kasus yang dipaparkan masih terlalu sempit karena hanya membahas mengenai politik perebutan akses air yang terjadi di Yogyakarta. Meskipun begitu, dasar argumen tentang konsep urban dan perkembangan studi ekologi poltisi di dalamya sudah mencakupi salah satu faktor kunci yang bermain yaitu sistem relasi-kuasa yang kuat sekali mendominasi ketika menyinggung isu lingkungan pada tataran urban.


Alfian dalam tulisan berikutnya kemudian menambahkan studi kasus lain mengenai transformasi ruang yang terjadi sebagai faktor kunci yang menguatkan argumen ketika hal tadi bersinggungan—bukan hanya pada aspek material yaitu infrastruktur secara fisik seperti pembangunan dan kebijakan, melainkan juga aspek sosial. Hal inilah yang membuat kota pada akhirnya dilihat sebagai sesuatu yang mewah; membentuk eksklusi-eksklusi tertentu yang dalam kasusnya memberikan segregasi kepada orang-orang yang tidak memiliki akses terhadap kemewahan tersebut. Selain itu, Alfian juga menelaah fenomena-fenomena seperti green city dan smart city yang turut mendukung eksklusifitas kota, konsep perumahan yang menghasilkan fenomena segregasi pada konteks sosial-spasial, serta hubungan politisasi kebijakan yang memperparah kondisi lingkungan dalam kaitannya dengan perubahan iklim.


Meskipun dari tiga poin yang disampaikan berhasil merangkum isu-isu yang dewasa ini terjadi dalam wacana ekologi-politis urban, namun kasus-kasus yang dibawakan kurang dalam ketika menyelami kompleksitas permasalahan wacana tersebut. Ide mengenai implikasi material dan sosial yang bersinggungan dengan permasalahan ekologi politis memang memiliki kemungkinan yang luas. Menilik lagi ketika ‘urban’ sendiri bukan hanya sebatas pada tataran wilayah saja, melainkan ide dan konsep yang didalamnya mencakupi banyak aspek-aspek sosial dan budaya. Implementasikan sudut pandang ekologi-politis dari satu kota ke kota lainnya, maka hasil dari observasi dan analisis bisa jadi berbeda 180 derajat—meskipun kedua pembanding sama-sama diidentifikasi sebagai wilayah urban.


Selanjutnya, Fahmi kembali menambahkan penekanan terhadap diskursus perihal ekologi politik yang di dalamnya mencakupi isu neoliberalisme, marjinalisasi, perubahan akses, serta ekskulisifitas. Memunculkan sebuah dorongan pada para pembuat kebijakan untuk memberikan sarana-sarana baru dimana kota dijadikan sebagai medium untuk mewujudkan visi pembangungan yang tetap menjunjung nilai-nilai ekologis—kebijakan yang berasaskan environmentalis. Hal ini juga telah mendorong penduduk yang ada di dalamnya memilik kesadaran terhadap isu-isu ekologi urban, serta memunculkan gerakan-gerakan berbentuk aktivisme yang turut memobilisasi isu-isu lingkungan. Segala aspek yang Fahmi tuliskan dalam menanggapi dua tulisan sebelumnya kemudian diselaraskan dengan konsep yang dikutip dari Church mengenai bioregionalisme urban. Konsep tersebut dianggap penting, karena kemamuannya sebagai bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk melihat bahwa baik individu maupun komunitas, memiliki akses keterlibatan yang cukup kuat ketika ingin melibatkan diri sistem ekologi-politis.


Studi kasus yang diajukan secara spesifik merujuk pada Vauban sebagai salah satu distrik hijau yang ada di Jerman. Hal ini semakin menguatkan isu-isu yang sebelumnya sudah dibawakan ketika politisasi kebijakan yang dimainkan oleh pemerintah mampu mempengaruhi aspek-aspek ekologis di ruang perkotaan. Selain itu bukti bahwa adanya aktivisme dari suatu kelompok/komunitas tertentu juga kuat mendukung adanya kepentingan yang ingin disuarakan oleh masyarakat yang ada di wilayah urban. Namun ide yang disampaikan belum mampu memberikan diskusi yang lebih luas lagi, lantaran aktivisme yang dijadikan sebagai contoh kasus belum mampu menunjukkan diri sebagai aspek yang signifikan dalam perkembangan diskursus ini. Hal ini mungkin saja terjadi karena konsep aktivisme yang diajukan belum diberikan batasan-batasan, yang memungkinkannya menjadi sebuah aspek-aspek komparatif yang mampu membawa isu regional tersebut menjadi wacana global. Namun demikian, tetap saja wacana aktivisme akan menjadi kuat pengaruhnya apabila dilakukan studi yang lebih mendalam di masa mendatang.


