top of page

Festival Sumba: Pameran Pengetahuan Budaya “Rindu Ku Sumba” dan Ritual Kedde Masyarakat Sumba

Ditulis oleh Ali Akbar Muhammad dan Iga Rasyid Mulya


Proses setting pameran foto di Lantai 7 Gedung Soegondo FIB UGM (Doc.pribadi)

Pada pelaksanaan Festival Sumba yang diselenggarakan tanggal 23-31 Oktober 2018 oleh Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi (LAURA) yang di panitiai oleh mahasiswa Departemen Antropologi UGM program S1 dan S2 di Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta menampilkan Pameran Pengetahuan Budaya “Rindu Ku Sumba” dan salah satu budaya tradisi adat dari Sumba yakni Ritual Kedde. Merupakan kesempatan yang langka untuk kita jumpai pelaksanaan acara festival budaya semacam ini di Yogyakarta. Pameran Pengetahuan Budaya “Rindu Ku Sumba” dilaksanakan untuk memeriahkan rangkaian acara Festival Sumba, pameran berupa foto, benda-benda adat, kain tenun Sumba, dan videografis beberapa seniman, dilaksanakan di dua tempat yakni di Lantai 7 Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Bentara Budaya Yogyakarta.


Ritual adat Kedde selain yang dilaksanakan di Sumba mengingat yang namanya ritual adat akan dilaksanakan hanya di waktu dan tempat tertentu saja. Akan tetapi di sini kita dapat melihat ritual yang hampir menyerupai dengan sebenarnya ada di Sumba, karena dibuat sedemikian rupa dengan memunculkan bagian dari rumah adat Sumba dari bambu. Kerbau yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang Sumba dan pada kesempatan ritual Kedde ini dihadirkan oleh panitia untuk memeriahkan acara, mahasiswa dari Sumba sendirilah yang melakukan ritual adat Kedde dengan begitu penghayataan yang serupa seperti yang mereka lakukan di Sumba, mereka merasakan kerinduan dan merasa sangat bahagia dapat melaksanakan ritual Kedde ini terlebih dilaksanakan di lingkungan UGM.


Pada kesempatan kali ini kami (Ali dan Rasyid) mencoba membahas pelaksanaan Festival Sumba ini berfokus pada orientasi tempat dan membagi pembahasannya ke dalam dua pembahasan atau bagian yakni pada bagian yang pertama akan dibahas oleh Ali tentang pelaksanaan pameran dan dibalik layar produksi pameran karena Ali merupakan salah satu panitia Festival Sumba pada bagian produksi yang turut serta membantu pelaksanaan pameran yang diselenggarakan di Gedung Soegondo lantai 7 Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Bentara Budaya Yogyakarta. Pada bagian yang kedua akan dibahas oleh Rasyid seputar ritual Kedde.


Pameran Pengetahuan Budaya “Rindu Ku Sumba”

Pameran Pengetahuan Budaya Sumba ini dilaksanakan dalam berbagai bentuk, diantaranya: pameran foto, pameran kain tenun Sumba, pemeran Videografis seniman tentang Sumba, dan pameran beberapa benda-benda adat Sumba berupa: parang upacara, parang kerja, sisir dari cangkang penyu, baju adat, perhiasan adat, dan benda-benda khas Sumba lainnya. Pameran pengetahuan budaya ini dilaksanakan di dua tempat yakni: Lantai 7 Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya UGM dan Bentara Budaya yogyakarta. Tema yang diusung dalam Pameran Pengetahuan Budaya ini adalah “Rindu Ku Sumba” dengan maksud menghadirkan nostalgia bagi orang-orang Sumba yang ada di Yogyakarta dan menghadirkan gambaran bagi orang yang belum pernah melihat Sumba secara langsung. Sumba adalah sebuah pulau yang sangat indah dengan karakteristik khas yang hanya dimiliki oleh Sumba, berupa hamparan sabana luas dan perbukitan dan lembah yang membujur seluas pulaunya, hamparan pantai dengan pasir putih dan laut biru yang mempesona setiap mata yang melihatnya, semua gambaran tentang sumba berhasil ditampilkan dalam pameran foto Sumba.


Melihat pameran foto yang ada di Lantai 7 Gedung Soegondo Fakultas Ilmu Budaya UGM,

panitia produksi termasuk saya (Ali) menyajikan tampilan pameran foto dan vodeografis ini dengan menggunakan tema “industrialis” terlihat dari material yang digunakan untuk standing foto yaitu pipa yang disusun sedemikian sehingga dapat berdiri dan membingkai foto dengan rapi, juga dengan tambahan pencahayaan atau lighting yang dibuat dengan warna kuning untuk mengesankan suasana hangat, panitia produksi juga menyajikan 2 plasma tv untuk menampilkan videografis yang berkaitan dengan sumba. Maksud dari menghadirkannya unsur “industrialis” ini adalah menggambarkan perubahan-perubahan berbentuk modernisasi yang dikolaborasikan dengan unsur budaya adat dana lam, lebih jauh lagi dengan menampilkan unsur industrialis ini harapannya perkembangan dari proses modernisasi Sumba khususnya pada bidang pariwisatanya yang mulai maju pesat dapat sejalan dengan kehidupan masyarakat adat di Sumba.


