Fransiscus Apriwan: Astronot dan Seni Visual
- Athif Tsabit Prasojo
- Dec 9, 2018
- 8 min read

Mendapat tugas untuk menulis tentang figur seseorang yang mengisi di acara Festival Sumba pada bulan Oktober lalu, membuat kami mencari siapa saja sosok yang ada dalam acara tersebut. Kemudian kami menemukan nama Fransiscus Apriwan yang menjadi salah satu panelis didalamnya. Sebenarnya, kesan pertama yang kami dapat dari sosok bernama Fransiscus Apriwan atau yang lebih akrab disapa Iwan ini adalah orang yang sangat tenang dan dapat mengendalikan emosi. Hal tersebut muncul dari pengalaman pertama kami berinteraksi dengannya saat semester 2 lalu, dimana Ia menjadi asisten Prof. Laksono yang pada saat itu mengajar mata kuliah Pengantar Antropologi di Indonesia. Lucunya, entah mengapa setelah mengamati gaya bicara, pembawaan diri, dan penampilannya lebih jauh kami berdua sama-sama berpikiran kalau Iwan merupakan seorang bujangan yang aktif dan memiliki banyak kesibukan. Penilaian kami tentang sosok Iwan sangatlah menarik dan kami tertawa ketika berpikiran untuk menggunakan dirinya sebagai subjek tugas ini sekaligus menjawab rasa penasaran kami tentang kehidupannya. Akhirnya kami menghubunginya dan membuat janji temu pada hari Rabu, 31 Oktober 2018 di replika rumah adat Sumba yang terletak di dekat Gedung Soegondo, Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Seperti layaknya sebuah wawancara pada seseorang, setelah sedikit intermezzo kami mengawali dengan berbagai pertanyaan seputar identitasnya. Sosok yang lahir di Yogyakarta pada 18 April 1988 ini menghabiskan masa kecilnya tinggal di daerah Babarsari, satu rumah bersama kedua orangtuanya. Namun saat ini, Ia telah berpisah dengan orang tuanya dan bertempat tinggal di rumahnya sendiri yang terletak di daerah Condongcatur. Mendengarkan penuturannya saat kami tanyai, masa kecil Iwan relatif biasa-biasa saja. Ia belajar, sekolah, bermain sepak bola, bermain PS atau PlayStation, dan cenderung nakal atau yang Ia sebut ‘mbeling’ yang tarafnya wajar seperti remaja pada umumnya. “Biasa saja, tidak ada yang spesial dari masa kecilku”, ujarnya. Sementera itu mengenai lingkungan keluarga yang Ia miliki, kedua orang tuanya adalah orang jawa dan berasal dari Yogyakarta. Merupakan keluarga kecil dengan seorang ayah dan ibu serta memiliki satu adik, Iwan sendiri adalah anak pertama dalam keluarga kecil tersebut. Oleh orang tuanya, Ia cukup diminta untuk sekolah baik-baik dan melakukan hal yang baik, yang menurutnya sebuah nasehat yang sangat umum dan disampaikan juga di setiap keluarga yang ada di bumi ini.
Keluarganya sendiri cukup bebas, dalam artian tidak selalu terikat dalam segala sesuatu. Selama tinggal bersama orang tuanya, Ia sangat diberi kebebasan yang menurutnya luar biasa. Berbagai hal yang berjalan dalam masa kecil hingga remajanya merupakan keputusan dan pilihannya sendiri, karena memang orang tuanya sendiri yang memberi Iwan kebebasan dalam menentukan pilihan. Padahal biasanya pada banyak keluarga lain orang tua turut terlibat bahkan cenderung memegang kunci dalam pengambilan langkah ataupun keputusan tersebut. Salah satu contoh yang Ia ceritakan adalah selalu diberikan kebebasan memilih sekolah sejak SMP hingga kuliah, tanpa campur tangan dari orang tuanya sama sekali. Riwayat sekolahnya sendiri diawali dari SD Kanisius Condongcatur yang kemudian pindah ke SD Negeri Babarsari, selanjutnya Ia melanjutkan ke SMP Negeri 8 Yogyakarta dan selanjutnya masuk ke SMA John de Britto hingga lulus dari SMA tersebut pada tahun 2007.