Pengaruh Kapital dan Perkembangan Neoliberalisme

Dari tiga tulisan yang mewarnai diskursus mengenai politik dalam permasalahan ekologi ruang urban di atas, ada tiga pemeran yang paling mendominasi dalam lingkup bahasan serta kasus-kasusnya; pemerintah yang membuat kebijakan, perusahaan atau investor yang melangsungkan pembangunan, serta masyarakat yang tinggal dalam cakupan wilayah urban. Ketiganya tulisan di atas berhasil memberikan bukti-bukti kuat yang mengarahkan bahwa diskursus perihal urban ekologi politis ini bermuara pada neoliberalisme; visi besar dalam pembangunan serta dominasi kapital di era globalisasi. Ketika hal tersebut berkembang, maka yang terjadi—seperti pada kasus-kasus yang dibawakan tiga tulisan sebelumnya—adalah terpecahnya kepentingan-kepentingan yang kemudian saling beradu paham.


Dalam pembahasan yang lebih lanjut mengenai neoliberalisme, memang kaitannya dengan transformasi ruang serta aspek sosial ini sudah terlebih dahulu ramai dibicarakan dalam kajian wilayah rural dan persoalan agraria. Hal itu juga yang membuat penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai bahasan ekologi-politis ini dikembangkan dan ditempatkan pada tataran urban setelah berhasil dirincikan unsur konep serta kewilayahannya. Dalam kajian yang membahas politisasi kebijakan serta dampak terhadap lingkungan dan masyarakat rural, erat hubungannya dengan sejarah perkembangan suatu negara. Namun, karena bahasan tersebut merupakan tajuk yang berbeda dari keseluruhan tulisan ini, maka saya hanya akan memberikan bahasan terkait yaitu mengenai fragmentasi yang terjadi.


Kuatnya peran kapitalisme global dan juga dominasi dari kelas-kelas sosial tertentu memang menjadi muara permasalahan isu-isu urban—bahkan saya rasa lebih kuat implikasinya dibandingkan dengan permasalahan wilayah rural apabila berbicara mengenai kaitannya dengan isu lingkungan dan politisasi yang terjadi di dalamnya. Mengutip dari David Harvey, hegemoni neoliberalisme telah menjadikannya sebagai diskursus tersendiri yang dampaknya telah meresap, baik dalam cara berpikir maupun secara praktik dari unsur politik-ekonomi, sampai kepada titik dimana hal itu telah merasuk ke dalam akal dan cara kita menafsirkan, hidup, dan memahami dunia (2007, hal. 23).


Harvey berpendapat bahwa penciptaan sistem neoliberal ini telah menyebabkan banyak kerusakan, yang bukan hanya meliputi kerangka kerja dan kekuasaan institusi terkait saja (seperti negara terkait yang seharusnya memiliki kedaulatan atas urusan politik-ekonomi) tetapi juga pembagian kerja, hubungan sosial, visi terhadap kesejahteraan, campur tangan teknologi, cara hidup, kebergantungan pada tanah, kebiasaan hati, cara berpikir, dan sejenisnya (2007, hal. 23). Berkaitan dengan persoalan ekologi-politis pada wilayah urban, hal ini menurut saya juga menjadi alasan kuat bagaimana persoalan mengenai wacana terkait seringkali menemui kesulitan dalam mencari jalan keluar.


Hal ini yang ditengarai dan disebut sebagai fragmentasi, karena ketika pemeran-pemeran yang bermain di dalamnya memiliki kepentingan yang berbeda antar satu sama lain, maka terciptalah fragmentasi yang memunculkan adanya permasalahan struktural terkait; antara yang memiliki kekuasaan yang lebih besar dengan orang-orang terdampak yang secara relatif memiliki kekuasaan lebih kecil. Seperti yang dianggap oleh Edward Aspinall (2013) sebagai penyebab terjadinya fragmentasi kepentingan ini, patronase dan desentralisasi lah yang membuat kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu. Permainan dan sistem politik sebesar inilah yang terkadang membuat aktivisme dalam persoalan lingkungan terlihat tidak signifikan dan tak mampu mempengaruhi apa yang telah terjadi dalam skala lebih besar pada politik tingkat atas. Namun hal tersebut bukan berarti mematikan argumen bahwa apa yang dilakukan masyarakat di tingkat bawah mampu mempengaruhi diskursus ekologi-politis urban—justru mendukung dan memperkaya sudut pandang mikro untuk kedepannya dijadikan sebagai sebuah wacana tersendiri yang lebih dalam.