Dalam penyajiannya pemeran foto ini terdapat narasi setiap foto yang memuat deskripsi dari foto yang ditampilkan, juga dalam penyajiannya panitia produksi menyelipkan cerita disetiap 12 foto yang ditampilkan dalam total 3 standing set, setiap set standing memuat 12 foto yang sebenarnya terdapat cerita pada setiap 12 foto tersebut, pada setiap standing itu memuat 3 cerita yang berbeda. Tidak hanya itu, sebenarnya apabila peserta memperhatikan dengan seksama, terdapat unsur pameran juga ditampilkan di dalam ruang panel. Beberapa kain tenun khas Sumba kami (panitia produksi) tampilkan dengan display sedemikian sehingga dapat membangun kesan eksorik Sumba dalam ruangan panel. Kain-kain tenun Sumba ini kami peroleh dari beberapa panelis yang bersedia meminjamkan untuk dapat di display, juga ada beberapa panelis dan orang-orang Sumba yang secara sukarela meminta panitia untuk menampilkan kain mereka dalam pameran.


Selanjutnya pada pameran pengetahuan budaya yang ada di Bentara Budaya Yogyakarta, pameran disajikan dengan sebuah cerita yang padu dari foto-foto yang ditampilkan. Pengunjung yang datang apabila mengikuti alur cerita tersebut akan dapat mengetahui kisah yang ditampilkan dalam foto-foto yang disajikan. Perjalanan cerita ini disajikan searah dengan jarum jam, pengunjung yang datang diminta untuk mengisi buku kunjungan kemudian berjalan mengikuti arah jarum jam. Materi pertama yang disajikan adalah sebuah puisi tentang sumba, kemudian lagu tentang sumba karya Humbacoustik, selanjutnya foto-foto Sumba yang dibawahnya terdapat narasi dari fotografer mengambarkan sebuah cerita, tidak saja hanya jajaran foto-foto yang ditampilkan namun cerita dari rankaian foto itu yang ditampilkan, diantara foto foto tersebut ditampilkan juga pasma tv berjumlah 3 yang disebar untuk membagi cerita dengan topik yang berbeda, pada bagian akhir pameran, benda-benda adat ditampilkans secara langsung sebagai bukti nyata kekayaan budaya yang ada di Sumba yang pengunjung ketahui sebelumnya melalui tampilan foto, pada bagian ini kami menampilkan benda-benda tersebut secara langsung berupa: parang kerja, parang upacara, kain tenun khas sumba yang kami display di bagian tengah ruang pameran, sisir mahkota dari tempurung penyu, tas khas Sumba, juga barang-barang adat lainnya.


Harapan dari kami (panitia Festival Sumba) dengan mengadakan sebuah pameran pengetahuan budaya Sumba ini, masyarakat pada umumnya memiliki pengetahuan yang semakin terbuka terhadap budaya, bahwa setiap budaya memiliki filosofi, karakteristik, penjiwaan, dan keindahan yang berbeda, bahwa perbedaan bukanlah hal yang harus ditakutkan dan menjadi sebuah pengganjal dalam berkehidupan bersama, dan penanaman pemahaman bahwa perbedaaan adalah sebuah pelengkap yang indah untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing unsur yang ada, bahwa keindahan bukan memulu tentang hijaunya lingkungan, sabana yang kering juga memiliki “hijaunya” sendiri, bahwa surga dan keindahan bukanlah sebuah sesuatu yang dapat disetarakan, kebahagiaan, ketenangan, adalah sesuatu yang relatif yang tidak dapat digeneralisasikan, bahwa kekayaan bukan memulu tentang seberapa banyak harta yang dimiliki namun kekayaan adalah bagaimana kita menjalankan hidup dengan tenang, tentram, dan bersahaja, bahwa menjaga perbedaan dan keberagaman adalah sesuatu yang harus kita semua pertahankan untuk dapat hidup saling melengkapi satu sama lain. Semangat “Bhineka Tunggal Ika” yang ditanamkan dari pameran pengetahuan budaya “Rundu Ku Sumba” ini.