Saat kami tanya mengenai hobi yang dimilikinya, terjadi hal yang cukup menggelitik dan cukup tidak kami sangka sebelumnya, bahkan Ia sendiri juga menyuruh kami untuk menebak apa kira-kira hobi yang Ia miliki. Kami melontarkan beragam tebakan dan salah semua karena rupanya seorang Fransiscus Apriwan yang sangat menggemari bir bintang ini memiliki hobi berlari. Ia bercerita bahwa dirinya terobsesi menjadi pelari trail meski hingga kini belum sempat terbuktikan obsesinya. Berlari di Embung Tambakboyo menjadi hobinya dikala pagi ataupun sore hari saat tidak ada kegiatan yang lainnya. Cita-cita yang Iwan miliki saat masih kecil adalah menjadi astronot. Namun seiring bertambahnya usia dan menganggap cita-cita tersebut terlalu ndakik-ndakik, Ia kemudian meninggalkan cita-cita tersebut. Meski begitu, cita-cita menjadi astronot tadi masih sangat menginspirasi dirinya sampai hari ini, Ia menyukai penjelajahan, suka menjelajahi sesuatu, suka jalan-jalan, dan semakin jarang orang datang ke suatu tempat tersebut maka Ia akan semakin menyukainya. Kemudian ketika kami memintanya untuk mendeskripsikan dirinya secara singkat, rupanya Ia menjawab dengan bahasa Jawa bahwa intinya dirinya adalah orang yang keren, merdeka, dan bujangan yang bahagia. Mendengarnya berkata “….karo bujangan sing bahagia”, kami tertawa karena rupanya tebakan kami benar.
Ia bercerita bahwa dirinya memiliki interest khusus pada seni visual. Hal tersebut kemudian memiliki banyak pengaruh, dahulu waktu masih SMA Ia mempunyai cita cita menjadi fotografer dengan media yang spesifik. Saat itu yg Ia pikir adalah media National Geographic, karena berbagai majalahnya ada di perpustakaan sekolah Iwan. Ia suka membaca itu dan mengikuti ekstrakurikuler fotografi, dari situlah muncul kesenangan untuk memotret seperti fotografer National Geographic. Media tersebut juga memberinya dorongan seperti cita-cita menjadi astronot sebelumnya, yakni untuk menjelajahi tempat-tempat lain yang masih jarang diketahui kebanyakan orang. Mimpi tersebut yang kemudian membuatnya memilih jurusan Antropologi Budaya di UGM.
Selanjutnya Ia bercerita sebenarnya Ia juga sudah memiliki sedikit bayangan tentang Antropologi dari sosok bernama Mbak Heni saat berkecimpung di FFD (Festival Film Dokumenter) pada masa akhir-akhir SMA-nya. Ia pun beranggapan bahwa ilmu Antropologi ini merupakan bekal yang sangat baik untuk memotret. Namun sesuai penuturannya, sialnya setelah masuk jurusan Antropologi Budaya di UGM ini Ia justru kembali merevisi cita-cita, tidak menjadi fotografer lagi. Ia ingin mengembangkan dan mengenalkan berbagai tempat lain yang dapat dibilang sebagai pelosok dan kurang terjamah sehingga muncullah ketertarikan pada film dokumenter dan penelitian-penelitian Antropologis. Dapat diartikan bahwa di Antropologi Ia menemukan hal lain yang menurutnya lebih seru dari cita-cita fotografer sebelumnya. Selain itu, belajar Antropologi Ia samakan dengan sebuah pendekatan asmara dan memupuk cinta. “Awalnya kita harus pelan-pelan dan berhati-hati, membangun kepercayaan, terbuka, dan akhirnya kita mulai tidak malu-malu lagi”. Cukup menghibur mendengar kalimat tersebut muncul dari seorang bujangan yang baru satu kali berpacaran dan sudah lama sendirian tanpa pendamping hidup.