Melihat Infrastruktur Politik dan Sosial

Dalam diskursus mengenai konsep ekologi-politis urban yang sudah dibahas dan didalami dalam tiga tulisan sebelumnya, saya rasa dari ketiganya belum mampu memberikan cara pandang yang kuat dalam melihat fenomena-fenomena. Lemahnya fenomena pada studi kasus ketika dibawakan untuk melengkapi konsep dan ide yang ditawarkan menurut saya merupakan salah satu faktornya. Dari ketiga tulisan tersebut, hanya analisis pada studi kasus distrik Vauban yang mampu memberikan wacana diskusi baru terkait penyelesaian permasalahan ekologis di ruang urban. Apabila melihat sekilas, agaknya sekumpulun kasus-kasus kecil ekologi-politis urban dalam tulisan sebelumnya belum mampu memberikan signifikansi keberpengaruhan yang kuat—apalagi melihat wacana neoliberalisme yang seakan terlalu kuat dan tidak mampu digoyahkan. Namun membahas hal tersebut memang tidak bisa dilakukan dengan sekilas. Butuh kajian lebih dalam dan lebih dari sekedar permukaan untuk membuka diskusi-diskusi baru terkait penyelesaian permasalahan diskursus ini. Pemahaman lebih dalam yang saya maksud adalah dengan melihat lebih jauh dari apa yang mampu dilakukan observasi saja, yaitu berkaitan dengan pemaknaan dan hubungannya dengan politik infrastruktur yang ada pada wilayah urban.


Di akhir diskursus ini, alih-alih melihat permasalah urban-ekologi politis hanya dari segi infrastruktur material, kebijakan, serta politisasi tingkat yang terjadi, saya pikir cukup krusial untuk menelaah lebih dalam mengenai pemaknaan dari infrastruktur sosial, aspek-aspek kebudayaan, serta politik tingkat lokal. Ketika sudut pandang yang dipakai adalah dengan melihat infrastruktur sebagai objek, maka pemilihan metodologi hanyalah menjadi pertanyaan yang teoritis (Larkin, 2013)—karena di dalamnya terdapat keberagaman, hingga analisis bisa dilakukan dengan berbagai cara yang berbeda-beda. Studi mengenai ekologi-politis urban yang telah dilakukan kebanyakan berkutat pada infrastruktur fisik, yang mana jelas menguntungkan kekuatan kapital dengan kepemilikan atas teknologinya yang lebih besar. Hubungan yang bisa dicapai melalui pandangan tersebut kemudian hanya akan berkutat pada manusia serta kebergantungannya pada teknologi dalam jaringan-jaringan yang statis.


Dalam melihat infrastruktur ini, Larkin (2013) memaparkan bahwa apabila berfokus pada bentuk (politics) serta pada pemaknaan (poetics), maka pemahaman yang lebih jauh mengenai politik dan kebijakan serta makna-makna yang ada didalamnya akan lebih mudah untuk didapatkan. Salah satu contohnya adalah ketika dia mengambil analisis yang dilakukan oleh Mrazek (dalam Larkin, 2013) melihat fenomena material pada infrastruktur:


The road, as an expression of ´Dutchness, was clean but a cleanliness that was continually threatened by dust. Blown when the feces of horses and buffalo dried in the hot sun, mud was also tracked onto the road via the dirty feet of native pedestrians threatening to soften the road’s hardness. This problem was part of a fargreater complication for the Dutch: There was too much softness in the Indies, where even the air seemed to have water in it. Tropical rain soaked, weakened, and eroded the roads.” (hal. 337)


Ketika melepaskan fungsi teknis dari infrastruktur yang dibuat oleh pemerintah, maka yang tersisa adalah pemaknaan dari masyarakat tersebut yang merepresentasikan sebuah fakta sosial yang terjadi.