Sebagaian panitia Festival Sumba foto bersama Humbacoustik setelah selesai rangkaian acara (Doc.pribadi)

Ritual Kedde: Tradisi Adat Masyarakat Sumba

Dalam rangkaian acara Festival Sumba, Ritual Kedde dilaksanakan pada Jumát, 26 Oktober 2018 di waktu sore hari. Ketika kita melihat sebuah festival maka akan susah sekali menemukan pertunjukan suatu ritual adat, akan tetapi pada Festival Sumba ini mampu mempertunjukan suatu ritual adat yang terdapat di Sumba. Selain untuk menambah pengetahuan sebenarnya hal yang jarang ditemukan ini lah yang membuat saya tertarik untuk melihat rangkaian ritual Kedde ini. Saya sempat khawatir tidak bisa melihat rangkaian Ritual Kedde ini dari awal karena saya masih harus kelas dan menunaikan ibadah. Ketika waktu menunjukkan pukul 4 sore, terdapat teriakan dari halaman yang akan digunakan sebagai tempat pelaksanaan ritual kedde. Teriakan ini seperti panggilan kepada semua orang untuk segera berkumpul karena akan ada ritual kedde. Saya merasa cukup senang karena ketika saya tiba acara ritual kedde baru akan dimulai. Terlihat terdapat beberapa pemuda dan pemudi yang saya ketahui merupakan mahasiswi Sumba yang sedang berkuliah di Jogja mengenakan pakaian adat Sumba. Begitu juga dengan beberapa panitia yang sedang melakukan persiapan dan penonton yang mulai berdatangan.


Acara pun di mulai, teriakan-teriakan yang dilantunkan beriring dengan nada musik yang dimainkan semakin meriah. Dari awal ketika adanya teriakan seruan yang kemudian dibalas dengan teriakan lain secara bersama-sama. Kemudian mulai datang tamu dengan membawa kerbau untuk diberikan kepada tuan rumah. Dan tuan rumah kemudian menyambut dengan suka cita dan membalasnya dengan memberikan kain tenun kepada tamunya. Selanjutnya Kerbau tersebut digiring yang pada ritual sebenarnya akan dipotong dan dihidangkan saat pesta, namun karena pada pelaksanaa Festival Sumba ini hanya merupakan simbol maka tidak melaksanakan pemotongan kerbau, kerbau kembali diamankan ke kandang yang bertempat di belakang gedung Margono. Sebelum tamu masuk, seperti ada dialog antara tamu dan tuan rumah yang kemudian dicairkan dengan menari secara bersama-sama.


Pada pelakasanaan kemarin tamu di sambut dengan tarian-tarian dan sorakan-sorakan dengan kekhasannya sendiri. Awalnya saya berpikir teriakan-teriakan ini terdengar berisik karena intonasinya yang tinggi dan cukup membuat kita ketakutan apabila tidak mengetahui acara apa yang dilaksanakan tersebut. Tetapi setelah saya dengar, ternyata suara-suara tersebut memiliki ritme atau nada tersendiri jika kita padukan dengan melihat tarian-tarian maka akan terasa begitu indah. Sambil bersorak dan menari, tidak lupa juga mereka membawa tombak dan golok/parang yang saya ketahui semuanya asli. Ketika kerbau datang, golok tersebut dikibaskan ke riasan pelepah kelapa yang terdapat di kepala kerbau. Kerbau tersebut terlihat seperti ingin ditikam dan begitu terlihat meyakinkan leher kerbau tersebut akan ditebas. Dari awal pertunjukkan terdapat pula musik pengiring dari alat musik gong dan gendang yang dimainkan senada dengan sorakan-sorakan. Dan para perempuan menari secara bersama-sama mengikuti nada-nada tersebut dengan menggunakan pakaian adat tanpa membawa senjata. Dari awal dimulai hingga akhir ritual sorakan-sorakan tersebut tidak berhenti.


Kegiatan masyarakat dalam berbagai tradisi adat mempunyai patokan dan alat tertentu di mana kegiatan tersebut rutin dilakukan setiap saat. Dalam ritual Kedde tidak memandang gender ataupun kalangan sehingga laki-laki, perempuan, tua dan muda ikut menjadi bagian dari ritual ini yang dilakukan secara bersama-sama. Adapun ritual ini meghadirkan beberapa hewan kurban berupa kerbau dan properti lain seperti tombak, parang, penggunaan baju adat khas Sumba, gong atau gendang khas Sumba, kain tenun khas Sumba, dan objek lain yang makin memeriahkan acara ini. Dari apa yang telah kami lihat dalam pelaksanaan ritual Kedde pada Festival Sumba ini adalah menari dan berteriak secara terstuktur dan mengalami tahapan-tahapan ritual.


Foto setelah rangkaian ritual Kedde masyarakat Sumba (Doc.pribadi)


11 views0 comments

コメント


bottom of page