Kami tertarik untuk menggali lebih dalam kisahnya di organisasi Festival Film Dokumenter (FFD) dan memintanya untuk bercerita. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, Ia mengenal FFD sejak masih duduk di SMA De Britto tersebut, tepatnya saat menjelang akhir pada tahun terakhir Ia SMA. Mulanya Ia diajak untuk menonton film dokumenter bersama organisasi FFD. Bermula dari melihat sebuah film dokumenter bersama FFD, Ia menemukan berbagai film yang menarik dan merupakan hal baru baginya, selain itu Ia juga mendapatkan teman-teman dari pergaulan baru tersebut. Film sebagai ruang yang mempertemukan dengan teman baru tersebut menjadi dorongannya untuk semakin terlibat di dalam FFD. Semakin Ia mengikutinya, semakin banyak Ia bertemu teman, perbincangan, dan pada dasarnya berbagai kesenangan yang dicari olehnya. Dengan terlibat di FFD dan banyak penelitian, ditambah dengan menekuni dunia film dokumenter, Ia menemukan sebuah cara yang menurutnya merupakan media yang terbaik untuk bercerita.
Saat Ia mulai ingin terlibat dengan aktivitas-aktivitas dalam FFD, pada awalnya Ia ditawari untuk ikut menjadi relawan dalam sebuah perhelatan yang diselenggarakan oleh FFD. Tanpa pikir panjang, Iwan langsung menerimanya. Ia mendapatkan posisi sebagai runner, alias usung-usung dalam acara yang berlangsung di Benteng Vredeburg saat itu. Mengangkut meja-meja dan kursi-kursi disana sangat berkesan baginya karena sangat melelahkan. Tapi pada saat awal kuliahnya pada saat itu justru hal itulah yang dicari olehnya karena adanya energy yang meluap dan ada ruang untuk melampiaskannya. Mempersiapkan festival atau acara apapun dalam FFD memang melelahkan, menurutnya benar-benar seperti kerja yang terus menerus tanpa henti hingga acaranya selesai. Ia juga bercerita bahwa FFD di masa kini sangat jauh lebih rapi atau well organized ketimbang saat dulu di masa awal-awal Iwan masuk. Jika diringkas, kiprahnya dalam FFD adalah selama satu sampai dua tahun menjadi runner, lalu menjadi asisten kompetisi dimana Ia mengurus berbagai kompetisi film dokumenter di Indonesia selama periode tahun 2009-2010, saat menjadi asisten kompetisi inilah Ia mengatakan merupakan peluangnya untuk mempelajari film secara lebih mendalam. Selanjutnya Ia menjadi koordinator kompetisi, kemudian menjadi programmer FFD, hingga puncaknya adalah menjadi direktur di FFD. Setelah masa jabatannya sebagai direktur FFD habis, Ia ditunjuk untuk kembali menjadi direktur. Iwan menolak penunjukkan itu karena bosan menjadi direktur disana. Momen penolakannya tersebut Iwan sebut sebagai, “Bentuk mengkudeta diri sendiri”. Ia memutuskan berhenti agar digantikan dengan oleh teman di FFD yang lain dan Iwan menjadi programmer FFD lagi. Hingga pada saat ini Ia masih berkiprah di FFD namun kembali menjadi runner, Ia sangat senang dengan posisi tersebut karena menjadi orang yang usung-usung dalam gelaran acara FFD, mengingat dirinya merupakan penyuka aktivitas yang melelahkan fisiknya.

Fransiscus Apriwan yang juga melanjutkan studi S2 di Antropologi Budaya UGM, menceritakan tentang LAURA (Laboratorium Antropologi Untuk Riset dan Aksi) yang dahulu eksis, lalu sempat hibernasi dan saat ini dipegang oleh Prof. Laksono. Ia ditawari Prof. Laksono untuk meneliti ke Sumba dan tanpa banyak berpikir dirinya langsung mengiyakannya, didasari oleh bayangannya tentang astronot dan kesukaannya untuk jalan-jalan yang jauh itu. Ia mengatakan bahwa dirinya merupakan tim tambahan yang dicari belakangan. Penelitian ke Sumba tersebut berlangsung pada tahun 2017 dari bulan Juli hingga Agustus. Ketika penelitian di Sumba, Iwan merasa sebetulnya tidak menemui kesulitan yang berarti. Berbagai fenomena itu justru muncul terus menerus. Saat presentasinya dalam simposium di acara Festival Sumba 2018 ini, pertemuan awal Ia di Sumba banyak dihiasi dengan berbagai pesta. Dalam pesta tersebut muncul ruang untuk bertemu dan Ia diajak orang Sumba untuk hadir di pesta-pesta adat. Menurutnya hal tersebut tidak akan terjadi jika tidak ada pesta-pesta sebelumnya yang menjadi ruang temu. Proses awal yang Ia lakukan dalam meneliti adalah datang dari pesta satu ke pesta lain dan melakukan observasi di dalamnya, mencari kecenderungan yang nampak, dan sebagainya sebelum pada akhirnya Ia mulai membangun analisis.