Kembali pada diskursus mengenai ekologi-politis urban, penyelesaian permasalahannya nampak masih sangat jauh dari kata memuaskan. Namun apabila melihat dari sudut pandang antropologis, bukan tidak mungkin penyelesaian persoalan-persoalan terkait akan mendapatkan titik temu. Tinggal bagaimana infrastruktur fisik serta politik yang ada di dalamnya, mampu dipertemukan dengan apa yang dipahami dan dimaknai oleh masyarakat dalam tataran urban. Eksplorasi yang lebih lanjut dalam tiap-tiap wilayah urban yang berbeda akan menghasilkan keluaran yang berbeda-beda pula, tergantung pada lingkungan ekologis serta pola pikir-perilaku masyarakatnya—dengannya semakin memperkaya variasi dan luas pemahaman mengenai diskursus ekologi-politis pada wilayah urban.


Referensi

Appadurai, Arjun. 2001. Deep Democracy: Urban Governmentality and The Horizon of Politics. Duke University Press: Environment&Urbanization Vol 13 No 2 October.

Aspinall, Edward. 2013. A Nation in Fragments. Critical Asian Studies, 45:1. hal. 27-54. https://doi.org/10.1080/14672715.2013.758820

Batubara, Boshman. 2017. "Ekologi Politis Air: Akses, Eksklusi, dan Resistensi." Jurnal Transformasi Sosial 3-24.

Church, Sarah P. 2015. Exploring Urban Bioregionalism: a synthesis of literature on urban nature and sustainable patterns of urban living. Purdue University, Department of Forestry and Natural Resources. S.A.P.I.E.N.SVolume 7 issue 1 2014, https://www.researchgate.net/publication/277009342.

Foucault, Michael. 1991. "Governmentality," dalam The Foucault Effect: Studies in Govemmentality, Burchell et.al. (eds.). Chicago: University of Chicago Press, hlm. 87- 104.

Garrett Eckbo. 2015. Economics/ecology: Ecology/economics

Harms, Erik. 2016. Urban Space & Exclusion in Asia. Annual Review of Anthropology, Vol. 45:45-61, https://doi.org/10.1146/annurev-anthro-102215-100208.

Harvey, David. 2007. Neoliberalism as Creative Destruction. In ANNALS, AAPSS, 610, hal. 22 44.

Ines Hrdalo, Dora Tomić and Petra Pereković. 2015. Implementation of Green Infrastructure Principles in Dubrovnik, Croatia to Minimize Climate Change Problems

Jenő Zsolt Farkas, József Lennert, András Donát Kovács And Imre Kanalas. 2017. Impacts And Consequences Of Residential Segregation Of Roma In Urban Spaces Case Studies From Hungary.

Larkin, Brian. 2013. The Politics and Poetics of Infrastructure. Annual Review of Anthropology. hal. 327-343.

Natalia Veselitskaya, Oleg Karasev And Alexey Beloshitskiy. 2019. Drivers And Barriers For Smart Cities Development

Nilan, Pam and Wibawanto, GR. 2015. “Becoming” an environmentalist in Indonesia. Elsevier, http://dx.doi.org/10.1016/j.geoforum.2015.03.023.

Putsanara, Dipna Videlia. 2017. Warga Yogya Menolak Pembangunan Hotel dan Apartemen. Juli 10. Accessed Juni 26, 2019. https://tirto.id/warga-yogya-menolak-pembangunan hotel-dan-apartemen-csjG.

Rademacher, Anne. 2015. Urban Political Ecology. Annual Review of Anthropology, Vol. 44, pp. 137–52, 10.1146/annurev-anthro-102214-014208.

Rogers, Heather. 2010. Green Gone Wrong: Dispatches From The Front Line of Eco Capitalism. London: Verso.

Sassen, Saskia. 2007. “The Global City.” In David Nugent dan Joan Vincent (eds.), A Companion to the Anthropology of Politics, https://doi.org/10.1002/9780470693681.ch11.

Wahyudi, M. Zaid. 2012. Hampir 54 Persen Penduduk Indonesia Tinggal di Kota. Agustus 23. Accessed Juni 26, 2019. https://nasional.kompas.com/read/2012/08/23/21232065/%20Hampir.54.Persen. Penduduk.Indonesia.Tinggal.di.Kota.

Zimmer, Anna. 2010. "Urban Political Ecology: Theoritical concepts, challenges, and suggested future directions." Erdkunde 343-354.

108 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page