Penelitian ke Sumba ini merupakan proyek pesanan pemerintah setempat untuk pembuatan Perda (Peraturan Daerah) mengenai hidup hemat. Sehingga yang resah bukanlah LAURA melainkan pemerintah daerah karena ada jumlah pesta besar-besaran yang boros dan terjadi di daerahnya padahal kondisi ekonomi warganya cenderung menengah ke bawah. Tapi pemerintah daerah juga berpikir panjang dan hati-hati dengan turut mengundang dan melibatkan penelitian Antropologi karena pemotongan hewan disana yang sangat masif itu sangat bersifat kultural. Ia mengatakan, “Kita (LAURA) mencoba memahami dengan perspektif mereka, jadi LAURA berpikir apa jadinya jika pesta ini hilang saat itu juga, lalu yang muncul adalah akan terjadinya kekacauan. Artinya, perubahan sosial yang cepat sangatlah berbahaya bagi mereka”. Menyampaikan hasil penelitian pada masyarakat Sumba sendiri menurutnya merupakan tantangan terbesar. Ia bercerita bahwa Prof. Laksono juga sudah melakukan presentasi disana dan responnya yang muncul tidak terlepas dari ketegangan, dimana mereka menerima sekaligus meragukan. Menurut Iwan, justru pada titik itulah letak keberhasilan dan kesuksesan penelitian ini. “Penelitian ini gagal jika mereka serta merta menerimanya dan juga sebaliknya”. Karena dengan begini artinya mereka turut menimbang-menimbang sendiri kondisi yang mereka alami dan hasil penelitian yang ditawarkan. Untuk Iwan sendiri, Ia merasa masih memiliki pekerjaan panjang tentang menyampaikan retorika yang baik dalam menyampaikan pendapatnya yang cukup sensitif. “Ingin menggoda tapi tidak mencelakai”, kata Iwan. Selanjutnya hal yang paling berkesan baginya saat penelitian di Sumba adalah perasaan mendalam yang justru timbul saat sudah pulang dari sana. “Ada energi dan semangat yang tersimpan untuk kemudian di tranformasikan menjadi Festival Sumba kemarin itu”.
Menjelang akhir perbincangan ini, kami menyimpan pertanyaan pamungkas mengenai pelajaran apa yang Ia dapat dalam perjalanan dan dinamika hidupnya selama ini. Ia menjawab, “Hingga titik saat ini yang paling kerasa tu kesadaran akan banyaknya sudut pandang dari setiap orang, aku melihat dunia tidak lagi sederhana seperti sebelumnya, melainkan sangat kompleks dan tidak akan mengambil kesimpulan dari permukaannya saja”. Hal seperti itu yang membuatnya senang dengan kerja-kerja penelitian. Melalui penelitian ia bisa merasakan suatu penjelajahan, bukan hanya ruang saja yang berbeda melainkan turut merasakan suasana yang berbeda seperti jam berkegiatan, gagasan, cara komunikasi, dan sebagainya yang berbeda. Dengan kata lain Ia dapat ‘ngicipi’ atau merasakan dunia lain yang berbeda. Kemudian ketika sudah kembali dalam hidupnya yang normal seusai meneliti, Ia berkata dirinya merasakan sebuah perpindahan tubuh dan ruang tapi dengan mental yang menguat, pikirannya yang bertambah luas, dan selalu memiliki suatu nilai yang turut Ia bawa dari tempat-tempat yang Ia teliti atau kunjungi tersebut. “Ono perkembangan neng njero awak sing ra iso didelok seko njobo”, tutur seorang Fransiscus Apriwan, sosok yang kemudian menjelaskan dirinya sebagai orang yang selalu mempertimbangkan suatu hal secara presisi dan hanya akan melakukan sesuatu jika Ia tau pasti hasilnya.
Comentarios